Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Tuesday, May 8, 2018

Candu Pada Candamu


Isyarat itu sembunyi-sembunyi
Seperti bisik padi yang menunggu lawan biacara
Membuaiku bagai candu
Segala candamu
Dalam padang gembala cerita
Yang ditengahnya jernih terbelah sungai
Aku terbuai
Yang diatasnya lembayung mega-mega
Kurebah segala lelah pada semesta
Sambil menatap angkasa
Kembali ingin menikmati tawa-tawamu
Ah sepertinya itu benar-benar sudah menjadi candu

Sragen yang kemarau, 8 Mei 2018

Sekeping Bulan Yang Remaja


Sekeping bulan dini hari
Lingkar bias samar tersaput celah dedaunan
Dalam sisa-sisa tengah malam
Membayang gelak tawamu sesiangan hingga gelap puputan
Biarlah aku menikmatinya
Yang menderas setiap harinya
Hingga kita akan mampu berenang dalam genang cerita
Riak menghalau yang berjudul duka
Meski aku sadar ku tengah bersandar di reruntuhan waktu
Menggenapkan seperempat abad yang akan tiba, melukaiku sedikit
Menyeretku pada gelap suram sejenak
Tapi aku bisa apa? 
Bukankah waktu memang berhak berlalu? 
Tersedu pun tak kan ada arti
Tapi disitulah pelan gelap yang ada mengabur
Karena sungguh warna remaja yang kau bawa telah menolongku

Terima kasih telah ramah pada aku yang asing ini
Aku yang juga hanya kebetulan kecil bagimu
Dari luasnya skenario takdir Tuhan
Setidaknya biarlah ada kamu pada setiap paragrafnya
Pada pendar-pendar kepolosan dunia
Dalam khayal kita yang remaja
Satu-satu kusenyumi sambil mengecap mimpi
Meski tanpa kopi, seperti nasehatmu kala pagi

Sragen, 8 Mei 2018

Monday, May 7, 2018

Omong Kosong Tentang Melupakan


Nihil sapa

Bahkan bayangamu dalam semu tak lagi ada
Hanya sepotong jejakmu
Yang diam-diam kucuri dari senjakala waktu, yang tertinggal, yang tertanggal
Dan doa-doa yang hanya padamu terarah
Ah sudah, biarkan aku menyerah
Pada rasa yang sempat kucicipi sejenak
Aku ingin mengucapkan selamat tinggal
Aku akan beranjak
Kembali meneruskan jarak
Tapi apakah itu mudah?
Sedang hati yang tak berhuni dulu
Masih pulas kau tidur disitu
Lalu bagaimana ini?


Dan kemudian semuanya

Hanya menjadi rencana yang kosong sia-sia
Kau memang sudah siap angkat kaki
Tapi hatiku masih belum bisa membiarkanmu pergi
Ah lagi-lagi


Sragen,  7 Mei 2018


Kamu Adalah Punggung Itu


Kenapa aku harus mengingatmu?
Menerbitkan rindu
Menyesakkan dadaku
Ketika siang semuanya bisa kutekan
Pada logika yang paling terang
Tapi malam lagi-lagi meruntuhkan segalanya
Menghanyutkan aku pada lekuk sabit bibirmu
Pada teduh telaga di matamu
Pada suaramu saat melagu
Juga pada diammu yang ditentang sapaku kala itu
Lalu pada segala yang menautkan kamu
Tak tahukah kamu?
Aku sesungguhnya membenci semua itu
Tapi tentu kamu lebih tahu
Bahwa benci dan cinta adalah sama dalam satu kutub
Dan hanya rinai tipis yang memisahkan hingga mudah ditembus
Tapi pada akhirnya
Akupun juga harus tahu
Kamu adalah punggung itu
Yang senantiasa menjauh dari jangkauku
Semakin jauh


Sragen, 7 Mei 2018


Tuesday, May 1, 2018

Kenangan Tak Berubah


Pagi dini hari; pagi pucat pasi
Aku merasa sungguh melancholic sekali
Seluruh kenangan meruah menghujaniku
Teman-teman yang kurindukan
Satu per satu menyapa dengan cara mereka masing-masing
Aku sungguh rindu masa-masa itu
Ketika semuanya terasa tak kan pernah berakhir
Rindu, aku sungguh rindu kalian
Dan kan kubiarkan kalian tetap hidup dalam kenanganku
Kalian yang tetap sama, tanpa dicederai oleh perpisahan
Aku tahu tiap kalian pasti telah berubah
Begitupun aku
Tapi kenangan kita, tak kan pernah berubah


Sragen, 29 April 2018
01:06 WIB


Narasi Cinta Yang Dungu


Singkat saja aku mengenalmu
Sesingkat tetesan itu
Yang sudah tidak di sana lagi
Menetes sudah
Tapi entah mengapa masih terasa telapak tanganmu yang hangatkan pipiku
Keduanya
Padahal raga kita saling jauh
Dan tak pernah saling menyentuh

Namun lekuk sabit di bibirmu itu
Manis menyentuh hati dan pikiranku
Aku terpaku, engkau bisu dan kaku
Diam dalam bayang mataku dikejauhan
Tapi hatiku terus tergerak padamu
Tanpa kusadari
Dan kau tetap diam
Sambil melemparkan labirin teka-teki luar biasa rumit
Penuh misteri
Aku harus bagaimana? 
Memecahkan segala kebisuanmu
Sedang aku disini terus disiksa rindu
Aku bisa apa?
Ketika jerat segala rasa ini meruah tercurah memasung hati dan pikiran
Untuk terus terfikir segala tentangmu

Haruskah kuhentikan segala kebodohan ini? 
Tapi aku pun masih belum tahu caranya
Maafkan aku
Yang begitu bimbang dan ragu, meraihmu
Kau mulai menakutkan dengan wajah masammu
Apakah itu tanda untukku berhenti? 
Lekuk sabit di bibirmu itu pun telah kau lenyapkan tanpa sisa
Itukah tanda untukku berhenti? 

Tapi itu tidak mudah
Terlebih akupun tidak tau caranya
Tolong maafkan
Dan aku tetap pada pendirianku yang dulu
Yang pernah ku nyatakan padamu dengan tanda seru
"Jangan menghardikku karena mengejarmu!!! Karena sesungguhnya ini kakiku sendiri. Aku punya hak penuh atasnya. Seperti juga kamu, berhak penuh untuk mematahkannya."
Lalu dengan wajah masam kau hanya bilang aku dungu
Ya, aku memang dungu
Maafkanlah orang dungu ini


Sragen, 25 April 2018