Gadis kecil itu bernama
Febri, dan dia mencintai hujan lebih dari siapapun. Senyumnya akan mengembang
ketika hujan mulai merintik satu-satu. Tapi di musim kemarau seperti ini,
kemarau juga senyum Febri.
Gadis kecil itu masih
kelas dua SD, dengan seragam lusuhnya dia akan berlari sepulang sekolah untuk
segera mengambil payungnya yang warna-warni. Iya, dia adalah gadis kecil
penyedia jasa ojek payung. Dari lembar demi lembar yang dia dapat tersebut, dia
gunakan untuk membantu keuangan keluarganya. Tapi di musim kemarau seperti ini,
jelaslah bahwa ia kehilangan rupiah yang dapat membantu asap dapur keluarganya
untuk tetap mengepul. Karena itu gadis kecil tersebut mencintai hujan lebih
dari siapapun.
Namun gadis kecil itu
sudah sebulan ini berkabut, seperti ruam udara di Kota Jambi yang juga berkabut.
Bukan kabut embun dengan titik-titik air yang menyejukan, tapi kabut asap yang
memekat hingga membuat indra penglihatan dan penciuman terganggu. Karena masalah
kabut asap tersebut pulalah sekolah Febri diliburkan selama dua minggu ini. Itu
juga yang membuat senyum seolah dirampas dari wajah mungil Febri.
Padahal untuk gadis
kecil itu, sekolah merupakan tempat belajar sekaligus bermain. Diantara waktu
yang dia habiskan untuk mencari uang membantu Ibunya, sekolah seakan menjadi
satu-satunya tempat dimana dia bisa tersenyum dan bermain dengan
teman-temannya. Hidup miskin yang dia jalani membuatnya harus ikut bekerja. Karena
itu dia begitu merindukan hujan lebih dari siapapun, agar dia dapat mencari
uang dari mengojek payung, agar kabut asap yang menyelimuti kotanya dan membuat
dia tidak dapat bersekolah segera hilang.
Gadis kecil itu memang
hanya tinggal dengan Ibunya, Ibu semata wayang itulah satu-satunya keluarga
yang dia miliki. Tanpa Bapak dia hidup, bapak yang meninggalkan dia saat
usianya masih kecil, bahkan tak ada secuilpun kenangan bersama bapaknya yang dia
ingat. Bapak yang kata Ibunya sudah meninggalkan dia dan ibunya demi perempuan
lain yang lebih muda dan cantik. Bapak yang tidak bertanggung jawab terhadapnya
dan ibunya. Bapak yang tiap kali dimaki-maki ibunya saat ibunya itu marah,
padahal bapaknya tidak akan pernah mendengar makian ibunya tersebut. Karena itu
dia juga tidak peduli lagi ada bapak atau tidak dalam hidupnya, itu tidaklah
penting.
Gadis kecil itu
benar-benar merindukan hujan, merindukan lambaian tangan dari orang-orang yang
ingin dinaungi payungnya. Sambil mengulurkan tangan menerima upah dari jasa
ojek payungnya, bibir mungil Febri akan mengucapkan terima kasih. Lalu sesungging
senyum dari bibirnya yang setelah itu terjadi meskipun belum tentu dibalas
senyum juga dari pelanggan ojek payungnya, tapi dia senang. Dari situ dia mulai
menyukai hujan.
Pernah di suatu siang
terik yang tidak memberikan pertanda sedikitpun untuk hujan akan turun, Febri
mencoba mencari pekerjaan lain. Dia menjual koran di lampu merah yang cukup
ramai di Kota Asap tersebut. Tapi belum sampai sepuluh menit dia berada di
situ, datanglah seorang laki-laki dengan segepok koran ditangannya yang dengan
kasar mengusir Febri. Laki-laki itu berdalih bahwa tempat tersebut adalah lahan
dagangnya. Gadis kecil yang baru kelas dua SD bisa apa melawan seorang
laki-laki. Akhirnya dia berhenti berjualan koran.
Esoknya dia mencari
pekerjaan lain, maka mulailah Febri bekerja di tempat cuci pakaian atau istilah
kerennya itu Laundry. Dia ditempatkan di bagian menjemur pakaian yang telah
selesai di cuci. Maka dari situlah kulitnya yang dulu putih hingga banyak yang
mengira bahwa dia warga keturuan berubah perlahan menjadi hitam disengat
matahari. Meskipun dia betah berlama-lama di bawah terik tapi dia juga tidak
terlalu menyukai pekerjaannya.
Selain itu dia juga
pernah bekerja di tempat pengupasan bawang, yang sukses membuat jari-jari
tangan kecilnya merah perih. Terkadang dia meringis menerima upah yang tak
seberapa dari pekerjaannya menguapas bawang tersebut bukan karena upahnya yang
sedikit tapi lebih karena kulit jari tangannya yang benar-benar perih tak
terperi. Akibat mengupas kiloan kulit bawang tersebut jugalah matanya bening
menjadi mengabur berembun tersengat pedasnya bawang kupasannya tersebut.
Berbagai pekerjaan tak
kenal ampun dia coba satu per satu, namun tetap dia hanya menyukai pekerjaannya
sebagai penyedia jasa ojek payung. Karena itu dia begitu merindukan hujan. Hujan
yang turun menurunkan rezeki untuknya. Hujan yang membasahi tubuh kecilnya tapi
tak sedikitpun pernah membuatnya sakit. Bahkan saat tubuhnya habis dihajar
ibunya dia tetap berlari menembus hujan dengan memeluk payung warna-warninya.
Hujan seakan menjadi
obat yang paling mujarap untuknya saat lebam biru-biru menghiasi lengan, kaki
dan punggungnya. Air hujan yang menyentuh kulit-kulit lebamnya tersebut
memberikan efek sejuk baginya. Juga saat dia begitu kesakitan menerima setiap
pukulan tanpa ampun dari ibunya, hujan seakan memeluknya dalam basah yang
indah. Saat makian dan cacian dari ibunya yang membabi buta dilesatkan
untuknya, hujan yang jatuh dimanapun tempat jatuhnya tersebut seperti bernyanyi
menghiburnya.
Febri gadis kecil yang
baru kelas dua SD itu tentulah akan menangis saat kemarahan ibunya yang
terkadang tidak dia tahu karena apa dan hanya bisa dia terima karena hanya
kepadanyalah ibunya dapat melampiaskan kemarahannya. Segala caci maki yang
keluar dari lorong-lorong jahanam tergelap yang tak pernah dia paham
keberadaannya, tak perlah luput dia terima. Lalu segala macam bentuk pukulan
juga tak luput mendarat di tubuh kecilnya. Dan saat itu dia hanya mampu
menangis.
Lalu saat ibunya sudah
merasa puas melampiaskan semua kemarahannya, Febri dapat tertatih keluar rumah.
Menyambut dan disambut oleh hujan, dia akan menangis sesenggukan tanpa disadari
oleh siapapun. Karena air hujan menyembunyikan air mata Febri yang menetes,
lalu hujan pulalah yang menghapus air matanya tanpa ia sadari air yang menganak
sungai di pipinya hanya air hujan saja. Sedang air matanya sudah terhenti. Dia merasa
sangat diselamatkan oleh hujan.
Gadis kecil itu percaya
setelah hujan pasti akan ada pelangi yang indah, seperti hidupnya yang penuh
lelah, lebam dan tangis pasti akan ada senyum yang indah. Karena itu dia sangat
merindukan hujan. Hujan yang dapat menghadirkan senyum untuknya. Hujan yang
menghapus semua lukanya. Hujan yang akan memeluk tubuh kecilnya.
Gadis kecil itu
benar-benar mencintai hujan lebih dari siapapun, dan sepertinya hujan pun juga
mencintainya. Seperti saat ini, hujan turun dengan derasnya saat tubuh kecil
Febri diusung menuju peristirahatan terakhirnya. Tubuhnya tak lagi bernyawa
saat api melalap dia dan ibunya sekaligus. Himpitan ekonomi membuat ibunya
menyalakan api untuk terlebih dahulu mengguyur tubuhnya sendiri lalu anaknya dengan bensin. Hingga
membuat keduanya tak bernyawa lagi.
Kini gadis kecil yang mencintai
hujan itu telah pergi. Dan berhari-hari hujan yang dia cintai itu turun tak
berhenti. Karena hujan juga mencintainya.