Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Thursday, April 16, 2015

Si Penunggu Sia-sia

Disini yang ku tulis dan tidak mungkin untuk kamu baca. Karena aku tau, untukmu yang acuh rumah ini terlalu jauh. Untukmu yang dikelilingi dengan begitu banyak keriuhan suara-suara yang tak pernah mengenal sepi, maka kamu juga tak kan pernah mengenal rumah ini. Bisingmu dengan lampu pijar yang gemerlap terlalu terang untuk bisa sampai pada ketemaraman rumah ini.

Lorong-lorong yang dipenuhi dengan kepekatan segala macam rasa, juga liku-liku jalan untuk bisa sampai ke depan rumah ini, kamu tidak akan pernah memiliki langkah. Padahal kamu tau, setiap hari aku menunggumu di sini. Berharap kamu mengetuk pintu rumah ini atau sekedar di depannya mengamati. Tapi kamu tak pernah ada dan aku si penunggu yang sia-sia.

Mereka-reka sendiri dengan senyum semanis apa dan sapa seramah apa saat ku persilahkan kamu masuk. Mungkin sambil tersipu merah jambu saat komentar mengenai rumah ini keluar dari mulutmu, namun meski begitu aku akan sangat bahagia menjamu kamu. Mungkin akan ku suguhi secangkir minuman manis untukmu. Mungkin juga hanya air putih.

Atau mungkin selamanya memang hanya lewat kata mungkin aku menjadi si penunggu sia-sia di depan rumah monolog ini.


Menunggumu yang mengucap rindu entah sudah berapa ribu kali untukku. Kamu yang tidak akan pernah tau di mana saja ku taruh rindumu. Kerena memang yang tidak akan pernah kamu baca malah menjadi kalimat terdalamku. Kamu sendiri yang tidak pernah mendengar panggilanku dari rumah ini. Kamu sendiri yang memilih untuk tidak melihat senyumku dari rumah ini. Kamu sendiri yang tidak akan tau, segala cerita tentang rumah ini. Padahal selimut hangat dan makanan lezat sudah selalu tersaji tiap hari. Hanya waktu yang memakai dan memakan sampai menjadi kesia-siaan basi.

Tak terperi luka menganga, entah saking bodohnya aku atau aku memang terlalu tulus ikhlas terus memelihara harap yang membekap ratap. Aku lelah sejujurnya, aku hanya manusia biasa yang menunggumu mengetuk pintu dengan kesabaran luar biasa. Ini semua ku tulis karena aku lelah, ini semua yang tak kan pernah kamu baca. Karena tulisan ini ku tulis hanya untuk kamu yang tidak akan pernah membacanya.


Semarang, 14 April 2015




Thursday, April 9, 2015

Kamboja Putih


Berlarian bersama teman-teman menuju sebuah kuburan, ku ayunkan sapu lidi yang aku bawa dari rumah sambil bernyanyi. Tawa hari itu adalah tawa bahagiya bagiku dan teman-teman sebayaku yang menyambut lebaran. Lebaran yang bagi kami artinya adalah kami akan mendapat uang dari saudara-saudara yang jumlahnya jika dihitung bisa untuk beli banyak hal. Meskipun terkhusus untukku uang tersebut nantinya harus aku berikan untuk ibuku yang akan dibelanjakan keperluanku. Jadi intinya uang yang aku dapatkan dari saudara-saudaraku itu tidak dapat aku belanjakan sesuai keinginanku sendiri.

Sudah terlihat pohon kamboja putih yang tumbuh subur di seluruh penjuru kuburan, tandanya kami sudah hampir sampai di komplek pekuburan yang ada di kampungku. Rumahku memang tidak jauh dari kuburan. Berjalan beberapa menit saja sudah sampai, tapi rupanya hari itu menjadi hari yang sangat membuat tidak sabar hingga kaki-kaki kecil kami berlarian berlomba untuk cepat-cepat sampai di kuburan duluan.


Saking bersemangatnya, topi SD berwarna merah yang kupakai sampai jatuh dan diambil oleh temanku. Rupanya temanku mengambilnya bukan dengan niat menolongku tapi malah dia pakai sendiri. Pagi itu memang tidak panas tapi aku yakin siangnya pasti panas jadi untuk antisipasi aku bawa topi. Karena yang aku miliki hanya topi sekolah jadi ya itu yang aku pakai. “Awas yen ilang, suk Senin dienggo upacara hlo” kumarahi temanku yang rumahnya dibelakang rumahku. Jadi bisa dipastikan aku berteman dengannya sudah sejak masih sama-sama dalam gendongan ibu. Tanpa menjawab protesku dia malah menyambar sapu lidiku, praktis terjadilah perang rebut-merebut sapu lidi. Saat sudah tinggal satu tarikan dengan kekuatan penuh dia malah melepaskan tarikannya pada sapu lidiku, jelaslah yang terjadi, aku terjengkang kebelakang. Dia malah tertawa-tawa merasa sukses mengerjaiku. Aku cuma bisa meringis kesakitan, ingin kubalas menghajar dia dengan sapu lidiku ternyata dia sudah lari duluan. Akhirnya yang keluar dari mulutku hanya “PITEEEEEKKKKK”. Itu adalah olok-olokan buat dia, karena dia memang dijuluki Pitek dalam bahasa Jawa, artinya adalah ayam. Julukan tersebut dia dapatkan karena dia tidak pernah mau memakai sendal jepit, jadi dia suka nyeker kemana-mana.

Aku tidak idak ingin terlalu marah karena Pitek memang temanku yang paling usil. Kulupakan kejengkelanku sambil menghampiri pasien yang akan aku tolong. Kutawarkan jasaku pada sepasang suami istri yang baru keluar dari sebuah mobil dengan membawa seplastik bunga mawar tabur. Mereka hanya mengangguk jadi kuikuti saja langkah mereka menuju satu nisan yang memang sudah sangat kotor. Ku lap bagian dari kuburan yang sudah dikramik lalu kubersihkan juga daun-daun kering yang ada disekitarnya. Setelah selesai, kulihat kedua suami istri tersebut berdoa untuk si empunya kuburan, tak lupa juga menaburkan bunga mawar yang sudah mereka bawa. Dengan sabar kutunggui mereka sampai selesai, lalu tibalah saat mereka memberikan uang atas jasaku yang telah membantu mereka membersikan kuburan. Begitulah yang aku lakukan bersama teman-teman sebayaku yang semuanya anak laki-laki. Meskipun ini baru pertama aku ikut mencari uang di kuburan dengan mereka tapi aku sudah diajari oleh Pitek, jadi sudah tidak binggung lagi aku melakukannya.

Kuhitung uang yang aku dapatkan, rata-rata jika membersihkan satu kuburan memperoleh sekitar lima ratus sampai dua ribu rupiah. Belum selesai aku menghitung uangku, kupingku dijewer dari belakang dengan sekuat tenaga sampai panas sekali. Dengan raut muka marah ternyata ibuku sudah berada dibelakangku. Siap mengayunkan sapu lidi yang tadi kubawa dari rumah. Tetapi ternyata hanya mengayun-ayunkannya disampingku, mungkin karena ibuku malu untuk menghajarku di tempat yang sedang ramai oleh peziarah. Teman-temanku hanya melihatku dari kejauhan, ibuku sudah menggandeng tanganku dan menyeretku untuk pulang. Kulihat juga temanku Pitek dengan raut wajahnya yang takut karena melihat kemarahan ibuku. Dia masih memakai topi sekolahku, aku hanya berharap tidak dia hilangkan topiku tersebut. Karena masih harus aku pakai kalau upacara bendera hari Senin.


Sampai di rumah, sapu lidi yang tadinya tertunda untuk menghajarku, akhirnya mampir juga di tubuh kecilku. Berkali-kali sampai perih punggungku. Ibuku marah-marah luar biasa. Dia bilang bahwa aku bikin malu keluarga karena mencari uang di kuburan seperti anak-anak orang miskin. Padahal ibuku sudah selalu memberi uang jajan untukku setiap harinya. Aku hanya diam sambil menahan isak tangisku. Ibu terus-terusan mengomeliku “opo aku kurang ngekek’i kowe duit jajan?” sambil membanting sapu lidi yang sudah berceceran lidinya. Seluruh badanku perih semua tersabet sapu lidi. Ibu menuju ruang dapur sambil tetap memarahiku untuk tidak mengulangi lagi, ibu juga menambahkan bahwa aku anak orang berkecukupan jadi tidak pantas kalau mencari uang di kuburan seperti teman-temanku. Aku hanya diam, tapi dalam hati aku ingin membantah kalo temanku Pitek kan malah anak orang kaya, bapak ibunya sudah pergi haji berkali-kali, rumahnya juga bagus dan punya mobil, tapi dia juga ikut anak-anak lain mencari uang di kuburan. Aku tidak membenarkan kata-kata ibuku. Aku sendiri masih merasa benar, dalam pikiran kecilku saat itu, apa salahnya mencari uang membantu orang-orang yang berziarah dengan menyapukan kuburan? Yang penting kan halal, apa salahnya mencari uang seperti itu? Tapi karena takut makin diamuk ibuku jadi aku hanya diam saja.

Siangnya di rumahku sudah sangat ramai dan sibuk menerima tamu, karena saat lebaran memang seluruh keluarga berkumpul di rumahku dan rumah nenekku yang berada disebelahnya. Saat aku ke belakang rumah untuk membuang sampah, kulihat Pitek temanku sedang berjongkok sambil memegangi topi sekolahku. Dia mengembalikan topiku tersebut dan ada satu set monopoli juga yang dia taruh ditopiku. Aku tersenyum senang karena dia tau memang rencananya uang yang aku dapatkan nantinya mau aku belikan mainan monopoli. Tapi karena sudah kena marah ibuku jadi uangnya belum cukup untuk membeli monopoli. Jadi dia pakai uang yang dia dapat untuk membeli monopoli dan dia berikan untukku, walau pada akhirnya monopoli tersebut juga akan dimainkan bersama-sama.


Air mataku menetes mengingat semua kejadian masa kecilku itu, sudah bertahun-tahun berlalu. Itu hanya sedikit dari sekian banyak kenangan masa kecilku bersama teman-temanku dan Pitek. Bahkan sampai sekarang aku belum berterima kasih karena telah membelikanku permainan monopoli. Aku hanya diam getir sambil memegangi satu nisan berwarna putih yang ada di depanku. Selesai mengirim doa, air mataku tak juga mau berhenti. Satu penyesalanku adalah saat menjenguknya di Rumah Sakit aku tidak berani menemuinya di ruangan ICU. Hanya ibuku yang masuk sambil menyampaikan kalau dia menanyakanku. Saat itu aku hanya membeku di kursiku depan ruang ICU, aku benar-benar kasihan pada keadaanya. Setelah kecelakaan motor, berminggu-minggu dia di Rumah Sakit bahkan sampai berkali-kali dioperasi tapi keadaannya tidak juga membaik.

Teman masa kecilku, dia sahabatku yang tidak pernah mengeluh sakit sekalipun jatuh dari pohon mangga yang tinggi. Siapa yang mengira bila waktunya hanya sependek ini, berawal dari kecelakaan motor yang dia alami pada jam satu dini hari. Sampai subuh dia tergeletak di pinggir jalan sendiri tanpa satu orang pun yang tau. Meskipun dia sudah mengirim SMS ke kakaknya tapi karena kakaknya tertidur jadi tidak mengetahui kalau adiknya kecelakaan. Dengan luka di sekujur tubuhnya dia harus menahan sakit sedirian di pinggir jalan yang dingin berembun. Karena tidak mampu berdiri apalagi meminta tolong dalam keadaan luka-luka setelah kecelakaan, terlebih waktu pagi buta jalanan sepi. Hingga dia ditolong oleh polisi yang sedang berpatroli di pagi hari.

Sebuah kabar yang mengejutkan dari kampung halamanku, bahwa temanku sudah tidak dapat tertolong lagi. Bahkan saat dikuburkan pun aku tidak dapat ikut melayat karena sedang kuliah di kota. Kusapu air mataku yang menganak sungai di pipiku. Sekarang aku hanya mempu mengirim doa, nanar kupandangi gundukan tanah yang sudah tumbuh rumput di sekitarnya. Mataku kembali berembun, aku berdiri meninggalkan kuburan temanku Pitek. Melangkah melewati jejeran nisan diam beku diantara pohon-pohon kamboja yang tiada bosannya menggugurkan bunga berwarna putih ke tanah. Bunga-bunga putih yang akan mengering menjadi coklat dan lapuk bersatu dengan tanah. Seperti manusia yang juga akan mengalami hal yang sama pada saatnya nanti, luruh bersatu dengan tanah. Dari tanah kembali pada tanah.