Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, April 6, 2016

Curhatan Pagi

Aku bayangkan wajah kedua orang tuaku yang berada di rumah. Meskipun banyak pertengkaran tapi sampai sekarang syukurlah semua masih utuh, keluargaku masih genap. Kedua orang tuaku, yang awalnya beda keyakinan nyatanya bisa bersatu. Tapi kenapa kita yang sama-sama seiman harus dihadapkan pada kenyataan yang begitu sulit. Kenapa orang tuamu harus mempersulit dengan syarat yang begitu susah untuk aku terima. Rasanya tidak adil untuk orang tuaku. Kedua orang tuaku yang menyekolahkanku setinggi ini tidak pernah sedikitpun mencantumkan syarat untuk orang yang aku pilih harus PNS, punya rumah, punya mobil, keturunan ningrat atau apalah. Ibaratnya orang tuaku, sudah ada yang mau sama anaknya saja sudah bersyukur. Paling orang tuaku hanya berpesan agar dia yang aku pilih tersebut harus bertanggung jawab dan gemati. Seperti syarat pada umumnya. Tapi kenapa orang tuamu harus menetapkan syarat yang begitu sulit untuk kupilih. Menyesakkan rasanya :’( Aku sudah banyak berharap dan mereka-reka masa depan denganmu, tapi seakan semuanya direnggut tanpa sisa. Tentang ini semua aku hanya pasrah untuk kedepannya. Aku merasa buntu.



Tuesday, April 5, 2016

Koma

Memang ada yang ikut sakit padahal aku yang tertusuk? Berkali-kali aku tanyakan itu pada malam yang mengaku-aku kelam. Padahal lampu Ibu Kota tak pernah mati seolah menjadi pengganti shift bagi matahari. Saat malam mendepak terang dari tempatnya semula, semesta seolah meredup perlahan. Baiklah aku percaya saja, malam memang kelam.

Dari kejauhan ku lihat hujan bintang tak surut-surutnya di langit malam. Bintang warna-warni yang membuatku takjub untuk sesaat tapi setelahnya menjadi biasa karena menggemakan suara yang membuat aku iba. Iba pada jumlah rupiah yang telah di hamburkan pada bintang-bintang sesaat tersebut.


Aku diam memunguti kerikil yang sedari tadi menusuki kakiku yang tak bersepatu. Apa seharusnya aku sumpahi saja? Tapi percuma kerikil ini pasti hanya diam tanpa berontak saat sumpah serapah aku tunjukan padanya. Aku tertawa sendiri, sakit di kaki seolah telah menumpulkan pikiran. Padahal itu tak seberapa dibandingkan apa yang telah aku alami selama ini. Dan aku masih terus berjalan menelusuri aspal berkerangka bintang. Entah kemana tujuan. Lalu kembali pertanyaan itu menuntut jawaban. Memang ada yang ikut sakit padahal aku yang tertusuk? Aku menantinya sesaat, tapi tetap tak ada jawaban. Hanya koma yang berderet sepanjang jalan.




Friday, April 1, 2016

Gerbong Berkarat


Suaranya parau ditelan gemuruh roda kereta yang beradu dengan rel. Angin yang terhempas perlahan oleh laju kereta mengibarkan rambutnya yang kusut. Dia susuri lintasan besi itu setelahnya, setelah memastikan kereta yang lewat tersebut berangsur menjauh dari pandangannya. Dengan membopong kardus bekas minuman ringan yang telah ia isi dengan berbagai nasi bungkus. Dia teriakan dagangannya tersebut, tentulah dengan teriakan dari suaranya yang parau.

Matahari membiaskan cahaya dari balik gerbong-gerbong kereta yang berkarat, menuju peraduannya tenggelam di ufuk barat. Memulai warna baru dalam kehidupan, yang awalnya terang menjadi gelap. Lalu dia umpamakan itu seperti dirinya saat ini. Dia duduk di pintu salah satu gerbong kereta yang tak terpakai tersebut. Menghalau penat yang seharian merubungnya tanpa ampun. Tanpa terasa matanya berkaca-kaca. Membayangkan kembali apa yang telah dia lalui. Seolah segalanya begitu singkat dan merubahnya dalam sekejap.

Dia ingat kembali senyum-senyum dari tamu undangan yang menghadiri pesta pernikahannya. Semuanya berjalan lancar seperti dia dan keluarga harapkan. Diawal pernikahannya pun juga nyaris tanpa masalah yang berarti. Meskipun setelah menikah dia ikut suaminya tinggal bersama mertuanya tetapi semua berjalan dengan harmonis. Suaminya sanggat mencintainya begitupun kedua mertuanya. Namun karena semua itulah dia merasa hidupnya kurang warna, dia merasa hampa.

Di tengah-tengah keluarga yang begitu baik, dia merasa menjadi seorang yang ingin berteriak. Meneriakan bahwa hidup ini bukan hanya terus menatap lurus, bukan hanya berjalan lurus namun berhenti pada suatu titik dan keesokan harinya kembali pada satu titik. Melakukan aktifitas yang sama setiap harinya, melulu sama dan bilapun berubah hanya pada titik yang sama juga. Monoton. Dan dia bosan.

Dia seolah dihempaskan pelan pada titik kejenuhan yang perlahan menyekap dia sendiri. Rumah yang begitu ramah tersebut memaku pikirannya untuk tidak lagi bekerja seperti dulu. Dia merasakan dirinya tidak lagi maju, tidak juga mundur, namun stag, berhenti pada waktu dan saat yang sedang memenjarakannya di rumah tersebut. Itulah yang ia rasakan.

Karena itu dia memutuskan untuk meminta ijin pada suaminya agar dia diperbolehkan kembali bekerja di Semarang. Suaminya tidak berkata apa-apa, tidak mengiyakan atau juga menolak. Berhari-hari suaminya hanya mendiamkannya. Dia bingung, lalu dia putuskan sendiri bahwa dia akan berangkat ke Semarang dengan atau tanpa seijin oleh suaminya. Dia berpikir bahwa ini tubuhnya, ini miliknya sendiri dan dia berhak membawa tubuhnya sendiri kemanapun.

Pada hari keberangkatan, suaminya tetap diam, hanya ibu mertuanya yang membantunya mengepak barang-barang. Mereka maklum, kalau menantunya ingin bekerja di kota. Kedua orang tua itu juga tidak mungkin melarang seseorang yang ingin bekerja mencari uang untuk tambahan kebutuhan. Hal seperti itu wajar di kampung.

Di Semarang dia kembali merasa hidup, merasa bisa tertawa keras meski kehidupan di kota tersebut juga keras. Dua bulan sekali dia akan pulang, kadang jika sedang ada acara dengan teman-temannya dia akan pulang 3 bulan atau paling lama 5 bulan. Bekerja dari senin sampai sabtu lalu minggu dia gunakan untuk kegiatan mencuci baju dan membersihkan kost nya atau kadang-kadang untuk berlibur bersama teman-temannya.

Satu tahun lebih usia pernikahannya, wajar jika mertuanya menginginkan kehadiran cucu diantara mereka. Meskipun dia sendiri dan suaminya masih membina hubungan baik, tapi karena waktu untuk bertemu yang selalu singkat tersebut membuatnya belum juga mengandung. Hingga ibu mertuanya berinisiatif untuk memeriksakannya ke dokter. Dia hanya menurut saja, dan sore itu dia bersama ibu mertuanya menunju ke sebuah rumah sakit.

Matahari berangsur tenggelam di rimbun pepohonan jauh dari jalan raya di depannya. Dia mematung di depan sebuah gedung bercat putih. Rumah sakit itu memuntahkan sebuah kenyataan yang begitu tak mampu ia terima. Air mata tak terbendung meruah dari pelupuk matanya dan membasahi kedua pipinya. Kenyataan pahit harus dia telan. Setelah menjalani serangkaian tes, dia hampir-hampir tidak percaya pada apa yang dokter muda tersebut katakan. Dia terpaku, bukan karena dia mandul tapi karena dia positif terjangkit HIV.

Atap rumah sakit yang berada di atasnya seolah runtuh menimpanya pada saat itu juga, lungkai ia susuri lorong rumah sakit sendiri. Karena ibu mertuanya sudah dulu pergi, tanpa berkomentar apapun. Entah ibu mertuanya marah, jijik, benci atau ketiganya. Dia hanya diam mencerna semuanya sendiri. Tapi otaknya serasa mati.

Sampai di rumah dia hanya mampu menyemburkan semua kemarahannya tersebut pada suaminya. Suami yang ternyata diam-diam sering tidur dengan pelacur murah di pasar yang tiap malam dia lewati setelah pulang kerja. Suaminya berdalih tidak tahan kesepian karena ditinggalnya bekerja di Kota. Suaminya yang menularkan penyakit yang menjijikan tersebut padanya. Suami yang mengaku mencintainya tapi juga menghianatinya. Dia begitu membenci suaminya dia juga benci pada dirinya sendiri.

Suara petir dan guntur malam itu menyambar-nyambar lalu tidak lama setelahnya hujan deras jatuh ke Bumi. Tangisnya belum juga mereda setelah dia minta cerai pada suaminya dan membanting pintu kamar. Bantalnya sudah basah seolah ada atap yang bocor dan air masuk menghujaninya. Dia tidak pernah merasa sehancur ini selama hidupnya.

Paginya dia kembali ke rumah ibunya sendiri, dia berpikir akan menemukan semacam penenang di rumah tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal sebuah kehancuran yang lain. Setelah dia ceritakan semua pada keluarganya tanpa ia tutupi sedikitpun, ibunya hanya diam sambil menangis lalu berlalu pergi, kakak iparnya mendekap kedua anaknya dan membawa mereka masuk ke dalam kamar karena takut tertular, sedangkan kakak laki-lakinya sendiri, pergi keluar sambil berkata akan membunuh suami yang telah menularkan penyakit menjijikan tersebut pada adiknya. Menyisakan dia sendiri yang berada di ruang tamu, kembali mematung sambil menggigit bibir bawahnya menahan pahit namun tak terasa sedikitpun sakit.

Esoknya kabar pahit lain datang, saat para tetangga mengabarkan bahwa anak laki-laki satu-satunya di rumah itu telah ditangkap polisi karena membunuh suami adiknya. Dia kembali menangis sejadi-jadinya. Lalu sebuah tamparan keras mendarat di pipinya yang basah, tamparan dari istri kakaknya tersebut. Tatapan kebencian menusukinya juga dari kedua anak kakaknya itu. Kakak iparnya meneriakinya sebagai lonthe kudisan. Mereka bilang dialah penyebab semuanya. Mereka menjadikannya tersangka utama karena telah membuat kakaknya tersebut menjadi pembunuh dan harus masuk bui.

Semua kemalangan yang menimpanya hanya dia balas dengan air mata tanpa isak. Ibunya bahkan tak pernah bicara dengannya walau hanya sepatah. Kakak ipar dan anak-anaknya memusuhinya, sedangkan tetangga mulai membicarakannya. Tak ada penerimaan di rumah itu.

Diam-diam dia pergi kembali ke Semarang, percuma untuk berpamitan pun hanya tatapan kebencian yang kan dia dapat. Sebenarnya dia sudah goyah dengan apa yang akan dia hadapi kedepannya tapi yang dia rasakan dia tidak ingin berada di rumah tersebut. Namun sekali lagi dia harus menelan pil pahit, semua teman sepekerjanya sudah mengetahui dia seorang positif. Maka pada hari pertama dia kembali bekerja tersebut juga menjadi hari dimana dia dipecat. Beku dia pulang ke kostnya.

Uang tabungan yang dia miliki habis hanya untuk makan beberapa hari, mencari pekerjaan tidak semudah yang dia bayangkan apalagi dia hanya sendiri di kota tersebut. Jadilah dia hidup dijalanan saat setelah dia diusir dari kostnya karena tidak mampu lagi membayar. Dia patah saat itu juga, dia pasrah melangkah tanpa arah.

Hingga takdir menghempaskan dia pada gerbong yang dia duduki saat ini. hidup telah melemparkan dia dari api ke api yang lain, dari luka satu ke luka yang lain. Hingga luka yang dia miliki bertumpuk dan dia lupa berapa banyak yang dia miliki. Sampai dia tak lagi paham keberadaan dirinya saat ini. Namun kali ini tak ada air mata karena semua sudah mengering. Kering tersengat matahari yang setiap hari menatapnya dengan sorot kebencian. Dia sudah berhenti untuk mencoba berpikir dia tidak lagi ingin berpikir, hanya dia jalani yang ada di depan matanya saat ini. Lalu dia tengok kardus berisi nasi bungkus yang dia letakkan di sampingnya. Dia bopong kembali lalu dia berjalan diantara gelap malam.



Semarang, 1 April 2016
Kado untuk seseorang yang ditinggal menikah oleh mantannya
Percaya saja, yang bermain drama akan kena karma