Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, October 25, 2013

Tour Aremania Sragen Community





Sekitar jam delapan malam kupacu motorku dari Semarang menuju Sragen, kota kelahiranku.
Diguyur hujan dijalan juga sehingga membuatku harus menepi sejenak untuk ngiyup, padahal teman di Sragen sudah sms terus agar aku segera merapat ke Stadion Taruna Sragen, karena kita memang kumpul disitu dulu sebelum berangkat.


Mendukung AREMA secara langsung di Stadion Kanjuruhan Malang adalah tujuanku, hingga membuat aku nekat bermotoran malam-malam menuju Kota Sragen, karena memang aku akan berangkat bersama ASC a.k.a Aremania Sragen Community.
Gak peduli hujan, gak peduli malam, motoran sendirian.
Tapi kuakui aku sedikit takut juga karena melewati Jalan Boyolali yang gelap, apalagi ku lirik jam tanganku sudah menunjukan Pukul 21.00 waktu itu. Entah sekedar ilusi rasa takut atau sugesti diri, tercium bau bacin kalo kata orang sih berarti itu ada pocong.
Memikirkan itu, cukup serem juga sampai kuhabiskan jog motorku kebelakang biar gak dibocengin pocong, haha mungkin terdengar konyol
Tapi jujur seandainya tu pocong muncul didepanku secara langsung sih aku masih bisa melawan, kujorokin biar jatuh kek, kugetok pake kayo kek atau ku tendang pas dibagian kakinya kek.
Perlawanan haruslah ada dan mudah saja.
Tapi jika sudah diboncengi? yok po rek?
Oke itu hanya pemikiran konyolku saja, sambil kubaca doa sehapalku, kukebut motorku menembus pekat malam Kota Boyolali, lalu sepinya jalanan Sukoharjo hingga macetnya jalan raya Solo-Sragen akibat ada tabrakan tronton ternyata.


Sampai TKP sudah hampir tengah malam waktu itu.
Dilanda rasa pegal luar biasa, ku manfaatkan saja tikar yang memang sengaja digelar oleh arek-arek di Stadion Taruna.
Sambil tiduran, sambil dengerin arek-arek yang ngobrol lucu.
Sepengalamanku 'kumpul bocah' selama ini, kumpul dengan Kamtis bercanda ria, saling bully, saling ejek gak karu-karuan meski kadang berlebihan juga tapi tak pernah ada rasa marah atau dendam dalam hati, karena memang begitulah Kamtis, membuang segala batas status demi keakraban tanpa batas.
Lalu kumpul dengan Monster Jackers yang membicarakan tentang segala realita dunia yang sakit ini. Mungkin sedikit serius namun realita lapangan memang begitu, 
dan aku cukup setuju karena manusia memang harus berpikir tentang segala hal yang kadang tersisih, atau bahkan memang sengaja disisihkan.
Dan kumpul bocah dengan berbagai kumpulan yang memang satu pandangan, satu visi misi.
Dari situlah banyak aku simpulkan, disini kumpul dengan Aremania Sragen yang terdengar olehku waktu itu meraka sedang membicarakan tentang lowongan pekerjaan, atau apalagi entah sayup saja terdengar olehku karena terlindas rasa ngantuk.


Tidak begitu nyenyak tidurku, garuk sini garuk sana, ulah nakal nyamuk-nyamuk taruna yang cukup membuat gatal.
Sehabis subuh kita berangkat dengan menggunakan dua mobil.
Senang rasanya bisa bertolak lagi ke Kota Malang tercinta, setelah cukup lama tidak kesana, dan ini pertama kalinya juga aku ke Bhumi Arema dalam acara tour. Jadi intinya dobel-dobel lah kebahagiyaanku.
Tapi gak tau kenapa, dijalan yang ada aku cuma tidur ngiler aja, padahal aku adalah orang yang selalu menikmati melek mengamati jalanan dalam tiap perjalananku.
Sebentar-sebentar tidur, sebentar-sebentar bangun, sebentar-sebentar lihat pemandangan diluar.
Hingga sampai di Blitar, berhenti untuk sarapan.
Dengan menu masakan ala jawa timuran, kurasakan sensasi masakan yang seperti masakan ibuk ku.
Bahkan setelah menginjak Bhumi Arema, atmosphere yang begitu hangat dihati dengan jutaan rasa yang tak mampu ku urai satu per satu.
Kota yang dipenuhi rasa begitu rupa.
Hingga mengalun lagu milik D'Kross yang Welcome Home.


Sampai di Stadion Kanjuruhan juga akhirnya, meskipun yang sebelumnya harus belok kanan tapi karena pak supir yang lupa jalan jadi lurus, dan dengan aba-aba teman disampingku mobil pun balik arah.
Dan parkirlah di parkiran Stadion Kanjuruhan Kabupaten Malang.
Sembari menunggu untuk masuk stadion,
kita poto-poto demi kepercayaan kita tentang pentingnya sebuah sejarah, namanya Aremania narsis ini.
Tak boleh terlewat juga untuk membeli kaos Aremania, syal, dan segala hal yang berbau Arema mumpung sedang dikandanganya. Namun entah aku seperti sedang bukan seperti aku, tak serakus biasanya boleh dibilang begitu, padahal hanya sekedar melihat kaos arema onlen saja pengen beli minta ampun, tapi ini dikandangnya aku malah hanya menemani temanku jajan kaos. Aremania Suping.


Sambil kufoto temanku yang sedang pilih-pilih kaos sesuai keinginan dia. Dan aku hanya lihat-lihat saja tanpa rasa keinginan buat membawa pulang salah satu kaos yang terpajang tersebut. Meskipun tetap sebagai Aremanita tak dipungkiri olehku semua itu sangat menggiurkan.


Setalah mendapat tiket masuk stadion pertandingan antara Arema Indonesia vs Barito Putera, baris berbaris rapi ala Aremania pun dimulai.
Dan tak lupa kuabadikan juga moment tersebut dibawah ini.



Hingga masuk stadion disuguhi oleh band-band malang, kita masih putar-putar mencari tempat duduk ternyaman.
Yang waktu itu stadion Kanjuruhan cukup dipenuhi Aremania.
Dan meskipun bareng-bareng masuk, tapi aku ditemanani dua ongis nganal yang manis mencari tempat lain. sate timur. ania Sragen yang lain di gate sebelah, membentangan spanduk besar bertuliskan Aremania Gen, karena memang sedang dalam proses pengerjaan baru setengah jadi tapi sudah nekat dibawa tour. Gokilun!



Meskipun ekspresiku seperti itu tercipta karena Arema yang tidak berhasil membawa kemenangan, karena hanya berakhir seri, ditahan imbang oleh Barito Putra. Namun buatku tour dengan ASC itu sangatlah istimewa.
Tak pernah kutulis kata lelah dalam mendukung Arema, dan kutekat untuk ke Malang lagi dalam kesempatan pertandingan selanjutnya.
Sedang pertandingan yang berlangsung tak aku ceritakan karena memang biar aku menjadi komentator pribadi untuk diri sendiri.
Bagiku meskipun Aremania/ta harus menjadi suporter yang dewasa tetapi dalam pandanganku selalu Arema tanpa cela.
 Sebenarnya masih banyak hal-hal yang tak kutulis, biarlah menjadi bagian yang kugaris bawahi dihati.
Dan tak kan kuakhiri catatanku ini dengan the end karena memang aku begitu mengaharapkan catatan tentang perjalananku selanjutnya.

Puisi ini milik Sulthon Muzaki

deru hujan menjerit, memecah sepi dengan luka
pelangi sendupun merangkulnya meski luka jua
hujan terobati, pelangi kian masuk ke hati
terus menyeret dengan pegas rasa sedih...

kini, sang hujan telah berganti rupa
rintik gerimis kian manis menyapa
sedang pelangi memudar warnanya
teriris dalam lembutnya senyum palsu...

semburatpun muncul lagi
jejak gerimis mulai berlalu
tapi pelangi meragu, hilang warna coba mengejarnya ?
sang jejak menganga, menunggu langit menumpahkan sari...

lagi pelangi layu, terus berlari mengejar perih
kini jejak mulai kering mati rupa, menghibur diri dalam asa
merangkai mimpi di peluknya yang mati
pelangi masih menangis, merontah di ambang bimbang
sinarnya hidup dalam dilema
coba menyirami tapi terus mendambanya ?

tapi, lembayung pagi menularkan senyum
keronta hilang, ciptakan yang subur berbunga harap
menengok ke arah yang lebih cerah
senyum bimbang dari hati yang temaram
menghias pelangi menahan paradoks diri
mengharap ia mampu mengerti.


By Sulthon Muzaki

Thursday, October 24, 2013

Lawatan pertamaku bersama Exsara


Akibat pamflet yang tertempel di mading sejarah ini nih aku jadi merasakan bagaimana rasanya bahagiya itu diciptakan dengan kesederhanaan.
Meskipun diawal dulu aku pikir Exsara (Ekspedisi Sejarah Indonesia) adalah sebuah organisasi jurnalistik karena saat pengenalan pertama waktu itu aku membaca Buleexs (Buletin Exsara) dan karena kolom art yang ada di Buleexs itulah aku begitu tertarik mesuk Exsara. Namun bukan hanya sebatas karena aku suka dunia tulis-menulis saja aku jatuh cinta pada Exsara, tapi karena memang Exsara adalah jiwaku.
Jiwaku adalah Exsara.



Inilah pertama kalinya lawatanku bersama Exsara atau boleh dibilang awal karirku. Menjelajah Kota Magelang sampai Kota Jogja.
Istimewa atau jika di Exsara disebut istimebret.
Dengan hanya membayar kontribusi 30K sudah bisa begitu puas berpetualang. Pengalaman yang begitu tak bisa dilupakan.


Inilah cara makan ala Exsara, diatas daun pisang. Dengan kebersamaan yang begitu hangat.
Entah karena memang benar-benar lapar atau karena memang doyan, nasi yang ditaburi mie instan pun ludes masuk dalam perut.



Aku pikir hanya lawatan di candi-candi saja, tetapi petualangan kami juga begitu seru di Pantai Parangtritis dan Malioboro.
Aku diceburkan sama kakak tingkat Exsara, padahal rencana hanya poto-poto saja dipinggir pantai tapi aku malah basah kuyup karena diceburin.
Kepalang basah,
ya sudah aku nikmati saja pantai yang begitu indah dan terasa belum lengkap jika ke Jogja tanpa datang ke pantai ini.


Dan saat perjalanan pulank kami beristirahat di Alun-alun Kota Magelang, masak mie di rotowarnya lalu dimakan bareng-bareng. Tak terketinggalan juga berpoto-poto ditempat itu, mengakhiri lawatan Exsara yang saat itu diberi judul Temple Expedition ; Menapaki Sejarah Candi Hindu-Budha di Magelang-Jogja.
Saking begitu mengesankannya lawatan saat itu sampai aku bingung harus menuliskannya sebanyak apa, intinya lawatan pertama dengan Exsara menjadi candu yang luar biasa bagiku.
Exsara sudah menjadi bagian yang sangat berarti bagi hidupku.

Disebelah sini untuk poto-poto lengkapya
Silahkan klik =>> https://www.facebook.com/terdengar/media_set?set=a.488581661174134.116821.100000669138729&type=3

Lihatlah Negeri Ini

Di bumi sebelah sini kueja kata pertiwi
Diantara daun-daun hijau berkemeja embun pagi
Juga kecipak riak ombak pantai menyibak pasir berbulir
Hingga malam menyulam parodi jangkrik yang riang mengerik

Di bumi sebelah sini kueja kata merdeka
Di bawah lampu lalu lintas para bocah mereka-reka mimpi mereka
Samar terlihat juga sesosok manusia menjelma tikus berdasi
Serta ribuan raut muka manusia yang warna warni

Di selembar kertas ini kembali kueja pertiwi yang merdeka
Berharap dalam genangan air mata dan doa
Janganlah sang saka merah putih terkafani luka
Intan_Div.Merpati

Np : Salah satu puisiku yang dimuat di Buleexs (Buletin Exsara) edisi September



Wednesday, October 23, 2013

JILU

        "Emmm kowe anak pertama soko dua bersaudara yo?" pertanyaan yang sudah jelas jawabannya itu tetap beliau tanyakan. Aku sendiri akan merasa tidak sopan jika tidak menjawab "injih buk" sambil mata tetap mengamati lantai rumah.
Entah hanya perasaanku saja atau memang terjadi perubahan tingkat keramahan dari ibu pacarku ini, tapi sejak mengetahui kenyataan itu sikapnya sedikit berubah.
Setelah 10 menit mengobrol denganku beliau masuk keruang tengah, gantian mengobrol dengan anak laki-lakinya, entah apa yg mereka obrolkan, hanya terdengar bisik-bisik saja.
Baru setelah dua hari dari kunjungan itu, aku ketahui kalo ibu pacarku benar-benar menentang hubunganku karena satu hal
JILU !!


Nb : Jilu merupakan sepotong mitos yang berkembang disebagian sedikit tanah Jawa sekitaran Kota Solo. Mitos dimana jika anak pertama tidak boleh menikah dengan anak ketiga. Sebabnya adalah karena diibaratkan seperti gotong mayit atau menggotong jenazah dalam kubur yang dilakukan oleh tiga orang. Jadi, jika anak pertama menikah dengan anak ketiga, 'katanya' akan ada salah satu yang meninggal tidak lama setelah pernikahan, atau akan seret rejeki, mendapat banyak kesialan dan segala hal buruk yang akan mendatangi rumah tangganya. Sebagian sangat percaya akan hal tersebut karena telah mengalami atau sekedar mendengar cerita dari mulut ke mulut.

Mayeng Pekalongan Part 2


Hari itu bukan yang pertama kali aku ke Pantai Pasir Kencana Pekalongan, karena sebelumnya aku pernah kesana juga. Saat itu magrib menjelang dengan temaram senjanya, matahari ditelan batas langit dengan laut. Namun yang kedua ini ternyata malah sebaliknya, pagi dengan matahari yang hangat menyapa aku sudah berada dibatas pantai dengan daratan yang diisi oleh tumpukan batu-batu. Setelah semalam sebelumnya aku kumpul dengan Outsiders dan Kamtis Family Pekalongan, yang sebenarnya dengan kumpul dengan Kamtis itu tidak sengaja.


Itu lah potoku bersama Kamtis Family Pekalongan, yang jauh-jauh aku tancap gass dari Semarang sampai Pekalongan, sungguh bukan kenangan yang mudah dilupakan, boleh dibilang sangat mengesankan.
Sambutan yang sangat hangat aku terima dari teman-teman yang sebenarnya baru pertama itu berkenalan, namun dipersatukan dan diakrabkan oleh status yang sama yaitu sebagai Kamtis. Tiba-tiba aku sudah begitu dianggap keluarga oleh mereka. Ternyata lagu Long Live My Family milik Endank Soekamti bukan hanya sebatas lagu saja, tapi benar-benar kami hayati dan kami implementasikan dalam hidup kami. Sebenarnya sabutan yang begitu hangat dan 'welcome' dari teman-teman sesama Kamtis bukan hanya aku alami saat itu saja, tapi sudah sangat sering jika bertemu di jalan atau saat merapat nonton konser, tetapi malam itu cukup mengesankan bagiku. Dari situ aku sadar, bahwa karena aku menjadi kamtis jadi aku punya banyak teman bukannya karena biar banyak teman aku menjadi kamtis.

di Pekalongan 19 dan 20 Oktober 2013
dituliskan Semarang, 23 Oktober 2013

Pagi Begitu

      "Masih sakit ya?" tanyamu sambil membetulkan letak kacamatamu. Dan pertanyaanmu hanya kubalas dgn senyuman, semoga itu cukup menjawab. Kamu yg duduk dipinggir ranjangku ikut tersenyum menatapku teduh. Lalu dinding putih yg bisu pun ikut membisukan kami beberapa menit ini. Dalam ruangan yg benar2 gagu ini, kami menyadari kecanggungan kami. Padahal telah semalaman tadi ruangan ini dipenuhi oleh desahan kami, dibasahi oleh cipratan nafsu yg entah datang dari belahan neraka mana. Lenguh suara2 laknat dan jalang dari mulut kami. Juga serakan baju2 kami dilantai, hingga seprai kasur yang berantakan kusut masai. Tak terasa sinar matahari pagi sudah mengintip dari celah jendela. Pagi kembali menyapa gang sempit SK, ya mereka menamai komplek ini Sunan Kuning.


Semarang, 18 September 2013


Celoteh Senja dengan Embun

        Senja datang dengan diam-diam menutup kedua mata Embun dari belakang sambil berkata "ayo tebak siapa?" dan seperti biasanya Embun menjawabnya dengan senyuman. Tak lama Senja pun melepaskan tangannya dari Embun lalu duduk didepan Embun. Kedua sahabat itu pun berbincang dengan akrabnya. Sambil menatap dalam pada Senja, Embun dengan wajah serius bertanya "kamu ingin cinta yang seperti apa, Nja?". Karena tak terbiasa dengan pertanyaan seperti itu maka Senja pun tak segera menjawab, meskipun sebenarnya mudah saja bagi Senja untuk menjawab asal-asalan seperti ia biasanya, namun melihat mimik muka Embun yang serius tak urung juga membuat Senja sedikit berpikir sebelum menjawab hingga menghadirkan kerutan didahinya. Lalu setelah menyeruput kopinya Embun malah menjawab pertanyaannya sendiri "aku ingin satu cinta yang selamanya, kan ku simpan disini" sambil dia menunjuk dadanya sendiri. "Dasar egois lu" kata Senja sambil ngelempar kulit kacang ke kepala Embun, tapisetelah itu Senja pun juga memakai raut muka yang serius sambilmelihat ke angkasa terbentang dengan bintang gemintang yang berusaha menampakan dirinya diantara selimut langit yang menggelap "seperti ramainya bintang dilangit, aku ingin jutaan cinta yang berterbangan mengelilingiku, surut dan pasang, terang dan redup, silih berganti biar datang dan pergi, bergulir tanpa monoton" lalu Senja pun tertawa ceria begitu lepasnya. "Dengan begitu hidup akan berwarna" katanya lagi tanpa menghiraukan malam yang sudah siap meringkusnya dengan selimut gelap.


Thursday, October 17, 2013

Sepotong puisi terabai dlm status fesbukQ dulu

puisiQ trkoyak waktu hingga kertasnya robek

pensilQ patah sedang tintaQ tumpah dan rautannya entah
knp bgtu susah untk sebait puisi yg mulai jengah
huft hrz q tulis smua dari awal
mngajari metafora untk brkata tanpa manja
tp sebelumnya biar q urai remah2 pensil ini
atw q gunakan saja bulpen dgn sisa tinta ini
q rasa kata sudah mulai brlompatan tanpa henti
segera tampung sebelum ia enyah brlari prgi, nasehatmu
q mulai dgn membuat titik diawal dlm manik matamu
lalu kata cinta, namun...
tunggu sayang, jgn dulu terpejam"
Sragen, 31 Juli 2013


Semarang, bulan lalu
np : sadarkah sayang? ini caraku mengemis perhatianmu
tapi sekarang aku sadar, bahwa tidak seharusnya aku kamu perlakukan teramat biasa padahal kamu kuperlakkukan segalanya
sadar memang lebih baik

Wednesday, October 16, 2013

Berkelindan Bersama Masa


Setiap masa memiliki caranya sendiri dalam memberikan kita nyawa.
Begitupun aku, menjadi tokoh yang diberi nyawa dalam suatu masa yang begitu banyak memberikan luka.
Aku yang hari ini rontok dari rantingku, meskipun banyak yang bilang bahwa rantingku kuat, dan aku iyakan itu.
Tapi disinilah aku, terlepas.
Aku terbang terbawa angin kesana-kemari untuk selanjutnya luruh sembah sujud pada bumi.
Daun kering yang terabai.
Meskipun telah menjadikan aku dalam bagian yang sama sekali tiada arti dan tak terpedulikan, namun rupanya kehidupan tetap menghempaskanku pada tanah yang terburuk.
Belum selesaikah keringku?
Haruskah juga kerontang?
Gemuruh mendera, kala hujan maka aku basah, kala panas maka aku kering lagi.
Kapan aku lapuk?
Kapan aku membusuk?
Agar aku menyatu dengan tanah dengan bumi yang gemah ripah loh jinawe ini.
Hanya itu yang kutunggu. Bukan dalam pertengahan yang tanggung begini.
Menatap daun-daun lain yang hijau segar menempel pada ranting mereka masing-masing, dari bawah sini.
Membuatku cukup terhibur.
Teringat aku pernah pada masa itu juga.
Merasakan sepoi anggun beliung yang menyapa dikala senja, dengan biasan sinar matahari senja genit yang mengintip dari balik daun-daun lain.
Juga saat terselimuti embun sejuk namun juga terkadang dingin, yang diam-diam telah membalut seluruh tubuhku dipagi yang buta.
Sedang yang terindah adalah saat malam, terkadang aku tidur, tapi lebih sering aku terjaga.
Disirami oleh cahaya rembulan yang tak jemu merayu untuk tetap memandang langit dimana ia bertahta menyinari semesta malam.
Tersenyum aku mengingat aku pernah mengecap masa yang indah itu.
Kupahami dan kujalani. Masa memang tak selalu sama.
Kini dengan keikhlasan yang luar biasa aku serahkah sepenuhnya aku pada masa apa selanjutnya yang akan kugeluti.
Kembali berkelindan bersama masa yang kusambut, kusenyumi.
Kupahami ini bukan suatu kepasrahan, tapi lebih sempurna dari itu, ini adalah keikhlasan.
Kini aku, akhirnya melebur bersatu dengan tanah.
Sambil membentangkan kedua tanganku lebar-lebar, aku berkata
"Aku tanah sekarang"

Semarang, 10 September 2013

Tuesday, October 15, 2013

[Bukan] Kamtis Dadakan

Masih teringat olehku “Nami Monolog Tak Terdengar, kowe kuwi apdet status opo ngunu? Hahhaa” reaksi teman-temanku setelah baca status facebookku yang bertuliskan lyric lagu Endank Soekamti yang Asu Tenanan, yah mungkin bagi mereka itu status yang cukup aneh dan layak untuk ditertawai. Mereka tidak tahu kalo itu sebenarnya lyric lagu. Kejadian itu sudah satu tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih kelas satu es-em-a dan sekarang setelah aku kelas dua es-em-a bukan secara tiba-tiba aku teringat akan kata-kata itu. Tapi dikarenakan suatu sebab, teman-temanku tersebut sekarang menjadi Kamtis!!! (apa ini sejenis mukjizat?)


Ini aku jaman masih es-em-a

Ku buka pendaftaran, ayo siapa ikutan
Bila tak kebagian, coba lain kesempatan
Ku buka pendaftaran, Audisi Percintaan
Bila kau jadi pilihan, langsung saja pelaminan

Lagu Audisi itu menggelorakan semangat dalam atmosphere kelasku saat jam istirahat pertama ini. Speaker dari Music Angel milik temanku itu ternyata berisi penuh lagu-lagu dari album Soekamti.Com yaitu album terbaru dari Endank Soekamti. Aku yang sedari bel istirahat tadi tidak beranjak dari tempat dudukku cukup menikmati setiap suntikan semangat dari lagu-lagu itu. Memang begitulah aku, menjadi penghuni kelas saat istirahat pertama semua demi penghematan uang saku, ditemani dengan segelintir teman yang sedang malas keluar. Biasanya ritual mendekam dikelas saat istirahat ku isi dengan ngerumpi atau sekedar ikut ngerampok teman yang membawa makanan dari rumah atau membaca novel atau menulis puisi atau apa saja yang bisa membunuh rasa bosanku, tapi kali ini hanya sekedar duduk sambil sesekali mengikuti bernyanyi J

Rasanya semakin semangat saja karena banyak temanku yang sekarang menjadi Kamtis. Aku sendiri suka lagu-lagu Endank Soekamti sudah sejak berbaju putih biru, teringat dulu pertama kali kudengarkan lagunya disalah satu station radio amatir. Jujur bukan dari lagunya yang menarik perhatianku waktu itu, tapi dari gaya penyiarnya yang begitu menarik dalam mempromosikan lagu tersebut. “Aku juga suka lagu yang slow melow tapi yang penting gak cengeng, dan lagu-lagu melodic punk itu selalu membuatku semangat” begitu kata mas penyiar radio itu kurang lebihnya, memang kalimat itu ditunjukan buatku saat ku sms dia, dan semakin dekat aku dengan penyiar itu semakin aku tahu banyak tentang Endank Soekamti, juga band-band yang ber-genre sejenis. Boleh dibilang penyiar tersebut yang mengenalkan aku pada Endank Soekamti dan apa yang disebut musik menghidupkan. Nah kan, cinta itu gak selalu harus dari mata turun ke hati, dalam kasusku ini, cinta itu dari telinga turun ke hati. (ciyeee)


Hasil karyaku sendiri

Tapi meskipun begitu aku sampai sekarang masih belum berani menyebut diriku Kamtis. Hal tersebut karena aku jarang nonton konser mereka, Kaos Kamtis juga tidak punya waktu itu, paling banter cuma punya lagu-lagu mereka dalam mp3 hape. Hanya sebatas itu, sedangkan teman-temanku yang dulunya kutahu sama sekali tidak tahu apa itu Endank Soekamti dan sekarang menjadi kamtis, dalam sebulan saja lemari baju telah dipenuhi Kaos Kamtis, bikin grub Kamtis dan merapat sampai keluar kota mereka sambangi. Meskipun mereka mendadak Kamtis tapi aku pikir mereka lebih fanatik daripada aku. Banyak hal yang mendukung mereka salah satu hal yang paling mendasar dan hal tersebut tidak ku punya, yaitu mereka laki-laki!!! (hikz terus apa fungsinya perjuangan Ibu Kita Kartini). Mereka punya kebebasan itu, untuk bisa pergi kemana saja dimana Konser Endank Soekamti digelar.

Jadi teringat konser pertama Endank Soekamti yang kulihat, saat itu di kotaku sendiri Sragen. Susah sekali mendapat ijin keluar malam, tapi beruntungnya aku punya bapak yang pengertian. Sore itu kupijiti kaki bapakku lalu aku bilang “Pak, ayo tak ajak nonton Endank Soekamti” sambil pasang tampang semanis mungkin. (ehh jangan pada muntah loh). Memang begitu triknya dan setelah rapat PBA alias Perundingan Bapak-Anak yang begitu menguras tenaga dan pikiran akhirnya diputuskan bahwa permintaanku dikabulkan. (hehe saatnya bilang Alhamdulillah).

Pergi nonton konser ditemani bapak? Tak jadi masalah yang penting bisa nonton Grub Band Pujaan yang dari dulu begitu di impikan bisa nonton secara langsung. Setelah tiba di TKP, aku memisahkan diri dari bapakku, bukan bermaksud durhaka tapi sekedar menyelamatkan mukaku dari teman-temanku yang sebelumnya sudah janjian untuk bertemu disana. (M.A.A.F ya pak, hehe). Saat itu suasana alam begitu mendukung, langit cerah bulan bulat bersinar tepat diatas kepala dan bintang-bintang begitu ramai bertaburan. (Subanallah banget dech). Sambil melihat langit dalam hati aku berkata ‘Kita sedang melihat langit yang sama sekarang dan ku yakin ditempat yang sama juga, sayang kita tak mampu saling sapa’ kalimat tersebut aku tunjukan pada mas penyiar yang dari dia lah aku mengenal Endank Soekamti. (aku berhutang terima kasih pada kamu mas penyiar)

Bisa berpogo, bernyanyi, gembira bersama Kamtis Family itu sangat istimebret buatku, sungguh tidak bisa terlupakan. Disana pun aku tak sengaja bertemu teman-teman sekolahku yang sebelumnya aku ceritakan tak tahu menahu Endank Soekamti itu sejenis makanan apa, tapi setelah itu menjadi kamtis yang fanatik. Mereka hanya berdiri melihat sambil melipat tangan didada gak bergerak sedikitpun. (sebut saja mematung) -____- Bagiku mereka yang aneh, bukan status facebookku (see!). Disuguhi tontonan sebegitu menariknya tapi tak juga bergeming dari kepatungan mereka. Bahkan ikut menyanyi pun tidak, aku sebagai orang yang selalu dibuat semangat oleh lagu-lagu Endank Soekamti cukup shock dibuatnya. Terus apa gunanya mereka lintas provinsi demi nonton konser Endank Soekamti? Oke baiklah itu hak kalian bagaimana menikmati konser. (see!)

Hingga aku ditemukan lagi oleh bapakku dalam kerumunan teman-temanku dan bapak pun mengajak pulang. Dengan mengeryitkan dahi karena mungkin juga shock melihat anak gadisnya ikut berpogo “Wis bengi iki ayo mulih” aku pun pasrah saja digandeng bapak pulang. Meninggalkan konser yang belum usai, tapi tak apalah harus sadar waktu karena memang besok aku harus sekolah. Dengan memboncengkan aku, bapak pun tancap gas pulang kerumah. Tiba dirumah bapak hanya bilang “Tiwas gelem mbok ajak, tak pikir Endank Soekamti kuwi penyanyi dangdut.” (oh jadi itu alasannya) -_____-

Masa sekolah memang begitu menyenangkan, saat kelas dua jumlah kamtis dalam kelasku mengalami peningkatan. Pertama memang dari temanku yang aku ceritakan diatas, karena dia anaknya memang lumayan berpengaruh jadi banyak yang mengikuti jejaknya menjadi Kamtis. Aku pun setelah sekian tahun suka lagu-lagu Endank Soekamti kini mulai berani menyebut diriku Kamtis. Ikut gethering, merapat nonton konser, bikin kaos kamtis bareng. Segala hal seolah selalu berkiblat pada Endank Soekamti, buku pelajaran yang digambari tulisan Endank Soekamti, bahkan tulisan desain kaos olahraga untuk kelas saja juga menggunakan font Endank Soekamti. Sampai-sampai saat itu dalam kelas musik-pun kami accoustik-kan membawakan lagu Endank Soekamti di depan kelas. Nyanyi bareng teman-teman dan dinilai oleh guru, menjadi bagian dari kenangan indah masa putih abu-abu. (hikz jadi kangen)

Kaos Olahraga kelas

Kini setelah menanggalkan seragam putih abu-abu dan memulai dengan almamater kuning disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Semarang, kekamtisanku-pun semakin tidak diragukan lagi. Tak lagi memahami patokan jauh dekat dalam merapat, saat waktu mempersilahkan maka kesitulah aku akan pergi. Bahkan setelah perjalan berhari-hari keluar kota yang menguras tenaga tanpa pikir panjang pun aku tetap sempatkan untuk tancap gas merapat, karena semboyanku sendiri ‘mending kesel ketimbang nyesel’. (gak ada kata finish untuk ngamtis)


Ini pas Ngamtis di Kota Kudus

Ini pas Ngamtis di Purwokerto

Ini pas Ngamtis di Semarang

Ini di kotaku sendiri Sragen

Yang ini Ngamtis dengan wajah dekil abis dari Kebumen langsung Ngamtis di UNDIP

Ini pas di Maguwoharjo, Jogja

Merapat ditemani sahabat-sahabatku kuliah yang sebenarnya bukan Kamtis tapi begitu senangnya menemani aku nonton konser, mungkin itulah yang disebut Angka 8. Bahkan mereka diam-diam juga hafal seluruh lagu di Album Angka 8, benar-benar membuatku terbengong-bengong. Kadang juga merapat bersama kakak tingkat yang Kamtis. Pernah juga kuajak pacarku merapat meskipun dia seorang Rezpector, dan dari situlah kupahami lagu Mix Couple. Tiap kali merapat pasti selalu mendapat kenalan Kamtis Family dari berbagai kota, Kamtis memang selalu ramah dan terbuka. (aku tidak bangga menjadi kamtis, tapi aku bersyukur menjadi kamtis)

Terlepas dari kamu Kamtis dadakan yang malamnya nonton konser tapi hanya diam saja dan paginya memakai Kaos Kamtis ataupun seorang Kamtis yang sudah bertahun-tahun menjadi Kamtis tanpa atribut. Kamtis adalah diaklektika jiwa. Bagiku sendiri menjadi kamtis adalah serangkaian proses perjalanan hidup yang sangat kunikmati tiap anak tangganya. Only God Can Stop Kamtis J


Semarang, 4 September 2013

Racauan Part 1

Akhir-akhir ini banyak hal ekstrim yang kurasakan, hingga tiap kupejamkan mata, pikir seakan berhenti dan hati begitu menajam.
Perlu diketahui aku adalah orang yang tak suka memanja perasaan dan selalu mengutamakan dalam memelihara pikiran. Namun akhir-akhir ini yahh aku begitu mudah terhanyut hanya dengan sekali riak ombak menjilat ujung kaki. 
Melihat matahari senja, mata terasa panas berkaca-kaca. Saat melihat ayunan ombak pantai, dada terasa sesak menyesak. Melihat pemandangan gunung nan megah pun nafas satu satu yang keluar terjungkal sengal. 
Mungkin diluar aku terlihat seperti biasa, menjadi ceria bahkan diantara yang murung. Namun dari dalam aku seperti bukan aku. Yang terasa hanyalah kekosongan, suwung, ngglangut. Dan seperti biasa, kuibaratkan layak telur tanpa isi, hanya cangkang membungkus angin. 
Ada apa dengan aku? Hanya aku sendiri yang mampu menjawabnya. Namun lagi-lagi keterhanyutan ini hanya mampu kuurai dengan memejamkan mata dan menajam hati, begitu cara merasakannya. 
Hingga lemah pikiran untuk menjamah dalam goresan kata melahirkan kalimat, meski sekali lamat-lamat, tak juga mampu. Namun kali ini ku paksa juga racauan ini untuk digoreskan, yang ku yakin tak kan seindah monolog biasanya. Tak apa, biar kutuliskan racauan tiap tetesan monolog yang semakin menggigil karena dipeluk pilinan kenangan-kenangan indah bercermin pahitBiarkan sedikit pikiran ini berkutat dengan kebiasaannya dalam menghadirkan kemusafirannya. Meski begitu berat dan enggan, karena semua terjadi begitu seperti membalik telapak tangan. Namun pikir sudah terbiasa berkawan dengan isakan huruf yang menyeka kata, hingga berjingkat-jingkat kalimat yang malu-malu mengintip dari rahim sang sepi. Seenggan apapun tetap harus menggores yang abadi. Jadi biar kutulis menulis.
Sebenarnya aku cukup bersyukur karena dengan ini semua aku jadi sering merasakan lalu mencoba menguraikan semua dengan perpaduan antara perasaan dan pikiran, dan setidaknya hidupku tidak monoton. Namun sungguh ini terlalu ekstrim, bahkan untuk seorang aku yang dengan banyak kecerian dalam menghadapi tiap ketukan masalah sekalipun. 
Aku bingung! Harus dengan apa aku mengatasi semua ini? Jika ditanya mengenai penyesalan, sungguh aku tidak menyesal sama sekali, karena aku paham betul mana yang harus kumiliki dan mana yang harus kulepas. Tapi kenapa pahitnya nyelekit? Huft... Aku sering mengobati diriku sendiri seperti lagunya Captain Jack bahwa "yang kubutuhkan hanya waktu untuk sembuhkan semua luka". Namun lagi-lagi aku bingung benarkah ini luka, bahkan itu pun tak jelas, yang kutahu ini semua yang selalu membuat sesak adalah kenangan indah, namun kenapa membuat sesak?? Apa karena tak kan dapat kuulangi? Atau karena kenangan itu sudah berubah pahit? Kenangan indah yang bercermin pahit?? Suatu kenangan yang ketika bercermin ternyata bayangannya adalah tak indah. Aku tidak paham juga, kenapa. Biar kuurai sejenak, semoga tak makin bergulung.
Jika terasa sesak karena tak dapat kuulangi lagi, logikaku menjawab bukan karena itu. Karena aku sendiri paham betul ketika kulepas maka semua tak kan lagi sama. Dan jika karena telah berubah pahit, kurasa juga bukan karena itu. Bagaimana bisa pahit ketika semua sudah kupahami betul? semua sudah kutimang-timang, atau karena apa yang kutimang tersebut terjatuh? Hey aku tidak menyesal, tidak ada yang terjatuh, terpeleset atau terpelanting. Tapi benarkah? Iyakah?





Ketika indah berkembar pahit


Kenapa senja malah mengingatkan ku pada kenangan indah namun pedih terasa?
Matahari senja yang orens dipandang menyiksa mata.
Mengahdirkan goresan kenangan menyesak sepanjang tarikan nafas,
dan ketika kupenjamkan mata, 
yang menyerbu adalah riak ombak pantai dengan garis ujungnya menelan matahari senja.

Semarang, 23 September 2013
menyeret sore diatas GSG UNNES



Monday, October 14, 2013

Kata 'Kamu'

Tak lagi kutoleh kata kamu dalam rumah racauku
Karena sudah sangat berlalu di belakangku jauh sejauh-jauhnya
dan setiap kali kamu mengetuk pintu hanya acuh yang kan didapat
Dulu sempat kupersilahkan masuk
Meski sekedar kusuguhi senyuman dan segelas air putih
Namun rupanya itu membuat candu luar biasa
Mampir disetiap persilahan
Dengan membawa oleh2 kritik tentang rumahku
Yang catnya kurang biru,
yang kacanya berdebu,
juga tentang laba2 yang menyulam jaringnya dikasurku,
serta sederet kritik tanpa titik
Aku lelah dengan itu
Karena itu pintunya kugembok untukmu
Biar kamu mampir ke rumah lain
Mungkin tetanggaku, yang satu RT, atau satu kampung
Atau beda pulau, bisa jadi beda negara
Tak apa menggembaralah selagi kau masih muda
Sebelum menua, dan kau kan kehilangan tajam kata mu
Berjalanlah sebulat bumi, pasti kan kau temui
Rumah dengan desain yang kau sukai
dan kau kan menjadi kata memakna disana


Itu Kamu

Memandang ke arah lain,
diantara rerumputan yang tak pernah kau warnai hijau
dan kau selalu abu-abu diantara diam mu
Disitulah aku selalu mencintaimu
Iya . . . .
Aku jatuh cinta pada rayuan diam mu
sejak dulu
Hingga tiap selaksa langit menggelar jubah hitamnya
Yang bermanik bintang gemintang
Membentuk wajah seseorang, rayuku dalam racau didepanmu
Namun sungguh itu bukan sekedar ilusi tak tahu diri
Hingga detik ini
Jika menengadah muka pada langit yang ramai oleh bintang
pasti kamu selalu diantara itu
Meski raut mukaku sudah berganti ribuan kali
namun kamu tetap mengendap di hati
Kapan memudar??
Sungguh hanya itu yang kutunggu



(B)

Monolog Berepisode


Kamu tidak mencariku ya? Tak apa, aku akan tetap mengabarimu lewat sms, bahwa aku sedang dilokomotif paling belakang sayang, mereka menyebutnya lokomotif kesabaran.

Tapi sepertinya aku telah sampai, saatnya aku turun. Dan hanya stasiun senyap yang menyambutku.

"Saat aku putuskan kamu, aku sarankan pacaran lah dengan odong-odong sayang, biar kamu selalu bahagiya" kalimatku yang sengal terjungkal oleh malam, sambil tersenyum getir kuangkat seluruh persendian kakiku yang kaku.

Mengingat semua masa bersama saat kamu hanya datang ketika aku tersenyum ceria tapi saat aku dengan langkah gontai menghapiri kamu, berharap pada sebuah bahu yang mau ikhlas untuk kusandari letihku, merebah lelah, melebur resah, disana.

Tapi kau keburu terpejam sayang. Sudah tidurkah kau sayang? Atau itu hanya alasanmu saja, karena kau malas bergulung pada raut mukaku yang letih dan hanya suka meneguk ceria yang bergelora dari senyum dan semangatku. Tapi aku manusia biasa sayang.

Iya, sepertinya kamu memang bukan orang yang suka mendengarkan kisah sedih. Ya sudah, biar kukemasi lukaku sendiri.

Tidurlah jika kau sudah ngantuk, akan ku bisikan langsung ketelinga Tuhan agar Dia melindungi tidurmu dan memberikan mimpi yang indah pada tidurmu, hingga kamu terbangun dipagi yang cerah.

Akupun setelah itu akan diam, menekuk kaki dan memeluknya dalam ringkuk. Menenggelamkan wajahku diantara kakiku sendiri, mengahayati tiap sakit lapis sakit.

Bagiku sudah terpelihara semua berbingkai airmata dalam malam sunyi seperti mendekap hati. Disitu kumenitip hati.

Tersadar dari tersandar ditembok stasiun, kuhela nafas agar sedikit lega, karena helaan nafas ini adalah spasi yang begitu berhati, memberi ruang untuk sebuah arti. Namun tetap suwung, kegamangan menatap stasiun menyergapku.

Sudah kubeli tiket tak bernama lagi, dari loket yang antah brantah. Entah kereta apa yang akan kunaiki nanti, dan entah akan membawaku kemana, entah dilokomotif entah juga, entahlah.

Aku tak lagi paham ini sebuah kepasrahan atau keikhlasan dalam menerima secarik takdir yang dilemparkan sebegitu sekenanya. "Ah sudah doakan sajalah" kataku sambil menatap ke kanan, terlihat sebuah kereta yang lampunya membelah gelapnya malam.

Semarang, 4 September 2013


Senggama Kata

Melihat kata yang sedang bersenggama
Bersetubuh berdesahan para bahasa
Pada klimaksnya orgasme juga pikir yang musafir dalam rahim syair