Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Monday, July 30, 2018

Inilah Aku Lelah


Inilah aku, yang terpaku
Menatap dimana-mana jalan buntu
Dan langkah kearahmu
Tak lebih dari sebuah pintu yang terkunci

Inilah aku, 
yang sekarang sudah lelah
Jadi biarkan aku pasrah
Pada rentang waktu yang sama sekali tak mau mengalah
Melibas segala asa tanpa sisa


Sragen, 30 Juli 2018

Wednesday, July 4, 2018

Mati Perlahan


Pagi ini aku ingin mati lagi
Seperti kemangi layu dalam kobokan
Mati perlahan
Karena rahim itu hanya liang kosong tanpa rahman

Aku tidak mengingat apapun
Dalam rentang waktu membungkusi kesia-siaan
Yang mencekikku pelan-pelan
Aku tertelan

Sragen, 4 Juli 2018 subuh tadi. 


Thursday, June 7, 2018

Menyikapi Beda Generasi


Terkadang aku sampai berpikir bahwa sebaiknya generasi tua dihilangkan saja. Sama seperti saat perang tiga kekuatan besar di Marine Ford dalam beberapa banyak episode di Anime One Piece, disitu Pak Tua Shirohige menyadari bahwa eranya telah habis, era bagi orang-orang setua dia sudah tidak dibutuhkan lagi untuk dunia ini. Maka dia dengan tersenyum dan tetap tegak berdiri dalam ketiadaannya. Lalu kenapa aku sendiri juga sampai berpikir seperti itu. Baiklah akan aku urai dari awal.

Ketika generasi tua merasa telah asing dengan dunia dan mereka tidak lagi mampu mengikuti perkembangan dunia ini, ada satu hal yang sepantasnya mereka sadari yaitu sadar bahwa dunia memang telah berubah. Sedikit ataupun banyak merekapun pasti telah sadar. Lalu selanjutnya 3 kemungkinan yang mereka lakukan.

Pertama, menerima dan mencoba untuk mengikuti meskipun itu dibutuhkan banyak waktu dan tenaga. Karena adaptasi memang tidak selalu mudah. Tapi mereka yang terus tertantang maju pasti mau. Atau setidaknya rasa keingintahuan yang positif terhadap hal-hal baru yang terus mendorong mereka untuk mengikuti pekembangan jaman.

Kudua, menerima tapi tidak ambil peduli. Mereka yang ambil sikap seperti ini tentunya telah mencintai keadan baik itu dulu atapun sekarang, sekalipun mereka tidak suka tapi telah ikhlas dan memilih untuk menjalani kehidupan secara mengalir seperti air.

Dan yang ketiga adalah yang mendasari awal tulisan ini, dan itu sangat menjengkelkan, yaitu mereka sadar tetapi tidak bisa menerima dengan perubahan yang ada. Yang mereka lakukan hanyalah protes dan membanding-bandingkan. Apakah hanya berhenti sampai disitu? Tidak! Mereka bahkan mulai menyalahkan keadaan, menyalahkan kehidupan, menyalahkan orang-orang yang tidak sejalan dengan mereka dan merasa bahwa kehidupan dulu jauh lebih baik dari saat ini. Jika memang seperti itu mengapa harus berlama-lama tinggal di dunia ini. Yang mereka katai lebih malas, jauh lebih rusak dan telah hancur. Sedangkan waktu tidak pernah surut kebelakang, waktu tidak pernah berjalan mundur. Apa yang telah terlewat tidak akan kembali terulang sama persis.

Georg Wilhelm Friedrich Hegel, merupakan salah satu Filsuf yang kukagumi pemikirannya. Dalam hal ini Hegel percaya bahwa dasar kesadaran manusia berubah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lalu bagaimanakah jika kesadaran tersebut tidak didasari okeh sikap penerimaan dari generasi terdahulu terhadap generasi sekarang? Sedangkan mereka sama-sama hidup dalam ruang lingkup kehidupan yang sama. Maka jawabannya adalah konflik. Ya! Yang timbul selanjutnya adalah konflik.

Jika sudah seperti itu apa yang harus kita lakukan? Banyak! Kita bisa melakukan pemakluman, mencoba untuk saling belajar atau mengambil sikap diam. Meskipun hal tersebut maknanya sama. Lalu apakah kita seharusnya mengambil opsi lain? Yaitu berani bicara, berani menyatakan pendapat kita dan menerangkan tentang keadaan saat ini yang memang telah berbeda dari masa lalu. Terserah mana yang akan kita pilih untuk  dilakuan, tapi selalu ingat apapun itu pasti memiliki resikonya masing-masing.

Orang yang tidak dapat mengambil pelajaran dari masa tiga ribu tahun, berarti dia hidup tidak memanfaatkan akalnya : Goethe.




Tuesday, May 8, 2018

Candu Pada Candamu


Isyarat itu sembunyi-sembunyi
Seperti bisik padi yang menunggu lawan biacara
Membuaiku bagai candu
Segala candamu
Dalam padang gembala cerita
Yang ditengahnya jernih terbelah sungai
Aku terbuai
Yang diatasnya lembayung mega-mega
Kurebah segala lelah pada semesta
Sambil menatap angkasa
Kembali ingin menikmati tawa-tawamu
Ah sepertinya itu benar-benar sudah menjadi candu

Sragen yang kemarau, 8 Mei 2018

Sekeping Bulan Yang Remaja


Sekeping bulan dini hari
Lingkar bias samar tersaput celah dedaunan
Dalam sisa-sisa tengah malam
Membayang gelak tawamu sesiangan hingga gelap puputan
Biarlah aku menikmatinya
Yang menderas setiap harinya
Hingga kita akan mampu berenang dalam genang cerita
Riak menghalau yang berjudul duka
Meski aku sadar ku tengah bersandar di reruntuhan waktu
Menggenapkan seperempat abad yang akan tiba, melukaiku sedikit
Menyeretku pada gelap suram sejenak
Tapi aku bisa apa? 
Bukankah waktu memang berhak berlalu? 
Tersedu pun tak kan ada arti
Tapi disitulah pelan gelap yang ada mengabur
Karena sungguh warna remaja yang kau bawa telah menolongku

Terima kasih telah ramah pada aku yang asing ini
Aku yang juga hanya kebetulan kecil bagimu
Dari luasnya skenario takdir Tuhan
Setidaknya biarlah ada kamu pada setiap paragrafnya
Pada pendar-pendar kepolosan dunia
Dalam khayal kita yang remaja
Satu-satu kusenyumi sambil mengecap mimpi
Meski tanpa kopi, seperti nasehatmu kala pagi

Sragen, 8 Mei 2018

Monday, May 7, 2018

Omong Kosong Tentang Melupakan


Nihil sapa

Bahkan bayangamu dalam semu tak lagi ada
Hanya sepotong jejakmu
Yang diam-diam kucuri dari senjakala waktu, yang tertinggal, yang tertanggal
Dan doa-doa yang hanya padamu terarah
Ah sudah, biarkan aku menyerah
Pada rasa yang sempat kucicipi sejenak
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal
Aku akan beranjak
Kembali meneruskan jarak
Tapi apakah itu mudah?
Sedang hati yang tak berhuni dulu
Masih pulas kau tidur disitu
Lalu bagaimana ini?


Dan kemudian semuanya

Hanya menjadi rencana yang kosong sia-sia
Kau memang sudah siap angkat kaki
Tapi hatiku masih belum bisa membiarkanmu pergi
Ah lagi-lagi


Sragen,  7 Mei 2018


Kamu Adalah Punggung Itu


Kenapa aku harus mengingatmu?
Menerbitkan rindu
Menyesakkan dadaku
Ketika siang semuanya bisa kutekan
Pada logika yang paling terang
Tapi malam lagi-lagi meruntuhkan segalanya
Menghanyutkan aku pada lekuk sabit bibirmu
Pada teduh telaga di matamu
Pada suaramu saat melagu
Juga pada diammu yang ditentang sapaku kala itu
Lalu pada segala yang menautkan kamu
Tak tahukah kamu?
Aku sesungguhnya membenci semua itu
Tapi tentu kamu lebih tahu
Bahwa benci dan cinta adalah sama dalam satu kutub
Dan hanya rinai tipis yang memisahkan hingga mudah ditembus
Tapi pada akhirnya
Akupun juga harus tahu
Kamu adalah punggung itu
Yang senantiasa menjauh dari jangkauku
Semakin jauh


Sragen, 7 Mei 2018


Tuesday, May 1, 2018

Kenangan Tak Berubah


Pagi dini hari; pagi pucat pasi
Aku merasa sungguh melancholic sekali
Seluruh kenangan meruah menghujaniku
Teman-teman yang kurindukan
Satu per satu menyapa dengan cara mereka masing-masing
Aku sungguh rindu masa-masa itu
Ketika semuanya terasa tak kan pernah berakhir
Rindu, aku sungguh rindu kalian
Dan kan kubiarkan kalian tetap hidup dalam kenanganku
Kalian yang tetap sama, tanpa dicederai oleh perpisahan
Aku tahu tiap kalian pasti telah berubah
Begitupun aku
Tapi kenangan kita, tak kan pernah berubah


Sragen, 29 April 2018
01:06 WIB


Narasi Cinta Yang Dungu


Singkat saja aku mengenalmu
Sesingkat tetesan itu
Yang sudah tidak di sana lagi
Menetes sudah
Tapi entah mengapa masih terasa telapak tanganmu yang hangatkan pipiku
Keduanya
Padahal raga kita saling jauh
Dan tak pernah saling menyentuh

Namun lekuk sabit di bibirmu itu
Manis menyentuh hati dan pikiranku
Aku terpaku, engkau bisu dan kaku
Diam dalam bayang mataku dikejauhan
Tapi hatiku terus tergerak padamu
Tanpa kusadari
Dan kau tetap diam
Sambil melemparkan labirin teka-teki luar biasa rumit
Penuh misteri
Aku harus bagaimana? 
Memecahkan segala kebisuanmu
Sedang aku disini terus disiksa rindu
Aku bisa apa?
Ketika jerat segala rasa ini meruah tercurah memasung hati dan pikiran
Untuk terus terfikir segala tentangmu

Haruskah kuhentikan segala kebodohan ini? 
Tapi aku pun masih belum tahu caranya
Maafkan aku
Yang begitu bimbang dan ragu, meraihmu
Kau mulai menakutkan dengan wajah masammu
Apakah itu tanda untukku berhenti? 
Lekuk sabit di bibirmu itu pun telah kau lenyapkan tanpa sisa
Itukah tanda untukku berhenti? 

Tapi itu tidak mudah
Terlebih akupun tidak tau caranya
Tolong maafkan
Dan aku tetap pada pendirianku yang dulu
Yang pernah ku nyatakan padamu dengan tanda seru
"Jangan menghardikku karena mengejarmu!!! Karena sesungguhnya ini kakiku sendiri. Aku punya hak penuh atasnya. Seperti juga kamu, berhak penuh untuk mematahkannya."
Lalu dengan wajah masam kau hanya bilang aku dungu
Ya, aku memang dungu
Maafkanlah orang dungu ini


Sragen, 25 April 2018


Friday, April 13, 2018

Diam Yang Kita Sepakati


Entahlah
Tersisa sedikit debar
Meski samar pikiranku tercemar
Oleh seletup bara dari dadamu yang gusar
Semalaman hatiku memar

Dan kau tetap pada diammu
Tak bergeming pada tiap panggilanku
Membuat hatiku makin karam
Aku takut
Akankah jemari takdir kembali menghitung kehilangan? 
Aku tak tahu
Aku lelah aku pasrah aku kalah
Aku menyerah
Pada diam yang akhirnya kupilih juga
Dalam diam yang diam-diam kita sepakati bersama
Aku berhenti meraihmu


Sragen, 6 April 2018

Kebetulan Kecil


Aku memang bukan siapa-siapa
Hanya kebetulan kecil dari skenario Tuhan pada sepenggal episode hidupmu
Tapi terima kasih
Karena telah membawaku serta
Mengajakku menjenguk kisi-kisi masa lalumu
Mungkinkah ada denyut rindu? 
Aku tidak tahu
Karena itu antara kamu dan kenanganmu
Sedang aku, hanya berhenti di depan pintu
Sambil mendengarkan lagu kirimanmu
Dan akhirnya yang aku tahu
Selamanya aku hanya semu bagimu


Sragen, 2 April 2018



Tuesday, March 13, 2018

Koma Dan Tunggu

Aku mulai lelah menunggu
Terpincang-pincang dalam ketidakpastian
Sendu bersandar dalam koma yang tak sesaat
Dan keputusasaan mendesak berjingkat-jingkat
Dalam ruang yang semua putih
Juga asing bau warna udara
Aku menyerah menunggu
Jarak yang terenggang retak-retak
Melumat jiwaku koyak

Sragen, 10 Maret 2018


Pada Kehendak-Mu


Kini aku berhenti menghitung waktu
Toh penyakit telah menjadi belukar yang mendekapku
Memasung langkah tubuh
Menyeringai perlahan tiap detik lapis detik
Dengan angkuhnya mengemasi asaku
Tapi sujud menyalakan lagi aku
Nyala kecil, fana dan ragu
Sepintas aku tersadar
Ada kehendak-Mu yang samar
Menyapih pedih nafas yang tersengal

Sragen, 9 Maret 2018