Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Sunday, May 31, 2015

Salam Sukaria

Kembali malam ketika titipanmu baru kutata dalam blogku, semoga menjadi baik ketika kita sama-sama membagikan kebaikan. Niat tidak akan pernah mengkhianati hasil. Dan proses adalah perjalanan yang paling luar biasa untuk kita raup saripatinya agar menjadi manusia yang lebih baik atau setidaknya dari situ kita bisa berproses menjadi manusia. Tulisan yang ku lebeli Kisah Sahabat ini, kiriman dari Ichsan Yudha Karuniawan J  Selamat membaca


Aku bahagia atau kah bersedih saya tidak faham aku jalani saja mengalir dari atas kebawah mulai perlahan, meskipun sering aku tersangkut di bebatuan atau di pinggir bibir sungai, namun aku yakin ini cuma sebentar dan aku yakin aku pasti terdorong oleh air yang begitu deras mengalir dari atas ke bawah. Sangat tidak mudah memang, tapi aku yakin pada diriku sendiri jika aku pasti bisa sampai ke tempat yang ku tuju tadi. Aku cuma mengandalkan waktu yang mendorong ku ketika aku berhenti dan teringat kejadian sewaktu aku ada di atas. Harapan ku ketika sesampainya aku di bawah, aku akan lakukan hal yang baik, lalu aku akan melakukan hal yang tidak pernah aku lakukan ketika aku berada di atas "waktu itu" dengan  baik, dan aku yakin aku akan bahagia, "karena" aku sudah menanamkan rasa percaya di dalam otak dan hati ku, bahwa aku akan bahagia dan bersenang-senang karena bersenang-senang itu HARUS.

Aku tidak ingin lagi bersedih, karena jika aku bersedih aku tidak akan menjadi lebih baik dan selamanya akan berada di titik tersebut dengan berlumuran darah karena bersedih.

Jadi keluarkanlah dirimu jika kamu berada di lingkaran yang membuat mu menjadi tidak lebih baik, karena yang bisa merubah dirimu itu adalah lingkungan mu.
Dan bertemanlah kepada semua orang, cintailah mereka, anggaplah dia sebagai saudaramu, jika suatu saat kamu mengalami kesusahan, maka saudaramu akan datang untuk membantu.

Dan janganlah takut untuk lakukan hal yang baik.

Ini adalah pelajaran soal kehidupan yang saya pelajari. Jadi berbuatlah baik dan bersenang-senanglah, karena bersenang-senang itu HARUS.


SALAM SUKARIA




Saturday, May 30, 2015

Jangan Tilang Aku Pak! (Part 2)

Lama juga ya rentang penulisan part 2, lanjutan dari cerita Jangan Tilang Aku Pak! (Part 1) dan inilah kisahku selanjutnya bersama Pak Polisi.

Ceritanya begini. Pagi itu sudah cukup terik di Semarang, sekitar Pukul 09.00 WIB aku dan pacarku (yang sekarang sudah kuedit menjadi mantan) kita berdua melakukan perjalan ke Jogja untuk menonton bola, pertandingan antara PSS Sleman vs Arema. Karena kami berdua sama-sama Suporter Aremania, jadi yah kompak saja dari Sragen dia menghampiri aku ke Semarang terus lanjut ke Stadion Maguwoharjo Jogja.


Perjalanan sampai Ungaran lancar saja, lalu berbelok jalur Ambarawa. Di Terminal Bawen aku sempatkan bertanya apa gak sebaiknya gantian aja, biar aku yang di depan boncengin dia. Karena memang sudah terbiasa kita gantian boncengan. Tapi dia jawab tidak katanya belum lelah. Ya sudah, padahal aku mengajukan diri buat bergantian bonceng bukan masalah karena dia sudah lelah perjalanan Sragen-Semarang terus harus lanjut Semarang-Jogja, tapi memang karena dia belum hafal jalan dan medannya Ambarawa-Temanggung sampai Magelang yang berkelok-kelok naik turun bersebelahan dengan truk-truk besar yang harus disalipi satu-persatu. Tapi berhubung dia menolaknya ya sudah aku nurut saja, toh aku juga tidak begitu terampil mengendarai motor gigi (sebut saja aku spesialis racing motor metic, heheheh).


Sampai di jalan alternatif yang cukup lenggang karena di kanan kiri hanya sawah dan Rawa Pening, maka terlihatlah dari kejauhan ada segerombolan Pak Polisi dan motor-motor yang berhentikan. Panik lalu menepi, pacarku terlihat bingung harus bagaimana karena dia tidak punya SIM. Aku yang memang memiliki kelengkapan surat-surat seperti SIM dan STNK jelas tidak terlalu bingung harus bagaimana, jadi kugantikan dia di depan. Tapi dia tetap saja ngotot mengajak balik arah. Resiko jika nanti dikejar Pak Polisi, jadi kuputuskan tetap jalan saja, dia aku suruh jalan kaki di kanan jalan. Aku sendiri tidak berani memboncengkan dia karena jelas helm yang dia pakai tidak SNI. Kalo kengkapan surat ada tapi helm yang dipakai tidak yang seharusnya kan sama juga bo’ong, pasti surat tilang juga ketemunya. Jadi aku suruh dia jalan kaki dan aku melaju menghampiri operasi tersebut.

Sampai di TKP (Tempat Kejadian Penilangan) aku cukup heran Pak Polisi tidak bilang apa-apa seperti skenario biasanya (hormat kepada pengendara lalu menanyakan kelengkapan surat-surat) mungkin Pak Polisinya sedang betmut atau sedang sariawan. Tapi ya sudah toh aku juga mengerti apa yang seharusnya aku lakukan (menunjukan SIM beserta STNK-ku) beres dilihat-lihat oleh Pak Polisi jadi aku rasa sudah lolos, tanpa dipersilahkan melanjutkan perjalanan karena kulihat Pak Polisinya balik badan ngeluyur pergi meninggalkan ku sendiri, kan sedih huhuhu L

Motor yang ku jalankan tidak juga mau nyala, sudah ku pancal-pancal berulang-ulang tidak juga menyala. Ckckck pingsan mungkin ini motor karena takut berhadapan dengan Pak Polisi atau malah jangan-jangan terkena serangan jantung mendadak. Menyebalkan menghadapi motor yang cemen seperti pemiliknya, upsss sengaja J

Tanpa pikir panjang aku minta tolong saja pada Pak Polisi untuk membantu menyalakan motor pacarku ini, kan memang tugas polisi adalah melayani dan menafkahi masyarakat, ehhh salah maksudku menanyai masyarakat, duh salah lagi yah, sampai lupa apa ya tugas Volisi? Melayani dan mengayomi masyarakat, bener gak? 


Yupss, Pak Polisi baru berjalan menghampiriku, malah disalip duluan oleh pacarku yang juga berjalan kaki mendekatiku. Dalam hati aku sudah nyumpah-nyumpah gobl*k kenapa malah dia menghampiriku? Apa karena gak rela aku dibantuin polisi? Atau kangen berlama-lama aku tinggal? Atau bagaimana? Pak Polisinya jadi curuga dah, sebelum ketahuan jadi aku ngacir duluan.

Dipertengahan jalan yang cukup jauh, aku berhenti untuk menunggu pacarku. Tapi tidak datang juga si pejalan yang membawa helm batok. Yang akhirnya datang adalah suara dering telpon dari pacarku, yang katanya aku disuruh balik lagi ke pos. Aku merasa sebal, kenapa harus balik, kan tinggal dia yang menghampiriku, karena aku sudah lolos pemeriksaan dan sudah dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Tapi dari seberang telepon, pacarku ngotot katanya malah dicurigai kalo motornya colongan -___- kan konyol, terus yang memeriksa STNK tadi serius atau tidak?


Ya sudah kuputuskan kembali ke TKP tadi, sampai disana ditanyai macam-macam, aku jelaskan semuanya tanpa aku kurangi dan aku tambahi. Pak Polisinya sudah menyiapkan slip merahnya. Aku yang merasa tidak salah jadi kutanyakan, atas dasar apa ditilang? Pak Polisi menjawab katanya karena aku tidak mematuhi petugas, disuruh berhenti malah nyelonong pergi. Aku jelaskan saja meski sedikit emosi, bahwa tadi sudah melewati pemeriksaan dari polisi yang aku masih hafal wajahnya bahkan aku tunjuk orangnya. Pak Polisinya tetap ngotot dengan alasan karena gantian boncengan itu tidak boleh. Dan pacarku juga tetap ngotot untuk sudah berdamai saja. Ini kenapa semua pada ngotot ke aku? Mentang-mentang pada punya otot?

Debat dengan petugas pun berlangsung cukup pelik, adu argumentasi antara aku dan Pak Polisi yang mulai memasang muka galak tidak juga menemui titik terang. Hingga bertambah dengan polisi lain juga mulai ikut-ikutan, jadi aku dikeroyok nih? Mungkin kehabisan stok kesabaran Pak Polisinya akhirnya mengeluarkan juga kata-kata yang menghina kerudungku. Dalam hati aku terbahak, lucu rasanya jika aku memang salah ya silahkan monggo untuk menyalahkanku bukan malah menyalahkan kerudungku. Dari situ aku mulai paham, aku menang argumen satu kosong dengan Pak Polisi di depanku, terlihat dari Pak Polisinya sudah keluar jalur debat dan tidak logis lagi pembicaraannya K

Aku masih ingin maju membela diri, pacarku tetap keukeuh untuk mengakhiri “sudah sudah” hanya itu yang dia katakan padaku. Pak Polisi tetap ngotot menyalahkanku karena bergantian boncengan. Aku tetap pada pendirianku bahwa aku tidak salah, karena memang tidak bergantian boncengan tapi malah meninggalkan pacarku untuk berjalan kaki dan aku yang mengendarai motor dengan surat yang lengkap. Hingga tahap ini Pak Polisi sampai mengajakku buat berjabat tangan (bukan untuk berkenalan tapi untuk bersumpah kalo aku tidak salah) sambil bilang kalo aku salah nanti di jalan aku tidak akan selamat, dengan kata lain Pak Polisi menyumpahi aku akan mengalami kecelakaan. Dalam hati aku semakin bingung, bukankah yang seperti itu semua adalah kehendak Allah, terus kenapa polisi ini yang berhak menentukan aku akan mengalami kecelakaan?

Sudah kuulurkan tanganku hendak menyalami Pak Polisi. Tapi dicegah oleh pacarku yang langsung mengajakku untuk berdiskusi sendiri, katanya “sudah sudah” dalam hati aku begitu kecewa kenapa dia mempunyai sikap sepayah itu? Dan hanya bisa berkata sudah, yang memang dia pasrah menyerah dari awal. Baiklah aku ikut mengalah saja (mengalah bukan berarti mengakui kesalahan tapi dalam arti kata ini mengalah artinya ng-Allah atau ke Allah maksudnya adalah kukembalian semua kepada Allah yang Maha Mengatur). Toh yang mengurusi segala urusan pertilangan/peruangan adalah pacarku bukan aku. Ya silahkan saja, aku hanya bertanya pada Pak Polisi “ditilang karena apa Pak?” Pak Polisi tanpa melihatku karena sibuk menulisi slip merah menjawab “tidak punya SIM”.

The Power of Kepepet-ku kembali keluar, aku nyeletuk saja ke Pak Polisi “percuma Pak saya punya SIM mahal-mahal akhirnya ditilang juga”, Pak Polisinya menyahut “Mas-nya ini yang ditilang”.

Aku kembali terbahak dalam hati, ”baru pertama ini saya melihat pejalan kaki ditilang karena tidak punya SIM. Kalau bisa slip biru saja Pak”. Pak Polisi menjawab “Oke kalo slip biru denda maksimal ya!” sambil memberi lingkaran pada nominal satu juta. Aku menghampiri motor dan menyalakan motor, karena aku rasa aku sudah tidak ada urusan, yang kubela habis-habisan saja sudah nyerah untuk apa aku tetap mengurusi urusannya. Dari depan pos (yang sebenarnya adalah pos tiket masuk tempat wisata Kampung Rawa tapi dijadikan tempat operasi dadakan) pacarku kembali menanyaiku slip merah atau slip biru, aku jawab acuh terserah saja toh dia yang berurusan.


Kulirik slip merah yang ditulisi entah apa tulisannya karena memang yang terlihat hanya oret-oretan tidak jelas, lalu aku bertanya dalam hati 'ini surat tilang atau resep obat?' muncul juga pertanyaan 'jangan-jangan itu bukan Volisi tapi Dokter yang menyamar sebagai Volisi?' ahh membuat vusing saja, kuputuskan aku tidak harus menafsirkan tulisannya karena aku kuliah di keguruan bukan apoteker.

Setelah mengantongi slip merah dan STNK yang ditahan, aku boncengkan pacarku sampai di Jogja. Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti misuh-misuh ke pacarku (ingat, sekarang sudah jadi mantan). Kalo seperti itu kasusnya, yang bodoh sebenarnya siapa?


Berurusan dengan slip biru dan slip merah sebenarnya tidak hanya kali ini saja. Dulu saat aku akan pulang kampung juga pernah menemui operasi di tengah-tengah jalan hutan yang sepi. Belum juga masuk di jalan raya dan baru juga keluar dari kawasan UNNES sudah dicegat oleh begal siang hari. Dan celakanya saat itu aku masih belum punya SIM, dari situ aku tetap ngotot meminta slip biru karena memang aku tidak punya duit sepeserpun, hanya dua puluh ribu rupiah dalam dompet. Karena memang rencananya aku pulang kampung untuk mengambil uang. Dan yang teringat di otakku adalah saldo ATM bapakku yang mencapai tiga jeti, so pasti dari sini aku berani meminta slip biru saja meski dendanya adalah satu juta. Entah kenapa aku lebih ikhlas memberikan uang pada kas negara bukannya pada petugas, padahal kalo petugas tak perlu sampai jutaan beres di tempat.

Pak Polisi yang tetap ngotot bahkan sampai membentak-bentakku katanya aku pasti akan datang mencari rumahnya untuk minta maaf dan berdamai. Aku tetap pada keinginanku meminta slip biru, karena mau bagaimana lagi aku benar-benar tidak ada duit. Akhirnya polisi yang lain menghampiriku dan mengajakku bisik-bisik tetangga berdua, dia memintaku untuk tidak membantah polisi dan aku dipersilahkan untuk melakukan perjalanan. Aku benar-benar terima kasih lahir batin pada Pak Polisi yang satu ini, yang sudah memahami kantong anak kost ngenesnya seperti apa. Berbeda dari kisah pertama yang berakhir bencana, kisah yang ini berakhir manis dengan aku berteriak-teriak kegirangan sudah bisa lolos dari tilangan J

Kisahku bersama Pak Polisi masih belum habis sebenarnya jadi aku sambung di tulisanku selanjutnya yah.

To Be Continued


Thursday, May 28, 2015

Merebah Tanah

Terkadang aku sangat ingin menjadi orang yang pendendam. Ketika hati porak-poranda tersapu makian dan cacian dari orang lain, ingin sekali kuludahi wajah orang tersebut lalu pergi dengan menggenggam api. Namun semua tau aku lemah dalam hal itu, hingga telah jatuh pun malah semakin terinjak. Aku benci menjadi orang begitu murah memberi maaf pada orang lain. Begitu gampang melupakan luka yang digores baik dalam maupun luar. Begitu mudah mengelupasi sakit lapis sakit.


Siang itu ku tata kembali hatiku pada tempatnya, meredam segala gundah yang sempat meracuni hingga terbawa ke lorong-lorong antah brantah yang paling tak tersapa cahaya. Kutarik nafas dalam sekedar mengambil oksigen terbaik untuk menenangkan diri. Siang itu, kembali aku dihampiri untuk menyelesaikan urusan yang telah berminggu-minggu tak selesai. Kamu yang kulihat dengan wajah kuyu menyapa kedua orang tuaku, begitu ramah meski aku tau dalam hati kamu merasa bersalah.

Tak ingin lama-lama menyiksa perasaan bersalahmu jadi kugandeng saja kamu, melesat pergi di belakang boncenganmu. Dengan membawa urusan yang terbongkar tanpa bisa terpasang. Aku diam sambil menyiapkan segala keluh kesah yang akan aku muntahkan pada si pembuat masalah. Aku hanya diam di belakang boncenganmu, kamu juga hanya memaku sambil menarik tanganku berharap aku mau melingkarkan tanganku pada perutmu. Maaf sayang, aku bukan perempuan manja yang terbiasa bergelayut mesra seperti mantan-mantanmu. Mungkin terasa merobot aku ikuti saja maumu dengan sedikit kaku. Tak terbiasa.

Siang begitu terik, sampai di tempat yang kita tuju. Keadaan begitu ramai, bising melebihi pasar dan sumpek terdesak sinar matahari hingga keringat membanjir. Dalam hati aku bersyukur bukan perempuan dengan gincu dan tebaran bedak memenuhi muka hingga putih melebihi mayat pucat karena jantung yang berhenti memompa darah keseluruh tubuhnya. Jadi aku tidak begitu kebingungan memikirkan bedak yang luntur, yang dapat membuat muka cemong-cemong belang tak karuan.

Kembali dihadapkan pada stasiun kesabaran dan aku harus menaiki lokomotif paling belakang. Baiklah sepertinya itu menjadi keputusan termenyakitkan selanjutnya, kuikuti saja mau si membuat masalah ini. Kutengok di sampingku, kamu begitu layu sambil merebahkan kepalamu di pundakku. Aku yang menghiburmu, melagu seceria mungkin sambil sesekali melucu. Kamu tertawa atau sedang pura-pura tertawa, aku juga tidak pernah mengerti. Yang jelas aku tidak ingin melihat mendung di wajahmu, jadi kuputuskan aku yang mengambil alih peran penyanyi pelawak penghibur. Meski sesungguhnya aku juga lelah, juga marah, tapi tak apalah harus aku yang merengkuhmu seperti biasa-biasanya.

Hal ini membuatku ingat, akan masa yang bagitu banyak memberiku luka. Saat itu tangis yang kutahan pada akhirnya tidak jatuh juga, itu karena sudah kamu dahului. Iya kamu dulu yang menangis. Kupikir, tidak akan pernah selesai jika kita sama-sama menghanyutkan air mata yang entah bermuara di mana. Jadi aku mengalah, ku usap pipimu sambil memberikan begitu banyak kata-kata penenang. Aku yang dalam beberapa detik lalu ingin berubah menjadi pohon bambu, tiba-tiba harus menjadi pohon oak yang rindang, teduh dan harus kuat menahan angin beliung sekalipun.


Malam merambat turun, aku tersenyum getir memikirkan itu, aku bersamamu jadi terbiasa mengambil peran sebagai si penguat. Walau terkadang aku begitu ingin menjadi perempuan yang lemah saja. Yang akan menyandar pada pundakmu saat benar-benar lelah. Namun sepertinya jika aku seperti itu, maka kita berdua yang akan jatuh. Seperti saat ini, saat si pembuat masalah dan pasangannya memuntahkan segala caci maki. Segala bentakan di depan wajahku bagai topan yang menghantam hingga akarku. Nanar aku menatap lidah-lidah api yang menjulur-julur hendak membakar dedaunanku dan ranting-rantingku, namun aku tetap kokoh tak goyah sedikit pun. Bahkan aku mampu melantahkan balik setiap makian yang menghujaniku. Di sampingku, kamu hanya diam entah apa yang ada dalam pikiranmu, sebagai orang yang harusnya menjagaku dan melindungiku kamu hanya mampu diam. Baiklah aku yang menghadapi semuanya sendiri, aku tau memang harus aku.

Aku tetap kokoh, satu orang, dua orang bertambah pada beberapa orang, seolah menatapku seperti begitu ingin merobohkanku. Aku tetap kokoh, menahan berbagai terpaan dari segala sudut. Hingga kulihat orang-orang tersebut diam sendiri, mungkin lelah. Aku pasrah, bukan karena menang atau bukan juga karena kalah. Tapi memang tak lagi ada yang bisa aku lakukan.

Malam melarut, semakin berkerut-kerut dan kamu pun beringsut surut dengan mata meredup. Aku menatapmu cemberut, ingin protes kenapa kamu begitu lemah Sayang? Aku sejak dulu berharap lebih padamu, memandang kamu masa depanku. Tapi kamu ternyata sekedar meramu dedaunanku. Aku kecewa, melebihi apapun. Sekokoh apapun aku, aku tetap tumbang karena ternyata kamu sendiri yang seolah menebangku. 

Dalam beberapa detik saja aku telah jatuh, merebah tanah. Apa kamu sengaja Sayang? Tapi kulihat kamu bagitu menyayangiku, mungkin kamu tidak sengaja. Iya kamu tidak menebangku, hanya saja kamu meracuniku hingga akarku mati tak mampu menopang kokoh tubuhku. Aku tidak lagi sama atau kita yang memang telah menemukan perbedaan kita, yang begitu tidak cocok hingga sama-sama meracuni dari kita masing-masing.

Kamu tetap diam, namun kulihat dari wajahmu kamu juga sama, merasa sakit seperti yang kurasa. Jadi kita sama-sama jatuh? Tolong jangan dulu sayang, aku ingin diantar pulang. Setidaknya biarkan aku seperti siang tadi berada di belakang boncenganmu. Kamu diam, aku lebih diam, aku sendiri sakit. Lebih tepatnya kecewa. Kecewa pada sifatmu, kecewa pada keadaan yang begitu menamparku, meracuniku, menjatuhkanku pada tanah yang begitu busuk. Mematikan setiap sendi benih-benih bintang yang pernah kuterbangkan hanya padamu. Aku tak lagi sama, aku tak lagi memiliki teduh untukmu, karena aku telah jatuh, bukan karena mereka, tapi karena kamu sendiri yang menjatuhkanku. Aku bisa apa? Lapuk?


Sunday, May 10, 2015

Radio Dalam Kepalaku

Pulang, menjadi satu kata yang begitu penuh arti buatku. Sambil memandangi sudut lemari yang di dalamnya sudah kosong tanpa isi, karena memang sudah berpindah semua dalam dua koper yang berukuran cukup besar. Aku duduk di samping tempat tidur sambil memilin-milin seprainya yang putih bersih karena selalu rutin dicuci seminggu sekali. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikiranku.

Dua jam aku menunggu penjemputanku, tapi aku rasa memang aku yang berlabihan dalam menunggu. Karena memang mereka mengabariku akan menjemputku sore nanti selepas Isyak tapi sepagi ini aku sudah selesai bersiap-siap. Aku rasa memang sejak kecil aku adalah orang tergesa-gesa, aku lebih baik menungu daripada membuat orang lain menunggu. Meskipun sebenarnya aku paling tidak suka menunggu tapi aku adalah orang yang paling sabar jika disuruh menunggu. Entahlah, tapi dari situ aku teringat kata-kata dari nenekku “mending nyegat ketimbang kelewat”.

Bosan duduk mematung di pinggiran tempat tidur aku beralih duduk di bawah sambil memegangi buku dengan sampul coklat yang diberikan oleh Ayahku. Kubuka halaman pertamanya, hanya terdapat satu bulatan hitam yang tidak jelas juga bercak-bercak darah. Lalu bergantian aku melihat pergelangan tanganku, yang karena inilah bercak darah tersebut ada.

Aku sangat paham sekali seluruh isi dari buku ini. Mulai dari halaman pertama sampai saat ini hampir penuh aku sendiri yang mengisi buku sampul coklat. Kuanggap buku ini adalah buku harianku, walau pada awalnya aku tidak punya selera sama sekali untuk menulis.

Membuka halaman demi halaman membuatku kembali mengingat awal yang bagitu muram pada suatu siang jauh sebelum aku berada di sini. Pada saat itu entah sudah kesekian kalinya aku gagal diterima menjadi seorang penyiar radio. Aneh mungkin bagi kebanyakan orang, disaat orang lain bercita-cita tinggi dan besar tapi aku hanya memiliki satu cita-cita yaitu sebagai penyiar radio. Tetapi ternyata cita-cita sesederhana itu saja aku tidak dapat menggapainya meskipun aku sendiri sudah mengambil kuliah penyiaran di salah satu Universitas Swasta yang terbaik di Kota Solo.


Mungkin dari situlah awal mula aku berteman dengan suara-suara yang aku temui sepulang dari interview di Stasiun Radio di kota kecilku. Aku berpikir dengan mendaftar kerja di radio kecil di kota tinggalku yang juga cukup kecil dapat menjadi awal yang baik untukku memulai menjadi penyiar, karena aku rasa persaingannya tidak terlalu ketat dan dengan begitu artinya peluangku untuk diterima cukup besar. Tetapi ternyata bahkan untuk lingkup yang kecil saja aku tidak bisa diterima, aku benar-benar kecewa.

Sambil memeluk berkas-berkas pendaftaran dalam satu map berwarna merah jambu aku berjalan dengan tatapan kosong. Bukanya menyegat angkot, aku malah memilih untuk terus berjalan sambil berpikir lalu diakhiri dengan menghela nafas dan menghembuskannya seolah itu adalah hembusan terakhirku. Saat itulah suara itu pertama kali datang, keluar dari sudut map yang aku peluk. “Kamu benar-benar tidak kompeten, cuma disuruh bicara di radio saja tidak becus” suara itu benar-benar keras, aku melihat orang di sekitarku apakah mereka juga mendengar suara itu atau tidak, tetapi aku melihat mereka mengacuhkanku. Lalu seperti mengerti jalan pikiranku suara tersebut kembali menyahut “tidak ada satupun dari mereka yang mendengarku, hanya kamu yang dapat mendengarku.” Tanpa henti suara itu terus-terusan berbicara, “Kamu tahu kenapa? Karena aku adalah suara dari kegagalanmu. Mereka bukan orang yang gagal jadi mereka tidak dapat mendengarku.” Aku rasa aku sudah gila mendengar map merah jambu dapat berbicara, jadi tanpa pikir panjang kubuang map tersebut hingga berserakan isinya. Orang-orang disekitarku melihatku, mereka pasti berpikir kalau aku membuang sampah sembarangan. Sebenarnya aku cukup malu tapi aku tidak ingin menyentuh map aneh itu lagi, jadi aku berlalu saja melanjutkan perjalanan.

Sampai rumah sudah cukup larut, tak kuhiraukan pertanyaan ibuku dan adik perempuanku, Arini yang cerewet menanyaiku macam-macam. Meskipun mereka pastinya sudah tahu jawabannya karena bukan sekali dua kali aku tidak diterima kerja menjadi penyiar tetapi mereka tetap saja menanyaiku dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan ingin sekali aku masuk kamar lalu mengunci pintunya dari dalam, tetapi teringat bahwa kamar tersebut bukan hanya kamarku melainkan juga kamar adikku, membuatku semakin sesak. Aku hanya diam sambil kuputuskan masuk ke kamar mandi belakang. Duduk di toilet duduk meskipun aku tidak merasa ingin buang air besar.

Aku hanya ingin ketenangan, kalau aku melilih ke kamar tidur pasti kutemui lagi Arini yang biasanya jam segini adalah jadwalnya telpon-telponan dengan pacarnya, membuatku begitu muak mendengarkan dia akan berbicara seolah dia seperti Upik Abu yang seharian harus bekerja, dan tentu saja aku seolah kakak tiri yang seharian hanya ongkang-ongkang nonton TV. Aku dan Arini memang hanya terpaut satu tahun, meskipun begitu sejak dulu aku tidak pernah akrab dengannya. Arini adalah orang yang sangat suka mencari perhatian dan kedua orang tuaku memang memanjakan Arini. Bahkan aku sering merasa Arini lebih disukai oleh orang tuaku ketimbang aku. Karena itu saat di rumah aku lebih banyak diam.

Masuk ke kamar tidur aku melihat Arini sudah tidur di kasurnya sendiri. Aku berpikir tumben sekali dia tidak telponan dengan pacarnya. Akupun juga merebahkan diri di kasurku, melihat langit-langit putih diterangi lampu tidur yang redup. Aku begitu lelah seharian ini, “Memang kamu lelah kenapa, Mira?” dan suara yang entah dari mana itu muncul lagi, tapi kali ini suara itu terdengar seperti suara perempuan. Aku melihat ke arah kasur Arini yang diatasnya Arini tetap tertidur dengan mata tertutup dan mulut yang juga terkatup. Aku rasa itu bukan suara Arini, “Hahaha... aku kan sudah bilang, kalau aku adalah suara dari kegagalanmu, percuma kamu mencariku.” Aku hanya diam mendengarkan suara tersebut, “Anggap saja aku seperti radio dalam kepalamu sendiri, selama kamu terus-terusan gagal maka aku juga akan terus kamu dengar.”

Aku melihat ke arah Arini berharap dia bangun, karena biasanya mendengar suara sekecil apapun dia pasti akan terusik dari tidurnya, “Dia tidak akan bangun, dia sangat kelelahan bekerja seharian ini. Tidak seperti kamu yang hanya pengangguran Mira.” Suara itu semakin keras dan jelas di telingaku, kutengok kanan kiri berharap menemukan seseorang yang bersembunyi di kamarku. “Bodoh sekali kau Mira, padahal sudah kujelaskan siapa aku. Tetapi sepertinya percuma menjelaskan pada orang bodoh seperti kamu. Pantas saja tidak ada yang menyukaimu, bahkan orang tuamu juga lebih sayang pada adikmu.” Kututup kedua telingaku, berharap tidak mendengar suara-suara aneh itu lagi dan sepertinya suara itu memang sudah tidak terdengar. Hari ini benar-benar aneh dan kucoba menutup mata memulai untuk tidur, tapi sepertinya tidak begitu mudah karena aku terus memikirkan suara-suara aneh itu.

Keesokan harinya aku terbangun dengan kantong mata yang begitu hitam, kulihat kasur Arini sudah tertata rapi ditinggal penguhuninya. Ibuku masuk sambil melihatku dengan muka yang begitu masam, aku sudah tau apa yang selanjutnya terjadi. Omelan yang begitu pedas keluar dari mulut ibuku, keluar juga berbagai macam umpatan yang tidak sedap didengar. Lalu yang paling tidak aku sukai adalah katika dia kemudian mulai membanding-bandingkanku dengan Arini, dan tak kusangka suara aneh itu muncul lagi “Betul yang dikatakan ibumu Mira, kamu benar-benar tidak berguna. Seharusnya kamu tidak pernah dilahirkan.”

“Seharusnya kamu mati sejak dulu saat kamu mulai kejang-kejang waktu bayi Mira. Karena kamu penyakitan ibumu jadi kerepotan mengurusmu. Karena sibuk mengurusmu ibumu tidak jadi diterima sebagai Pegawai Negeri. Lihat Mira, ibumu saja menyesal sudah melahirkanmu. Masih bayi saja kamu sudah sangat merepotkan, apalagi sekarang. Kamu seharusnya mati Mira, kenapa kamu tidak bunuh diri?”

“Diam!” satu kata yang keluar dari mulutku dengan begitu keras, di depan pintu ibuku dengan wajah merah padam menghampiriku lalu menamparku. Aku hanya diam berusaha mengurai apa yang terjadi. Lalu ibuku pergi dari kamar sambil membanting pintu, aku tetap hanya diam. Sekarang kepalaku seolah memang seperti ada radio yang tidak menyiarkan apa-apa, hanya kemresek yang terdengar. Apa karena tamparan tadi radionya rusak?

“Bodoh sekali berpikir seperti itu.” Suara itu muncul lagi, “Seharusnya kamu sadar, dari kejadian ini kamu bahkan sudah gagal sebagai anak. Mira Mira, bukankah lebih baik kamu bunuh diri saja?” kututup telingaku, tapi sepertinya itu tidak berefek apapun. Suara itu tetap terdengar, “Akan kuajarkan Mira, bagaimana kalau kau ambil pisau lalu tusukan ke dadamu sendiri. Tapi kamu kan orang yang tidak kuat sakit ya? Hemmmm.... bagaimana kalau gantung diri saja, sakitnya tidak akan terlalu terasa? Atau minum racun tikus, ibumu menyimpannya dilemari gudang.”

Peluh bercucuran di dahiku, aku tutup telingaku tapi kedaaan tidak pernah berubah, berhari-hari suara itu terus menyuruhku untuk bunuh diri lengkap dengan bagaimana caranya aku bisa mati. Hingga pada suatu malam, aku benar-benar mengambil gunting. “Bunuh dia Mira, bukannya dia adalah pengganggu dalam hidupmu. Kalau dia mati, kamu tidak akan pernah dibanding-bandingkan dengan siapapun lagi. Bunuh saja bodoh! Lihat dia, tikam bagian jantungnya! Cepat bodoh!” suara itu menyuruhku untuk membunuh Arini, “Cepat atau kamu yang akan dibunuh dia, dia tidak ingin kamu ada. Cepat bunuh dia!”

Dan akupun melompat ke atas Arini, dia memekik kaget tapi sebelum dia memberontak atau berteriak aku segera menusuk perut Arini, dia menjerit kesakitan. Ke dua orang tuaku terlihat kaget di depan pintu dan mendekati tubuh Arini yang bersimbah darah. Aku menjatuhkan gunting yang sudah berlumuran darah. Diam memandangi semua yang sibuk menolong Arini, juga ketika Ayah menggoncang-goncang bahuku, aku tetap hanya diam. Radio dalam kepalaku kembali hanya kemresek, tapi aku tahu itu hanya sesaat, dan sesaat kemudia muncul lagi suara itu. Aku pikir suara itu akan senang dan memujiku tetapi tidak, “Bodoh sekali kamu, membunuh saja tidak bisa. Menjadi pembunuh saja gagal. Lihat dia, dia tidak akan mati hanya karena tusukan kecil di perut. Setelah dijahit beberapa jahitan dia sudah akan sembuh. Dan dia akan menjadi pengganggumu lagi. Bodoh!”


Air mataku menetes mengingatnya, setelah kejadian itu aku memang dikirim ke rumah sakit ini. Jiwaku sakit, jadi aku harus berada di sini. Menjalani perawatan selama 3 tahun, berperang melawan suara-suara yang terus mencaci maki, mencemooh dan menyuruhku untuk bunuh diri. Hingga sampai pada hari ini aku dinyatakan sembuh setidaknya aku sudah 2 kali mencoba bunuh diri, yang pertama dengan mencoba meminum seluruh obat milik pasien lain, dan yang kedua adalah saat aku mencuri cermin milik dokter wanita yang baru ditugaskan di rumah sakit ini, aku mencoba menggoreskan cermin yang telah kupecahkan tersebut ke pergelanganku. Namun usaha itu gagal karena selalu ketahuan oleh suster.

Dan hari ini aku telah diperbolehkan pulang. Pulang, menjadi kata yang begitu berarti. Aku akan kembali ke rumah, aku akan bertemu dengan keluargaku, aku akan hidup dengan normal lagi. Setelah radio itu tidak lagi berada di kepalaku, tapi apakah aku akan diterima oleh mereka? Jawaban itu tidak kutemukan bahkan setelah hari kembali berganti malam.

Seorang dokter laki-laki dengan kacamata masuk diikuti oleh seorang suster, “Kenapa seharian kamu tidak keluar dari kamar?” suara dokter tersebut ternyata begitu halus menanyaiku, lalu sambil tersenyum aku balik bertanya, “Apakah keluargaku sudah menjemputku?” dokter itu balas tersenyum kepadaku dan berkata “Kamu baru tiga hari di sini, apakah dalam tiga hari kamu sudah bisa sembuh?” Aku ingin bertanya lagi, tapi mulutku begitu berat setelah suster menyuntikkan sesuatu di lenganku. Lalu gantian mataku yang memberat dan tiba-tiba gelap.



Semarang, 10 Mei 2015