Pulang,
menjadi satu kata yang begitu penuh arti buatku. Sambil memandangi sudut lemari
yang di dalamnya sudah kosong tanpa isi, karena memang sudah berpindah semua
dalam dua koper yang berukuran cukup besar. Aku duduk di samping tempat tidur
sambil memilin-milin seprainya yang putih bersih karena selalu rutin dicuci
seminggu sekali. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikiranku.
Dua
jam aku menunggu penjemputanku, tapi aku rasa memang aku yang berlabihan dalam
menunggu. Karena memang mereka mengabariku akan menjemputku sore nanti selepas
Isyak tapi sepagi ini aku sudah selesai bersiap-siap. Aku rasa memang sejak
kecil aku adalah orang tergesa-gesa, aku lebih baik menungu daripada membuat
orang lain menunggu. Meskipun sebenarnya aku paling tidak suka menunggu tapi
aku adalah orang yang paling sabar jika disuruh menunggu. Entahlah, tapi dari
situ aku teringat kata-kata dari nenekku “mending nyegat ketimbang kelewat”.
Bosan
duduk mematung di pinggiran tempat tidur aku beralih duduk di bawah sambil
memegangi buku dengan sampul coklat yang diberikan oleh Ayahku. Kubuka halaman
pertamanya, hanya terdapat satu bulatan hitam yang tidak jelas juga
bercak-bercak darah. Lalu bergantian aku melihat pergelangan tanganku, yang
karena inilah bercak darah tersebut ada.
Aku
sangat paham sekali seluruh isi dari buku ini. Mulai dari halaman pertama
sampai saat ini hampir penuh aku sendiri yang mengisi buku sampul coklat.
Kuanggap buku ini adalah buku harianku, walau pada awalnya aku tidak punya
selera sama sekali untuk menulis.
Membuka
halaman demi halaman membuatku kembali mengingat awal yang bagitu muram pada
suatu siang jauh sebelum aku berada di sini. Pada saat itu entah sudah kesekian
kalinya aku gagal diterima menjadi seorang penyiar radio. Aneh mungkin bagi
kebanyakan orang, disaat orang lain bercita-cita tinggi dan besar tapi aku
hanya memiliki satu cita-cita yaitu sebagai penyiar radio. Tetapi ternyata
cita-cita sesederhana itu saja aku tidak dapat menggapainya meskipun aku
sendiri sudah mengambil kuliah penyiaran di salah satu Universitas Swasta yang
terbaik di Kota Solo.
Mungkin
dari situlah awal mula aku berteman dengan suara-suara yang aku temui sepulang
dari interview di Stasiun Radio di kota kecilku. Aku berpikir dengan mendaftar
kerja di radio kecil di kota tinggalku yang juga cukup kecil dapat menjadi awal
yang baik untukku memulai menjadi penyiar, karena aku rasa persaingannya tidak
terlalu ketat dan dengan begitu artinya peluangku untuk diterima cukup besar.
Tetapi ternyata bahkan untuk lingkup yang kecil saja aku tidak bisa diterima, aku
benar-benar kecewa.
Sambil
memeluk berkas-berkas pendaftaran dalam satu map berwarna merah jambu aku
berjalan dengan tatapan kosong. Bukanya menyegat angkot, aku malah memilih
untuk terus berjalan sambil berpikir lalu diakhiri dengan menghela nafas dan
menghembuskannya seolah itu adalah hembusan terakhirku. Saat itulah suara itu
pertama kali datang, keluar dari sudut map yang aku peluk. “Kamu benar-benar
tidak kompeten, cuma disuruh bicara di radio saja tidak becus” suara itu
benar-benar keras, aku melihat orang di sekitarku apakah mereka juga mendengar
suara itu atau tidak, tetapi aku melihat mereka mengacuhkanku. Lalu seperti
mengerti jalan pikiranku suara tersebut kembali menyahut “tidak ada satupun
dari mereka yang mendengarku, hanya kamu yang dapat mendengarku.” Tanpa henti
suara itu terus-terusan berbicara, “Kamu tahu kenapa? Karena aku adalah suara
dari kegagalanmu. Mereka bukan orang yang gagal jadi mereka tidak dapat
mendengarku.” Aku rasa aku sudah gila mendengar map merah jambu dapat
berbicara, jadi tanpa pikir panjang kubuang map tersebut hingga berserakan
isinya. Orang-orang disekitarku melihatku, mereka pasti berpikir kalau aku
membuang sampah sembarangan. Sebenarnya aku cukup malu tapi aku tidak ingin
menyentuh map aneh itu lagi, jadi aku berlalu saja melanjutkan perjalanan.
Sampai
rumah sudah cukup larut, tak kuhiraukan pertanyaan ibuku dan adik perempuanku,
Arini yang cerewet menanyaiku macam-macam. Meskipun mereka pastinya sudah tahu
jawabannya karena bukan sekali dua kali aku tidak diterima kerja menjadi
penyiar tetapi mereka tetap saja menanyaiku dengan pertanyaan yang sama.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan ingin sekali aku masuk kamar lalu
mengunci pintunya dari dalam, tetapi teringat bahwa kamar tersebut bukan hanya
kamarku melainkan juga kamar adikku, membuatku semakin sesak. Aku hanya diam
sambil kuputuskan masuk ke kamar mandi belakang. Duduk di toilet duduk meskipun
aku tidak merasa ingin buang air besar.
Aku
hanya ingin ketenangan, kalau aku melilih ke kamar tidur pasti kutemui lagi
Arini yang biasanya jam segini adalah jadwalnya telpon-telponan dengan
pacarnya, membuatku begitu muak mendengarkan dia akan berbicara seolah dia
seperti Upik Abu yang seharian harus bekerja, dan tentu saja aku seolah kakak
tiri yang seharian hanya ongkang-ongkang nonton TV. Aku dan Arini memang hanya
terpaut satu tahun, meskipun begitu sejak dulu aku tidak pernah akrab
dengannya. Arini adalah orang yang sangat suka mencari perhatian dan kedua
orang tuaku memang memanjakan Arini. Bahkan aku sering merasa Arini lebih
disukai oleh orang tuaku ketimbang aku. Karena itu saat di rumah aku lebih
banyak diam.
Masuk
ke kamar tidur aku melihat Arini sudah tidur di kasurnya sendiri. Aku berpikir
tumben sekali dia tidak telponan dengan pacarnya. Akupun juga merebahkan diri
di kasurku, melihat langit-langit putih diterangi lampu tidur yang redup. Aku
begitu lelah seharian ini, “Memang kamu lelah kenapa, Mira?” dan suara yang
entah dari mana itu muncul lagi, tapi kali ini suara itu terdengar seperti
suara perempuan. Aku melihat ke arah kasur Arini yang diatasnya Arini tetap
tertidur dengan mata tertutup dan mulut yang juga terkatup. Aku rasa itu bukan
suara Arini, “Hahaha... aku kan sudah bilang, kalau aku adalah suara dari
kegagalanmu, percuma kamu mencariku.” Aku hanya diam mendengarkan suara
tersebut, “Anggap saja aku seperti radio dalam kepalamu sendiri, selama kamu
terus-terusan gagal maka aku juga akan terus kamu dengar.”
Aku
melihat ke arah Arini berharap dia bangun, karena biasanya mendengar suara
sekecil apapun dia pasti akan terusik dari tidurnya, “Dia tidak akan bangun,
dia sangat kelelahan bekerja seharian ini. Tidak seperti kamu yang hanya
pengangguran Mira.” Suara itu semakin keras dan jelas di telingaku, kutengok
kanan kiri berharap menemukan seseorang yang bersembunyi di kamarku. “Bodoh
sekali kau Mira, padahal sudah kujelaskan siapa aku. Tetapi sepertinya percuma
menjelaskan pada orang bodoh seperti kamu. Pantas saja tidak ada yang menyukaimu,
bahkan orang tuamu juga lebih sayang pada adikmu.” Kututup kedua telingaku,
berharap tidak mendengar suara-suara aneh itu lagi dan sepertinya suara itu
memang sudah tidak terdengar. Hari ini benar-benar aneh dan kucoba menutup mata
memulai untuk tidur, tapi sepertinya tidak begitu mudah karena aku terus
memikirkan suara-suara aneh itu.
Keesokan
harinya aku terbangun dengan kantong mata yang begitu hitam, kulihat kasur
Arini sudah tertata rapi ditinggal penguhuninya. Ibuku masuk sambil melihatku dengan
muka yang begitu masam, aku sudah tau apa yang selanjutnya terjadi. Omelan yang
begitu pedas keluar dari mulut ibuku, keluar juga berbagai macam umpatan yang
tidak sedap didengar. Lalu yang paling tidak aku sukai adalah katika dia
kemudian mulai membanding-bandingkanku dengan Arini, dan tak kusangka suara
aneh itu muncul lagi “Betul yang dikatakan ibumu Mira, kamu benar-benar tidak
berguna. Seharusnya kamu tidak pernah dilahirkan.”
“Seharusnya
kamu mati sejak dulu saat kamu mulai kejang-kejang waktu bayi Mira. Karena kamu
penyakitan ibumu jadi kerepotan mengurusmu. Karena sibuk mengurusmu ibumu tidak
jadi diterima sebagai Pegawai Negeri. Lihat Mira, ibumu saja menyesal sudah
melahirkanmu. Masih bayi saja kamu sudah sangat merepotkan, apalagi sekarang. Kamu
seharusnya mati Mira, kenapa kamu tidak bunuh diri?”
“Diam!”
satu kata yang keluar dari mulutku dengan begitu keras, di depan pintu ibuku
dengan wajah merah padam menghampiriku lalu menamparku. Aku hanya diam berusaha
mengurai apa yang terjadi. Lalu ibuku pergi dari kamar sambil membanting pintu,
aku tetap hanya diam. Sekarang kepalaku seolah memang seperti ada radio yang
tidak menyiarkan apa-apa, hanya kemresek yang terdengar. Apa karena tamparan
tadi radionya rusak?
“Bodoh
sekali berpikir seperti itu.” Suara itu muncul lagi, “Seharusnya kamu sadar,
dari kejadian ini kamu bahkan sudah gagal sebagai anak. Mira Mira, bukankah
lebih baik kamu bunuh diri saja?” kututup telingaku, tapi sepertinya itu tidak
berefek apapun. Suara itu tetap terdengar, “Akan kuajarkan Mira, bagaimana
kalau kau ambil pisau lalu tusukan ke dadamu sendiri. Tapi kamu kan orang yang
tidak kuat sakit ya? Hemmmm.... bagaimana kalau gantung diri saja, sakitnya
tidak akan terlalu terasa? Atau minum racun tikus, ibumu menyimpannya dilemari
gudang.”
Peluh
bercucuran di dahiku, aku tutup telingaku tapi kedaaan tidak pernah berubah,
berhari-hari suara itu terus menyuruhku untuk bunuh diri lengkap dengan
bagaimana caranya aku bisa mati. Hingga pada suatu malam, aku benar-benar
mengambil gunting. “Bunuh dia Mira, bukannya dia adalah pengganggu dalam
hidupmu. Kalau dia mati, kamu tidak akan pernah dibanding-bandingkan dengan
siapapun lagi. Bunuh saja bodoh! Lihat dia, tikam bagian jantungnya! Cepat
bodoh!” suara itu menyuruhku untuk membunuh Arini, “Cepat atau kamu yang akan
dibunuh dia, dia tidak ingin kamu ada. Cepat bunuh dia!”
Dan
akupun melompat ke atas Arini, dia memekik kaget tapi sebelum dia memberontak
atau berteriak aku segera menusuk perut Arini, dia menjerit kesakitan. Ke dua
orang tuaku terlihat kaget di depan pintu dan mendekati tubuh Arini yang
bersimbah darah. Aku menjatuhkan gunting yang sudah berlumuran darah. Diam
memandangi semua yang sibuk menolong Arini, juga ketika Ayah
menggoncang-goncang bahuku, aku tetap hanya diam. Radio dalam kepalaku kembali
hanya kemresek, tapi aku tahu itu hanya sesaat, dan sesaat kemudia muncul lagi
suara itu. Aku pikir suara itu akan senang dan memujiku tetapi tidak, “Bodoh
sekali kamu, membunuh saja tidak bisa. Menjadi pembunuh saja gagal. Lihat dia,
dia tidak akan mati hanya karena tusukan kecil di perut. Setelah dijahit
beberapa jahitan dia sudah akan sembuh. Dan dia akan menjadi pengganggumu lagi.
Bodoh!”
Air
mataku menetes mengingatnya, setelah kejadian itu aku memang dikirim ke rumah sakit
ini. Jiwaku sakit, jadi aku harus berada di sini. Menjalani perawatan selama 3
tahun, berperang melawan suara-suara yang terus mencaci maki, mencemooh dan
menyuruhku untuk bunuh diri. Hingga sampai pada hari ini aku dinyatakan sembuh
setidaknya aku sudah 2 kali mencoba bunuh diri, yang pertama dengan mencoba
meminum seluruh obat milik pasien lain, dan yang kedua adalah saat aku mencuri
cermin milik dokter wanita yang baru ditugaskan di rumah sakit ini, aku mencoba
menggoreskan cermin yang telah kupecahkan tersebut ke pergelanganku. Namun
usaha itu gagal karena selalu ketahuan oleh suster.
Dan
hari ini aku telah diperbolehkan pulang. Pulang, menjadi kata yang begitu
berarti. Aku akan kembali ke rumah, aku akan bertemu dengan keluargaku, aku
akan hidup dengan normal lagi. Setelah radio itu tidak lagi berada di kepalaku,
tapi apakah aku akan diterima oleh mereka? Jawaban itu tidak kutemukan bahkan setelah hari kembali berganti malam.
Seorang
dokter laki-laki dengan kacamata masuk diikuti oleh seorang suster, “Kenapa seharian
kamu tidak keluar dari kamar?” suara dokter tersebut ternyata begitu halus
menanyaiku, lalu sambil tersenyum aku balik bertanya, “Apakah keluargaku
sudah menjemputku?” dokter itu balas tersenyum kepadaku dan berkata “Kamu baru
tiga hari di sini, apakah dalam tiga hari kamu sudah bisa sembuh?” Aku ingin
bertanya lagi, tapi mulutku begitu berat setelah suster menyuntikkan sesuatu di
lenganku. Lalu gantian mataku yang memberat dan tiba-tiba gelap.
Semarang, 10 Mei 2015