Berlarian
bersama teman-teman menuju sebuah kuburan, ku ayunkan sapu lidi yang aku bawa
dari rumah sambil bernyanyi. Tawa hari itu adalah tawa bahagiya bagiku dan
teman-teman sebayaku yang menyambut lebaran. Lebaran yang bagi kami artinya
adalah kami akan mendapat uang dari saudara-saudara yang jumlahnya jika
dihitung bisa untuk beli banyak hal. Meskipun terkhusus untukku uang tersebut nantinya harus aku berikan untuk ibuku yang akan dibelanjakan keperluanku. Jadi intinya uang yang aku dapatkan dari saudara-saudaraku itu tidak dapat aku belanjakan sesuai keinginanku sendiri.
Sudah
terlihat pohon kamboja putih yang tumbuh subur di seluruh penjuru kuburan,
tandanya kami sudah hampir sampai di komplek pekuburan yang ada di kampungku. Rumahku
memang tidak jauh dari kuburan. Berjalan beberapa menit saja sudah sampai, tapi
rupanya hari itu menjadi hari yang sangat membuat tidak sabar hingga kaki-kaki
kecil kami berlarian berlomba untuk cepat-cepat sampai di kuburan duluan.
Saking
bersemangatnya, topi SD berwarna merah yang kupakai sampai jatuh dan diambil
oleh temanku. Rupanya temanku mengambilnya bukan dengan niat menolongku tapi
malah dia pakai sendiri. Pagi itu memang tidak panas tapi aku yakin siangnya
pasti panas jadi untuk antisipasi aku bawa topi. Karena yang aku miliki hanya
topi sekolah jadi ya itu yang aku pakai. “Awas yen ilang, suk Senin dienggo
upacara hlo” kumarahi temanku yang rumahnya dibelakang rumahku. Jadi bisa
dipastikan aku berteman dengannya sudah sejak masih sama-sama dalam gendongan
ibu. Tanpa menjawab protesku dia malah menyambar sapu lidiku, praktis
terjadilah perang rebut-merebut sapu lidi. Saat sudah tinggal satu tarikan dengan
kekuatan penuh dia malah melepaskan tarikannya pada sapu lidiku, jelaslah yang
terjadi, aku terjengkang kebelakang. Dia malah tertawa-tawa merasa sukses
mengerjaiku. Aku cuma bisa meringis kesakitan, ingin kubalas menghajar dia
dengan sapu lidiku ternyata dia sudah lari duluan. Akhirnya yang keluar dari
mulutku hanya “PITEEEEEKKKKK”. Itu adalah olok-olokan buat dia, karena dia
memang dijuluki Pitek dalam bahasa Jawa, artinya adalah ayam. Julukan tersebut
dia dapatkan karena dia tidak pernah mau memakai sendal jepit, jadi dia suka
nyeker kemana-mana.
Aku tidak idak
ingin terlalu marah karena Pitek memang temanku yang paling usil. Kulupakan
kejengkelanku sambil menghampiri pasien yang akan aku tolong. Kutawarkan jasaku
pada sepasang suami istri yang baru keluar dari sebuah mobil dengan membawa
seplastik bunga mawar tabur. Mereka hanya mengangguk jadi kuikuti saja langkah
mereka menuju satu nisan yang memang sudah sangat kotor. Ku lap bagian dari
kuburan yang sudah dikramik lalu kubersihkan juga daun-daun kering yang ada
disekitarnya. Setelah selesai, kulihat kedua suami istri tersebut berdoa untuk
si empunya kuburan, tak lupa juga menaburkan bunga mawar yang sudah mereka
bawa. Dengan sabar kutunggui mereka sampai selesai, lalu tibalah saat mereka
memberikan uang atas jasaku yang telah membantu mereka membersikan kuburan.
Begitulah yang aku lakukan bersama teman-teman sebayaku yang semuanya anak
laki-laki. Meskipun ini baru pertama aku ikut mencari uang di kuburan dengan
mereka tapi aku sudah diajari oleh Pitek, jadi sudah tidak binggung lagi aku
melakukannya.
Kuhitung
uang yang aku dapatkan, rata-rata jika membersihkan satu kuburan memperoleh
sekitar lima ratus sampai dua ribu rupiah. Belum selesai aku menghitung uangku,
kupingku dijewer dari belakang dengan sekuat tenaga sampai panas sekali. Dengan
raut muka marah ternyata ibuku sudah berada dibelakangku. Siap mengayunkan sapu
lidi yang tadi kubawa dari rumah. Tetapi ternyata hanya mengayun-ayunkannya
disampingku, mungkin karena ibuku malu untuk menghajarku di tempat yang sedang
ramai oleh peziarah. Teman-temanku hanya melihatku dari kejauhan, ibuku sudah menggandeng
tanganku dan menyeretku untuk pulang. Kulihat juga temanku Pitek dengan raut
wajahnya yang takut karena melihat kemarahan ibuku. Dia masih memakai topi
sekolahku, aku hanya berharap tidak dia hilangkan topiku tersebut. Karena masih
harus aku pakai kalau upacara bendera hari Senin.
Sampai
di rumah, sapu lidi yang tadinya tertunda untuk menghajarku, akhirnya mampir
juga di tubuh kecilku. Berkali-kali sampai perih punggungku. Ibuku marah-marah
luar biasa. Dia bilang bahwa aku bikin malu keluarga karena mencari uang di
kuburan seperti anak-anak orang miskin. Padahal ibuku sudah selalu memberi uang
jajan untukku setiap harinya. Aku hanya diam sambil menahan isak tangisku. Ibu
terus-terusan mengomeliku “opo aku kurang ngekek’i kowe duit jajan?” sambil membanting
sapu lidi yang sudah berceceran lidinya. Seluruh badanku perih semua tersabet
sapu lidi. Ibu menuju ruang dapur sambil tetap memarahiku untuk tidak
mengulangi lagi, ibu juga menambahkan bahwa aku anak orang berkecukupan jadi
tidak pantas kalau mencari uang di kuburan seperti teman-temanku. Aku hanya
diam, tapi dalam hati aku ingin membantah kalo temanku Pitek kan malah anak
orang kaya, bapak ibunya sudah pergi haji berkali-kali, rumahnya juga bagus dan
punya mobil, tapi dia juga ikut anak-anak lain mencari uang di kuburan. Aku
tidak membenarkan kata-kata ibuku. Aku sendiri masih merasa benar, dalam
pikiran kecilku saat itu, apa salahnya mencari uang membantu orang-orang yang
berziarah dengan menyapukan kuburan? Yang penting kan halal, apa salahnya
mencari uang seperti itu? Tapi karena takut makin diamuk ibuku jadi aku hanya
diam saja.
Siangnya
di rumahku sudah sangat ramai dan sibuk menerima tamu, karena saat lebaran
memang seluruh keluarga berkumpul di rumahku dan rumah nenekku yang berada
disebelahnya. Saat aku ke belakang rumah untuk membuang sampah, kulihat Pitek
temanku sedang berjongkok sambil memegangi topi sekolahku. Dia mengembalikan
topiku tersebut dan ada satu set monopoli juga yang dia taruh ditopiku. Aku
tersenyum senang karena dia tau memang rencananya uang yang aku dapatkan
nantinya mau aku belikan mainan monopoli. Tapi karena sudah kena marah ibuku
jadi uangnya belum cukup untuk membeli monopoli. Jadi dia pakai uang yang dia
dapat untuk membeli monopoli dan dia berikan untukku, walau pada akhirnya
monopoli tersebut juga akan dimainkan bersama-sama.
Air
mataku menetes mengingat semua kejadian masa kecilku itu, sudah bertahun-tahun
berlalu. Itu hanya sedikit dari sekian banyak kenangan masa kecilku bersama
teman-temanku dan Pitek. Bahkan sampai sekarang aku belum berterima kasih
karena telah membelikanku permainan monopoli. Aku hanya diam getir sambil
memegangi satu nisan berwarna putih yang ada di depanku. Selesai mengirim doa,
air mataku tak juga mau berhenti. Satu penyesalanku adalah saat menjenguknya di
Rumah Sakit aku tidak berani menemuinya di ruangan ICU. Hanya ibuku yang masuk
sambil menyampaikan kalau dia menanyakanku. Saat itu aku hanya membeku di kursiku
depan ruang ICU, aku benar-benar kasihan pada keadaanya. Setelah kecelakaan
motor, berminggu-minggu dia di Rumah Sakit bahkan sampai berkali-kali dioperasi
tapi keadaannya tidak juga membaik.
Teman
masa kecilku, dia sahabatku yang tidak pernah mengeluh sakit sekalipun jatuh
dari pohon mangga yang tinggi. Siapa yang mengira bila waktunya hanya sependek
ini, berawal dari kecelakaan motor yang dia alami pada jam satu dini hari.
Sampai subuh dia tergeletak di pinggir jalan sendiri tanpa satu orang pun yang
tau. Meskipun dia sudah mengirim SMS ke kakaknya tapi karena kakaknya tertidur
jadi tidak mengetahui kalau adiknya kecelakaan. Dengan luka di sekujur tubuhnya
dia harus menahan sakit sedirian di pinggir jalan yang dingin berembun. Karena
tidak mampu berdiri apalagi meminta tolong dalam keadaan luka-luka setelah
kecelakaan, terlebih waktu pagi buta jalanan sepi. Hingga dia ditolong oleh
polisi yang sedang berpatroli di pagi hari.
Sebuah
kabar yang mengejutkan dari kampung halamanku, bahwa temanku sudah tidak dapat
tertolong lagi. Bahkan saat dikuburkan pun aku tidak dapat ikut melayat karena
sedang kuliah di kota. Kusapu air mataku yang menganak sungai di pipiku.
Sekarang aku hanya mempu mengirim doa, nanar kupandangi gundukan tanah yang
sudah tumbuh rumput di sekitarnya. Mataku kembali berembun, aku berdiri
meninggalkan kuburan temanku Pitek. Melangkah melewati jejeran nisan diam beku
diantara pohon-pohon kamboja yang tiada bosannya menggugurkan bunga berwarna
putih ke tanah. Bunga-bunga putih yang akan mengering menjadi coklat dan lapuk
bersatu dengan tanah. Seperti manusia yang juga akan mengalami hal yang sama
pada saatnya nanti, luruh bersatu dengan tanah. Dari tanah kembali pada tanah.