Ini adalah foto bersama saat kami di basecamp Cemoro Kandang 29 Maret 2013. Sesaat sebelum kami memulai perjalan menuju Puncak Gunung Lawu 3265 mdpl. Perjalanan yang jujur saja kutempuh dengan perjuangan yang luar biasa. Dua kali aku muntah-muntah karena magh yang memang menjadi penyakit kambuhan buatku. Dan dari judulnya saja sudah jelas bahwa aku gagal mencapai puncak Lawu, terhenti di Post 3 lah kaki ku, kekuatanku sudah menghilang dari tempatnya, dan hanya mampu mendekam dalam tenda ditemani temanku.
Kecewa? Jelas luar biasa kurasakan namun aku tidak ingin memaksakan tubuh yang memang benar-benar belum mampu ini. Tapi dari situ aku berjanji akan mencapai puncak Lawu suatu saat nanti. Sedikit tips mulailah mendaki dari Basecamp Cemoro Sewu di Magetan saja, karena dengar2 dari sana lebih enak tracknya tidak terlalu berat, lalu bisa turun melalui jalur pendakian Cemoro Kandang. Hahaha... mungkin saat itu kami salah memilih jalur. Tapi tak apalah mendaki bersama kakak tingkat tak pernah aku sesali, karena menjadi pengalaman yang luar biasa nano-nano. Solidaritas mereka, guyonan bersama, perhatian antara satu sama lain, kekonyolan yang ada, sifat kekeluargaan dan yang jelas aku jadi nambah teman nambah kenalan juga nambah koneksi.
Tak banyak yang ingin aku tulis, malah saat belum selesai kupublikasikan tulisan ini aku sudah ingin berganti dengan bercerita tentang pendakian pertamaku di Puncak Ungaran sebelumnya, karena sudah dua kali aku mencapai Puncak Ungaran 2050 mdpl. Namun biar kusimpan dulu yang itu.
Mungkin tulisanku yang ini tidak begitu runtut, jujur saja aku masih meraba-raba bagaimana cara penulisanku, motifnya, gaya penulisan yang sepenuhnya ala aku sendiri, karena aku percaya setiap penulis memiliki cara penulisannya masing-masing, memiliki gaya mereka sendiri. Hemb... Kalo aku mungkin biar mengalir menyampaikan segala yang hati ucapkan saja yaaa??? hahahaha....
Saat TM di kost kakak tingkat, waktu itu malam, bahkan untuk kesana saja kami dijemput. Rasanya tidak enakan orang jawa lah yang aku rasakan, merepotkan, sungkan, gak enak, padahal baru awal tapi aku sudah merepotkan. Karena pada saat itu juga kami masih belum akrab betul, kenal juga baru kali itu. Tapi nekat saja ikut pendakian acara rombel mereka. Jujur mendaki Gunung Lawu itu juga sebenarnya setengah hati, demi menemani temanku, atas bujukan dia aku mau mengikuti pendakian. Gunung Lawu yang ada di Karanganyar dan Magetan, perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur ini dari kota kelahiranku Sragen selalu terlihat sangat agung dan indah, namun jujur saja sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bisa berada dipuncaknya. Kalaupun aku suka kesana dulu juga paling mentok ke Grojogan Sewu Tawangmangu, Karanganyar di Jawa Tengah ataupun ke Telaga Sarangan, Magetan di Jawa Timur. Namun kali ini aku akan kesana, mendaki dengan upaya dan kekuatan yang kumiliki. Mampukah? Jawabannya sudah diatas.
Namun demi melaksanakan kewajiban sebagai orang Islam saat adzan berkumandang, kami meminggirkan sepeda motor dan memarkirkannya di Masjid Agung Salatiga. Selain itu juga kewajiban para laki-laki di hari jumat yaitu Sholat Jumat. Karena memang rombongan kami paling banyak adalah kaum adam tersebut. Seusai sholat dan beristirahat perjalanan pun dilanjutkan melewati kota Boyolali, sedikit arah Klaten, lalu Sukoharjo, Kartosuro dan makan kucingan bersama di samping Stadion Manahan Solo.
Memasuki kawasan Karanganyar mendung yang memang sudah memayungi sejak siang pun menampakan hasilnya, yaitu hujan nun lebat. Berhenti sebentar di sebuah SPBU didaerah entah tak tau namanya untuk sholat, mengisi amunisi motor dan juga memakai mantel alias jas hujan. Setelah itu melanjutkan perjalanan kembali dengan udara dan hawa yang mendingin karena sepeda motor telah melaju didaerah yang memiliki jalanan berliku naik turun dengan pemandangan pedesaan dikanan-kiri.
Sampai di Basecamp Cemoro Kandang, waktu sudah magrib, kami beristirahat dan badan tak cukup kuat menerima air yang dingin minta ampun karena itu tubuh terkena air hanya untuk wudhu dan menggosok gigi. Lalu dilanjut mengobrol dan tidur di mushola dengan gigi yang saling beradu karena dingin. Berselimut SB milik kakak tingkat ku mencoba memejamkan mata.
Paginya kami sarapan roti dan melakukan doa bersama lalu melangkahkan kaki memulai pendakian. Di sepanjang perjalan awal pun badan terasa sudah sangat berat karena kondisi perut yang terserang magh terasa begitu sangat sakit bahkan untuk bernafas sekalipun. Kakak tingkat mencoba selalu menyemangati dengan kondisiku yang seperti ini, loyalitas dan perhatian mereka yang sungguh besar sebenarnya cukup membuatku senang sekaligus tidak enak hati karena sudah sangat menyusahkan mereka. Hingga muntah muntah juga tangan kakak tingkat tak lepas dari leher belakang untuk sekedar melegakan seluruh isi perut yang harus aku keluarkan dari mulut. Namun meski begitu aku tetap ingin berjuang sampai atas, dan ternyata setelah muntah memang badan terasa sangat enteng. Berlari saja sudah mampu, magh diperut sudah tidak terasa dan aku merasakan sudah sehat. Hingga mencapai post tiga. Kami putuskan untuk menginap bermalam karena hujan yang tak henti-hentinya.
Dari post tiga saat hujan mereda, terlihat kota-kota dibawah kaki Gunung Lawu. Lampu-lampu yang menyala bagai bintang namun berada dibawah kami, seperti para bintang gemintang itu berpindah kebawah. Ada yang runtut searah jalan, mungkin seperti ular yang dipakaikan lampu-lampu kecil diselurh tubuhnya. Ada juga daerah yang gelap sebagian, lalu ada lampu-lampu yang bergerombol dibagian yang lain. Intinya aku begitu takjub memandang pemandangan tersebut. Hal yang tidak aku temukan saat pendakianku yang pertama di Gunung Ungaran, padahal saat itu juga mendaki di malam hari, tapi karena pendakian yang dilakukan dengan sangat terburu-buru dan tanpa menikmati pemandangan seperti ini jadi pemandangan seperti ini tak sempat kudapat di pendakian ku yang pertama.
Paginya entah jam berapa yang jelas matahari belum muncul menghangatkan dan gelap masih menyelimuti, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Namun badanku terasa begitu berat bahkan untuk menopang kaki ku sendiri terasa tak mampu. Dalam perjalanan ke post 4 pun aku tumbang, muntah-muntah lagi jadi diputuskan untuk aku tidak usah melanjutkan perjalanan dan kusetujui usulan itu, aku tidak ingin lebih merepotkan lagi dari ini jika aku memaksakan diri. Ditemani temanku yang juga tidak kuat, kami berdua pun tidur dalam tenda dan SB di pos 3.
Hingga pagi menghangatkan tenda kami, aku bangun lalu membuat sarapan mie instan dengan kompor gas kecil yang sebelumnya diajarkan oleh kakak tinggat cara menggunakannya sebelum mereka pergi melanjutkan perjalanan ke Puncak Lawu. Meski pada saat itu aku hanya sayup-sayup mendengarkan karena badan yang lemas, namun aku rasa aku cukup bisa menggunakan kompor gas untuk pendaki ini.
Memandang pemandangan yang tadi malam kami lihat, berbeda sekali meski kami melihat dari sudut yang sama. Gumpalan awan dengan sinar matahari yang hangat, meski sang matahari itu sendiri tidak terlihat karena tertutup bukit namun pemandangan ini juga Subhanallah dipandang. Sambil merasakan betapa Agungnya Tuhan Yang Maha Kuasa, tak terasa mata menitikkan air juga. Dibasahi oleh rasa haru luar biasa, rasa syukur mampu sampai di titik ini ternyata menghapus rasa kecewa yang sebelumnya sampai terbawa dalam mimpi karena gagal sampai Puncak Hargo Dumilah. Namun meski begitu jika ada kesempatan lagi aku pasti akan mendaki lagi gunung ini. Entah kapan namun perjuangan dan petualanganku pasti akan mengantarkanku juga ke puncak-puncak tertinggi negri ini, juga ke tempat-tempat yang belum kukunjungi. Semoga Engkau selalu meridhoi ya Robb Pemilik semesta raya ini.
No comments:
Post a Comment