Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Saturday, November 30, 2013

Pilihan Terpilih

Ini sudah entah kuluman yang keberapa dari dia dalam satu jam ini. Lalu dalam peluknya yang mesra ku coba bertanya "Sebenarnya apa yang kamu rasakan saat ciuman seperti ini, yank?" Sambil kembali mencium keningku, dia menjawab "Ya seneng donk yank, kan bisa bersama orang yang disayangi" Aku hanya terdiam saat setelah itu, lalu dia jadi sibuk bercerita entah apa, aku tak lagi merespon keadaan saat itu. Aku juga jadi begitu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa apa yang dia rasakan tak sama dengan apa yang aku rasakan selama ini. Terkadang bahkan mati-matian aku mencoba meresapi pelukan hangat dari dia atau ciuman halus dibibir dari dia, segala kemesraan yang selama ini dia berikan penuh untukku. Tapi yang ada hanya hambar, iya memang tubuh ini menerima semua, tapi hati? Tak pernah kurasakan yang namanya tersengat ribuaan volt listrik dalam tubuhku saat bibirnya mengulum bibirku atau rasa hangat yang merambati hati ketika tubuhnya memelukku. Semua terasa biasa, ciuman dengan dia rasanya seperti bibir yang bertemu sendok berisi penuh nasi goreng lalu aku mengunyahnya. Pelukan, terasa seperti tubuh yang memeluk guling saat mata begitu ngantuk. Biasa!


Sedih sekali aku harus menciptakan keadaan seperti ini. Tersangkut diantara ribuan gelembung sabun warna warni nan indah, namun saat kucoba mengambilnya satu maka saat itu juga pecah gelembung tersebut, hingga menyisakan rasa kecewa bertubi. Semua begitu ilusi, begitu senyum yang harus tertarik dalam lengkungan yang palsu. Senyum dengan gincu palsu!

Iya memang benar bahwa hidup ini adalah panggung sandiwara, dan dalam kegamangan yang luar biasa ini kurasa aku adalah orang yang berekting dengan begitu baiknya. Sempurna dimata dia, namun untuk hatiku sendiri? Hati seperti menjadi organ tubuh yang berada diruangan tersendiri dan dijauhkan dari tubuhku, entah dimana, mungkin dalam toples biskuit atau dalam kaleng susu, atau terkurung dalam kardus berplester dobel begitu rapat. Dia tidak sadari, tentang pertentangan dalam tubuhku ini. Karena memang seperti yang telah kusebutkan diatas, bahwa aku begitu pintar dalam berekting menjadi kekasih yang romantis dengan kasih sayang penuh untuk dia. Bukan hal yang susah untuk sekedar membalas segala kemesraan dia, meskipun dengan hati yang mati, tak merasakan apapun. Jahatkah aku?

Kembali kutegaskan pada diri bahwa cinta itu butuh proses. Aku selalu meyakini bahwa merasakan cinta itu seperti naik tangga bukan naik lift yang sekali pencet bisa langsung sampai lantai teratas, namun semua membutuhkan proses dalam tiap tiap anak tangganya. Namun hingga mungkin jenuh menaiki tangga yang tak juga mengantarkanku pada lantai yang landai. Hingga kusadari ternyata aku menaiki tangga ini hanya dengan satu kaki dan kaki yang satunya masih tertinggal di tangga gedung yang lain. Iya kurasa perumpamaannya memang seperti itu, karena memang kenyataan yang ada seperti itu. Terlambatlah kusadari bahwa hatiku hanya satu dan tak pernah bergerak mendekat pada pacarku sendiri meski satu inci. Hatiku masih berada di tempatnya yang semula, kaku membeku dimiliki seutuhnya dalam gunung salju merah jambu itu. Lalu aku harus bagaimana? Tetap stag dan melanjutkan sandiwara yang bahkan tak kunikmati sama sekali atau bersiap untuk kehilangan apa yang tak hatiku mengerti?

Dan dalam malam yang mengecewakaan memang semua sandiwara itu kuakhiri 'aku pengen putus yank' lalu dengan perasaan yang acuh kutekan tombol kirim dalam menu dihapeku. Jahatkah aku? Iya atau tidak, tetap kata maaf semoga bisa mewakili. Hingga tidur dalam pelukan pekat malam mengantarkanku pada rasa sendirian nan kesepian hingga saat ini, namun itulah jalan yang kupilih. Biar kumiliki diri dan hati seutuhnya kembali. Sudah lama tak kubuat hatiku sendiri bahagiya. setelah ini aku berjanji aku akan melakukan apa yang hatiku inginkan dan membahagiyakannya.

02:47
Sragen, 30 November 2013

No comments:

Post a Comment