Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Thursday, October 2, 2014

Cinta Pembodohan [Lagi]

Berkali-kali dapat sms bujukan untuk pulang ke Sragen sampe bosen bacanya. Dari yang mulai rayuan wewe gombel gombal ala anak es-em-a sampai teori grafitasi yang menyatakan bahwa dia itu bisa bertahan di bumi bukan karena daya tarik bumi, tapi daya tarik aku. Wakwaw. Tapi sms dari nomer yang ku save ‘sayangku’ ini memang tidak mudah untuk kuabaikan. Akhirnya dengan pertimbangan yang dalam, dengan perhitungan panjang kali lebar kali luas kali Bengawan Solo yang bakal ku sebrangi nanti, kuputuskan untuk tancap gass pulang ke Sragen.

Hari itu hari rabu, alhamdulillah [mungkin] berhubung tanggal tua jadi dosen rada males ngajarnya jadi belum genap setengah jam kelas sudah dibubarkan. Aku anggap ini sebagai pertanda baik, jadi aku bisa langsung melakukan perjalanan pulang ke rumah Tuhan Sragen. Sampai Sragen pun gak akan larut malam berarti, yasudah aku langsung berlari menuju kostku untuk persiapan pulang. Saat itu entah saking senengnya atau apa, aku yang berlari-lari kecil balapan sama tukang jualan siomay malah kesandung batu di jalan gang yang memang jalannya tidak semulus pahanya Nabilah JKT48. Dengan sedikit teatrikal aku sukses jatuh bedebam dengan pundak nyusruk ke tanah duluan. Oh sungguh dramatis sekali diks hiks hiks. Dilihatin temen-temenku yang nongkrong di angkringan sebelah kost, huahhh malunya thu disini *nunjuk pundak kiri. Lalu dengan kampretnya mereka nyerocos komentar macem-macem, sempet masuk nusuk dikuping kiri juga “Nami njaluk digandeng aku ben gak tibo”, “Nam gak usah grogi yen mlaku”, “Hee ora, kuwi nami daifing kog”, “Nam kowe ditekling tukang siomay yoh?” haasssssssttttt dipikirnya aku Eloco Gonzales 
yang kesandung pas lagi dribel bola yah -_- Lanjutkan fantasimu, Nak!

Oke, dengan sedikit terpincang-pincang aku menaiki 17 anak tangga menuju kamarku, iseng aja kurang kerjaan dulu aku berhitung jumlah anak tangga di kost. Setelah sampai kamar aku memang tidak berniat membawa banyak barang, karena itu aku memasukan barang-barang yang aku perlukan saja. Selain karena memang aku cuma di rumah selama semalam saja juga karena aku memang tidak pernah membawa banyak barang kalau pulang. Berat dan rempong!

Kupakai kaos tangan juga sleyer biar kulitku yang putih tidak belang lagi, susah payah aku mengembalikan agar keputihan kulitku kembali putih secara merata. Karena aku tau ini salah satu aset penting dalam tubuhku. Salah satu! Catet itu!

[Masih] dalam persiapan untuk pulang ke pelukan orang yang kusayang Sragen, aku sengaja tidak ganti baju, jadi tetap dengan setelan kemeja kampus warna biru kotak-kotak senada dengan sarung tanganku, hanya kutambah dengan jaket kelas warna hitam yang dipunggungnya terdapat tulisan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Semarang. Aku patut bangga karena yang mendesain jaket ini adalah aku, hehehe walau banyak yang komentar seperti jaket satpam tapi masa bodoh dengan mulut kalian, iya karena ini negara demokrasi. Aku rasa begitu sebelum demokrasinya ditentukan oleh DPR. Wakwaw

Selesai mix and match dengan pakaian yang ala kadarnya aku pun berlarian lagi menuju parkiran -_- dalam sekejap kejadian tersungkur di gang ternyata sudah mampu terlupakan. Begitulah aku, penuh semangat namun suka tergesa-gesa. Aku apa adanya kalo gak suka ya minggir aja.

Mencapai garasi rupanya motor sudah menunggu sampai berdebu, yang ini bukan lebay tapi memang bener-bener dalam keadaan lusuh compang-camping sekali motorku. Maklum di kost memang gak ada tempat buat mandi’in motor, mandi’in orang aja sempitnya minta air ampun. [Baca:kamar mandi kost]

Ternyata motorku bukan sekedar penampilan luarnya saja yang mengenaskan tapi dalamnya juga. Berkali-kali ku starter tidak juga mau nyala. Mogok? Macet? Ngambeg? Terserahlah mau dinamai apa, yang jelas intinya motorku tidak bisa jalan. Berarti kalo tidak nyala dengan jempol tangan, harus dengan kaki kanan aku menyalakannya, bisa kalian bayangkan? Silahkan kalian bayangkan!

Brrreemmmm brrreeemmmm akhirnya keluar juga suara untuk tancap gass. Oke saatnya mulai perjalanan. Wah kalau kali ini aku tidak berhitung berapa banyak angka kilometer per jam dari Semarang menuju Sragen. Yang jelas aku cukup menikmati perjalanannya, meskipun panas dengan sengatan matahari tepat diatas ubun-ubun kepala. Melihat aspal jalanan yang seolah-olah seperti meleleh, bagikan melihat kolam renang.

Berkali-kali kupelankan motorku sekedar untuk membalas sms dari teman yang juga mau ngamtis di Sragen. Berkali-kali karena memang geli rasanya menaruh hape di kantong celana jins, saat ada sms masuk pahaku terasa seperti dilanda gempa 0,39 Skala Richter.

Perjalanan di bawah sengatan matahari tengah siang melewati Ungaran, Salatiga, Boyolali, Sukoharjo, Solo, Karanganyar hingga sekarang gantian jantungku yang berdegup senin kamis melewati Tugu Gading Masaran. Sengaja ku pacu motorku pelan-pelan berharap ada penampakan sesosok wajah manis dengan gigi gingsulnya di pinggir jalan, hahaha hanya berharap walau sudah hal itu mustahil tapi apa salahnya. Sebelum harapanmu ditentukan oleh DPR bro. Hehehe hingga memasuki Kota Sragen aku masih saja senyum-senyum sendiri, untungnya aku pakai sleyer jadi tidak ada yang bakal menganggap kalo aku gila.
Sampai di rumah sepi karena bapak memang sedang ada tugas di Ibu Kota, wah berasa seperti anak orang penting saja. Gak papalah sekali-kali. Sedangkan ibuk dengan simbahku seperti biasa sedang di dapur memasak untuk sarapan orang se-Sragen. *You know lah

Berhubung aku memang anak yang rajin dan berbakti pada orang tua maka aku pun ikut membantu di dapur, sambil ngerumpi sama ibuk dan simbahku, maklum kaum wanita hehehe. Dari situ aku tahu kalau ibuku memang sudah paham bener bagaimana tabiat anak gadisnya ini kalo ada Endank Soekamti pasti tidak mau ketinggalan buat menonton. Aku pikir dengan watak ibuku yang keras dan mudah emosi, dia bakal marah karena aku pulang hanya untuk nonton konser jadi aku bilang kalo memang libur dan balik ke Semarang hari Sabtu. Tapi justru malah sebaliknya ibuku cerita tentang anak-anak kamtis yang ditemuinya di jalan saat pulang dari pasar. Teman-teman kamtis yang nyestreet, ibuku kasihan melihat mereka yang rela jalan jauh dan cari gandulan kesana-kemari. Hidup mati orang tua mereka gak akan tau keadaan anaknya, lalu dibandingkan dengan aku dan adikku yang kalo keluar rumah sebentar aja udah ngatong malakin minta duit jajan dari ibuku. Percaya gak percaya, ibuku cerita sambil menitikan air mata. Nyokab nangis bro. Wah kalo yang ini sih ibuku sudah over dosis sinetrol Catatan Hati Seorang Istri. Yasudah kalo sudah melow kendow seperti ini sebaiknya aku menyingkir ganti pekerjaan yang lain. [Baca:menyapu rumah dan halaman]

Lalu dalam sekejap sudah berkumandang adzan Magrib, badan sudah sangat capek terutama punggungku, ingin rasanya merebahkan badan di kasur lalu bermimpi indah. Tapi bahkan tujuan awalku pulang saja belum kesampaian masak aku sudah mau tidur. Jadi aku putar arah ke kamar mandi, oke sampai depan kamar mandi saja kalian gak boleh ikut, masak iya aku harus menceritakan bagaimana prosesi aku dalam memandikan tubuhku? Nanti dikira tulisanku ini cerita vulgar terus dituntut karena pornografi.

Selesai mandi dan gosok gigi aku mematut diri di depan kaca. Siap-siap untuk ngamtis, meski gak seseragam biasanya dengan atribut yang kumplit tapi setidaknya dalam bayanganku aku bakal ngamtis dengan orang yang ku sayang pasti spesial rasanya. Rasanya seneng tak terkira, meskipun dengan sedikit rasa takut kalo semua bakal berbalik kecewa. Kalian paham kan dengan teori harap menjadi ratap, ketika kebahagiyaan itu bercermin kesedihan. Suatu harapan yang terlalu tinggi memang sangat membahagiyaan si penerima harapan tersebut tapi harus hati-hati saat si pemberi harapan ternyata hanya sebatas omongan saja maka bersiaplah untuk jatuh dari ketinggian. Braaaakkkkkkk hancur lebur.

Sepertinya aku pun juga harus bersiap-siap karena memang sejak sore tadi dia sudah tidak ada kabar, hanya dia bilang bahwa akan menjemputku habis magrib. Aku sendiri percaya dia tidak akan mungkin mengacuhkan aku yang sudah jauh-jauh dari Semarang demi memenuhi permintaan dia.

Lalu sms kampret itu datang juga, dia bilang benar-benar sibuk mengurusi teman-temannya dan juga tamunya. Karena berhubung ketua Gading Masaran Kamtis Family sedang sibuk mengurusi pacarnya jadi pacarku sebagai wakil ketua yang harus menggantikan tanggungjawab untuk mengurusi tamu-tamu dari  hassssmmbuuuhhhh ngendi iku. Ya sudah aku maklumi, aku hanya tidak mau menyandang kalimat ‘Karena fuckgina jadi lupa teman’. Walaupun sangat kecewa dan nyesek di hati, yah itu manusiawi kan? Aku cuma manusia biasa bro.

Oke saatnya ganti siasat, karena ibuk memang tidak tega kalau aku harus berangkat sendiri. Dari yang mulai membayar adiku buat mengantar aku ke tempat acara *Gagal! Minta jemput teman yang juga mau ngamtis *Gagal! Sampe minta bareng sama bulikku yang saat itu pas banget lagi maen kerumahku lalu mau pulang, tapi yang ini *Gagal juga! Terus yang paling kampret itu pas aku sms adik ponakanku minta dianterin malah yang balesin pacarnya yang cemburu marah-marah ke aku dikira aku cewek gathel yang ngajak main pacarnya. Oh shit man! Nangis bathin aku.

Ya sudah sepertinya aku memang tidak tidak diijinkan buat nonton Endank Soekamti, padahal sudah tak belain jauh-jauh Semarang-Sragen. Tapi bukan itu yang aku sesalkan, hanya saja aku pengen ketemu orang yang sudah berjanji untuk selalu menemani aku kalau aku pulang hari ini. Sambil mengerjakan tugas kuliah tiba-tiba saja mataku jadi kabur tertutup embun pribadi ciptaan dari kecewa yang disilangkan dengan rasa sakit bercampur nyesek dan sedikit perih dihati. Lalu dalam sebentar saja Grojogan Sewu dari Tawangmangu pindah di pipiku. Jangan becanda aku juga punya perasaan bro. Kalo disakiti ya bisa merasa sakit terus nangis. Bukan karena ikut-ikutan ibuku yang sedang nonton sinetron Catatan Hati Seorang Istri. Aku nangis itu wajar, kan aku masih punya kantong air mata. Meskipun sempet aku berpikir untuk barter dengan kantong doraemon saja, kan lebih bermanfaan thu, tapi berhubung ini pemberian Allah jadi wajib untuk syukuri.

Aku paham ibuku jelas tau bagaimana perasaanku, kalau saja ada bapak pasti aku minta antar bapak. Hiks hiks bapak memang laki-laki terbaik dalam hidupku yang menduduki peringkat pertama dan masih belum tergantikan oleh laki-laki manapun sampai saat ini. Aku mulai meyerah, kuhapus air mataku, aku tidak ingin terlihat cengeng dan membuat ibuku sedih. Tapi sepertinya percuma, bahkan ibuku berkali-kali menanyakan apakah aku tidak jadi nonton Endank Soekamti, ibuk juga menayakan kemana pacarku, padahal sebelumnya ibuku belum setuju mengenai hubunganku itu. Tapi sepertinya ibuku sudah menyerah karena tidak ingin melihat aku sedih.

Tepat saat kuhapus air mataku, sms dari dia datang, kujawab aku tidak ikut ngamtis saja. Hahaha aku terpingkal-pingkal baca sms balasan dari dia yang mengatakan bahwa aku tidak adil. What? Saat itu aku ingin membanting hape ke lantai tapi berhubung karena sayang kan hape bagus-bagus masak dirusak yasudah kubanting di kasur saja. Banjir lagi di pipi. Lalu kuputuskan untuk menghubungi dia, aku memohon dengan amat sangat untuk dia menjemput aku.

Saat dia datang, mataku sudah sembab, hidung merah dan pipiku basah. Gak perlu pakai tebak-tebakan lagi kan? Sudah tahu aku kenapa. Kami bicara berdua diteras rumahku, aku tekan sedalam-dalamnya amarahku karena aku rasa itu tidak perlu. Aku harus bicara dengan kepala dingin meskipun ingin sekali kuhajar dia habis-habisan, ku tendangi, ku pukuli, ku mutilasi terus kubakar lalu ku buang ke kali Bengawan Solo yang siang tadi rela kusebrangi demi dia. Tapi mungkin aku memang sudah tidak ada tenaga lagi buat sekedar marah, yang kubisa hanya menangis. Kujelaskan semua kecewa dan sakit yang kurasa, berharap dia mengerti. Aku hanya ingin dia bertemu dia, melihat dia bicara dengan dia tapi sepertinya dia lebih mementingkan ngamtisnya dan teman-temannya. Dia ambil motornya lalu tanpa pamit meninggalkan ku sendiri. Aku diam, kupeluk kedua kakiku sambil meratapi nasipku dan segala kebodohanku sendiri. Berjam-jam di teras rumah sendiri. Lalu masuk rumah hanya karena aku lelah menangis, aku ingin tidur, namun sepertinya sungguh susah. Padahal yang ku ingin hanya tidur, agar cepat pagi dan aku ingin segera pergi.

Paginya aku memang langsung kembali ke Semarang, aku pikir ibuku akan marah dengan kelakuanku ini. Tapi ternyata tidak dan itu malah semakin membuatku merasa seperti manusia yang tidak tahu diri. Sepanjang perjalanan aku kembali menangis, untungnya sleyer tetap setia untuk menemaniku dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Aku berteriak tertahan sepanjang perjalanan, berusaha untuk menghibur diri, namun pikiran yang carut marut memang tak mudah untuk diatasi. Terlalu kusut pikiranku, sempat terpikir untuk menabrakan diri ke truk atau nembus jembatan terjun bebas ke sungai, atau saat lampu merah aku tetap jalan biar tertabrak mobil yang melintas. Segala pikiran buruk dan rencana-rencana untuk pindah alam begitu sesak menyesak memenuhi isi kepalaku.


Tapi mengingat kembali bapak ibuku, mengingat mereka yang belum kubahagiyaan tentu akan sangat sedih jika melihat anaknya terbujur kaku di ruang jenazah suatu rumah sakit. Jadi ku urungkan niatku tersebut. Aku gak berhak sedikitpun menentukan tentang kapan dan bagaimana aku akan mati, semua sepenuhnya kuserahkan pada Pencipta segala ciptaan ini. Aku pasrah.

Sampai di Semarang mata sudah kembali sembab, aku mampir di warung makan kesukaan dan memesan sepiring siomay kesukaan, terserahlah agak boros sedikit tidak apa-apa yang penting aku makan. Tapi rasanya percuma saja, aku sama sekali tidak selera makan. Mungkin saat itu siomaynya juga ikut nangis karena cuma kuaduk-aduk aja, cuma kulihatin dengan wajah sedih. Tapi mau bagaimana tidak selera sama sekali. Sampai di kost keadaan sedang sepi, aku setel musik sambil smsan dan pesbukan. Sepertinya cukup menghibur apalagi dengan cada tawa dari teman-teman dan aku rasa semua ini memang terjadi memang karena murni kebodohanku sendiri, jadi kuputuskan untuk memaafkan dia, memaafkan keadaan dan memaafkan diri aku sendiri yang bodoh ini. Aku hanya tidak ingin terus-terusan dalam ketidaknyamanan, hidup cuma sekali akan sangat rugi jika kuhabiskan untuk bersedih. Selain itu aku rasa aku memang tidak pantas untuk bersedih. Silahkan sedih tapi tidak perlu berlarut-larut.