Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Tuesday, April 29, 2014

Berteman Kopi Aku Berbagi Mimpi


Kopi, ketika rasa pahitnya menyakiti lambungku
Ketika pikir yang ku ukir tak jua menggenapi tugas sejarahku
Ketika pagi menyapih sepi dengan suara detik jam dinding
Yang surut termakan angin atau mungkin dingin
Karena pagi menyusup begitu tiba-tiba
Meringkus malam yang kelam
Menjadikan pagi semakin pucat pasi
Akupun merasakannya
Karena bukan yang pertama
Ditingkahi kopi dalam seplastik kopi bersedotan duri
Dan pagi ini berteman kopi aku berbagi mimpi


Pukul 03,33
Semarang, 28 April 2014


Monday, April 28, 2014

Ombak Banyu



Terasa mati dalam cengkraman hiruk-pikuk gemerlap malam yang mengukungku untuk mendekapnya. Handuk kecil kumal berbau keringatku, yang setiap malam menyeka tiap tetes air dari kerja kerasku. Lampu-lampu gemerlap merah, biru, kuning sampai entah warna yang tak begitu bernama saling bergantian berputar. Memberikan semarak pada wahana permainan dimana tempatku mengais rupiah demi rupiah. Mereka menyebutnya Ombak Banyu, aku sendiri tidak begitu paham bagaimana menjelaskannya. Salah satu wahana permainan yang mengisi Pasar Malam ini tergolong masih tradisional. Karena tanpa bantuan mesin bermotor, hanya dengan bertenaga manusia dalam menggerakkan permainan ini. Kami bersama-sama mendorong memutar agar Ombak Banyu dapat berputar, dengan banyaknya orang-orang yang menaikinya sudah jelas dibutuhkan tenaga ekstra.


Sudah sekitar pukul dua pagi, pasar malam sudah semakin sepi. Beberapa teman yang juga bekerja pada pasar malam ini sudah terlelap terbuai mimpi dalam rumah-rumahan triplek sekali jadi yang mereka buat sendiri. Pasti sudah sangat lelah hingga tidur mereka begitu lelap. Berbagai suara ruih yang sudah sejak sore terdengar tak lagi ada seperti tiba-tiba ditelan oleh samudra dasar laut atau masuk pada ruang kedap suara.


Kurebahkan badanku pada kursi panjang, kursi dari kayu ini biasanya dipakai duduk oleh orang tua yang menunggu anak mereka. Sambil tersenyum melambaikan tangan pada anak-anak mereka yang tertawa menaiki Ombak Banyu. Dari kejauhan kulihat bosku menggenggam sebilah kapak yang biasanya dia gunakan untuk membantu membangun rumah-rumahan tripleknya. Kulihat ada yang aneh dari wajahnya, sambil mengahampiriku hampir saja dia melayangkan kapaknya pada kepalaku, dengan marah ia berkata “Kowe karo cah omah setan wingi bar mabuk terus merkosa bojoku tho? Ngakuo!!!” Lalu tiba-tiba gelap.


Pagi nan dingin kutemukan diriku sendiri basah dalam sebuah sumur yang sudah kering, gelap dan kotor, sempit aku meringkuk tak dapat bergerak. Kenapa aku tiba-tiba berpindah tempat? Itu yang ada dalam pikiranku, ingin aku berteriak minta tolong siapapun yang ada di atas, tapi suara seakan tercekat dalam tenggorokanku. Tak ada satupun suara yang mampu aku keluarkan. Kulihat kesamping, tubuh dan kepalaku sudah tak lagi bersatu.





NB: Maaf, aku masih belum mampu mengejutkan dengan sebuah ending yang bagus. Saat sebuah cerita yang harusnya mampu bertahan dalam beberapa halaman malah kuaborsi, dan beginilah hasilnya. Karya prematur karena lahir belum pada waktunya mungkin. Silahkan dilanjutkan bagi yang terusik imajinasinya :)




Ekstrimnya Dieng Wonosobo


Dataran Tinggi Dieng di Wonosobo, keindahan yang begitu menakjubkan namun juga memberikan pengalaman yang tak mudah untuk ku lupakan.
Karena untuk mencapai tempat tersebut harus melewati berbagai tantangan.


Diawali dengan kumpul di depan PKM FIS UNNES, karena tujuan kita ke Dieng adalah untuk Pelantikan Exsara Angkatan ke-5
Naik motor dengan berboncengan menembus panas yang berganti hujan saat motor memasuki Temanggung.


Setelah sesaat berhenti di Masjid Agung Temanggung yang berada di sisi Alun-alun Kota Temanggung, untuk melaksanakan sholat dan inilah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di kota kelahiran idolaku, Obiet :*


Dan tujuan awal alias yang pertama kita kunjungi adalah Situs Liyangan di Kabupaten Temanggung. Sebuah situs yang katanya luasnya melebihi Candi Borobudur.
Situs yang masih juga belum selesai tuntas digali alias masih dalam proses.



Dengan berselimut kabut yang cukup tebal, namun ternyata kabut dalam hatiku jauh lebih tebal. Memberikan efek gigil pada diri, membuatku malas untuk mengeksplore diri, teringat kala itu memang hatiku sedang tidak karuan, proses membelakangi apa yang selama ini hatiku selalu tatap.


Tidak banyak poto tentang aku, benar-benar tidak sedang mood berpoto.
Keadaan diperjalanan sekaligus kondisi perasaan yang cukup mematikan semangat dan menyurutkan setiap hasrat narsis.
Ekstrimnya cuaca saat akan mencapai Dieng, dengan hujan yang turun sepanjang waktu.
Mantel pun tak cukup membuat untuk membuat tubuh tetap kering, karena motor yang harus dipacu kencang menembus lebat hujan.
Ditambah dengan jalan yang naik turun berkelok-kelok ala pegunungan.
Dan inilah dingin yang tak mampu untuk kugambarkan.


Namun juga sebanding dengan keindahan yang diberikan di Puncak Sikunir, Dieng.
Disinilah kami dilantik sebagai formalitas kalau kami telah benar-benar menjadi keluarga Exsara.



Dikalungi sleyer merah oleh ketua Exsara sebagai tanda bukti bahwa aku telah benar-benar menjadi anggota keluarga Exsara. Sebagai formalitas, karena bahkan jauh sebelum itu juga aku sudah diterima sebagai keluarga.


Merasakan suka duka bersama, pada saat itu, harus melewati rasa dingin yang luar biasa karena suhu yang bisa mencapai -0 derajat ditambah baju yang basah terkena hujan.
Tidur saling berdesakan, berebutan tempat hingga memunculkan keegoisan individu dari anggota baru, memperoleh bentakan jam 2 pagi.
Memakai fasilitas yang luar biasa busuknya (wc berderet tanpa air)
Penginapan yang sempit juga berdesakan namun membuat hangat.
Juga banyak lagi pengalaman yang menyakitkan sekaligus menyenangkan saat itu.

Selesai dengan penderitaan yang menyenangkan di Dieng Wonosobo, perjalanan pun dilanjut ke Banjarnegara.


Tidak ada penjelasan tentang candi-candi di Kabupaten Gilar-Gilar ini, jadi tidak banyak yang aku tahu. Disana kami hanya berfoto-foto ria saja.
Akupun sudah bilang diawal bahwa tidak banyak berpoto dalam perjalan pada saat itu.


Ternyata perjalan memang benar-benar ekstrim, hingga saat perjalanan pulang banyak sekali kejadian tak terduga yang untunglah tidak sampai membuat temanku kehilangan nyawa. (bagaimana ya memperhalusnya)
Intinya temanku banyak yang mendapat musibah saat perjalan pulang.
Aku sendiri malah merasa mati dalam perjalanan, karena menggendong tas super besar yang biasanya dipakai oleh pendaki, yaitu tas carrier milik teman.
Berat sekali, sampai harus berkali-kali aku minta berhenti untuk melegakan sedikit punggungku. Sungguh perjuangan yang tiada akhir waktu itu.
Tiap kali melewati jalan menanjak, tubuh serasa ditarik kebelakang, namun aku tetap harus menahan.
Konyol pasti kalau aku terjatuh dari boncengan sepeda motor.

Hingga sampai kampus dan kumasukan semua pengalaman ini menjadi kenangan yang tak hanya menyenangkan tapi juga menyakitkan. Nano nano rasanya.


Sunday, April 27, 2014

Aku Tidak Ikhlas

Apa itu IKHLAS? Sebuah perasaan yang memperingan hati kita dalam berbagai urusan. Sebuah kata yang mampu memberikan kita ketentraman batin. Pembahasan ini membuatku teringat pada buku LKS ku jaman SMA dulu, dibagian belakang terdapat sebuah essay terdiri dari beberapa paragraf. Aku tidak hafal betul bagaimana isinya, tapi aku selalu ingat inti dari essay tersebut yang mengatakan bahwa ikhlas itu seperti saat kita meminjamkan sebuah pensil, bagi kita hal tersebut sangat remeh, tapi untuk orang lain yang kita pinjami ternyata sangatlah berguna. Kita tidak mengingat hal tersebut, begitu mudah kita lupakan bantuan kita untuk orang lain, karena menurut pemikiran kita; pensil tidak terlalu berharga atau biasa saja kan membantu meminjami pensil. Tapi ternyata untuk orang lain hal tersebut sangatlah bermakna lebih dari apapun, dengan kata lain bantuan kita sangat besar sekali manfaatnya untuk orang tersebut. Inilah yang dinamakan ikhlas, membantu seseorang namun kita tidak merasa kalau kita sedang membantu orang tersebut. Bukannya tak mengiat-ingat atau melupakan bantuan yang kita berikan, namun kita sendiri tidak sadar kalo kita membantu. Seperti itulah ikhlas!

Lain halnya jika kita memberikan bantuan lalu kita bilang "aku ikhlas kog" tapi setelah itu kita mengingat bantuan kita tersebut, memasukannya dalam sebuah list perbuatan baik. Ikhlas? dalam kasus yang ini GAGAL!

Terlebih aktivitas yang dinamai menolong atau membantu orang miskin seperti yang dilakukan oleh selebritis-selebritis ibu kota, minta disorot media, menuliskannya dalam majalah, sekedar menjadi status di facebook atau kicauan-kicauan sok merdu dalam twitter. Sudah jelas yang seperti itu memiliki secuil unsur pamer, lalu dimana letak keikhlasnnya? Mungkin iya bantuannya sangat berguna bagi orang lain, tapi ternyata lama-kelamaan bisa merusak hati.

Sebenarnya bukan ini yang ingin aku tulis pada diary onlenku saat ini, tapi anggap saja sebagiai prakata mungkin.


Malam ini aku begitu gusar, hati terasa kacau, pikiran kusut tak menentu. Yang ada hanya emosi, ingin marah tapi entah harus bagaimana, aku bahkan bingung harus bagaimana untuk melampiaskan semua yang menyesak dalam dada. Hasilnya aku hanya bisa berjalan ditengah malam sambil menitikan air mata, hingga sampai kost tangisku sudah pecah. Inilah mungkin pelampiasaanku, dengan menangis agar lega semua yang bergulung-gulung tak tentu dalam dada. Inilah yang kubisa ; menangis!

Karena yang selalu kuyakini, semua yang berawal dari marah pasti berakhir dengan malu. Jadi, untuk marah aku tidak mampu maka menangislah yang akhirnya kudapati.

Diawal kutanya sendiri mengenai ikhlas, karena mungkin dalam kasusku hari ini yang memuat semua masalah dan ketika kutelusuri ujungnya ternyata adalah karena aku tak mampu IKHLAS.

Aku tidak ikhlas ketika harus mengerjakan tugas kelompok tapi hanya aku sendiri yang mengerjakan.
Aku tidak ikhlas ketika harus terus-terusan dalam koneksi internet gagal karena teman sebelah menggunakan wifi gratis kampus untuk download boyband korea. Hingga aku begitu kesusahan mencari materi-materi untuk tugasku.
Aku juga tidak ikhlas ketika aku harus berjalan jauh sendiri melewati gang-gang sempit demi meminjam buku untuk mengerjakan tugas.
Aku tidak ikhlas karena aku begitu menderita dengan semua kesusahan yang aku hadapi seharian.
Aku tidak ikhlas dengan seseorang yang kunamakan teman tetapi tidak mampu aku mintai pertolongan.
Aku tidak ikhlas dengan kesendirian akut pada hari ini.
Aku tidak ikhlas ketika aku menelpon seorang yang berlabel pacar, tapi yang terdengar hanya nada sambung tanpa ada yang mengangkat telponku.
Aku tidak ikhlas karena semua smsku hanya menjadi penghuni inbox dalam hape milik pacarku tanpa ada satupun yang terbalas.
Aku tidak ikhlas dengan semua pengabaian seorang yang katanya begitu mencintaiku, tapi tak benar-benar ada untukku, aku merasa sendiri tanpa ada yang mau mendengar keluh kesahku. TAK ADA YANG DATANG!
Aku tidak ikhlas harus menjalani semua ini, bahkan untuk sekedar mengeluh aku tidak memiliki tempat???

Salahkah??? Tapi aku pikir yang seperti itu manusiawi, tapi kalo aku benar-benar salah atas perasaan yang seperti itu yah mungkin dalam pikiranku memang telah dipenuhi iblis atau setan.

Sekarang aku hanya berharap setelah semua tetes tangis ini, mampu membawaku pada ketenangan setidaknya untuk kembali berpikir rasional, karena masih banyak tugas kuliah yang harus aku kerjakan. Aku berharap semoga semua tetes tangis ini juga jatuh turut membawa serta seluruh ketidak-ikhlasanku pada takdir hari ini.

Seharian penuh bergulung dengan rasa bingung, dengan emosi yang mengikis rasa sabar, dengan amarah karena aku tidak ikhlas terhadap semua yang harus aku hadapi. Sekarang aku hanya ingin semua ini luruh pergi. Aku ingin menata hati.

Semoga dengan menuliskan ini juga sedikit melegakan hatiku, aku paham bukan hanya dengan marah, berteriak, makan atau membantingi barang-barang untuk dapat melampiaskan semua kekesalan agar bisa lega. Mungkin dengan menangis dan menulis juga bisa membuat lega, seperti melepaskan berton-ton beban dalam kepala. 

Ketika tiada satupun manusia yang bisa kuajak bercerita, membagi meski sekedar keluh kesah atau untuk sekedar menyandarkan kepala berlabel letih pada pundak seorang yang dinamakan teman/sahabat/pacar/keluarga. Namun ketika TAK ADA YANG DATANG, maka hanya dengan menulis diary onlen ini sajalah, semoga mampu melegakan seluruh beban.


Aku tidak ikhlas karena tak ada yang datang.


Thursday, April 24, 2014

Sehari Tanpa Internet


Sehari tanpa internet? Dalam suatu keadaan aku pernah seharian tanpa internet, yaitu saat mendaki gunung, bahkan saat itu mungkin lebih dari sehari aku tidak bersinggungan dengan yang namanya internet. Untuk sekedar komunikasi menggunakan telepon genggam saja sangat sulit jika di gunung, apalagi koneksi internet.

Namun berbeda keadaan saat kita telah turun gunung dengan kata lain kita berada kembali dalam peradaban. Abad 21 ini, sehari tanpa internet kita pasti kelimpungan. Bagi mereka yang sudah kecanduan facebook, twitter atau sosial media yang ditawarkan di internet, sehari saja tidak beremu dengan koneksi internet pasti sangatlah merasa tersiksa.


Terlebih sekarang dipermudah dengan telepon genggam yang semakin canggih, dengan aplikasi atau fitur-fitur yang beraneka ragam kegunaannya. Dunia serasa seakan digenggaman tangan saja. Dengan hanya sekali sentuh dan geser semua seakan sudah mampu kita dapatkan. 


Lalu bagaimana jika kita dituntut untuk hidup tanpa internet meskipun itu hanya untuk satu hari saja? Pasti akan sangat berat, namun bukan berarti tidak bisa. Kita mengingat masa dulu jauh sebelum ketika internet menyerang. Kita baik-baik saja pada saat itu dan jika kita ingin membuktikannya pada masa sekarang, apakah kita juga akan tetap baik-baik saja walau tanpa internet? Pertanyaan ini hanya kita sendiri yang mampu menjawabnya.

Internet sesungguhnya bagai dua mata pisau, jika kita tidak bisa menggunakannya dengan bijaksana pasti akan sangat merugian baik untuk diri kita sendiri maupun orang lain. Namun jika kita menggunakannya dengan baik, pastilah internet akan sangat membantu kehidupan kita sehari-hari. Internet berdampak sangat besar bagi kehidupan.


Dalam berkomunikasi, mencari informasi, atau bahkan hanya sekedar hiburan semua mampu kita dapatkan di internet. Jadi intinya banyak hal mampu kita lakukan dengan fasilitas dari internet. Karena begitu banyak hal yang mampu kita lakukan dengan internet maka menggunakan internet untuk hal-hal yang positif pasti akan mendetangkan berbagai manfaat bagi kehidupan. 




Sebenarnya aku ingin menulis untuk sebuah lomba menulis di Blog, tapi ternyata salah satu syarat dan ketentuan lomba tersebut yaitu isi tulisan harus menjelaskan pentingnya mengajarkan internet. Tapi ternyata bagi aku sendiri masih belum terlalu sefanatik itu pada internet, intinya aku masih belum paham betul seberapa penting internet, jadi bagaimana mau mengajarkan internert? kalo aku sendiri masih perlu diajari.

Selain itu pemenang juga diutamakan bagi pengguna telkomsel, sedangkan aku tidak menggunakan telkomsel. Intinya lomba ini bertentangan dengan apa yang aku percayai selama ini, mungkin iya promosi dari kompetisi blog ini adalah provider tersebut tetapi aku merasa tidak memiliki semangat menulis ketika harus memuji-muji sebuah nama sedangkan dalam hatiku sendiri aku tidak benar-benar menyukainya. Intinya aku tidak ingin munafik, tapi tetap aku ingin menulis, dan inilah tulisanku apa adanya. Tanpa harus terjerat oleh syarat dan ketentuan yang ada, karena mottoku menulis adalah untuk menuliskan apa yang ingin aku tulis bukannya apa yang ingin kamu baca.


Wednesday, April 23, 2014

Aku dan Dua Kelelawar

Sebuah kesepian sengit, ketika kesendirian melebarkan sayapnya dan memelukku begitu mesra. Tak tergambarkan dalam kekosongan, hanya kebisuan yang menikam dari sela-sela sayap tersebut. Seperti pada masa itu, ketika hanya dengan memandangi senja saja sudah mampu membawaku mengingat semua keterpurukan masa lalu.

Hingga sekarang kekosongan itu kembali merenggutku, membawaku pada kepingan masa lalu yang sama. Jejeran angin nan dingin yang berbentuk sebilah belati menusuki hati. Sakit!


Melangkah dengan tatapan tanpa makna, seolah hidup tanpa warna. Hanya abu-abu. Di persimpanganpun, tak menyediakan sebuah kebingungan yang berarti. Cukup dilewati dengan langkah yang tak mantap tapi tak juga goyah, hanya melangkah, langkah hampa. Mengayunkan kaki entah kemana.

Hingga senja berganti malam, berganti dengan gelap. Lampu-lampu jalan sekarang yang menggantikan tugas matahari, meski tak cukup menyinari seluruhnya, banyak sisi gelap yang tak mendapatkan sinar termasuk dalam hatiku.

Kaki tetap melangkah tanpa lelah, dan sudah entah sampai sejauh mana tak juga berpengaruh pada kesadaranku. Menghabiskan seluruh energiku sendiri, hingga aku berada pada keadaan yang berbeda. Dingin pagi dua dini hari, menidurkanku pada teras rumah seorang dokter praktek. Meringkuk dalam pelukan rasa sakit yang aku sendiri sampai sekarang masih belum mampu menjelaskannya seperti apa.

Teras yang begitu dingin namun bersih, hanya sedikit terdapat sisa-sisa remah rokok, kugulung saja dengan sekali tiup. Aku ingin merebahkan seluruh lelah batin yang baru pertama ini kurasakan, masih asing buatku. Dalam tidur aku tetap terjaga, di depanku jalan raya masih dilalui kendaraan satu-satu. Derunya membuat riuh namun cukup membantu rasa was-was yang sekarang mulai timbul kembali. Pertanda sedikit kesadaranku sudah mulai kembali.

Kehidupan buta sang pagi ternyata juga menghadirkanku pada dua kelelawar yang dikedua kakinya terdapat rantai koyak. Menghampiriku dengan sejuta pertanyaan yang kujawab dengan kalimat-kalimat palsu dari setiap cerita di buku cerpenku. Jawaban palsu yang kucuri sendiri tanpa sadar.

Namun dari sini aku sadar, aku tak lagi menghirup embun dini hari sendiri. Kesadaran akan dinginnya pagi pinggir jalan raya membuat kabut yang gigil pada diri. Kesadaran yang juga membuatku mengajukan keinginan untuk ikut terbang bersama kedua kelelawar tersebut. Satu kelelawar yang cerewet dan satunya kelelawar yang pendiam.

Bersama menyusuri pinggir jalan dimana pintu-pintu pertokoan masih rapat bergembok keangkuhan. Kulihat kedua kelelawar tersebut selalu tertunduk, padahal menurutku mereka adalah sebuah kebebasan yang mampu melihat langit jauh lebih luas dari siapapun. Dengan kaki yang tersoek mereka akan merendah memunguti setiap puntung rokok yang masih lumayan untuk mereka hisap. Menekurinya atau mengasis-ngaisnya dengan kaki, seperti ayam yang mencari beras yang tercecer di tanah.

Masih di pinggir jalan raya, kedua kelelawar tersebut mengajakku berhenti disebuah pohon rindang. Membuatku teringat akan pelajaran sekolahku saat aku masih duduk dibangku sekolah dasar dulu. Ketika hari masih gelap karena belum mendapat sinar matahari, sebaiknya jangan berada di bawah pohon karena pohon mengeluarkan karbondioksida yang tidak baik bagi tubuh. Begitu yang selalu aku anuti tapi saat ini persetanlah dengan yang seperti itu, aku sendiri bahkan telah meninggalkan kewarasanku jauh di belakang sana.

Kelelawar yang pendiam membeli dua cangir kopi setelah menawariku secangkir juga namun kutolak, aku masih peduli dengan perut kosong yang hanya dihuni dengan penyakit magh ini. Kulihat dia membayar dengan tumpukan receh yang dia hitung dengan penuh ketelitian agar tak ada satu recehpun kekeliruan. Receh-receh yang begitu berharga bagi mereka. Dan satu kelelawar yang lainnya mengajakku bercerita tentang gelap kehidupan, tentang kelam matahari yang tak pernah mereka jenguk dan memilih malam sebagai satu-satunya waktu yang mereka datangi. Memilih gelap hitam sebagai warna kehidupan berteman penderitaan namun begitu mesra dengan kebebasan.

Sepertinya pohon yang rindang ini juga menjadi tempat parkir bagi deretan taksi-taksi dengan sopirnya yang terlelap dikursi belakang setir. Juga pedagang-pedagang kaki lima, salah satunya yang sedang dihinggapi kelelawar tersebut. Disudut lain terdapat genangan, yang kata kelelawar itu adalah genangan tangis para pengemis dan gelandangan yang ditusuki nasib. Jadi itu adalah air mata??? Sebanyak itu dan lanjutnya lagi, air mata itu tak pernah kering meskipun diminum oleh trilyunan koruptor yang memang setiap harinya meminum air tangis tersebut dengan rakus.

Terlihat ada beberapa kelelawar lain yang menepi dan kedua kelalawar tadi menyapa mereka. Ada kelalawar kecil yang masih baru belajar terbang dan kelalawar yang terlihat begitu bersih namun sedang mendekap seekor kupu-kupu yang basah dengan sumpah serapah. Kupu-kupu cantik bergincu birahi, berbau anggur dan sayapnya yang tipis kecil berwarna merah darah mengundang gairah. Gairah untuk para lintah, ular, cacing tanah, vampir bahkan tak terkecuali untuk para kelalawar ini. Banyak yang ingin mendekap kupu-kupu liar ini seliar apapun iya menggigit dan menyalak tak ubahnya anjing peliharaan tetanggaku.

Aku hanya mengamati tingkah polah mereka, di sudut akar pohon rindang tersebut. Sedikit kubentangkan jarak yang bernama kewaspadaan. Meski logikaku tak juga menjeritkan kata takut.

Kupu-kupu tersebut menawariku madu yang berbungkus es krim, dingin pagi pemberi gigil membuatku mengatakan tidak usah. Dan penolakanku membuat kupu-kupu yang berada di depanku dengan nafas anggur ini begitu marah. Ia lemparkan madu kesemak-semak berduri. Aku terdiam kaget, begitu liarnya ia hingga tiada lagi anggun yang tersisa.

Beruntung tak berapa lama keliaran tingkah polah kupu-kupu tersebut tak lagi terlihat olehku karena diusir oleh seekor babi berseragam, ternyata saat seperti ini babi seperti itu berguna juga. Babi berperut gendut yang biasanya hanya baris-berbaris memintai isi dompet para pengguna jalan raya. Meskipun begitu tak juga mengubah ketidak-sukaanku pada para babi berperut gendut dan berseragam rapi, aku tetap mengutuki mereka satu persatu.

Aku dan kedua kelelawar kembali menyusuri jalan raya. Dikejauhan sayup terdengar suara Adzan Subuh yang bergema membelah semesta pagi. Yang kupikir akan membuyarkanku dan menyadarkanku bahwa aku sedang berada ditempat tidur, namun tidak, aku tetap berada di pinggir jalan raya. Ini bukan mimpi, Nam!



Melewati pinggiran pasar yang sudah riuh ramai dengan tumpukan sayur-mayur berlebel harapan. Dengan manusia-manusia yang beraneka melakukan transaksi jual-beli. Kelelawar yang cerewet tersebut menyapa dengan begitu ramahnya pada setiap penjual sayuran di pasar. Padahal tak satupun yang ia kenal, namun ia berharap dalam setiap sapaan yang ia berikan tersebut akan mendapat sepotong senyuman.

Menelusuri jalan hingga terhenti disebuah perempatan lampu merah dan disinilah mereka mengajakku menumpang pada mobil yang lewat. Namun sebelum memperoleh tumpangan tersebut aku berdiri menunggu sambil bersandar pada tembok. Tak terasa dalam berdiriku aku bisa begitu mengantuk dan sebentar-sebentar tertidur dalam beberapa detik, sambil tetap berdiri. Saking mengantuknya inilah aku yang tertidur sambil berdiri menunggui salah satu kelelawar yang sedang mencari tumpangan.

Begitu mendapat tumpangan mobil bak terbuka, segera kunaiki bersama kedua kelelawar tersebut. Kelelawar yang cerewet tetap saja bercerita mengenai kehidupannya sedangkan kelelawar yang pendiam hanya bernyanyi memainkan alat musik kentrung yang selalu ia bawa kamanapun ia pergi. Karena itulah harta berharga yang ia miliki begitu katanya. Lagu-lagu yang dinyanyikan tak terdengar asing buatku, lagu milik Marjinal dan akhirnya aku ikut bernyanyi juga.

Kerudung biru dongker yang kukenakan tertiup angin kerena mobil berjalan begitu kencang. Beliung anggun yang mengibarkannya membuatku takut kalo-kalo kerudungku akan ikut terbang, kupegangi begitu eret. Kencangnya kecepatan mobil juga membuatku susah melihat, namun aku tetap ingin melihat, pemandangan sepanjang jalan raya yang mulai terang oleh matahari.

Hingga mobil bak terbuka tumpangan suka rela menurunkanku dan kedua kelelawar tersebut pada perempatan lampu merah depan swalayan yang masih belum buka. Kedua kelelawar itu menyuruhku menunggui mereka di pinggir jalan, sedangkan mereka di bawah lampu lalu lintas memainkan berbagai lagu Marjinal agar memperoleh receh-receh yang mereka sukai. Aku menurut saja, badan yang lelah membuatku tertidur di pos ojek yang sepagi ini masih juga sepi. Namun tetap sama aku tertidur sambil terjaga!

Aku tak lagi berharap akan bermimpi karena perjalanan dengan kedua kelelawar tersebut memberikanku pengalaman yang jauh lebih berwarna daripada mimpi. Terbangung dengan sebungkus nasi telur dan sayur, mereka juga menyodoriku sekotak air mineral gelas. Tergelitik dengan penolakan karena rasa malu yang mengusikku, namun mereka tetap memaksa agar kuterima semua makanan tersebut.

Tidak lapar begitu tiba-tiba yang kurasa, namun tidak kuasa juga kalau tetap kutolak pemberian yang benar-benar tulus dari mereka. Selesai menghabiskan sebungkus nasi mereka kembali mengumpulkan receh sedangkan aku tetap mengamati mereka dari pinggir. Sambil sibuk berpikir tentang banyak hal.

Terhenti ketika matahari mulai meninggi, kedua kelelawar tersebut berubah pucat menghampiriku. Kelalawar yang selalu cerewet mengeryipkan mata tanda mengantuk, yang satunya batuk-batuk. Aku diajak naik angkot dan kembali kulihat kelelawar yang pendiam menyiapkan recehnya dengan hitungan yang begitu teliti untuk membayar angkot.

Berhenti disebuah pertigaan besar, mereka turun dan aku mengikutinya, mereka tak lagi terbang, melangkah perlahan sempoyongan padahal tidak mabuk. Mereka bilang mereka bisa mati kepanasan, akupun melihat mereka semakin pucat. Disepanjang jalan yang terlewati sudah ramai orang-orang dengan kemonotonan aktivitas mereka. Setiap dari kedua belah mata mereka melihatku yang tersoek berjalan dengan dua ekor kelelawar. Ada yang melihat secara langsung lalu bergumam entah apa, ada yang hanya melihat secuil dari ekor mata mereka. Namun aku tahu mereka pasti jejali dengan pikiran yang tak mampu kuterka, begitupun dengan kedua kelelawar ini, mereka pasti juga menyadarinya. Namun aku sudah sangat tidak peduli akan pikiran siapapun, aku sendiri sedang tidak ingin berpikir.

Masuk pada sebuah gang dimana rumah-rumah minimalis berderet berdempet-dempet. Lalu berhenti pada sebuah rumah dengan lorong kecil dimana terdapat sofa butut di terasnya. Kedua kelelawar tersebut masuk, aku hanya duduk di sofa penghuni teras. Dari dalam keluar si pemilik rumah, yaitu sepasang lebah hitam yang begitu penasaran padaku. Kelelawar yang cerewet keluar bersama kepulan asap putih diikuti dengan kelalawar yang satunya, mereka semua mempersilahkanku masuk pada sebuah ruangan yang terbuat dari triplek. Padahal sebelumnya aku pikir ini akan seperti rumah lebah.

Terdapat banyak gambar rajah beserta peralatan rajah murahan yang menghuni rumah lebah tersebut. Serakan bungkus obat juga tertimbun disudut ruangan, beberapa masih terdapat pil putih. Sepasang lebah yang lain juga menghuni ruangan tersebut, lalu ada anak-anak juga nenek-nenek. Aku berpikir tentang lingkungan yang mereka huni, tentang masa depan dan masa lalu yang mereka miliki. Benyak hal yang berkerumun diotakku, kali ini aku berpikir dan mengarang sendiri jawabannya. Aku berada di dunia dongengkah? Dongeng yang sering masuk TV, dalam acara berita kriminal mungkin. Entah!



Aku terkaget, lebah yang sedang tertidur karena minum obat tersebut ternyata bisa bicara atau lebih tepatnya berdengung, sedangkan lebah cantik pasangannya sedang menatap cermin, dari kotak ajaibnya dia mampu menyulap dirinya berubah menjadi kupu-kupu mempesona. Aku akui sungguh cantik paras kupu-kupu yang satu ini, namun ternyata berbahaya! Dia memiliki bisa disela-sela sayapnya yang menakjubkan. Lalu dia terbang keluar dalam sekejap, bukannya ingin mengitari taman beraneka bunga seperti layaknya kupu-kupu lain, namun dia terbang di restoran mewah yang bahkan aku belum pernah masuk kedalamnya.

Aku kembali membentangkan jarak yang bernama kewaspadaan dan kali ini kutambahi dengan pagar pembatas. Kukurung diriku sendiri, sehingga aku hanya mampu melihat mereka dari dalam kurungan dan mengamati tingkah polah mereka tanpa mampu mereka usik.

Ketika matahari sudah benar-benar dipucuk ubun-ubun sedangkan aku sudah begitu bosan sekaligus canggung dalam keadaan diam, kuputuskan untuk pergi. Aku datang tanpa nama, aku pergi juga tanpa nama. Biar menghilang diingatan mereka, kupamiti kedua kelalawar tersebut. Berterima kasih atas recehan pengalaman yang mereka bagi kepadaku. Kupakai kembali sepatuku yang berada di luar ruangan, namun ternyata sepatuku sudah terendam air, genangan tangis, sepatuku basah oleh air mata tangis! Sepertinya tadi ada anak jalanan yang lewat. Aku tidak marah, hanya ingin pergi, melangkahkan kaki dengan sepatu yang kucangking menuju jalan raya lagi. Berjalan dipanasnya aspal jalanan tengah hari. Rasanya tak akan perlu waktu lama agar telapak kaliku melepuh. Sebentar lagi saat aku sudah sepenuhnya sadar pasti akan terasa sakit.

Kedua kelelawar tersebut ternyara juga ikut pergi namun kearah yang berlawanan denganku. Dari pinggir jalan raya kulihat mereka terbang kelangit hingga ditelan oleh gumpalan awan. Apakah mereka akan terbakar oleh matahari? Sudah aku tidak peduli.

Disisi lain aku kembali dijemput oleh kenyataan, oleh dunia nyata yang harus kulewati dengan sewaras-warasnya. Mengobati luka hati dengan guliran waktu yang terus merangkak pelan. Menyadarkanku bahwa luka lain juga ada, ditelapak kakiku! 

Jika luka lamaku terasa seperti menelan kalajengking hidup-hidup, begitu sakitnya dalam mulut, maka luka yang baru ini seperti berjalan menginjaki kayu bakar yang menyala-nyala panas. Hingga aku tertatih dalam melangkahkan kaki, namun aku tetap harus berjalan melewatinya.



Diujung langkah, kudapati sebuah kotak dan saat kutengok di dalamnya, di sana terdapat kedua kelelawar tersebut beserta dengan seluruh hal yang kutemui bersama mereka. Kotak tersebut lalu kusimpan rapi dalam kepalaku, disisi luarnya kutemukan sebuah tulisan ; Kotak Pengalaman.



Saturday, April 19, 2014

Edelweis Merbabu


Tumbuhan itu berpagar harapan
Berbalut embun keringat para pendaki
Disekelilingnya hamparan awan bergulung memeluk gunung
Jalan nan berliku menjembatani setapak
Bukit-bukit hijaunya Telletubies juga tak luput dari daftar penambah indahnya Merbabu
Sabana sabana melapang memberi angin siur berbisik

Tumbuhan itu berpagar harapan
Harapan para pendaki
Harapan untuk negeri yang indah ini
Harapan tentang suburnya bunga abadi
Seluruh harapanmu
Harapan yang terselip dalam si mungil Edelweis Merbabu


Semarang, 19 April 2014




Monday, April 14, 2014

Wanita Kedua

Menjadi wanita kedua tidak selalu menyenangkan seperti yang kalian bayangkan, semua rumit bahkan sejak awal.  Sepagi ini bahkan aku sudah menangisi nasib sampai ribuan kali. Sambil menatap pekarangan rumah yang bagitu gelap, mungkin juga segelap nasibku. Harum bunga kemuning dibalut embun pagi memenuhi basah dalam hati.

Lama aku tidak ingin beranjak dari ketermenungan rasa sakitku sendiri. Hingga raungan tangis pecah dari dalam rumah, membuatku tersentak kaget dan tanpa aba-aba lebih lama langsungku berlari masuk. 

Dalam kamarnya yang bau pesing kulihat matanya yang hampa tanpa cahaya meneteskan air mata nan miris. Aku usap air mata tersebut sambil membetulkan posisinya dalam kursi roda yang talah menyangganya selama dua tahun terakhir ini. Air mata ini juga mengingatkanku saat pertama kali ayah dan ibu wanita ini memungutku dari jalanan belasan tahun silam. Membuatku merasakan hangatnya sebuah keluarga dengan kasih sayang yang penuh, membuatku merasakan hidup tanpa kekurangan lagi. Iya wanita ini adalah kakak angkatku, namun juga sekaligus istri pertama dari suamiku. Dan inilah nasibku menjadi wanita kedua.





Semarang, 14 April 2014
Menyangga tangis dalam perenungan ketika kaki cinta menginjak-injakku bahkan setelah aku jatuh tersungkur. Namun inilah janjiku, aku tidak akan bangkit ditempat yang sama.


Tuesday, April 8, 2014

Kenapa Aku Cengeng?

Dan malam ini untuk sekian kali aku menangis karena sebuah lagu
Aku cengeng? Iya mungkin

Lagunya Didi Kempot yang satu ini memang selalu sukses bikin mataku pipis alias nangis
Judulnya BAPAK
gini lyric-nya :

Rambut wis ra ireng
Wis malih rupane
Ireng dadi putih sak ikine
Dino tambah dino
Umur tambah tuwo
Nanging koyo koyo ora diroso

Ngadeg dadi jagak
Nyonggo piringe anak
Mempeng kerjo ora mikir rogo
Paribasan umur
Wis akeh cacahe
Nganti bingung anggonku ngitunge

Bapak... Bapak... tekadmu kuwi tak puji
Bapak... Bapak... kowe koyok senopati
Bapak... Bapak... panasmu ngungkuli geni
Bapak... Bapak... keno angin soyo ndadi

Senajan uwis tuwo nekad mempeng kerjo
Nyambut gawe kanggo nguripi kluargo


"...Bapak...senajan umurmu wis tuwo
nanging tekadmu iso dadi tulodho, 
aku anakmu mung biso memuji
mugo mugo Bapak tansah pinaringan bagaswaras
saking Gusti Ingkang Moho Kuwoso
kulo Pak anak sampean..."




Mungkin terlalu menghayati, sambil dengerin lagunya aku juga ikut nyanyi, jadi teringat Bapakku, and well pipis deh mataku :'(
Kalo kalian sudah baca Homespot Jumadi pasti kalian bisa ngertilah



Semarang, 
saat gerimis aku mengigil dalam kamar kostku sendirian


Monday, April 7, 2014

Anak Tiri Zaman


Ketika Pin BB dan android memupuk keegoisan
Ketika layar sentuh tablet mengalihkan pandangan
Ketika tiba-tiba dunia menyempit
Tetapi para manusianya menjauh hapir tak mengenal satu dan lainnya
Disibukkan dengan dunia lorong-lorong partikel

Semua serba segenggaman tangan
Cukup sekali sentuh dan geser
Melintingi perkenalan, melintingi pertemanan
Hisap, hisap dan hisap
Bagai rokok!

Namun kau jua kah dalam deretan manusia tersebut?
Ketika sendal jepit saja menjadi benda nan mahal luar biasa
Ketika becek sawah menjadi sendal tiap harimu
Yang mengering dikakimu

Dalam pelukan kesederhanaan kau berucap 
"Sampai kapan harus dianak-tirikan oleh zaman?"



Semarang, 06 April 2014


Thursday, April 3, 2014

Hey !

Hey pagi, yang menemaniku saat hari berganti.
Saat mentari belum juga menampakan cahayanya.
Karena saat kutengok jam dindingku ternyata membeku pada pukul setengah satu.
Pagi begini, dicumbui deretan huruf yang harus kuketikan menjadi sedikitnya 6 halaman.
Tugas !
Hey tugas, semoga kau juga tak suka berlama-lama denganku.
Sungguh aku muak padamu.
Tapi semoga kau tak muak padaku, beri aku ilmu dari situ.
Berteman mp3 yang mengalun secukupnya dari lepi.
Menemani pagi, pagi begini, tugas tercumbui, mp3 menemani.

Yang kutimang dalam kesendirian gamang.


Wednesday, April 2, 2014

Pesugihan Di Gunung Kemukus


Gunung Kemukus di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah kawasan itu dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya, namun juga untuk berziarah dan ritual pesugihan. Pelaksanaan ritual bisa dilaksanakan setiap hari. Namun, terdapat hari-hari tertentu yang dipercaya membawa berkah tersendiri. Misalnya, saat malam Jumat Pon dan malam Satu Suro.

Ritual mesum ini banyak dilakukan oleh orang-orang yang mencari jalan pintas untuk menjadi kaya. Di gunung ini, ratusan warga dari berbagai wilayah di Jawa terutama datang berduyun-duyun ke Gunung Kemukus ini. Mereka bertujuan untuk mencari pasangan melakukan ritual pesugihan itu. Bagaimana sebenarnya ritual ini bisa menjadi semacam tata cara dan menjadi semacam tradisi yang sesat?

Tempat ritual ini berada di Gunung Kemukus tepatnya terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumber Lawang, Kabupaten Sragen, 30 km sebelah utara Kota Solo. Untuk mencapai daerah ini tidak terlalu sulit, dari Solo bisa naik bus jurusan Purwodadi dan turun di Belawan, dari situ di sebelah kiri jalan akan ditemukan pintu gerbang yang bertuliskan “Daerah Wisata Gunung Kemukus”, dari gerbang tersebut kita bisa naik ojek atau berjalan kaki menuju tempat penyeberangan dengan perahu.

Gunung Kemukus identik sebagai kawasan wisata seks karena di tempat ini orang bisa sesuka hati mengkonsumsi seks bebas dengan alasan untuk menjalani laku ritual ziarahnya, itulah syarat kalau mereka ingin kaya dan berhasil.

Lokasi utama yang dituju para peziarah adalah makam Pangeran Samudro dan para pengawalnya. Ada beberapa versi tentang mitos Pangeran Samodro ini yang masing-masing mempunyai kepentingan sebagai alasan pembenar dalam mencapai tujuan, yaitu versi pemerintah daerah setempat, versi peziarah dan versi penduduk setempat. Berdasarkan pertimbangan bahwa versi pemerintah daerah setempat tersebut sering dimuati unsur politis, maka hanya akan dikemukakan secara ringkas versi peziarah dan versi penduduk setempat saja.

Objek Wisata Ziarah Makam Pangeran Samudro yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Kemukus, selalu menarik untuk diulas. Hal yang menjadikan objek wisata ini menarik adalah pandangan pro dan kontra tentang Makam Pangeran Samudro itu sendiri dan kisah yang beredar di tengah masyarakat. Ada 2 (dua) paradigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat tentang Makam Pangeran Samudro atau Gunung Kemukus. Pertama, adanya keyakinan di sebagian masyarakat bahwa apabila ingin mendapat berkah atau permohonannya terkabul, maka orang yang datang ke Makam Pangeran Samudro harus melakukan ritual berhubungan intim dengan lawan jenis yang bukan suami atau istrinya selama 7 kali dalam satu lapan atau 35 hari.

Paradigma negatif ini perlu diluruskan agar para peziarah tidak terjebak dalam paradigma dan kepercayaan yang keliru. Setiap peziarah atau pengunjung yang menginginkan permohonan atau keinginannya terkabul haruslah memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan berdoa dan berusaha di jalan yang benar. Singkatnya, paradigma negatif yang berkembang di tengah masyarakat tersebut tidak benar adanya. Kedua, berziarah ke Makam Pangeran Samudro atau Gunung Kemukus adalah suatu kegiatan ritual yang mengandung nilai keutamaan dengan mengingat jasa dan keluhuran jiwa dari figur yang diziarahi. Dengan berziarah di tempat tersebut, manusia diharapkan untuk selalu ingat akan kematian sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka akan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu berbuat kebaikan sesuai dengan keluhuran jiwa dan teladan dari figur yang diziarahi.

Secara administratif, Obyek Wisata Gunung Kemukus terletak di Desa Pendem, Kecamatan Sumberlawang, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Secara geografis, Objek Wisata Gunung Kemukus terletak sekitar ± 29 km di sebelah utara Kota Solo. Dari Sragen sekitar 34km ke arah utara. Jarak tersebut bisa dicapai dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Dari kota Sragen dapat ditempuh selama ± 45 menit dengan kendaraan bermotor melewati jalan Sragen - Pungkruk/Sidoharjo - Tanon - Sumberlawang/Gemolong - Gunung Kemukus.

Mitos Versi Peziarah

Ketika kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1478, berdirilah kerajaan Demak dengan seorang raja bernama Raden Patah. Raden Patah mempunyai putra bernama Pangeran Samodro yang berperilaku tidak terhormat karena dia jatuh cinta kepada ibunya, yaitu R.A. Ontrowulan. Ternyata cintanya itu diterima oleh ibunya. Ketika Raden Patah mengetahui hubungan mereka, Pangeran Samodro dicari dan diburu sampai di Gunung Kemukus.

Sementara itu, R.A. Ontrowulan menjadi gila kepada anaknya sendiri, karenanya ia meninggalkan Demak untuk mencari anaknya itu. Kemudian terjadilah suatu pertemuan yang menyedihkan, dan mereka melakukan hubungan badan yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang ibu dengan anaknya. Selanjutnya datanglah utusan Raden Patah yang hendak membunuh Pangeran Samodro. Lalu dia bunuhlah Pangeran Samodro itu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Pangeran Samodro berucap: “Bagi siapa saja yang mempunyai keinginan atau cita-cita, untuk mendapatkannya harus dengan sungguh-sungguh, mantap, teguh pendirian, dan dengan hati yang suci. Jangan tergoda apa pun, harus terpusat pada yang dituju atau yang diinginkan. Dekatkan dengan apa yang menjadi kesenangannya, seperti akan mengunjungi yang diidamkan (dhemenane)”.

Mitos Versi Penduduk Asli Daerah Setempat

Pangeran Samodro adalah putra tertua istri resmi Prabu Brawijoyo dari kerajaan Majapahit. Ketika menginjak dewasa, untuk mengumpulkan pengalaman yang akan berguna di kemudian hari, ia dilepas ke dunia luar. Beberapa tahun kemudian, Pangeran Samodro kembali ke istana dan ia jatuh cinta kepada salah seorang selir ayahnya yang bernama R.A. Ontrowulan. Cintanya itu diterima. Ketika Prabu Brawijoyo mengetahuinya, beliau sangat marah dan mengusir mereka berdua. Kemudian menetaplah mereka di Gunung Kemukus sebagai suami-istri dengan bahagia.

Sebelum menetap di Gunung Kemukus, mereka mengembara ke daerah yang kini menjadi Kecamatan Sumber Lawang. Suatu tempat perhentian yang sangat disenangi oleh R.A. Ontrowulan adalah sebuah sumber air di kaki gunung yang saat ini dikenal sebagai Sendang Ontrowulan. Di sendang itu pula ia sering duduk dekat pohon jati dan bermeditasi sepanjang hari. Konon, sendang itu dibuatnya dengan menancapkan sebatang tongkat ke dalam tanah. Dan pohon-pohon besar yang menjadi hutan lebat di sekelilingnya berasal dari bunga-bunga pengikat rambut yang jatuh ketika R.A. Ontrowulan menggoyangkan rambutnya yang panjang. Pada suatu waktu, ketika R.A. Ontrowulan pergi bermeditasi di sebuah tempat yang jauh dan untuk waktu yang lama, Pangeran Samodro jatuh sakit dan meninggal dunia.

Oleh penduduk desa Blorong, jenazahnya dimandikan di Sendang dan dimakamkan. R.A. Ontrowulan tidak mengetahui kejadian itu. Ketika kembali, ia mandi di Sendang dan langsung pergi ke puncak Gunung Kemukus untuk bertemu dengan suami tercinta. Namun yang dijumpainya adalah orang-orang desa yang baru saja menguburkan suaminya. Dia sangat sedihlah mengetahui kenyataan tersebut, dan ia pun meninggal di tempat itu. Kemudian walaupun sudah larut malam dibuatnyalah makam untuknya.

Pada suatu hari, beberapa tahun setelah meninggalnya Pangeran Samodro dan R.A. Ontrowulan, Pangeran Samodro menampakkan diri dalam penglihatan orang tertua di desa. Pangeran Samodro berpesan pada orang tua itu bahwa ia akan memenuhi keinginan setiap orang yang datang ke makamnya dengan membawa bunga, dengan syarat bahwa orang yang datang itu harus memberi kesan telah mempunyai pasangan.

Demikianlah mitos Pangeran Samodro dari dua versi yang berbeda, yang rupanya ditafsirkan secara berbeda pula. Menurut keyakinan para peziarah, Pangeran Samodro adalah orang yang sering bertapa dan mempunyai kekuatan sangat besar. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan, Pangeran Samodro menginginkan agar para peziarah datang sebanyak tujuh kali dalam waktu peziarahan dan melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan resmi.

Jumlah tujuh kali didasarkan pada pengalaman bahwa jumlah tersebut membawa hasil atau rejeki tersendiri. Sedangkan hubungan seks dengan ‘orang yang bukan pasangan resmi’ adalah penafsiran dari kata dhemenane yang ditafsirkan oleh peziarah sebagai kata dhemenan yang berarti ‘pacar gelap’, yaitu laki-laki atau perempuan lain yang bukan suami atau istri.

Adapun dalam penafsiran versi penduduk setempat, walau pun ada persamaan namun sangat berbeda dalam bagian akhir dari cerita mitos tersebut. Pangeran Samodro memang memberi syarat harus adanya pasangan, tetapi tidak mensyaratkan adanya hubungan seks. Hal tersebut dianggap tidak begitu penting dan dapat dilakukan dengan aman di rumah saja. Penduduk setempat yang datang berziarah umumnya membawa pasangan resminya sendiri. Jadi bagi yang berminat mengikuti ritual di Gunung Kemukus tinggal pilih saja, mau mengikuti versi yang mana.

Kisah mengenai Pangeran Samudro tersebut memiliki banyak tafsiran. Kisah lainnya menyebutkan bahwa Pangeran Samudro adalah seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Tapi ada pula yang menyebut dia dari zaman Pajang. Dia jatuh cinta kepada ibu tirinya, Dewi Ontrowulan. Ayahnya yang mengetahui hubungan anak-ibu itu menjadi murka. Pangeran Samudro lantas diusir. Dalam kenastapaannya, dia mencoba melupakan kesedihannya dengan melanglang buana. Akhirnya ia sampai ke Gunung Kemukus.

Tak lama kemudian, sang ibu menyusul anaknya ke Gunung Kemukus untuk melepaskan kerinduan. Namun celakanya, sebelum sempat berhubungan badan, penduduk sekitar memergokinya. Keduanya dirajam beramai-ramai hingga akhirnya tewas. Keduanya kemudian dikuburkan dalam satu liang lahat di gunung itu. Tapi menurut cerita, sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir Pangeran Samudro sempat meninggalkan sebuah pesan. Ia berujar, "Siapa saja yang dapat melanjutkan hubungan suami-istrinya yang tidak sempat terlaksana itu akan terkabul semua permintaannya".

Ada pula yang meyakini kuburan itu adalah milik Syeikh Siti Djenar. Dia dihukum para wali karena dianggap menyebarkan ajaran sesat. Menurut KRHT Kresno Handayaningrat, tokoh budaya setempat, Syeikh Siti Djenar dieksekusi di tempat tersebut.

Memang, tak ada catatan sejarah mengenai sosok Pangeran Samudro. Namun, mitos telah telanjur berkembang. Orang yang mengunjungi makam Sang Pangeran dipercaya memperoleh berkah, berupa jabatan dan harta kekayaan.

Tentu saja menjalankan ritual pesugihan di tempat itu adalah hak masing-masing peziarah. Sayangnya, ritual itu kemudian berkembang dengan bumbu seks bebas yang dilakoni sebagian peziarah. Lagi-lagi kegiatan menyimpang tersebut dipengaruhi mitos. Pangeran Samudero juga berbuat yang sama dengan ibu tirinya di sana.

Ketika malam Jumat Pon, para peziarah bersiap untuk melakukan ritual pesugihan di Makam Pangeran Samudro. Sebelum memasuki arel makam, para peziarah harus mengunjungi Sendang Ontrowulan dan Sendang Taruno. Di sana, mereka membersihkan diri, seperti yang dilakukan Dewi Ontrowulan ketika akan menemui Pangeran Samudro.

Jika pembersihan diri telah dilaksanakan, para penziarah menemui kuncen Sendang. Mereka meminta restu dan mengutarakan permintaan sebelum mendatangi makam. Saat itu, sebagian peziarah membawa pasangan di luar nikah. Kelak, beberapa pasangan dadakan tersebut akan berhubungan seks yang dipercaya sebagai prasyarat ritual.

Menurut juru kunci atau kuncen senior makam tersebut bahwa tidak ada syarat tertentu hanya membawa bunga. Dengan panduan juru kunci mereka berdoa. Melakukan tawassul atau tahlil supaya mendapatkan barokah.

Lalu para peziarah pun melaksanakan ritual di makam Pangeran Samudro. Tidak ada panduan resmi, bagaimana ritual harus dilakukan. Yang jelas, para peziarah harus menyampaikan maksud kedatangan dan mengutarakan permintaan yang diinginkan. Tentu saja, tidak semua peziarah melakukan seks bebas usai melakukan ritual di makam Sang Pangeran. Namun, tak sedikit diantara mereka melakukan hal itu.

Bagi peziarah yang percaya harus melakukan seks bebas di sekitar komplek makam, tersedia kamar-kamar yang disewakan. Jika kebetulan tidak mempunyai pasangan dadakan, para penyedia jasa penyewaan kamar juga menyediakan wanita teman kencan.

Mitos tentang seks bebas sebagai prasyarat pesugihan di Gunung Kemukus akhirnya menyuburkan prostitusi. Para pekerja seks komersial menjadi teman kencan bagi para penziarah yang tidak mempunyai pasangan. Tak ada yang melarang aktivitas seks atau sekedar minum minuman keras dan berjudi di sana. Meskipun ada plang larangan judi, asusila, dan minum, namun rupanya hal tersebut tidak berpengaruh.

Masyarakat di sana juga tidak merasa terganggu. Apalagi, mereka mendapatkan uang dari aktivitas itu. Pendapatan masyarakat dari sewa dan menjual makanan di daerah tersebut cukup membuat kehidupan masyarakat di sekitar Gunung Kemukus menjadi sejahtera. Dari situlah mereka mendapatkan penghidupan untuk sehari-hari.

Prostitusi sebagai dampak mitos ritual seks bebas di Gunung Kemukus sebenarnya telah disadari pemerintah dan kepolisian Sragen. Namun, sejauh ini kedua instansi tak berdaya karena keuntungan ekonomis dari kegiatan tersebut telah menjadi sumber pendapatan warga sekitar.

Bagaimanapun kisahnya, yang dinamakan pesugihan adalah sesuatu yang tidak baik, apalagi dengan melakukan seks bebas. Mencari harta dengan jalan pintas yang sudah jelas dilarang oleh agama meskipun dengan selubung sejarah masa lalu tetap saja tidak dapat dibenarkan. Kepercayaan masyarakat yang seperti itu sungguh tidak dapat dibenarkan dalam sudut pandang agama maupun asusila.

Sejarah yang seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi kehidupan sekarang malah diselewengkan menjadi tradisi yang merusak moral. Ironisnya pemerintah yang seharusnya dapat mengatasi penyimpangan tersebut malah tidak mampu berbuat banyak. Tindakan yang dilarang oleh agama seolah mampu dikaburkan oleh ulasan sejarah yang tidak mampu membawa ke dalam kebaikan namun malah semakin merusak moral.

Sebagai genarasi yang dibekali aturan dan agama, jelas paham mengenai pelajaran dari kisah Pangeran Samodra tersebut. Yang mana yang seharusnya diteladani dan yang mana yang tidak pantas untuk diteladani. Dari kisah tersebut seharusnya dapat dipahami bahwa perselingkuhan itu bukan tindakan yang baik dan tidak pantas dilakukan bahkan oleh ibu dan anak. Namun sangat disayangkan hal tersebut malah menjadi kisah yang diselewengkan dan dibuat-buat untuk mengambil keuntungan pribadi.


Sebagai manusia yang memiliki agama dan mengerti mengenai hakekat kesusilaan yang baik, tidak selayaknya meminta pada yang selain Tuhan Yang Maha Esa, meminta rezki pertolongan dan sebagainya pada hal yang tidak jelas tersebut adalah musyrik dan sangat tidak disukai Tuhan. Ditambah dengan melakukan hubungan seks bebas atau zina, tentu hal tersebut sangat dilarang oleh agama.