Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Sunday, December 14, 2014

Terasingkan Luka


Beberapa waktu lalu aku sempat menyapamu lagi dan perlahan kau garis bawahi kata sepi. Aku termangu sejenak, menatapmu dalam. Kucoba susuri jawaban dari balik manik matamu. Kau yang tetap sama, dengan mata nanar itu. Yang menyimpan sejuta sakit namun juga sebuah ambisi untuk bangkit.

Tak lama juga kulihat sebuah lambaian tangan yang tergesa. Kenapa? Sudahkah kau lelah? Mengemasi ribuan luka sendirian dalam diam? Tak kau jawab pertanyaanku. Hanya kristal bening yang jatuh dari matamu yang berkaca-kaca. Aku pun tak tahu harus bagaimana, melihatmu dalam keadaan seperti itu membuatku sadar, bahwa selama ini aku terlalu mengabaikanmu. Terasingkan oleh luka. Namun juga disadarkan olehnya ketika ternyata sudah begitu menganga.

Kau tetap diam, aku juga diam, kita sama-sama hanya saling pandang, saling menelusuri sakit yang sama-sama kita miliki. Tak henti air mata itu menetes, sekarang kau menjadi cengeng? Atau aku yang terlambat mengeja air matamu? Sungguh selama ini aku mengabaikanmu. Jika mampu sekarang juga aku peluk dirimu, tanpa ragu. Namun rupanya justru air matamu yang bagitu membuatku semakin termangu. Aku hanya mampu diam, bisu, beku, gagu, termangu. Katakanlah apa yang harus aku lakukan untukmu? Sedang kau hanya menangis seperti itu. Aku sungguh paham seberapa berat masalahmu, seberapa dalam goresan luka yang menyayat hatimu. Luka itu menganga! Aku tak kan melarangmu menangis, jika menangis membuatmu lega aku tak akan mengolokmu cengeng. Maka menangislah, tapi setelah itu jangan lupa untuk tersenyum. Kau lebih cocok jika tersenyum, sungguh!


Habiskan dulu air matamu, lalu setelah itu kembali melaju. Tangan ini jangan sampai lelah menghapus air mata itu, menghapus air matamu yang juga air mataku. Dengan senyum, kata ceria itu lebih cocok. Cermin! Kau yang ada di dalam cermin, tersenyumlah!



Wednesday, December 10, 2014

Genangan Terdalam

Butuh waktu untuk berdiri, setelah ribuan paku yang tersebar terinjak kakiku sendiri. Bahkan setelah berdiripun untuk berjalan masih begitu berat, karena genangan darah membanjiri hingga menenggelamkam wajahku. Aku gelagapan bernafas. Namun entah mengapa, bisa menyembunyikan wajahku dalam merah darah ini seakan malah membuatku terlindungi. Membuat mataku terpejam, walau dengan seperti ini tetap saja aku bisa merasakan air mataku yang menetes bercampur dengan merah darah.


Dalam pejam mataku, ternyata jauh lebih banyak hal yang dapat kulihat dari pada saat mataku terbuka. Wajah-wajah yang tersenyum bersahaja yang memelukku dengan kasih sayang berselang-seling dengan wajah-wajah yang tersenyum menyeringai mengejek mencemoohku. Aku menangis karena semua itu, segala hal yang menguatkan sekaligus melemahkan berjibaku dalam kepalaku. Menghadirkan perang. Yang sampai sekarang aku masih belum mampu menemukan pemenangnya. Aku merasa hanya waktu yang akan mampu menentukan siapa yang akan menang.




Semarang, 08 Desember 2014


Thursday, October 2, 2014

Cinta Pembodohan [Lagi]

Berkali-kali dapat sms bujukan untuk pulang ke Sragen sampe bosen bacanya. Dari yang mulai rayuan wewe gombel gombal ala anak es-em-a sampai teori grafitasi yang menyatakan bahwa dia itu bisa bertahan di bumi bukan karena daya tarik bumi, tapi daya tarik aku. Wakwaw. Tapi sms dari nomer yang ku save ‘sayangku’ ini memang tidak mudah untuk kuabaikan. Akhirnya dengan pertimbangan yang dalam, dengan perhitungan panjang kali lebar kali luas kali Bengawan Solo yang bakal ku sebrangi nanti, kuputuskan untuk tancap gass pulang ke Sragen.

Hari itu hari rabu, alhamdulillah [mungkin] berhubung tanggal tua jadi dosen rada males ngajarnya jadi belum genap setengah jam kelas sudah dibubarkan. Aku anggap ini sebagai pertanda baik, jadi aku bisa langsung melakukan perjalanan pulang ke rumah Tuhan Sragen. Sampai Sragen pun gak akan larut malam berarti, yasudah aku langsung berlari menuju kostku untuk persiapan pulang. Saat itu entah saking senengnya atau apa, aku yang berlari-lari kecil balapan sama tukang jualan siomay malah kesandung batu di jalan gang yang memang jalannya tidak semulus pahanya Nabilah JKT48. Dengan sedikit teatrikal aku sukses jatuh bedebam dengan pundak nyusruk ke tanah duluan. Oh sungguh dramatis sekali diks hiks hiks. Dilihatin temen-temenku yang nongkrong di angkringan sebelah kost, huahhh malunya thu disini *nunjuk pundak kiri. Lalu dengan kampretnya mereka nyerocos komentar macem-macem, sempet masuk nusuk dikuping kiri juga “Nami njaluk digandeng aku ben gak tibo”, “Nam gak usah grogi yen mlaku”, “Hee ora, kuwi nami daifing kog”, “Nam kowe ditekling tukang siomay yoh?” haasssssssttttt dipikirnya aku Eloco Gonzales 
yang kesandung pas lagi dribel bola yah -_- Lanjutkan fantasimu, Nak!

Oke, dengan sedikit terpincang-pincang aku menaiki 17 anak tangga menuju kamarku, iseng aja kurang kerjaan dulu aku berhitung jumlah anak tangga di kost. Setelah sampai kamar aku memang tidak berniat membawa banyak barang, karena itu aku memasukan barang-barang yang aku perlukan saja. Selain karena memang aku cuma di rumah selama semalam saja juga karena aku memang tidak pernah membawa banyak barang kalau pulang. Berat dan rempong!

Kupakai kaos tangan juga sleyer biar kulitku yang putih tidak belang lagi, susah payah aku mengembalikan agar keputihan kulitku kembali putih secara merata. Karena aku tau ini salah satu aset penting dalam tubuhku. Salah satu! Catet itu!

[Masih] dalam persiapan untuk pulang ke pelukan orang yang kusayang Sragen, aku sengaja tidak ganti baju, jadi tetap dengan setelan kemeja kampus warna biru kotak-kotak senada dengan sarung tanganku, hanya kutambah dengan jaket kelas warna hitam yang dipunggungnya terdapat tulisan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang. Aku patut bangga karena yang mendesain jaket ini adalah aku, hehehe walau banyak yang komentar seperti jaket satpam tapi masa bodoh dengan mulut kalian, iya karena ini negara demokrasi. Aku rasa begitu sebelum demokrasinya ditentukan oleh DPR. Wakwaw

Selesai mix and match dengan pakaian yang ala kadarnya aku pun berlarian lagi menuju parkiran -_- dalam sekejap kejadian tersungkur di gang ternyata sudah mampu terlupakan. Begitulah aku, penuh semangat namun suka tergesa-gesa. Aku apa adanya kalo gak suka ya minggir aja.

Mencapai garasi rupanya motor sudah menunggu sampai berdebu, yang ini bukan lebay tapi memang bener-bener dalam keadaan lusuh compang-camping sekali motorku. Maklum di kost memang gak ada tempat buat mandi’in motor, mandi’in orang aja sempitnya minta air ampun. [Baca:kamar mandi kost]

Ternyata motorku bukan sekedar penampilan luarnya saja yang mengenaskan tapi dalamnya juga. Berkali-kali ku starter tidak juga mau nyala. Mogok? Macet? Ngambeg? Terserahlah mau dinamai apa, yang jelas intinya motorku tidak bisa jalan. Berarti kalo tidak nyala dengan jempol tangan, harus dengan kaki kanan aku menyalakannya, bisa kalian bayangkan? Silahkan kalian bayangkan!

Brrreemmmm brrreeemmmm akhirnya keluar juga suara untuk tancap gass. Oke saatnya mulai perjalanan. Wah kalau kali ini aku tidak berhitung berapa banyak angka kilometer per jam dari Semarang menuju Sragen. Yang jelas aku cukup menikmati perjalanannya, meskipun panas dengan sengatan matahari tepat diatas ubun-ubun kepala. Melihat aspal jalanan yang seolah-olah seperti meleleh, bagikan melihat kolam renang.

Berkali-kali kupelankan motorku sekedar untuk membalas sms dari teman yang juga mau ngamtis di Sragen. Berkali-kali karena memang geli rasanya menaruh hape di kantong celana jins, saat ada sms masuk pahaku terasa seperti dilanda gempa 0,39 Skala Richter.

Perjalanan di bawah sengatan matahari tengah siang melewati Ungaran, Salatiga, Boyolali, Sukoharjo, Solo, Karanganyar hingga sekarang gantian jantungku yang berdegup senin kamis melewati Tugu Gading Masaran. Sengaja ku pacu motorku pelan-pelan berharap ada penampakan sesosok wajah manis dengan gigi gingsulnya di pinggir jalan, hahaha hanya berharap walau sudah hal itu mustahil tapi apa salahnya. Sebelum harapanmu ditentukan oleh DPR bro. Hehehe hingga memasuki Kota Sragen aku masih saja senyum-senyum sendiri, untungnya aku pakai sleyer jadi tidak ada yang bakal menganggap kalo aku gila.
Sampai di rumah sepi karena bapak memang sedang ada tugas di Ibu Kota, wah berasa seperti anak orang penting saja. Gak papalah sekali-kali. Sedangkan ibuk dengan simbahku seperti biasa sedang di dapur memasak untuk sarapan orang se-Sragen. *You know lah

Berhubung aku memang anak yang rajin dan berbakti pada orang tua maka aku pun ikut membantu di dapur, sambil ngerumpi sama ibuk dan simbahku, maklum kaum wanita hehehe. Dari situ aku tahu kalau ibuku memang sudah paham bener bagaimana tabiat anak gadisnya ini kalo ada Endank Soekamti pasti tidak mau ketinggalan buat menonton. Aku pikir dengan watak ibuku yang keras dan mudah emosi, dia bakal marah karena aku pulang hanya untuk nonton konser jadi aku bilang kalo memang libur dan balik ke Semarang hari Sabtu. Tapi justru malah sebaliknya ibuku cerita tentang anak-anak kamtis yang ditemuinya di jalan saat pulang dari pasar. Teman-teman kamtis yang nyestreet, ibuku kasihan melihat mereka yang rela jalan jauh dan cari gandulan kesana-kemari. Hidup mati orang tua mereka gak akan tau keadaan anaknya, lalu dibandingkan dengan aku dan adikku yang kalo keluar rumah sebentar aja udah ngatong malakin minta duit jajan dari ibuku. Percaya gak percaya, ibuku cerita sambil menitikan air mata. Nyokab nangis bro. Wah kalo yang ini sih ibuku sudah over dosis sinetrol Catatan Hati Seorang Istri. Yasudah kalo sudah melow kendow seperti ini sebaiknya aku menyingkir ganti pekerjaan yang lain. [Baca:menyapu rumah dan halaman]

Lalu dalam sekejap sudah berkumandang adzan Magrib, badan sudah sangat capek terutama punggungku, ingin rasanya merebahkan badan di kasur lalu bermimpi indah. Tapi bahkan tujuan awalku pulang saja belum kesampaian masak aku sudah mau tidur. Jadi aku putar arah ke kamar mandi, oke sampai depan kamar mandi saja kalian gak boleh ikut, masak iya aku harus menceritakan bagaimana prosesi aku dalam memandikan tubuhku? Nanti dikira tulisanku ini cerita vulgar terus dituntut karena pornografi.

Selesai mandi dan gosok gigi aku mematut diri di depan kaca. Siap-siap untuk ngamtis, meski gak seseragam biasanya dengan atribut yang kumplit tapi setidaknya dalam bayanganku aku bakal ngamtis dengan orang yang ku sayang pasti spesial rasanya. Rasanya seneng tak terkira, meskipun dengan sedikit rasa takut kalo semua bakal berbalik kecewa. Kalian paham kan dengan teori harap menjadi ratap, ketika kebahagiyaan itu bercermin kesedihan. Suatu harapan yang terlalu tinggi memang sangat membahagiyaan si penerima harapan tersebut tapi harus hati-hati saat si pemberi harapan ternyata hanya sebatas omongan saja maka bersiaplah untuk jatuh dari ketinggian. Braaaakkkkkkk hancur lebur.

Sepertinya aku pun juga harus bersiap-siap karena memang sejak sore tadi dia sudah tidak ada kabar, hanya dia bilang bahwa akan menjemputku habis magrib. Aku sendiri percaya dia tidak akan mungkin mengacuhkan aku yang sudah jauh-jauh dari Semarang demi memenuhi permintaan dia.

Lalu sms kampret itu datang juga, dia bilang benar-benar sibuk mengurusi teman-temannya dan juga tamunya. Karena berhubung ketua Gading Masaran Kamtis Family sedang sibuk mengurusi pacarnya jadi pacarku sebagai wakil ketua yang harus menggantikan tanggungjawab untuk mengurusi tamu-tamu dari  hassssmmbuuuhhhh ngendi iku. Ya sudah aku maklumi, aku hanya tidak mau menyandang kalimat ‘Karena fuckgina jadi lupa teman’. Walaupun sangat kecewa dan nyesek di hati, yah itu manusiawi kan? Aku cuma manusia biasa bro.

Oke saatnya ganti siasat, karena ibuk memang tidak tega kalau aku harus berangkat sendiri. Dari yang mulai membayar adiku buat mengantar aku ke tempat acara *Gagal! Minta jemput teman yang juga mau ngamtis *Gagal! Sampe minta bareng sama bulikku yang saat itu pas banget lagi maen kerumahku lalu mau pulang, tapi yang ini *Gagal juga! Terus yang paling kampret itu pas aku sms adik ponakanku minta dianterin malah yang balesin pacarnya yang cemburu marah-marah ke aku dikira aku cewek gathel yang ngajak main pacarnya. Oh shit man! Nangis bathin aku.

Ya sudah sepertinya aku memang tidak tidak diijinkan buat nonton Endank Soekamti, padahal sudah tak belain jauh-jauh Semarang-Sragen. Tapi bukan itu yang aku sesalkan, hanya saja aku pengen ketemu orang yang sudah berjanji untuk selalu menemani aku kalau aku pulang hari ini. Sambil mengerjakan tugas kuliah tiba-tiba saja mataku jadi kabur tertutup embun pribadi ciptaan dari kecewa yang disilangkan dengan rasa sakit bercampur nyesek dan sedikit perih dihati. Lalu dalam sebentar saja Grojogan Sewu dari Tawangmangu pindah di pipiku. Jangan becanda aku juga punya perasaan bro. Kalo disakiti ya bisa merasa sakit terus nangis. Bukan karena ikut-ikutan ibuku yang sedang nonton sinetron Catatan Hati Seorang Istri. Aku nangis itu wajar, kan aku masih punya kantong air mata. Meskipun sempet aku berpikir untuk barter dengan kantong doraemon saja, kan lebih bermanfaan thu, tapi berhubung ini pemberian Allah jadi wajib untuk syukuri.

Aku paham ibuku jelas tau bagaimana perasaanku, kalau saja ada bapak pasti aku minta antar bapak. Hiks hiks bapak memang laki-laki terbaik dalam hidupku yang menduduki peringkat pertama dan masih belum tergantikan oleh laki-laki manapun sampai saat ini. Aku mulai meyerah, kuhapus air mataku, aku tidak ingin terlihat cengeng dan membuat ibuku sedih. Tapi sepertinya percuma, bahkan ibuku berkali-kali menanyakan apakah aku tidak jadi nonton Endank Soekamti, ibuk juga menayakan kemana pacarku, padahal sebelumnya ibuku belum setuju mengenai hubunganku itu. Tapi sepertinya ibuku sudah menyerah karena tidak ingin melihat aku sedih.

Tepat saat kuhapus air mataku, sms dari dia datang, kujawab aku tidak ikut ngamtis saja. Hahaha aku terpingkal-pingkal baca sms balasan dari dia yang mengatakan bahwa aku tidak adil. What? Saat itu aku ingin membanting hape ke lantai tapi berhubung karena sayang kan hape bagus-bagus masak dirusak yasudah kubanting di kasur saja. Banjir lagi di pipi. Lalu kuputuskan untuk menghubungi dia, aku memohon dengan amat sangat untuk dia menjemput aku.

Saat dia datang, mataku sudah sembab, hidung merah dan pipiku basah. Gak perlu pakai tebak-tebakan lagi kan? Sudah tahu aku kenapa. Kami bicara berdua diteras rumahku, aku tekan sedalam-dalamnya amarahku karena aku rasa itu tidak perlu. Aku harus bicara dengan kepala dingin meskipun ingin sekali kuhajar dia habis-habisan, ku tendangi, ku pukuli, ku mutilasi terus kubakar lalu ku buang ke kali Bengawan Solo yang siang tadi rela kusebrangi demi dia. Tapi mungkin aku memang sudah tidak ada tenaga lagi buat sekedar marah, yang kubisa hanya menangis. Kujelaskan semua kecewa dan sakit yang kurasa, berharap dia mengerti. Aku hanya ingin dia bertemu dia, melihat dia bicara dengan dia tapi sepertinya dia lebih mementingkan ngamtisnya dan teman-temannya. Dia ambil motornya lalu tanpa pamit meninggalkan ku sendiri. Aku diam, kupeluk kedua kakiku sambil meratapi nasipku dan segala kebodohanku sendiri. Berjam-jam di teras rumah sendiri. Lalu masuk rumah hanya karena aku lelah menangis, aku ingin tidur, namun sepertinya sungguh susah. Padahal yang ku ingin hanya tidur, agar cepat pagi dan aku ingin segera pergi.

Paginya aku memang langsung kembali ke Semarang, aku pikir ibuku akan marah dengan kelakuanku ini. Tapi ternyata tidak dan itu malah semakin membuatku merasa seperti manusia yang tidak tahu diri. Sepanjang perjalanan aku kembali menangis, untungnya sleyer tetap setia untuk menemaniku dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Aku berteriak tertahan sepanjang perjalanan, berusaha untuk menghibur diri, namun pikiran yang carut marut memang tak mudah untuk diatasi. Terlalu kusut pikiranku, sempat terpikir untuk menabrakan diri ke truk atau nembus jembatan terjun bebas ke sungai, atau saat lampu merah aku tetap jalan biar tertabrak mobil yang melintas. Segala pikiran buruk dan rencana-rencana untuk pindah alam begitu sesak menyesak memenuhi isi kepalaku.


Tapi mengingat kembali bapak ibuku, mengingat mereka yang belum kubahagiyaan tentu akan sangat sedih jika melihat anaknya terbujur kaku di ruang jenazah suatu rumah sakit. Jadi ku urungkan niatku tersebut. Aku gak berhak sedikitpun menentukan tentang kapan dan bagaimana aku akan mati, semua sepenuhnya kuserahkan pada Pencipta segala ciptaan ini. Aku pasrah.

Sampai di Semarang mata sudah kembali sembab, aku mampir di warung makan kesukaan dan memesan sepiring siomay kesukaan, terserahlah agak boros sedikit tidak apa-apa yang penting aku makan. Tapi rasanya percuma saja, aku sama sekali tidak selera makan. Mungkin saat itu siomaynya juga ikut nangis karena cuma kuaduk-aduk aja, cuma kulihatin dengan wajah sedih. Tapi mau bagaimana tidak selera sama sekali. Sampai di kost keadaan sedang sepi, aku setel musik sambil smsan dan pesbukan. Sepertinya cukup menghibur apalagi dengan cada tawa dari teman-teman dan aku rasa semua ini memang terjadi memang karena murni kebodohanku sendiri, jadi kuputuskan untuk memaafkan dia, memaafkan keadaan dan memaafkan diri aku sendiri yang bodoh ini. Aku hanya tidak ingin terus-terusan dalam ketidaknyamanan, hidup cuma sekali akan sangat rugi jika kuhabiskan untuk bersedih. Selain itu aku rasa aku memang tidak pantas untuk bersedih. Silahkan sedih tapi tidak perlu berlarut-larut.



Sunday, September 14, 2014

Hujan di Genggaman

Mengapa buru-buru hujan?
Sedang yang semalam masih di genggaman
Menelanjangi sedu sedan yang temaram

Dan aku menatapmu hujan
Dalam lelap kelelahan
Tak perlu kepura-puraan
Aku hafal senyum itu, senyum kebingungan
Sudah jangan kau risaukan
Kemerahan senja tanpa kemarahan
Pasti akan datang

Iya aku paham yang kau maksudkan
Tanpa perlu kau katakan spasi dua spasi
Karena aku selalu menatapmu hujan
Hujan di genggaman
Aku yang menciptakan



18:07
Semarang, 14 September 2014



Friday, August 29, 2014

Takut Nulis

PENULIS HARUS MENULIS APA YANG INGIN DIA TULIS ATAU APA YANG INGIN MEREKA BACA!?

Buatku ini memunculkan sebuah kegalauan tersendiri. Seorang penulis dalam suatu media massa dalam artian skala publik, [mungkin] terkadang memiliki permintaan tersendiri untuk ditulisnya atau bahkan terdapat survey tema untuk tulisan yang akan dia tulis. Aku sendiri meskipun hanya menulis dalam kolom buletin skala kampus tapi jujur saja pernah kecolongan sekali dan itu benar-benar membuatku merasa harus gantung pena. Tapi untungnya drop ku tidak lama. Jadi, buat kalian jurnalis-jurnalis yang manis sebagai penyemangat silahkan mampir di Undang-Undang Pers.


Untuk ku secara pribadi dan yang selalu aku yakini, 3 pantangan besar yang tidak boleh aku tulis adalah menulis kata-kata makian, menulis yang menyinggung perasaan orang lain, dan menulis yang merugikan orang lain. Selebihnya cukup dengan kontrol diri dan tata cara manusiawi dengan kejernihan pikiran tanpa perlu mengahafal semua yang ada dalam UU Pers tersebut atau Kode Etik Jurnalistik. Setiap manusia yang sehat dan jernih pikiran pasti secara otomatis memiliki kontrol diri mana yang seharusnya dia tulis dan mana yang tidak layak untuk dia tulis. Hingga memunculkan kontrofersi tulisan.


Tapi terlepas dari semua itu, seorang penulis pasti juga pernah menulis 'reques' dari satu golongan dan ternyata hasil tulisan tersebut menyinggung golongan lain. Bagaimana dengan kasus seperti itu? Sedangkan dilain pihak, penulis juga hanya seorang manusia biasa dan berpacu dengan itu yang namanya kebenaran tulisan terkadang bersifat subjektif dan kembali dibingungkan bahwa kesubjektifan dalam pandangan tiap orang itu berbeda. Kembali memunculkan tanya, bagaimana harus menyikapi kasus seperti ini. Semua mungkin terjawab dalam Undang-Undang Pers [mungkin]. Atau Undang-Undang Penulis ciptaan kalian sendiri [mungkin].




Berbeda dengan tulisan skala publik media massa, tulisan dalam bentuk sastra seperti novel, puisi, sajak atau cerpen. Kebebasan menulis oleh penulis jauh lebih longgar [mungkin]. Penulis cenderung tidak memiliki patokan khusus atau batasan dalam menulis. Kebebasan dan kemerdekaan dalam menulis bisa diperoleh secara manusiawi disini. Meskipun begitu kritik sosial tentu juga tidak bisa terelakan takala tulisan tersebut dianggap melampaui batas-batas norma masyarakat. Meskipun batas itu sangat semu dan hampir-hampir tidak terlihat. Kembali bagi batas-batas tersebut tentu juga dari tiap pandangan orang itu berbeda-beda. Tidak mungkin seragam bahwa kata ini seharusnya tidak perlu ditulis atau kata ini biasa tuh kalo mau ditulisakan. Tiap orang memiliki batasanya masing-masing kan? Dalam hal ini aku teringat novel karya Djenar Maesa Ayu yang dianggap bagi sebagian orang tulisannya terlalu erotis. Tapi untukku secara pribadi sebuah seni karya sastra jika hal tersebut masih ada satu orang waras yang menyebutnya indah maka itu sah-sah saja. 

Tiap hal memang selalu memiliki resikonya masing-masing [mungkin]. Walaupun kita selalu berusaha untuk berhati-hati semaksimalnya tapi saat kita masih hidup di dunia ini tentu tak mungkin kita peroleh kesempurnaan. Akan ada celah cacat yang akan menjadi anggapan sebelah mata beberapa orang. Jadi, biar kukutip kata-kata Jrx drummer dari Superman Is Dead bahwa INI DUNIA BUKAN SURGA, KAMU TAK HARUS TERLIHAT SEMPURNA. Iya dalam menulispun sama, ketika sudah kita anggap sempurna namun belum tentu sempurna juga bagi orang lain.



Lain karya sastra lain juga sekedar tulisan di sosial media atau sering disebutnya sosmed. Mungkin dalam hal ini dianggap remeh dan dianggap yang paling ringan seringan kapas yang diterbangkan. Tapi ingat juga karena begitu ringannya kapas yang terbangkan tersebut, jadi banyak ribuan bahkan milyaran kapas tak terhitung yang diterbangkan. Iya, saat ini sosial media memang menjadi ajang paling laris dalam berbagi setiap kisah, cerita dan foto-foto secara luas. Baik yang bersifat pribadi atau tidak pribadi, gampangnya sih gitu. Dalam hal ini pengontrolan diri secara jernih juga sangat dibutuhkan tentunya karena jika tidak maka hal-hal yang seharusnya tidak dibagikan untuk publik malah menjadi konsumsi publik paling mudah diakses. *You Know lah*

Tapi kembali digalaukan oleh yang namanya pandangan tiap orang berbeda-beda, kontrol atau pembatasan tersebut juga bisa sangat elastis lebih dari yang terbayangkan. Ada yang beranggapan "yang seperti itu tidak pantas ditulis" atau "ah biasa saja yang kaya gitu" atau "gak penting". Tiap orang pasti berbeda-beda pandangannya tergantung pada keyakinan yang ia yakini. Hingga terkadang memunculkan hal klise yang sama "kritik sosial"


Hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi acuan bagi kita membuat kontrol diri bahkan malah menghapus seluruh daya ekspresi dan pengekangan diri luar biasa pada tiap kreasi. Mematikan secara otomatis keinginan untuk berekspresi, mencipta dan menghasilkan karya walau hanya sebatas dalam sosmed yang ringan. Menutup kran inspirasi yang seharusnya dimunculkan. Menjadi penutup kreasi dengan embel-embel karena malu atau takut akan kritikan. Padahal kritikan memang akan terus bermuncul seiring munculnya teks baru bahkan titik baru yang tidak sesuai penempatannya. Jadi anggap kritik sebagai pelurus atau pembangun disamping pondasi yang kita miliki sendiri. Jangan malah dijadikan sebagai peruntuh. Kita bebas berekspresi dengan batasan pemikiran jernih dan sedikit kritik tersebut. Kritik itu wajar.




Sebagai seorang manusia biasa yang bebas dan tidak diperbudak oleh apapun kita berhak mengekspresikan tulisan kita baik di media massa, dalam karya sastra, atau ilmiah akademis sekalipun atau bahkan yang paling ringan seperti di sosmed. Menjadi takut nulis adalah hal sia-sia yang akan menghancurkan sejarah kalian sendiri. Dengan kata lain kalian sendiri yang mem-PHK diri kalian sendiri dari keabadian, karena yang namanya menulis adalah bekerja untuk keabadian. Setidaknya itu yang selalu aku yakini sampai saat ini. Jadi, jangan takut nulis.

Dalam menulis menurutku, selama menulis tidak membuat orang lain tersinggung, tidak menggunakan kata-kata makian dan tidak merugikan orang lain karena tulisan kita tersebut, sah-sah saja mau menulis dan tetap berpatokan bahwa aku menulis tentang apa yang ingin aku tulis bukan tentang apa yang ingin mereka baca.






Saturday, August 23, 2014

Trauma

Trauma,
Trauma itu apa? Sedikit penjelasan untuk kalian. Menurut yang aku cari di Wikipedia, trauma dijelaskan sebagai jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stres pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan kimia otak, yang mengubah respon seseorang terhadap stres masa depan.

Nah cukup membingungkan sih, kata-katanya lumayan susah dipahami bagi mereka yang mulai dari nol memahaminya. Tapi aku rasa bagi mereka yang mengalami atau setidaknya sedikit tau, trauma pasti bukan menjadi kata yang asing.

Dalam entri ini aku tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai trauma, meskipun sedikit banyak ceritaku menyinggung masalah trauma, tapi aku ingin menitik beratkan pada ceritaku, pada masalah yang sedang kuhadapi.


Trauma. Yang muncul lalu tumbuh dari banyak doktrin yang masuk di kepala ini. Semakin mengeras dari aku kecil. Seolah seperti aku ini hidup dan terbuat dari susunan trauma-trauma yang ditumpuk begitu nyata. Rasa takut, gigil dan gemetar mental juga fisik yang selalu aku alami menjadi dampak berkepanjangan yang tak mampu aku atasi dengan logika seberapapun nyatanya. Trauma terhadap suatu hal yang aku sadari betul sesungguhnya hanya ilusi bentukan doktrin masa kacilku dan masih belum mampu aku lawan.

Mungkin dari luar aku terlihat baik-baik saja, tapi satu kelemahan dari sekian banyak kelemahan yang ada pada diriku akan aku buka di sini.

Aku adalah seorang yang penakut, jauh lebih penakut dari kelihatannya. Bagi kalian yang mengenal betul aku, pasti kalian tidak percaya. Tapi memang benar begitu kenyataannya dari dulu yang selalu aku tutupi dan jika kalian tidak percaya juga berarti memang sukses aku menutupi kekuranganku tersebut.
Inilah masalah terbesarku. Aku tidak mampu mengatasi keadaan saat telah berada di muka umum. Saat presentasi di depan kelas atau saat bicara di depan banyak orang dalam keadaan formal. Memang sebelumnya aku telah memupuk keberanian tapi setelah berada di depan layar, ditatap oleh puluhan pasang mata yang melihatku, semua keberanian itu menguap habis, yang datang hanya rasa takut, menggigil dan hati yang bergetar tak karuan. Aku tidak mampu menguasai keadaan. Perasaan rendah diri berkecamuk dalam kepalaku. Bukannya aku kalah pada materinya tapi pada bagaimana aku harus menyampaikannya. Aku bisa bahkan lebih bisa dari siapapun tapi aku takut untuk bicara.

Hal ini sebenarnya sudah aku sadari sejak kecil, saat aku masih sekolah, tentu ada pertanyaan klise dari guru “siapa yang bisa, angkat tangkan?” maka saat itu aku memang bisa dan aku sadar teman-teman aku tidak bisa, tapi membayangkan aku mengangkat tangan saja, keringat dingin sudah keluar dari tubuhku, rasa takut luar biasa tak mampu aku kendalikan dan jantung berdegup lebih cepat dari normalnya. Padahal aku hanya berniat untuk menjawab saja, tapi ketakutan luar biasa sudah menguasai diriku. Akhirnya aku menyerah dalam diam, semua kusimpan sendiri dalam diam. Benar-benar tak beralasan sebenarnya. Mungkin juga menurut kalian aneh? Ya, mungkin aku memang aneh. Jika aku bisa berubah, aku ingin seperti kalian yang memiliki percaya diri tinggi. Terkadang aku begitu iri melihat teman-temanku yang memiliki mental luar biasa berani, tidak seperti aku dikuasai ketakutan yang mati-matian tak pernah sukses aku lawan.

Hal ini benar-benar masalah besar untukku, aku sebut sebagai masalah besar tentu saja karena aku adalah calon guru, mana mungkin seorang guru hanya diam di depan kelas???

Lalu kenapa aku sebut sebagai trauma, karena mamang iya, gak ada sebab pasti dari ketakutan yang terus berulang seperti itu, tapi yang aku yakini hal itu karena memang sejak kecil aku tidak pernah memiliki ruang untuk bicara dan saat aku bicara semua selalu salah atau disalahkan. Intinya aku tidak berhak bicara apapun di rumah. Ibuku dengan didikannya yang keras selalu menyuruhku untuk diam diam dan diam. Pada akhirnya dalam otakku tertera bahwa bicara itu salah!!! Jadi aku harus diam!!! Bahkan sampai aku dewasa dan mampu memahami yang mana yang benar dan yang mana yang salah, yang mana yang harus aku lakukan atau aku harus diam. Tapi sepertinya memang ada bagian dari tubuhku yang telah terlanjur memiliki trauma menolak untuk berbicara di depan umum. Ada bagian dari tubuh aku yang tak bisa aku kontrol dengan logika sebesar apapun. Jadi, aku harus bagaimana? Pernah terpikir olehku untuk datang ke pskiater untuk mengatasi masalahku ini, tapi aku tidak tau kemana bisa kutemui dan aku yakin untuk sekali konsultasi pasti juga mahal. Tapi bagaimanapun aku ingin sembuh mengingat aku adalah calon seorang guru.

Ada yang salah di dalam diriku dan aku harus membenahi hal tersebut. Jika orang tua yang menjadi perentang busur panah dan aku ibarat anak panahnya, maka aku merasa sekarang tengah berada dalam lesatan yang salah. Atau bahkan lebih buruk, aku sedang melesat pada arah yang benar hanya saja aku buta tidak bisa memposisikan diri pada kondisi yang benar. Pathetic!

Lalu aku harus bagaimana? Ketakutan saat berada di muka umum atau saat menjadi pusat perhatian banyak orang, bagaimana mengatasi ketakutan tersebut. Pada saat seperti itu logikaku seakan mati, tertimbun oleh gigil dan gemetar hati yang tak bisa aku kendalikan sendiri. Aku tidak ingin menyerah mengejar cita-citaku menjadi seorang guru tapi aku juga merasa begitu dilemahkan oleh ketakutanku sendiri. Trauma masa kecil yang sudah terlanjur mengeras menjadi bagian dalam diriku sendiri. Aku harus bagaimana?


Dalam hal ini aku tidak ingin menyalahkan ibuku, tidak juga diriku sendiri, tidak juga siapapun. Aku hanya ingin mengatasi trauma ini, aku hanya ingin terbebas dari ketakutan yang tidak mendasar sama sekali ini. Adakah kalian memiliki solusi untukku? Maukah kaluan berbagi itu? Aku harus bagaimana?



Sunday, August 10, 2014

Kebebasan vs Kesepian

Kebebasan yang harus kutukar dengan kesepian. Karena kebisingan begitu riuh rendah terlalu menyakitkan telinga, serta belenggu rantai yang terdekap dikedua kaki ku sudah semakin beku dan membuat berdarah. Dan inilah pilihan yang kuambil, kebebasan. Karena aku memang begitu rindu pada sayap hitamku yang terserah akan kukibas sendiri tanpa ada yang peduli. Tidak juga oleh kedua rantai pengikat kakiku yang telah kutanggalkan.

Meski kesepian cukup menyakitkan juga sebenarnya, namun aku rasa ini sepadan dengan apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin menikmati udara yang perlahan berubah menjadi angin dan membawaku terbang dengan bebasnya. Bersama malam dingin yang merangkak membawa lamunan bintang gemintang, langitnya yang pernah kucintai. Bersama riak ombak serta pasir yang bertemu buih menciumi kakiku. Atau bersama silau matahari senja yang terkadang membawa berbagai rasa tentang segala hal yang pernah kulewati dengan kebahagiyaan atau rasa pahit.

Inilah pilihanku, meskipun terkadang aku merasa seperti sedang dalam suatu penghianatan, suatu sandiwara dan aku menjadi tokoh antagonisnya. Tokoh jahat yang berpura-pura baik, entah kenapa aku merasa seperti sedang menipu sesuatu atau seseorang tapi siapa? Sekedar memilih untuk tidak menyalahkan diri sendiri, aku rasa aku cukup bisa memaknai mana yang harus kubenarkan dan mana yang harus kusalahkan. Meski pada dasarnya pilihan yang kupilih ini terdapat sisi ‘penghianatannya’ juga tapi kubuat seminimal mungkin dan aku rasa jika pilihan ini tak kuambil pasti aku akan lebih tersiksa, lebih merasa rugi dari sebelumnya. Jadi inilah pilihan terbaik dari yang terburuk (mungkin) ?


Wednesday, July 23, 2014

Tersesat Terkepung Asap Pekat

Ini belum mencapai akhir, tapi entah kenapa aku begitu ingin menulis "pada akhirnya"?
Aku berharap kesendirian dan kehampaan yang sedang kupilih ini mampu memberiku jalan yang terang. Jalan keikhlasan dalam proses pendewasaanku. Banyak hal yang kurenungi tiap kali sendiri. Banyak yang hadir dalam lamunan-lamunan atau angan-angan yang berada di atas kepalaku. Namun selain itu juga banyak memuculkan kekecewaan.

Sudah sejauh ini aku hidup, namun dengan kesendirian yang akud seperti ini sekarang aku merasa sadar aku telah berada pada banyak kesia-siaan. Banyak sekali waktu yang surut kebelakang dan itu malah mendamparkan aku pada suatu kerugian yang tak terhitung. Lalu pada titik ini aku harus berbuat apa? Sedangkan waktu yang surut kebelakang tersebut tidak mungkin akan terulang.

Sekarang aku hanya merasa kecewa, entah pada apa. Namun ketika kutelusuri itu berujung pada AKU. Kesadaran ini pada akhirnya menempatkan aku dalam suatu lingkaran dan aku terkurung disitu. Aku sadar, hal ini bukan berarti aku sedang berkubang dalam lumpur hisap. Karena aku cukup optimis aku mampu keluar dari "kesalahan", hanya aku merasa aku memang sedang tersesat terkepung dalam asap pekat. Aku belum mampu keluar. Saat aku melihat setitik cahaya, aku memang menghampirinya dengan harapan dapat keluar dari asap ini. Tapi sia-sia kaki yang kuajak pergi malah berbalik kembali. Cahaya itu kuabaikan.

Maka semua itu membuat aku selalu berpikir, setiap kali aku melihat orang lain mendapatkan kebahagiyaan dan aku juga menginginkan kebahagiyaan itu. Yang terpikir bahwa : AKU TIDAK PANTAS. Aku tidak pantas mengharapkan kebahagiyaan seperti orang lain, karena aku sendiri sedang berada dalam asap pekat yang ternyata diam-diam aku nikmati. Lalu akan seperti apa kebahagiyaan yang aku ingin? Yang jelas aku merasa tidak perlu menginginkan kebahagiyaan seperti mereka. Karena seharusnya yang aku lakukan adalah mencari kembali cahaya agar mampu keluar dari pekatnya asap. Itulah yang selalu terpikir.

Aku mengerti, karena sebenarnya setiap individu memiliki jatah kebahagiyaannya masing-masing. Jadi, aku tidak perlu ingin atau bahkan iri pada orang lain. Hanya saja memang benar sekarang ini aku begitu merasa merugi dengan banyaknya umur yang kubuang dengan terus berada pada kepulan asap pekat yang kucipta ini. Aku harus bagaimana?

Allah, aku percaya Engkau, aku begitu menunggu cahaya-Mu Allah. Cahaya yang tak kan kuabaikan lagi. Maka kuatkan aku, kuatkan langkahku. Aku ingin berlari dari ketersesatan ini. Aku ingin berada pada cahaya terang dimana tempat tersebut berisi banyak kebahagiyaan yang Kau ridhoi.

Aku ingin KEMBALI PANTAS mengharap suatu kebahagiyaan seperti mereka. Kebahagiyaan yang tercipta atas penghargaan dari apa yang benar.

Untuk saat ini, semoga langkah kecil menjauh dari kepekatan asap yang melilitku mampu menjadi penerang. Dengan langkah demi langkah aku akan mencoba menjauh. Allah, sungguh aku butuh Engkau.


Semarang, 22 Juli 2014


Thursday, July 10, 2014

Meramu Sepi

Pagi ini aku digenangi keriuhan, diantara derai suara-suara tinggi rendah dari sekitarku. Aku mulai merasa bising, mulai merasa muak. Bersama daun-daun juga segala macam racikan yang kuabaikan, aku menyingkir.
Mencari sepi di sudut ruangan yang dipenuhi graffity. Menatap anggun kegelapan yang merangkulku dengan ramah. Aku balas merangkulnya. Berharap menemukan sepi yang kucari.

Hanya diam dan bersandar menggamit sejengkal khayal yang terkulai lelah menungguku. Maafkan aku sambil kuusap rambut sang khayal yang berwarna-warni. Maaf telah mengabaikanmu selama ini. Dia balas tersenyum lalu dengan lembut bertanya mengapa aku mencarinya sepagi ini. Aku pun hanya menghela nafas. Mencari sang sepi yang lagi-lagi tak kutemukan juga. Aku hanya diam. Dari situ khayalanku mengerti. Khayalpun cukup diam dan merangkulku juga.


Aku tetap berada di tempatku, dari sudut ruangan yang gelap ini mampu kulihat sekitar. Sepi yang kucari tiba-tiba masuk saat sang khayal mengelar layar bioskop masa lalu. Aku terpaku. Dalam gelap, bersama sepi menatap layar yang mereka namai kenangan.

Dan akhirnya pun aku bersantai menikmati suguhan kenangan yang menghadirkan banyak perasaan. Teriris rasannya saat menatap seorang anak yang mendiami kerinduan sedang rindunya jelas tak kan terbalas. Lalu merasakan senang saat melihat anak tersebut mulai bisa menyusul teman-temannya naik ke pohon jambu, sambil menangkapi kupu-kupu berwarna kuning. Ikut merasakan malu saat sang anak dikejar-kejar anjing tetangga sampai berlari megelilingi orang yang sedang memiliki hajat hingga ditertawakan oleh banyak orang. Setelah itu layar bioskop yang sedari tadi menemaniku melihat masa kecil tersebut tiba-tiba menghadirkan sederet gambar yang berselang-seling. Meraup segala hal yang menyilaukan mata.

Dengan tanganku kututupi mataku karena cukup sakit melihat gambar silau yang malah semakin tidak jelas. Aku menyerah kukatakan pada kenangan yang kembali menjelma menjadi khayal. Dia menatapku heran bercampur kasihan. Akupun hanya diam, mencari-cari selendang yang telah kulepas diawal, namun tak kutemukan juga. Padahal dengan selendang itu aku pasti bisa merasa lebih tenang.

Mulai kujambaki rambutku, dimana sebenarnya selendangku. Aku benar-benar membutuhkannya. Beberapa helai rambutku jatuh, sebagian lagi melekat disela-sela jariku. Kuhitungi semua, lalu tiba-tiba ada yang membisiki telingaku "bahkan kamu merugi lebih banyak dari rambut yang kau hitung." Suara itu menggema di seluruh ruangan. Aku mulai mengerti, karena memang hanya aku yang mengerti.

Apakah aku harus menangisinya lagi? Apakah jeratan ini tak mampu kulawan? Iya aku ketagihan? Tidak aku bisa mengabaikannya! Akan kulawan!

Aku lelah, riuh redah kenyataan kembali memojokanku. Oh tidak aku salah, kenyataan malah menggandengku. Membantuku berdiri.

Aku berdiri dengan titik-titik air yang kusapu dari pipi. Melangkah meninggalkan ruangan yang kembali kukunci. Kumasukan kunci tersebut ke dalam rak yang bertumpuk begitu tinggi, tapi ternyata aku tidak mampu menggapainya. Jadi kuputuskan untuk memasukannya dalam dompet saja, kelihatannya sebentar lagi aku juga akan memasuki ruangan itu lagi. Sekedar memenuhi graffity setengah jadi atau kembali meramu sepi.

Ruangan lain sesungguhnya bahkan lebih sepi, tapi ruangan ini spesial, karena hanya aku yang mampu memasukinya. Kujejalkan keberanian dalam hati, lalu aku gantian menggamit kenyataan. Semoga kamu juga seramah yang kubayangkan. Aku hanya berharap itu, karena selanjutnya kamu tahu, kita akan mengalir bersama.


Sragen, 10 Juli 2014
Diantara kesibukan siang dapurku, kuramu sepi sendiri.



Tuesday, July 8, 2014

Karena Sajak, Kita Tak Berjarak


Dan kamu tahu pasak-pasak sajak lepas satu-satu

Mungkin beberapa diantaranya bersembunyi

Harus dengan hati susah payah aku panggili

Kamu tahu aku rindu bisa satu dengan sajakmu

Menjadi dalam kamu seperti dulu



Aku rindu menyemai kata satu-satu

Menjadi sajak yang kulepaskan keangkasa hatimu



Sahabat.... 
meski dengan keterbatasan yang ada

Tapi tak pernah kusangka aku bisa terproyeksi denganmu

Karena sajakmu

Yang membuatku mempesonainya

Aku kenal kamu dari sajakmu



Karena sajak, aku bisa beranjak pada kamu

Karena sajak, aku bisa berlonjak melewati keangkuhankku

Karena sajak, kita menjadi tak berjarak



Karena itu aku mulai mencari-carimu diantara sajak

Yang kembali kupanggili






Sragen, 8 Juli 2014

Di bawah bulan yang menyelami malam




Sunday, July 6, 2014

Salam Dari Hati Baru

Lama gak nulis blog, tapi kabar baiknya setelah spasi yang begitu lama ini aku kembali dengan lembaran yang memang benar-benar baru. Aku sukses melupakan "B" dengan kata lain sudah tidak lagi kucumbui nama dia lagi. Setelah 14 bulan atau setahun lebih 2 bulan nama dia bagai tatto yang tercetak permanen dalam hatiku sekarang sudah luntur. Bahkan hilang arti.



Tepatnnya malam itu, tanggal 11 Juni 2014 saat dalam keramaian konser di Padang Mahsyar. Seorang sahabat telah membuka logikaku, membuatku sadar pada kenyataan yang memang sebenar-benarnya harus kulakukan dan yang tak seharusnya terus-menerus aku lakukan. Seorang sahabat telah membuka mataku selebar-lebarnya.

Diantara banyak orang yang sedang berlonjak-lonjak menyanyi dan hingar bingar musik ska reagge, aku dan sahabatku hanya memilih duduk berdua di belakang. Menonton orang yang sedang menonton.

Satu kalimatnya yang telah meyadarkanku malam itu, juga sekaligus sukses membuat mataku pipis. Basah air mata dan ketika itu juga selalu ku pandang langit yang berbulan agar air mata tidak menetes, atau kubuang pandangku ke arah lain agar yang di sebelahku tidak tahu. Laki-laki di sebelahku ini memang jika bicara suka asal nyeplos, kadang seperti bercanda, tapi aku sudah kenal dia seperti apa. Karena itu aku paham betul meskipun yang keluar dari mulutnya seperti sebuah pisau tapi hal tersebut memang benar.

Karena itu, malam itu juga satu sentakan kesadaran yang memang kutunggu kedatangannya akhirnya muncul juga. Malam itu adalah titik akhirku mencintai "B" meskipun begitu pahit sentakan yang kuterima namun aku paham itu akan menjadi yang terbaik untuk semua. Malam itu aku mundur dengan satu titik pemberhentian. Malam itu adalah akhir.

Dan aku rasa jika ada yang benar-benar baru, maka itu adalah hatiku. Kubuka lembaran baru. Jika awalnnya nama dia tercetak spesial sekarang sudah mampu kuedit menjadi general . Hahaaa lega rasanya.
Mungkin inilah yang dinamakan batas, iya perasaan cintaku ke dia memag telah mencapai batasnya. Batas akhir. Bukan semata-mata menghilang tetapi memang saatnya terganti dengan cinta yang lain. Jadi, hati juga memiliki batas kadaluarsa??? Jadi, cinta juga harus diperbarui?? Entahlah, sebenarnya aku juga tidak terlalu paham dengan konsep tersebut. Aku hanya manusia yang seperti air dalam menjalani hidup ini, kubiarkan mengalir.


Saturday, June 7, 2014

Ono Kinjeng Mlebu Kamarku

Sore iki langit peteng ndedet koyo arep ganti ning wengi tur nganggo udan sing deres. Ora suwe soko kuwi, gluduk banter lan keclap-keclap petir wis ngiyasi langit. Suara adzan magrib krungu saut-sautan karo suara alam sing lagi gemerah.

Aku mung iso turon nglangut karo nyawang kuwi kabeh. Lawang kamar kostku sengojo ora tak tutup ben aku iso ndelok pemandangan langit mendung sing lagi njiglokne banyu soko nduwur. Senajian aku uwong'e seneng karo langit wengi mbuh koyo opo kuwi bentukane, mbuh lagi padang njingglang amargo ono mbulan purnama lan rame bintang, utawa lagi koyo ning film-film horor koyo sak iki.

Ora ono gawean sing tak lakoni. Biasane yen lagi nganggur ngene iki aku mesti dolanan leptp, yo kadang nonton film, kadang facebookan, kadang mung nulis-nulis ora jelas. Nanging amargo leptopku lagi rusak dadi aku yo mung iso koyo iki.


Moro-moro enek kijeng sing nyasar mlebu kamar kostku. Opo mergo lagi udan dadi ngiyup ning njero kamarku utowo amargo lampu sing nig njero kamarku padang dadi kinjeng kuwi tertarik. Jarene kewan jenis serangga kuwi senengane marani sing padang-padang.

Aku rasane ora pengen nggusah kijeng sing lagi mabur ning sandeke lampu. Padahal biasane yen ono kewan sing mlebu kamar, koyoto laron, walang, lan tawon wae mesti tak gusah metu. Ning ati risih nyawang. Nanging yen kewan kuwi sejenis kinjeng lan kupu mesti aku ora wani gusah.

Aku kelingan omongane mbahku ndisik, jarene yen enek kewan sejenis kinjeng lan kupu kuwi jelmaane mbah buyutku mbiyen. Sing kangen karo aku dadi marani aku. Aku kudu guyu dewe yen kelingan omongane mbahku kuwi, aku ora percoyo. Kanggoku wong sing wis mati yo mbalik karo Penciptane, ora mungkin malah dadi kewan mabur. Nanging mbok aku ora percoyo omongane mbahku, aku yo ora wani nggusah kinjeng sing mlebu kamarku. Rasane kijeng kuwi malah ngancani aku sing lagi dewekan.



Semarang, 17 Mei 2014


Tuesday, May 13, 2014

Ketika Harap Menjadi Ratap

Kau yang muncul dalam mimpiku siang tadi, membuatku enggan bangun, aku ingin terus terpejam dan berharap agar tidak terbangun dari mimpi ini. Dan Air mataku mulai menetes saat aku tersadar bahwa semua itu hanya mimpi.

Aku yang berdetik-ditik diringkus diam setelah itu, mencoba untuk terus menahan sakit yang tiba-tiba menusuk hati. Aku benci seperti ini, dilemahkan oleh cinta. Terlalu berharap tentang kamu, membuatku sakit.

Banyak pengandaian yang muncul tiap kali aku mengingat tentangmu. Semua harap yang hanya menyentuh udara disekitarmu. Tak pernah kau hiraukan. Membuatku kembali sakit. Menjadi dalam kekosongan ketika seluruh harap ini menjadi ratap.




Bud, telah setahun kamu berada dihatiku, dalam tempat yang benar-benar kokoh. Tempat yang tak pernah sukses kuotak-atik. Kamu mengendap disana. Tanpa kusadari, sudah setahun, meski aku telah setengah mati menghapusnya dan mencoba menggantinya dengan nama lain. Namun gagal berkali-kali.

Aku mulai putus asa sekarang, Bud. Terlalu sakit jika terus-terusan menimang harap akanmu. Yang aku tahu semua hanya sia belaka.

Bukannya aku tidak berusaha melupakanmu. Kamu tahu sendiri, berapa kali aku berganti status. Namun semua itu juga alpha dalam dada. Ratusan kalipun aku dan dia bertukar kata cinta tetap hatiku tak pernah se-inchi pun bergeser mendekat ke dia. Tak pernah sukses berpaling dari kamu. Sekarang aku sudah menyerah untuk berusaha melupakanmu, aku tidak akan lagi menghindar dan berpura-pura tidak mencintaimu. Karena kenyataannya tidak begitu, aku tidak akan lagi membohongi diri. Tak akan lagi berlari dari kenyataan, tapi tenang saja aku sudah berjanji untuk tidak lagi mengusikmu, cukup dari jarak yang kubentang sendiri ini saja aku melihat kamu. Bisa melihat kamu tersenyum dengan gula-gula yang menenggelamkanku. Dan semua itu sudah cukup membuatku sesak nafas namun membahagiyakan.

Dengan dibanjiri air mata juga harap yang semakin meratap, aku mingkin selamanya memang hanya mampu melihatmu, lalu dalam bisik dihati mendoakanmu. Semoga kamu selalu bahagiya, selalu mendapat yang terbaik. 

Terisak dalam diam menahan seluruh perih. Karena aku sendiri sadar, meskipun kita masuk dalam suatu ruangan yang sama, semua dapat melihat kamu mengenakan pakaian yang pantas dan sesuai sedangkan aku hanya compang-camping dan akan menjadi hinaan siapapun. Aku cukup tahu diri, Bud. Bahkan sebenarnya aku tidak lagi memiliki muka untuk sekedar menatapmu. Tapi maafkan aku, terkadang aku tidak mampu untuk tidak melirik kamu meski setelah itu aku maki diri aku sendiri. Tapi kamu tahu, cukup satu kedip mata melirikmu pun menjadi kebahagiyaan luar biasa buatku. Apa lagi yang bisa aku lakukan?

Tapi kamu tak perlu khawatir, Bud. Aku tak akan pernah mengganggu kehidupanmu lagi, aku tak akan pernah mengusikmu lagi. Semoga kamu selalu bahagiya, yang terbaik selalu untukmu.



Thursday, May 8, 2014

Menghansaplast Luka Hati

Dear Diary Onlenku,

Dalam kegelisahan dan rasa takut yang amat sangat ini, aku mencoba untuk terus berusaha optimis. Semoga apa yang aku takutkan tidak akan pernah terjadi.

Dalam status sendiri ini, aku juga selalu berusaha untuk tidak kesepian. Seperti sekarang dengan menjadi rutin menyapa kamu diaryku :*

Berkeluh kesah diruang diammu, curhat, sekedar berbagi risau yang tiap detiknya meringkus tarikan nafas yang kuhelakan di udara. Aku bersyukur dalam melegakan seluruh sesak yang menyesak di dada ini tak perlu dengan asap atau botol atau pil putih atau segala perusak lainnya.



Aku rasa aku tidak harus sepahit itu dalam menyikapi rasa galau ini. Galau yang kuhalau dengan berbagai cara, menulis, menonton film, menonton ulang One Piece, main game Criminal Case atau sekedar yang cukup serius dengan mengerjakan tugas. Biasanya akan terselip satu kegiatan yang dulu bisa begitu akrab denganku yaitu membaca, tapi kali ini sepertinya itu tidak begitu cocok dengan situasi sekarang. Maaf buku, padahal sederet novel, cerpen dan buku-buku Kahlil Gibran sudah bertumpuk di rak bukuku, beberapa masih rapi dengan plastiknya. Tapi hanya kuabaikan, aku belum ingin menambahi aktivitas dengan menyentuh buku. Sekarang yang ringan-ringan saja dulu.

Diary kamu tahu, aku rasa saat ini aku juga cukup menarik diri dari kerumunan teman-temanku. Maaf untuk sekarang aku memang sedang ingin sendiri. Sejenak menarik diri, sejenak sendiri.

Aku janji ini tidak akan lama, setidaknya aku masih suka bercanda dengan teman-temanku, menanggapi dan menggenapi semua tawa teman-temanku. Meskipun jika dilihat, tak pernah seintim biasanya, karena aku memang sedang tidak seperti biasanya.

Banyak hal yang tidak mampu aku ceritakan secara gamblang, biar cukup aku saja yang menyimpannya untuk ini atau kubagi dengan orang yang benar-benar kupercaya seperti sahabatku. Tidak terlalu besar isolasi diriku ini, aku cukup terbuka setidaknya dengan sahabatku.


Diary, aku tahu rumah hatimu cukup menampung sebesar apapun keluh kesahku, tapi dari situ aku juga sadar semua tidak mampu aku lampiaskan di rumah hatimu, diaryku. Contohnya saja kemarin, bahkan setelah menulis, mencoret-coreti kamu, meluapkan seluruh apa yang sedang kurasakan dan kupikirkan tetap saja aku belum puas. Setelah itu aku tetap nongkrong di warung hingga larut malam, curhat dengan sahabatku Yayun, makan mie pake telor dan meneguk secangkir kopi.

Bahkan hingga semua kesyahduan warung dirusak anak-anak Batak-pun juga tidak membuat setelah selesai makan langsung pulang. Kuiyakan saja ajakan Yayun untuk ‘mbelong’ jalan-jalan malam sejalan-jalannya sang kaki melangkah. Aku berharap bisa sejanak melupakan ‘nyesek’ yang memang lagi mampir di hidupku ini.

Meskipun hanya Sekaran-Banaran, tak seekstrim dulu sampai Sekaran-Ungaran-Banyumanik jalan kaki. Tapi melewati gang-gang kost yang sempit, gelap, dan sepi semua itu cukup bisa menghibur diri. Dengan bumbu rasa malu kalau bertemu dengan teman serombel, rasa senang bisa becanda konyol seperti aku biasanya, juga sedikit bumbu rasa takut kalau ada hantu iseng atau preman nakal. Karena jam di layar hape memang sudah menunjukan lewat tengah malam.

Kaos oblong Kamtis Unnes, celana pendek dan sendal jepit, cuek saja melewati tiap kost-kost ala kadarnya nan sepi milik mahasiswa dan mahasiswi Unnes. Cukup gila saat harus melewati gang yang disitu didiami oleh kost cowok samping potokopian :p 

Beberapa kali gagal untuk berani lewat kost tersebut rasanya konyol sekali, saat telah terlihat terasnya tetapi tidak berani melewatinya alhasil harus ‘mlipir’ lewat jalan tikus menuju jalan di Gedung FBS. Tembus hingga jalan besar Banaran, jam satu pagi teriak-teriak memanggil nama temanku. Lalu kembali terdampar pada gang-gang yang masih sangat asing, mendapati jalan buntu sampai menemukan diri kembali harus melewati kost samping potokopian tersebut :p

Kalau dihitung mungkin bisa lebih dari 5 kali gagal berjalan melewati depan kost tersebut. Dari yang langsung berlari balik arah, cari jalan lain, sampai jajan es teh di angkringan terdekat dari kost ‘angker’ tersebut. Mengumpulkan keberanian. Bayangin aja, baru lihat temboknya aja aku sudah deg-deg’an setengah mati, sesak nafas senin-kamis sampai jangan-jangan yang paling aku takutkan aku langsung pingsan tergeletak depan kost tersebut. Haha lebay ya, tapi memang kenyataannya seperti itu.


Yosh setelah cukup lama juga nongkrong di gazebo milik fakultas impianku (sebut saja FBS) sambil berbacksound dengan suara musik dari latihan anak-anak band FBS, dan karena angin pagi yang dingin sudah cukup mengusik maka akhirnya sukses juga mengumpulkan keberanian untuk uji nyali melewati kost ‘angker’ di belakang FBS tersebut. Yohooooo aku menang.

Meskipun sudah gelap dan penghuninya sudah masuk kedalam kamar masing-masing, tapi bisa melihat terasnya saja sudah cukup membuatku berlonjak senang. Haha kaya anak kecil :p

Dan akhirnya mbelong pagi dini hari ini pun cukup menghansaplast lukaku. Diary, doakan saja untuk tulisan selanjutnya aku sudah bisa berbagi yang lebih cerah dari ini. Semoga saja aku sudah terlepas dari rasa sakit dan juga dari rasa takut luar biasa yang sedang menimpaku ini. Diary, tolong doakan aku.