Ini sudah entah kuluman yang keberapa dari
dia dalam satu jam ini. Lalu dalam peluknya yang mesra ku coba bertanya
"Sebenarnya apa yang kamu rasakan saat ciuman seperti ini, yank?"
Sambil kembali mencium keningku, dia menjawab "Ya seneng donk yank, kan
bisa bersama orang yang disayangi" Aku hanya terdiam saat setelah itu,
lalu dia jadi sibuk bercerita entah apa, aku tak lagi merespon keadaan saat
itu. Aku juga jadi begitu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa apa yang
dia rasakan tak sama dengan apa yang aku rasakan selama ini. Terkadang bahkan
mati-matian aku mencoba meresapi pelukan hangat dari dia atau ciuman halus
dibibir dari dia, segala kemesraan yang selama ini dia berikan penuh untukku.
Tapi yang ada hanya hambar, iya memang tubuh ini menerima semua, tapi hati? Tak
pernah kurasakan yang namanya tersengat ribuaan volt listrik dalam tubuhku saat
bibirnya mengulum bibirku atau rasa hangat yang merambati hati ketika tubuhnya
memelukku. Semua terasa biasa, ciuman dengan dia rasanya seperti bibir yang
bertemu sendok berisi penuh nasi goreng lalu aku mengunyahnya. Pelukan, terasa
seperti tubuh yang memeluk guling saat mata begitu ngantuk. Biasa!
Iya memang benar bahwa hidup ini adalah
panggung sandiwara, dan dalam kegamangan yang luar biasa ini kurasa aku adalah
orang yang berekting dengan begitu baiknya. Sempurna dimata dia, namun untuk
hatiku sendiri? Hati seperti menjadi organ tubuh yang berada diruangan
tersendiri dan dijauhkan dari tubuhku, entah dimana, mungkin dalam toples
biskuit atau dalam kaleng susu, atau terkurung dalam kardus berplester dobel
begitu rapat. Dia tidak sadari, tentang pertentangan dalam tubuhku ini. Karena
memang seperti yang telah kusebutkan diatas, bahwa aku begitu pintar dalam
berekting menjadi kekasih yang romantis dengan kasih sayang penuh untuk dia.
Bukan hal yang susah untuk sekedar membalas segala kemesraan dia, meskipun
dengan hati yang mati, tak merasakan apapun. Jahatkah aku?
Kembali kutegaskan pada diri bahwa cinta
itu butuh proses. Aku selalu meyakini bahwa merasakan cinta itu seperti naik
tangga bukan naik lift yang sekali pencet bisa langsung sampai lantai teratas,
namun semua membutuhkan proses dalam tiap tiap anak tangganya. Namun hingga mungkin
jenuh menaiki tangga yang tak juga mengantarkanku pada lantai yang landai.
Hingga kusadari ternyata aku menaiki tangga ini hanya dengan satu kaki dan kaki
yang satunya masih tertinggal di tangga gedung yang lain. Iya kurasa
perumpamaannya memang seperti itu, karena memang kenyataan yang ada seperti itu.
Terlambatlah kusadari bahwa hatiku hanya satu dan tak pernah bergerak mendekat
pada pacarku sendiri meski satu inci. Hatiku masih berada di tempatnya yang
semula, kaku membeku dimiliki seutuhnya dalam gunung salju merah jambu itu. Lalu
aku harus bagaimana? Tetap stag dan melanjutkan sandiwara yang bahkan tak
kunikmati sama sekali atau bersiap untuk kehilangan apa yang tak hatiku
mengerti?
Dan dalam malam yang mengecewakaan memang
semua sandiwara itu kuakhiri 'aku pengen putus yank' lalu dengan perasaan yang
acuh kutekan tombol kirim dalam menu dihapeku. Jahatkah aku? Iya atau tidak, tetap kata maaf semoga bisa mewakili. Hingga tidur dalam pelukan pekat
malam mengantarkanku pada rasa sendirian nan kesepian hingga saat ini, namun
itulah jalan yang kupilih. Biar kumiliki diri dan hati seutuhnya kembali. Sudah
lama tak kubuat hatiku sendiri bahagiya. setelah ini aku berjanji aku akan
melakukan apa yang hatiku inginkan dan membahagiyakannya.
02:47
Sragen, 30 November 2013
No comments:
Post a Comment