Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, December 21, 2016

Sepasang Sendal Jepit

Hari ini sendal jepitku rusak. Sendal yang sudah berjasa menemaniku melangkah itu sudah tidak mampu mempertahankan tubuhnya sendiri. Sudahkah dia lelah dengan jalanan beraspal yang panas, dengan jalan berbatu dan becek. Mungkinkah dia sudah lelah dengan guyuran air kran saat aku berwudhu.

Meskipun hanya sendal jepit tapi itu sudah mampu membuatku sedih. Tanpa sendal jepit itu, bisa saja kakiku tertancap paku, beling, ataupun benda lainnya yang bisa membuat kaki berdarah. Benda yang hanya menjadi alas bagi kaki. Benda yang setiap kali aku melangkah berarti aku menginjaknya, namun ternyata begitu berjasa.

Sendal jepitku yang sama sekali tak mewah. Hanya sendal jepit berharga murah, dibeli dari penjual lapak kaki lima diseputaran alun-alun daerah. Sendal jepitku yang sudah begitu berjasa mengalasi kakiku dalam melangkah. Pastilah dia sudah lelah. Atau mungkin jengah.



Monday, December 19, 2016

Hujan Kita

Untuk Devid

Hujan
Sungguh
Meski beribu kali paksaanpun aku tak akan sanggup
Tak akan sanggup merangkai hujan dalam kata-kata
Meski hujan
Selalu mewujudkanmu dalam rinainya
Dalam setiap tetesnya
Dalam setiap rintiknya
Adalah sabda
Kebeningan rindu yang tak terjumlah banyaknya
Dan hujan
Aku sungguh tak mampu berkata-kata

Sragen, 15 Desember 2016
17:41 Waktu Indonesia Hujan



Dari Devid

Karena hujan tak akan diam
Hujan akan mengalirkan rasa rindu yang selalu aku rasakan
Aku titipkan pada setiap tetes hujan

Sukoharjo, 15 Desember 2016
17:46 Waktu Indonesia Masih Hujan




Tapi Kamu

Aku memperhatikanmu, tapi kamu?
Aku melihatmu, tapi kamu?
Aku merindukanmu, tapi kamu?
Aku menyayangimu, tapi kamu?
Aku mencintaimu, tapi kamu?

Entah...


Sragen, 19 Desember 2016


Monday, December 12, 2016

Kepik Emas

Ada seekor kepik emas, menempel pada daun, daun yang entah apa namanya berada di pinggir pematang sawah. Di tepi sebuah sungai kecil, atau boleh disebut dengan selokan tempat air yang mengaliri tiap petak sawah. Kepik emas kecil tak cuma satu dua, tapi banyak sekali jumlahnya. Dan menempel pada tiap daun-daun yang ada. Daun yang kian hari bolong-bolong. Mungkin kepik emas tersebut yang memakan daun itu hingga bolong dimana-mana. Begitu dari yang kuamati.

Aku tak begitu paham dengan kehidupan kepik emas yang terlihat hanya diam saja, padahal dibalik cangkang emasnya yang kaca tersebut terdapat sayap. Sayap yang tiap saat bisa membawanya terbang ketika merasa terancam. Kepik emas mungkin sejenis serangga. Serangga kecil diantara luasnya semesta. Tak banyak yang menghiraukan serangga kecil bersayap tersebut. Jika dibandingkan serangga yang lain, yang lebih besar lebih indah, seperti kupu-kupu dengan sayapnya yang menawan.

Kepik emas hanya binatang kecil entah apa gunanya bagi dunia yang begitu luas ini. Terik matahari yang menyengat perlahan bergerak ke barat dan kepik emas tetap diam di tempatnya. Pun ketika segerombolan anak-anak kampung yang bertanjang dada memburu mereka. Satu per satu ditangkapi. Habis sudah kepik-kepik emas hari itu. Puas anak-anak tersebut memperoleh banyak kepik dalam plastik beningnya masing-masing. Entah untuk apa kepik emas itu bagi mereka nanti.

Senjakala melembayung, biasnya mengantarkan capung-capung yang terbang melesat diatas selokan sawah. Satu kepik emas terjatuh dari tangan seorang anak. Mungkin terlewat oleh anak tersebut. Satu kepik emas yang tak mampu kembali terbang ke atas daun. Mungkin tubuhnya hancur digenggam terlampau kuat oleh sang anak kampung. Satu kepik kecil yang berwarna keemasan tersebut tak mampu melawan takdirnya untuk hidup barang sehari lagi melewati malam yang sebentar lagi datang. Satu kepik emas mati. Dalam diam aku hanya bertanya sendiri. Adakah artinya kematian satu kepik emas kecil diantara luasnya semesta raya ini? Lalu angin mendesau mengantarkan jawab pada sepi.




Mendung

Satu hari yang banyak orang menunggunya dalam setahun penuh. Bagiku telah berlalu begitu saja tanpa sisa. Seperti hari-hari yang lain, terlewati.
Mungkin bedanya, hanya dari macam-macam ucapan yang diberikan oleh orang lain untukku. Yang menguap bersama detik yang juga berlalu.
Menggelayut dalam selaput mendung.
Di langit.
Langit manapun.


12 Desember 2016
Sragen penuh mendung


Saturday, December 3, 2016

Kepada Teman

Kepada teman,
sebenarnya kurang mengalah seperti apa aku. Sejak dulu, sejak dari kecil, aku selalu mengalah, semuanya demi agar aku punya teman. Biarlah lelah aku tahan, tapi setidaknya temanku nyaman. Biarlah aku yang tidak berpunya tapi setidaknya temanku ada. Selalu itu yang aku utamakan. Tapi entah sampai sekarang rasanya memang aku terus yang bagaikan menggendong teman-temanku dengan pundak yang sudah begitu kesakitan, dengan kaki yang terus-terusan tersaruk sepanjang jalan. Aku mengalah.

Kepada teman,
aku melewati masa taman kanak-kanak dengan banyak ketakutan, dengan banyak rasa malu, dengan banyak rasa tidak percaya diri. Tapi aku terus saja berusaha menggandeng satu persatu tangan-tangan kecil dari tiap bangku yang juga kecil. Aku mencoba ingin memiliki setidaknya satu saja balasan dari gandengan tangan kecil tersebut. Iya memang ada, tapi kenapa sampai hati gandengan tersebut menyeretku pada rasa ketakutan yang lain, pada rasa rendah diri yang lain. Tak ada secuilpun cacatku tersebut yang terhapus, malah terasa semakin tergenapkan, bertambah-tambah. Tapi apa pernah aku lepas gandengan tersebut? Tidak pernah! Susah payah aku memilikinya, maka akan berusaha bagaimanapun aku pertahankan.

Kepada teman,
memasuki masa sekolah dasar, aku tetap anak yang sama. Anak yang ingin memiliki teman, banyak teman! Namun dari gandengan sepertinya perlahan berubah menjadi seretan. Entah aku sadari entah tidak tapi aku perlahan hanya menjadi pengikut. Apakah disitu aku masih dipanggil dengan sebutan teman oleh temanku? Entahlah, tapi yang jelas aku tetap menganggapnya teman. Segala hal aku lalukan agar dapat bersama dalam linggakaran pertemanan tersebut. Segala hal! Tapi sepertinya itu saja tidak cukup. Aku semakin tertinggal jauh oleh teman-temanku. Aku terlalu dibelakang untuk bisa mengejar. Karena aku memang tak pernah sejajar. Dari awal sekalipun, hanya aku sendiri yang mati-matian menjajari mereka, tapi kenyataan memang yang akhirnya menyadarkanku. Berdiri aku sendiri, memandangi yang tak pernah terlihat lagi. Memaku langkah, sempatkah diantara temanku yang akan menengokku?

Kepada teman,
aku sudah benar-benar lelah pada masa ini, masa putih biru. Biarlah masa yang kali ini aku habisan untuk sendiri, tanpa harus mati-matian mencari teman. Aku tidak lagi percaya bahwa teman bisa menghapus kesakitan dari rasa sepi. Aku menyerah saja, lebih baik diam. Namun, ternyata satu gapaian tangan yang malah meraih tanganku. Tangan itu, merentangkan setangkap pertemanan. Dia bilang akan manis jika dimakan berdua. Hari-hari, aku merasa seperti memiliki penyangga saat aku lelah dalam senja, aku seperti memiliki pendorong tiap pagi, aku seperti memiliki pengungkit kala siang terik menyusutkanku, dan aku seperti memiliki penggandeng dalam hari-hari itu. Apalagi yang aku kurangkan. Aku pun lakukan hal yang sama. Aku begitu bersyukur aku memiliki teman. Atau sudah seharusnya aku sebut sabahat, iya aku memiliki sahabat. Segala milikku adalah miliknya, tak ada tanda titik sekecil apapun aku sembunyikan darinya. Semua pintu serba terbuka untuknya. Bahkan pintu terlemahku pun terbuka hanya untuknya. Dia sahabatku, satu-satunya sahabatku sampai pada detik itu. Sampai pada satu titik dimana dia menggempurku habis dalam satu pukulan telak. Tanpa sempat dia lepaskan tanganku, rupanya seperti itu cara seorang yang telah kuanggap sebagai sahabat menghancurkan satu persahabatan. Aku kalah! Kalah oleh rasa perih yang yang tak terperi. Aku hanya mampu diam dalam jatuhku. Aku masih berusaha mencerna semuanya, memahami satu persatu yang ditimpakan padaku, sendiri. Hingga aku sadar seharusnya memang sejak awal aku pilih sendiri, tidak perlu teman, apalagi sahabat. Bukankah dari sekian banyak waktu memang sendiri. Lalu mengapa butuh teman. Maka begitulah, kuhabiskan masa putih biruku hanya dengan buku dan dunia khayalku sendiri. Teman? Silahkan kalian bisa anggap aku teman, tapi aku tidak.

Kepada teman,
entah haruskah aku memiliki pengharapan tentang teman diakhir masa sekolahku ini? Awal masa putih abu-abu rasanya cacatku kembali bertambah memenuhi mukaku. Adakah yang seperti ini aku akan memiliki teman? Tidak! Aku tidak akan lagi berharap-harap yang hanya akan semakin mencederai hatiku sendiri. Biarlah semua seperti biasanya, diam, sepi, sendiri. Namun memang perlahan kembali aku harus berpikir, begitu perlahan, sangat perlahan. Lambat! Hingga benar-benar tiba di masa terakhir sekolah. Semua teman bisa aku raih, semua! Entah aku sadari atau tidak, tapi ternyata begitu menyenangkan bisa memiliki teman sebanyak ini. Dan begitu bodohnya aku terlambat menyadari itu. Tapi tidak apa, akan aku pertahankan. Bukankah itu bagian dari yang sulit? Mempertahankan suatu hubungan! Apalagi hubungan pertemanan.

Kepada teman,
kita menempuh perjalanan masing-masing, kita memilih jalan kita sendiri-sendiri, dan melaluinya juga sendiri-sendiri. Hingga sapaankku dari jalan ini, satu persatu tak lagi kalian balas. Satu persatu, setiap pagi, tak pernah terlewat barang satupun sapaanku untuk kalian. Hingga aku malu, malu mengganggu kalian yang telah sebuk dengan rutinitas kalian sendiri. Mungkin masa ini, teman memang harus yang serutinitas dengan diri kita. Bukankah aku sudah pernah bisa memiliki teman yang banyak, lalu kenapa tidak aku coba kembali. Dan memang iya, teman tak terhitung aku miliki. Yang malam bisa satu kopi dalam gelas yeng sama, yang paginya bisa dalam satu kelas, yang siangnya bisa dalam satu perjalanan, yang setiap saat memenuhi segala jungkir balikku. Hingga kesepian terkadang bisa berubah menjadi benda asing yang tak kukenal sama sekali. Begitu beraneka segala pertemanan yang disuguhkan untukku. Dari berbagai sudut. Hingga terkadang aku begitu kuwalahan. Senang, sedih, susah, lelah, tertawa terbagi rata bersama. Pertemanan yang berupa-rupa. Tak lupa  aku bersyukur atas semua itu. Tiap harinya adalah hari yang selalu hidup. Selalu dengan berbagai lembar yang penuh rasa. Begitu menyenangkan.

Teman,
hal-hal yang menyenangkanpun juga mampu surut ternyata. Satu demi satu, meniti jalannya masing-masing. Hingga hari-hari kesepian kembali memunculkan dirinya, menjadi tak lagi asing untukku. Tinggal satu dua teman yang aku miliki. Dan tanpa aku sadari bodohnya aku dimasa anak-anak kembali pada aku saat ini. Saking takutnya kehilangan yang satu dua tersebut, aku selalu mengalah habis-habisan. Sakitnya rasa kesepian membuatku kapok untuk merasakannya lagi. Kusodorkan punggungku saat ada temanku yang perlu gendongan, kurelakan pundakku saat ada temanku yang ingin bersandar. Ku ulur tanganku bagitu melihat temanku terjatuh dan kurentangkan tangganku saat temanku rapuh perlu sebuah pelukan. Mataku siap tetap terjaga saat temanku membutuhkan untuk terlelap, mulutku siap memberikan senyum meski dalam keadaan terpahit sekalipun dan kupingku siap mendengar olok-olok buruk bahkan untuk diriku sendiri.

Teman,
aku pikir memang seharusnya seperti itu kan agar aku dapat tetap berteman. Mengorbankan banyak hal, mengalah banyak hal, merelakan banyak hal. Untuk dapat memiliki teman. Agar kesepian bisa menjauh sejauh-jauhnya. Karena memang seperti yang selalu aku ingat, kesepian jauh lebih sakit daripada rasa sakit itu sendiri. Aku hanya tidak ingin kesepian, jadi biarlah aku korbankan sedikit demi sedikit meski terkadang sakit. Aku hanya tidak ingin kesepian, jadi biarlah aku yang terus mengalah. Entah sampai kapan.

Teman,
aku hanya tidak ingin kesepian. Itu saja.



Semarang, 3 Desember 2016
kamar kost-ku yang sepi
Gunungpati yang menggigil dalam pagi


Friday, November 25, 2016

Kesepian?

“Bisakah kau ceritakan bagaimana rasanya kesepian?”

“Mengapa?”

“Karena sepertinya kau begitu akrab dengannya?”

“Dengan kesepian?”

“Iya”

“Sebaiknya kau tidak perlu mengetahuinya?”

“Mengapa?”

“Itu sungguh menyakitkan, bahkan lebih sakit daripada menderita sakit itu sendiri”

“Benarkah?”


“. . . .”



Wednesday, November 23, 2016

Dari Telinga Turun Ke Hati

Banyak yang bilang kalau cinta itu dari mata turun ke hati. Tapi sepertinya untuk kasusku agak berbeda, cinta yang aku alami malahan dari telinga turun ke hati. Itu terjadi pada cinta pertamaku. Dia adalah seorang penyiar radio, sebuah radio desa kecil. Bukan radio swasta atau radio pemerintah melainkan sebuah radio yang dipancarkan dengan jangkauan frekuensi yang dekat, radio milik sendiri. Radio yang jika terkena angin sedikit saja sudah mampu menghadirkan suara kemresek dengan sempurnanya. Jadi, tidak salah jika cinta pertama milikku dikatakan dari telinga turun ke hati. Karena penyiar radio tersebut memang belum pernah sekalipun kulihat wajahnya, hanya dari suaranya aku bisa merasakan getar menyenangkan di dalam hatiku.

Masaku saat itu memang mungkin bisa disebut dengan masa demam radio, mulai dari radio swasta dari kota tetangga yang siarannya begitu terprogram rapi sampai radio-radio kecil yang saling berebut tempat di udara. Semua memenuhi udara dan hanya dengan tape radio kecil milikku dulu aku sudah dapat menikmati siang hingga malam menjadi pagi dengan mendengarkan radio. Bahkan setelah tape kecilku menjadi rongsokan karena tak sengaja terbanting, aku tetap bisa menikmati siaran radio dengan hape cetuk, hape jaman dulu. Aku masih ingat hape pertama yang kumiliki saat aku memasuki SMP dulu, merk-nya Siemens dengan layar berwarna orens. Hanya dengan dipasangi hetset sudah mampu tersambung dengan ribuan chennel radio yang bebas untuk dipilih. Atau mungkin saat itu aku juga menggunakan wokmen sebagai radio, karena pada jamanku alat tersebut sudah mampu membuatku terkagum-kagum. Hanya dengan sebuah alat sebesar telapak tangan orang dewasa kita sudah mampu mendengarkan musik dari alat tersebut. Kita hanya perlu memasukan kaset pita ke dalam alat tersebut dan dengan hetset lagu dari kaset tersebut sudah bisa kita dengarkan. Atau jika bosan, wokmen juga bisa beralih fungsi menjadi radio, yang bisa kita bawa kemana-mana. Karena dalam penggunaannya, wokmen hanya butuh dua batre, atau mungkin 4 batre, aku sudah lumayan lupa. Entahlah, rasanya memiliki wokmen saat itu memang menjadi hal yang sangat menyenangkan, walaupun tidak bisa disebut barang mewah. Pasalnya, hampir semua teman SD-ku pada tingkat akhir saat itu memiliki wokmen. Karena barang tersebut dijual saat darmawisata ke jogja. Aku ingat sekali, teman-teman semua membeli di bus dan akupun juga ikut membeli, wokmen sekaligus hetsetnya, lalu ditambah dengan kaset pita sebagai pelengkap. Kaset dari lagu-lagunya Peterpan, grub band tersebut memang sedang naik daun pada masa itu. Semua anak pada masa itu hampir hafal semua lagu-lagu Paterpan.


Memasuki masa SMP, seperti murahnya harga wokmen beserta perangkatnya, mudah juga untuk cepat rusaknya. Alat yang begitu menakjubkanku tersebut tidak mampu bertahan lama, dua sampai tiga kali aku mencoba membeli lagi, tapi lagi-lagi tidak sampai lama sudah tidak mau berfungsi, meskipun aku dalam penggunaannya sudah sangat berhati-hati sekali. Tapi pada akhirnya wokmen dan kaset pita tetap punah seiring waktu, terganti dengan alat-alat lebih canggih lainnya. Seperti hape, meskipun pada saat itu hape masih sangat sederhana kalau dibandingkan dengan hape jaman sekarang: smartphone.


Namun dari hape yang berlayar orens tersebut, sebagian kecil dunia pra-remajaku dibentuk. Radio menjadi teman yang begitu setia tentu diantara buku-buku novel, satu dua teman sekelas dan berbagai kesibukan sekolah dan pekerjaan di rumah. Namun radio memang menjadi satu-satunya teman di malam hari, bahkan saat-saat terkritis dari insomniaku, radio mampu menjadi teman tersetia sampai pagi. Awalnya memang hanya sebatas mendengarkan radio yang memberikan lagu-lagu teman tidur siang hari, tapi ternyata siaran radio di malam hari jauh lebih seru. Dalam hal ini aku lebih suka radio-radio kampung, karena pembahasannya bebas, guyonanya juga seenaknya sendiri, lagu-lagu yang diputar lebih beragam, bahkan penyiarnya lebih sering menggunakan bahasa jawa ngoko asal-asalan, dan yang paling penting tidak ada yang namanya iklan. Tidak seperti pada radio swasta yang ngobrolnya sedikit, lagu yang diputar sedikit tapi iklannya seabrek. Radio swasta memang tidak seseru radio-radio kampung yang penyiarnya kadang sama sekali tidak mengerti unggah-ungguh berbahasa. Tapi memang kenapa, justru itu yang menyenangkan, karena memang dalam dunia sehari-hari unggah-ungguh sudah sangat ditekankan, jika dalam dunia radio aku juga harus mencari hal yang formal semacam itu, dimana letak hiburannya. Jadi bagiku, radio ibarat obat penyembuh, obat penambah tenaga, obat pelarian dari dunia biasa yang biasa-biasa. Bisa tertawa dari guyonan orang yang sama sekali tidak kita kenal, tapi rasanya kita juga terlibat dalam guyonan tersebut adalah suatu kesenangan yang tak mampu terjelaskan.

Awalnya memang hanya sekedar mendengarkan radio, menikmati lagu-lagu yang diputar atau ikut tertawa kalau si penyiar menggoda si penelepon di radio tersebut. Tapi lama-lama aku juga ingin kalau lagu yang ingin aku dengarkan dapat di putar, jadi dengan hati yang berdebar aku mencoba mengirim sms ke stasiun radio tersebut. Berbagai perasaan tidak enak melingkupi hati, takut rasanya. Iya karena untuk pertama kali aku mengirim sms ke sebuah stasiun radio dengan tingkat detak jantung yang tak terkira cepatnya. Bahkan saat mengetik sms berulang-ulang kali aku membacanya kembali agar tak ada satu huruf pun yang kurang atau salah ketik. Tidak terhenti sampai disitu saja tersiksanya jantungku bahkan sampai membuat tanganku basah keringat dingin. Dan penyiksaan tersebut hampir berlangsung cukup lama sampai smsku terbaca oleh si penyiar. Mungkin kalian yang sekarang sedang membaca mengatakan bahwa aku lebay, tapi memang itu yang aku alami pada saat tersebut. Betapa tidak, coba kalian bayangkan, seorang anak SMP yang baru pertama memegang hape, yang biasanya hepe tersebut hanya untuk bermain game ular-ularan saja tiba-tiba harus mengirim sms ke sebuah stasiun radio untuk pertama kali dan akan dibacakan oleh seorang penyiar dan akan didengarkan oleh seluruh pendengar radio tersebut dan lain sebagainya dan lain sebagainya pemikiran-pemikiranku. Tidak salah jika, aku merasakan penyiksaan sebagaimana rupa. Terlebih pada masa itu, jumlah orang yang memiliki hape belumlah semerata sekarang, sekalipun pada masa tersebut hape hanya secanggih untuk sms dan telpon saja. Jika kalian masih menganggapku lebay, coba bandingkan keadaan dulu dengan sekarang, sekarang anak paud bahkan yang baru mau dititipkan ke playgroub saja sudah mampu menguasai tablet atau smartphone. Merk-merk hape legend seperti siemens, sony ericsson atau nokia sudah surut dari peredaran, padahal dulu merk-merk tersebutlah yang pertama kali merajai pasar perdagangan di Indonesia. Jika diingat aku sendiri, hape pertama yang kumiliki bermerk siemens. Jadi bisa dibandingkan pertama kali memegang hape dengan hape merk pertama yang masuk di Indonesia dengan situasi saat ini yang menggunakan alat komunikasi yang sudah canggih dan semua kalangan semua lapisan masyarakat sudah mampu memiliki dan menggunakannya. Jadi sms bukan menjadi barang begitu krusial lagi karena semua orang menjadi biasa dan terbiasa, terlebih saat ini sms malah sudah tergusur oleh pengirim pesan-pengirim pesan yang lebih disempurnakan, seperti bbm, wa, line, dan lain sebagainya yang dapat kalian cari dan unduh di playstore.


Pada awal pertama mengirim sms di radio memang guncangan seperti itu tetap terulang aku rasakan, dua tiga kali tidak hilang, memang sepertinya tidak mudah untuk hilang. Tapi setelah sekian kali berkirim sms lambat-lambat perasaan semacam itu cukup mereda. Dan setelah terbiasa hilang sama sekali, selain itu juga karena kusiasati dengan menggunakan nama samaran. Nami, nama itu aku pilih karena aku merasa itu nama yang cukup unik, dalam bahasa jawa kata tersebut artinya ya nama namun diperhalus penggunaannya dalam bahasa jawa kromo lugu. Jadi, aku tidak perlu mengarang-arang nama lain untukku, karena ketika aku cantumkan dari pengirim untuk sebuah sms di radio tersebut, aku hanya mencantumkan nama tapi dalam bahasa kromo lugu. Awalnya sebenarnya aku memilih hal tersebut untuk sekedar mensiasati agar aku tidak kuwalat kepada bapakku yang telah memberiku nama Intan, apalagi di Sragen merubah nama harusnya dengan cara dibancaki dan akan sangat ribet, jadi aku dengan kesadaran penuh merasa bahwa aku tidak berganti nama, hanya mencantumkan kata nama (dalam bahasa jawa kromo lugu artinya nami) saja sebagai identitas. Tapi pada perjalanannya ternyata Nami bukan hanya sekedar aku gunakan sebagai identitas untuk sms di radio. Tapi juga setiap akun yang aku gunakan. Mulai dari friendster, mig33, mixit, nimbuzz, facebook, twitter, email, instagram, bbm bahkan blogku ini. Meskipun pada masa sekarang, nama untuk akun bbm dan facebook sudah aku ganti dengan nama asli. Tapi aku baru sadar bahwa Nami sudah turut serta dalam perjalanan panjang sejarah hidupku di dunia maya, malah terseret juga dalam dunia nyata, buktinya masih banyak teman-temanku yang memanggilku Nami. Begitulah sejarah singkat asal mula nama Nami menjadi identitas lain dalam diriku.

Kembali ke persoalan awal tentang radio, aku yang semakin terbiasa mengirim sms ke berbagai stasiun radio rupanya tidak membuatku ingin bertelpon ria untuk sekedar meriques lagu. Aku tetap tidak bergeser sedikitpun, karena aku merasa cukup dengan riques lagu hanya dari sms saja. Tapi sesuai perkembangannya ternyata periques semakin banyak yang meminta lagu langsung lewat telpon, dan lebih spesialnya lagi, riques yang lewat telpon lagunya diputar lebih dulu. Semakin merasa seru dengan radio, bagiku tidak menjadi soal laguku akan diputar lebih dulu atau malah tidak diputar sekalipun juga tidak apa, karena smsku yang berisi permintaan lagu dan kiriman salam tersebut sudah cukup hanya dengan dibaca oleh penyiarnya, tapi yang menjadi soal adalah biasanya penelpon begitu genitnya meladeni candaan dari si penyiar. Apalagi jika penyiar tersebut adalah penyiar yang aku spesialkan. Penyiar yang begitu menarik pada awal perkenalan karena dia juga entah kenapa tertarik dengan nama samaranku, katanya Nami nama tersebut mirip dengan tokoh anime yang dia suka, aku tidak tahu itu siapa. Dengan suara yang renyah dengan tertawa yang juga begitu renyah enak didengar, bahkan tertawanya pun juga menarik buatku. Tidak seperti penyiar-penyiar yang lain. Dia cukup unik dengan lagu-lagu yang dia pilih untuk diputar, dengan wawasan music dan band-band yang tidak lagi dalam pasaran. Wawasan umum dia juga begitu luas, karena setiap siaran pasti akan banyak hal yang dia bahas. Kembali aku katakan dia tidak seperti penyiar-penyiar radio kampung kebanyakan. Meskipun dia siaran pada radio kampung tapi pengetahuan dan pembahasan yang dia bawa saat siaran tidak kalah dari radio formal. Dan lebih unggulnya dia bawakan dengan tidak formal sama sekali, tapi tetap dengan unggah-ungguh yang pas, dengan bercandanya yang tidak berlebih, dan tidak meladeni genitnya penelpon dengan berlebih juga tapi tetap bisa membuat suasana yang semangat. Boleh dibilang dia penyiar yang cerdas untuk ukuran radio kampung.

Nama penyiar itu adalah Eno, begitu yang dia kenalkan setiap kali mengudara. Belakangan aku tau itu bukan nama aslinya, dia memakai nama tersebut karena ngefans dengan drummer-nya Netral. Begitu banyak hal yang aku sukai dari dia. Lalu pada suatu waktu saat dia siaran, dia menggunakan nomer hape pribadinya sendiri untuk melayani periques. Aku hanya menyimpannya, tidak ada keberanian untuk meng-sms sekalipun itu hanya untuk meriques lagu. Tapi selang beberapa lama dia jarang sekali siaran. Terus terang meskipun tetap menyenangkan mendengarkan radio, tapi rasa-rasanya tetap ada yang kurang.

Ingin sekali aku tanyakan langsung kenapa sudah tidak pernah siaran, tapi banyak hal yang membuat takut. Akhirnya daripada tersiksa batin karena rasa takut dan sebagainya, tidak aku sms juga. Aku hanya menunggu sambil berharap dia akan siaran lagi.

Begitu lama aku menunggu tidak juga sekalipun terdengar suara dia di radio, bahkan saking takutnya kalau-kalau aku terlewat saat dia siaran dan aku tidak tahu, maka aku pasang frekuensi hanya pada chennel radio miliknya, suara kemresek pun juga aku dengarkan, saat ada yang mengudara aku pusatkan pendengaranku, tapi terlalu sering kupingku dikecewakan karena ternyata yang siaran bukan dia. Lalu aku ceritakan kesedihanku pada sahabatku yang sedang tiduran kasurku, sambil aku ikut tiduran disampingnya, aku minta tanggapan apa yang harus aku lakukan. Lalu tiba-tiba dia menyambar hapeku, dia mau mengirim sms untuk penyiar tersebut. Terjadilah saling rebut merebut hape, rasanya aku belum punya nyali kalau harus sms dulu. Tapi sahabatku tersebut bilang kalau sms pun juga tidak apa-apa dia tidak akan tahu siapa yang sms. Setelah aku pikirkan benar juga omongannya, jadi aku putuskan untuk meng-sms Mas Eno. Satu sms yang berbuntut rasa takut begitu lama. Tapi karena sedang bersama seorang sahabat yang ada di dekatku jadi hal tersebut tidak terlalu mengganggu pikiranku, hanya pada saat-saat teringat saja aku kembali deg-degan. Karena sepertinya smsku tidak akan mendapat balasan.

Kemudian selang cukup lama, mungkin berminggu-minggu kemudian smsku baru terbalas. Aku begitu ingat keadaan pada saat itu, aku sedang studytour ke Jakarta pada waktu kelas 2 SMP, mungkin pada saat itu belum ada jalan tol yang panjang karena bus berhenti disebuah rumah makan dalam wilayah Jawa Barat. Udara begitu dingin padahal jam masih menunjukan pukul 8 malam, langit gelap tanpa arakan awan, hanya hitam pekat tapi dengan pijar satu bintang yang sangat cerah. Saking cerahnya bintang tersebut tak kuasa untuk mengedipkan dirinya sendiri. Berdiam diri menjadi satu satunya penghuni langit. Indah sekali ditambah dengan satu getar dari layar hp yang berkedip memunculkan sebuah pesan. Cukup satu pesan yang juga menggetarkan hatiku, satu pesan dari Mas Eno. Mas penyiar. Perlu beberapa menit untuk aku menenangkan diri agar dapat membuka pesan tersebut, dan perlu beberapa menit pula untuk aku dapat membalas smsnya itupun setelah aku baca berulang-ulang smsku sendiri agar tidak ada kesalahan untuk setelah itu dapat aku kirim. Aku pandang langit malam di Jawa Barat rasanya jadi ribuan kali indahnya. Tapi juga dengan detak jantung yang luar biasa cepat. Berada dalam bus yang bergerak sampai tiba di Jakarta, tak sekejap pun aku mampu memejamkan mata. Kejadian tersebut masih melekat secara detail dalam ingatan, menjadi salah satu kenangan indah yang tak mungkin terlupa. Meskipun kalau dari sekarang mungkin terhitung sudah 10 tahun, tapi mengingatnya kembali seperti masih tersisa segala indahnya, suasananya, hawa dinginnya juga getar di jantung yang menyenangkan. Selaksa malam yang menakjubkan bahkan jika hanya sekedar dikenang.


Ternyata sms-an kami berlanjut lebih panjang, sebagai teman dia adalah orang yang menyenangkan. Seru jika diajak cerita, membahas apapun rasanya menjadi sangat menyenangkan. Orang yang supel, dengan berbagai pembahasan yang tidak pernah membosankan. Bahkan dia juga sering telpon aku, awalnya memang canggung dan aku lebih banyak diam, tapi dia memang orang yang pintar mencairkan suasana, membuat orang menjadi nyaman untuk bicara. Aku yang biasanya takut-takut kalau telpon menjadi terbiasa setelah dengan dia. Seperti yang aku bilang dia memang orang yang cerdas. Banyak hal yang tidak pernah aku tahu, aku pelajari dari dia. Mulai dari band-band yang bagus dan tidak pasaran. Karena itu seleranya unik, memang dari awal akupun juga suka pada yang tidak sering-sering aku dengar, karena pada masa itu memang band-band melayu sedang naik daun. Aku bahkan ingat kata-kata dia kalau “Aku memang suka lagu-lagu yang slow melow kendow, asal tidak cengeng”. Dia bilang dia suka band-band yang beraliran melodick punk, dia juga yang mengenalkan aku pada band-band tersebut. Aku juga mulai suka pada Blink-182, Endank Soekamti, Netral, SID, Green Day, dll. Meskipun setelah itu aku juga lebih menyukai yang beraliran keras; Slipknot, System Of Down, Betrayer, Bandoso, Burger Kill, dll. Dia bilang aliranku malah kebablasan jadi Metal Gedruck. Entahlah, memang musik-musik seperti itu menjadi lebih enak didengar diantara band-band metal yang sering sekali diputar di radio. Jadilah, aku satu-satunya pendengar yang meriques lagu-lagu keras diantara mereka yang meminta lagu-lagu dari band melayu.

Selain itu juga dia yang membuat aku menyukai One Piece sampai sekarang, meskipun pada dasarnya aku memang menyukai anime sejak SD. Bahkan aku punya dua buku berisi lyric lagu-lagu anime, sayangnya kedua-duanya sekarang sudah jadi abu. Kami bahkan berdebat tentang anime mana yang lebih seru antara Naruto atau One Piece. Aku sama sekali tidak menyukai One Piece karena tokoh utamanya memiliki kekuatan yang aneh, tidak seperti Naruto. Tapi dia tetap memaksa agar aku menonton One Piece dulu, dia bilang kalau aku pasti suka. Tapi karena penasaran pada satu tokoh yang dia bilang namanya juga Nami seperti namaku, maka aku putuskan untuk sekali menonton. Pada saat itu One Piece memang masih tayang di TV. Jadi mudah saja untuk bisa menonton, dan benar kata Mas Eno, bahkan aku akui lebih seru daripada Naruto. Tanpa sadar tak pernah satu episode pun terlewat, anime yang penuh petualangan seru. Menyenangkan bisa berpetualang dan mendapat teman yang banyak, sahabat yang banyak dan bisa pergi kemanapun ke berbagai tempat yang belum pernah didatangi. Dari situ juga mungkin saat SMA aku ingin punya teman yang banyak, tidak seperti saat SMP, boleh dibilang aku tidak punya teman, di sekolah temanku nyaris hanya buku dan teman sebangku ku saja. Selain itu aku juga jadi mulai menyukai berpetualang ke tempat-tempat yang baru dan menantang. Aku suka berpergian kemana pun bersama teman-temanku. Membuat kenangan yang bisa dikenang saat tua nanti, saat sudah tidak mampu kemana-mana lagi.


Setelah sekian lama berteman dengan Mas Eno, sudah tidak membuatku ragu lagi kalau aku memang menyukai dia, cinta petamaku. Padahal kami belum pernah sekalipun bertemu. Lalu dia menyuruhku membuat akun friendster. Pada masa itu memang belum ada facebook, dia bilang kalau mau melihat wajahnya aku bisa lihat di friendster miliknya. Ada fotonya disana. Awalnya aku ragu, tapi diam-diam aku buat juga, bahkan friendsterku penuh dengan berbagai keakuan tentang aku. Segala hal yang aku suka aku tulis dalam friendster, aku telah memiliki friendster yang sempurna. Tapi aku belum juga mengintip friendster miliknya, bukan karena takut wajahnya mengecewakan, sama sekali bukan. Tapi memang karena aku belum bisa mengendalikan hatiku sendiri, debar jantungku selalu memuncak setiap aku melihat hapeku memunculkan nama Mas Eno dilayarnya. Sekedar mendapat sms dari dia saja hatiku bisa begitu terbang, membaca-baca kembali sms dari dia bisa menerbitkan senyum yang tak berkesudahan, apalagi ketika ditelpon rasanya aku seperti terlonjak-lonjak menaiki kora-kora. Maka jika harus melihat friendster miliknya aku juga harus benar-benar siap kejatuhan bintang-bintang.

Setelah lama, aku akhirnya melihat friendsternya juga, melihat foto dia. Tepat seperti dugaan, suara yang renyah itu juga milik laki-laki yang menawan, yang menawan hatiku hingga menahun. Apapun itu, aku bertambah menyukainya. Meskipun temanku berkomentar dia tidak ganteng-ganteng banget, dia juga pendek, tapi apapun aku tetap menghamba pada dia. Tapi  dari situ aku juga mulai berpikir aku harus menghentikan les berenangku, karena dengan berenang aku bisa bertambah tinggi, sedangkan aku tidak ingin lebih tinggi dari dia.

Selain di friendster dia ternyata juga sama-sama pengguna mig33, siapa sangka, jadilah akun Nami selalu setia menunggu dia di room Sragen, siapa tau suatu waktu dia login mig33 dan bisa chatting bareng. Untuk semua akun sosmed aku gunakan nama Nami, itu semua juga untuk dia, nama yang dia sukai. Dan aku berharap dia akan menemukanku dengan nama itu, setidaknya di dunia maya. Karena memang sampai sekarang kami berteman juga dalam dunia itu saja. Tapi aku pastikan perasaanku ke dia tidak maya, perasaanku ke dia benar-benar nyata. Meskipun tidak sekalipun kami pernah bertemu secara langsung, meskipun setelah 3 tahun kami telah berteman akrab dan 2 tahun sitelahnya aku tidak pernah sedikitpun menghubungi dia, tapi memang selama 5 tahun itu perasaan cintaku ke dia benar-benar nyata. 3 tahun berteman tanpa sekalipun pernah bertemu langsung, dan karena ulah sahabatku sendiri aku harus menangisi dia dan berkata kalau lebih baik tidak perlu lagi saling menghubungi, awalnya dia terus-terusan berusaha menolak, tapi akhirnya dia menerima juga keputusanku. Jadilah 2 tahun sisanya adalah hari-hari hampa aku berusaha untuk bisa melupakan dia. Cinta pertamaku, yang tidak akan pernah mengetahui perasaanku ini.


Kalau dipikir memang banyak hal dari diriku yang berkiblat dari Mas Eno, mulai dari selera bermusik, band-band kesukaan, anime kesukaan, pandangan tentang kehidupan, keakuan tentang aku bahkan sedikit banyak berasal dari dia, mungkin kehidupan sepanjang remaja yang mengantarkan aku pada masa sekarang juga tidak lepas dari pengaruhnya. Dia tidak mungkin tau dan selamanya dia tidak akan tau, tapi aku bersyukur pernah memiliki bahagia meski hanya menjadi temannya. Dan aku bangga memiliki cinta pertama dari orang yang cerdas. Aku cukup sadar meski hanya sebatas ini yang aku peroleh dari dia. Pada akhirnya aku benar-benar bersyukur pernah memiliki dia cinta dalam diam.




Thursday, October 27, 2016

Oleh-Oleh Dari Ibu

Hari ini ibu datang
Membawakanku oleh-oleh,
kelopak-kelopak mawar ibu taburkan.
Lalu dengan air mata menetes,
ibu mengelus nisanku.


Fiksi mini
Semarang, 28 Mei 2016




Wednesday, April 6, 2016

Curhatan Pagi

Aku bayangkan wajah kedua orang tuaku yang berada di rumah. Meskipun banyak pertengkaran tapi sampai sekarang syukurlah semua masih utuh, keluargaku masih genap. Kedua orang tuaku, yang awalnya beda keyakinan nyatanya bisa bersatu. Tapi kenapa kita yang sama-sama seiman harus dihadapkan pada kenyataan yang begitu sulit. Kenapa orang tuamu harus mempersulit dengan syarat yang begitu susah untuk aku terima. Rasanya tidak adil untuk orang tuaku. Kedua orang tuaku yang menyekolahkanku setinggi ini tidak pernah sedikitpun mencantumkan syarat untuk orang yang aku pilih harus PNS, punya rumah, punya mobil, keturunan ningrat atau apalah. Ibaratnya orang tuaku, sudah ada yang mau sama anaknya saja sudah bersyukur. Paling orang tuaku hanya berpesan agar dia yang aku pilih tersebut harus bertanggung jawab dan gemati. Seperti syarat pada umumnya. Tapi kenapa orang tuamu harus menetapkan syarat yang begitu sulit untuk kupilih. Menyesakkan rasanya :’( Aku sudah banyak berharap dan mereka-reka masa depan denganmu, tapi seakan semuanya direnggut tanpa sisa. Tentang ini semua aku hanya pasrah untuk kedepannya. Aku merasa buntu.



Tuesday, April 5, 2016

Koma

Memang ada yang ikut sakit padahal aku yang tertusuk? Berkali-kali aku tanyakan itu pada malam yang mengaku-aku kelam. Padahal lampu Ibu Kota tak pernah mati seolah menjadi pengganti shift bagi matahari. Saat malam mendepak terang dari tempatnya semula, semesta seolah meredup perlahan. Baiklah aku percaya saja, malam memang kelam.

Dari kejauhan ku lihat hujan bintang tak surut-surutnya di langit malam. Bintang warna-warni yang membuatku takjub untuk sesaat tapi setelahnya menjadi biasa karena menggemakan suara yang membuat aku iba. Iba pada jumlah rupiah yang telah di hamburkan pada bintang-bintang sesaat tersebut.


Aku diam memunguti kerikil yang sedari tadi menusuki kakiku yang tak bersepatu. Apa seharusnya aku sumpahi saja? Tapi percuma kerikil ini pasti hanya diam tanpa berontak saat sumpah serapah aku tunjukan padanya. Aku tertawa sendiri, sakit di kaki seolah telah menumpulkan pikiran. Padahal itu tak seberapa dibandingkan apa yang telah aku alami selama ini. Dan aku masih terus berjalan menelusuri aspal berkerangka bintang. Entah kemana tujuan. Lalu kembali pertanyaan itu menuntut jawaban. Memang ada yang ikut sakit padahal aku yang tertusuk? Aku menantinya sesaat, tapi tetap tak ada jawaban. Hanya koma yang berderet sepanjang jalan.




Friday, April 1, 2016

Gerbong Berkarat


Suaranya parau ditelan gemuruh roda kereta yang beradu dengan rel. Angin yang terhempas perlahan oleh laju kereta mengibarkan rambutnya yang kusut. Dia susuri lintasan besi itu setelahnya, setelah memastikan kereta yang lewat tersebut berangsur menjauh dari pandangannya. Dengan membopong kardus bekas minuman ringan yang telah ia isi dengan berbagai nasi bungkus. Dia teriakan dagangannya tersebut, tentulah dengan teriakan dari suaranya yang parau.

Matahari membiaskan cahaya dari balik gerbong-gerbong kereta yang berkarat, menuju peraduannya tenggelam di ufuk barat. Memulai warna baru dalam kehidupan, yang awalnya terang menjadi gelap. Lalu dia umpamakan itu seperti dirinya saat ini. Dia duduk di pintu salah satu gerbong kereta yang tak terpakai tersebut. Menghalau penat yang seharian merubungnya tanpa ampun. Tanpa terasa matanya berkaca-kaca. Membayangkan kembali apa yang telah dia lalui. Seolah segalanya begitu singkat dan merubahnya dalam sekejap.

Dia ingat kembali senyum-senyum dari tamu undangan yang menghadiri pesta pernikahannya. Semuanya berjalan lancar seperti dia dan keluarga harapkan. Diawal pernikahannya pun juga nyaris tanpa masalah yang berarti. Meskipun setelah menikah dia ikut suaminya tinggal bersama mertuanya tetapi semua berjalan dengan harmonis. Suaminya sanggat mencintainya begitupun kedua mertuanya. Namun karena semua itulah dia merasa hidupnya kurang warna, dia merasa hampa.

Di tengah-tengah keluarga yang begitu baik, dia merasa menjadi seorang yang ingin berteriak. Meneriakan bahwa hidup ini bukan hanya terus menatap lurus, bukan hanya berjalan lurus namun berhenti pada suatu titik dan keesokan harinya kembali pada satu titik. Melakukan aktifitas yang sama setiap harinya, melulu sama dan bilapun berubah hanya pada titik yang sama juga. Monoton. Dan dia bosan.

Dia seolah dihempaskan pelan pada titik kejenuhan yang perlahan menyekap dia sendiri. Rumah yang begitu ramah tersebut memaku pikirannya untuk tidak lagi bekerja seperti dulu. Dia merasakan dirinya tidak lagi maju, tidak juga mundur, namun stag, berhenti pada waktu dan saat yang sedang memenjarakannya di rumah tersebut. Itulah yang ia rasakan.

Karena itu dia memutuskan untuk meminta ijin pada suaminya agar dia diperbolehkan kembali bekerja di Semarang. Suaminya tidak berkata apa-apa, tidak mengiyakan atau juga menolak. Berhari-hari suaminya hanya mendiamkannya. Dia bingung, lalu dia putuskan sendiri bahwa dia akan berangkat ke Semarang dengan atau tanpa seijin oleh suaminya. Dia berpikir bahwa ini tubuhnya, ini miliknya sendiri dan dia berhak membawa tubuhnya sendiri kemanapun.

Pada hari keberangkatan, suaminya tetap diam, hanya ibu mertuanya yang membantunya mengepak barang-barang. Mereka maklum, kalau menantunya ingin bekerja di kota. Kedua orang tua itu juga tidak mungkin melarang seseorang yang ingin bekerja mencari uang untuk tambahan kebutuhan. Hal seperti itu wajar di kampung.

Di Semarang dia kembali merasa hidup, merasa bisa tertawa keras meski kehidupan di kota tersebut juga keras. Dua bulan sekali dia akan pulang, kadang jika sedang ada acara dengan teman-temannya dia akan pulang 3 bulan atau paling lama 5 bulan. Bekerja dari senin sampai sabtu lalu minggu dia gunakan untuk kegiatan mencuci baju dan membersihkan kost nya atau kadang-kadang untuk berlibur bersama teman-temannya.

Satu tahun lebih usia pernikahannya, wajar jika mertuanya menginginkan kehadiran cucu diantara mereka. Meskipun dia sendiri dan suaminya masih membina hubungan baik, tapi karena waktu untuk bertemu yang selalu singkat tersebut membuatnya belum juga mengandung. Hingga ibu mertuanya berinisiatif untuk memeriksakannya ke dokter. Dia hanya menurut saja, dan sore itu dia bersama ibu mertuanya menunju ke sebuah rumah sakit.

Matahari berangsur tenggelam di rimbun pepohonan jauh dari jalan raya di depannya. Dia mematung di depan sebuah gedung bercat putih. Rumah sakit itu memuntahkan sebuah kenyataan yang begitu tak mampu ia terima. Air mata tak terbendung meruah dari pelupuk matanya dan membasahi kedua pipinya. Kenyataan pahit harus dia telan. Setelah menjalani serangkaian tes, dia hampir-hampir tidak percaya pada apa yang dokter muda tersebut katakan. Dia terpaku, bukan karena dia mandul tapi karena dia positif terjangkit HIV.

Atap rumah sakit yang berada di atasnya seolah runtuh menimpanya pada saat itu juga, lungkai ia susuri lorong rumah sakit sendiri. Karena ibu mertuanya sudah dulu pergi, tanpa berkomentar apapun. Entah ibu mertuanya marah, jijik, benci atau ketiganya. Dia hanya diam mencerna semuanya sendiri. Tapi otaknya serasa mati.

Sampai di rumah dia hanya mampu menyemburkan semua kemarahannya tersebut pada suaminya. Suami yang ternyata diam-diam sering tidur dengan pelacur murah di pasar yang tiap malam dia lewati setelah pulang kerja. Suaminya berdalih tidak tahan kesepian karena ditinggalnya bekerja di Kota. Suaminya yang menularkan penyakit yang menjijikan tersebut padanya. Suami yang mengaku mencintainya tapi juga menghianatinya. Dia begitu membenci suaminya dia juga benci pada dirinya sendiri.

Suara petir dan guntur malam itu menyambar-nyambar lalu tidak lama setelahnya hujan deras jatuh ke Bumi. Tangisnya belum juga mereda setelah dia minta cerai pada suaminya dan membanting pintu kamar. Bantalnya sudah basah seolah ada atap yang bocor dan air masuk menghujaninya. Dia tidak pernah merasa sehancur ini selama hidupnya.

Paginya dia kembali ke rumah ibunya sendiri, dia berpikir akan menemukan semacam penenang di rumah tersebut. Tapi ternyata itu adalah awal sebuah kehancuran yang lain. Setelah dia ceritakan semua pada keluarganya tanpa ia tutupi sedikitpun, ibunya hanya diam sambil menangis lalu berlalu pergi, kakak iparnya mendekap kedua anaknya dan membawa mereka masuk ke dalam kamar karena takut tertular, sedangkan kakak laki-lakinya sendiri, pergi keluar sambil berkata akan membunuh suami yang telah menularkan penyakit menjijikan tersebut pada adiknya. Menyisakan dia sendiri yang berada di ruang tamu, kembali mematung sambil menggigit bibir bawahnya menahan pahit namun tak terasa sedikitpun sakit.

Esoknya kabar pahit lain datang, saat para tetangga mengabarkan bahwa anak laki-laki satu-satunya di rumah itu telah ditangkap polisi karena membunuh suami adiknya. Dia kembali menangis sejadi-jadinya. Lalu sebuah tamparan keras mendarat di pipinya yang basah, tamparan dari istri kakaknya tersebut. Tatapan kebencian menusukinya juga dari kedua anak kakaknya itu. Kakak iparnya meneriakinya sebagai lonthe kudisan. Mereka bilang dialah penyebab semuanya. Mereka menjadikannya tersangka utama karena telah membuat kakaknya tersebut menjadi pembunuh dan harus masuk bui.

Semua kemalangan yang menimpanya hanya dia balas dengan air mata tanpa isak. Ibunya bahkan tak pernah bicara dengannya walau hanya sepatah. Kakak ipar dan anak-anaknya memusuhinya, sedangkan tetangga mulai membicarakannya. Tak ada penerimaan di rumah itu.

Diam-diam dia pergi kembali ke Semarang, percuma untuk berpamitan pun hanya tatapan kebencian yang kan dia dapat. Sebenarnya dia sudah goyah dengan apa yang akan dia hadapi kedepannya tapi yang dia rasakan dia tidak ingin berada di rumah tersebut. Namun sekali lagi dia harus menelan pil pahit, semua teman sepekerjanya sudah mengetahui dia seorang positif. Maka pada hari pertama dia kembali bekerja tersebut juga menjadi hari dimana dia dipecat. Beku dia pulang ke kostnya.

Uang tabungan yang dia miliki habis hanya untuk makan beberapa hari, mencari pekerjaan tidak semudah yang dia bayangkan apalagi dia hanya sendiri di kota tersebut. Jadilah dia hidup dijalanan saat setelah dia diusir dari kostnya karena tidak mampu lagi membayar. Dia patah saat itu juga, dia pasrah melangkah tanpa arah.

Hingga takdir menghempaskan dia pada gerbong yang dia duduki saat ini. hidup telah melemparkan dia dari api ke api yang lain, dari luka satu ke luka yang lain. Hingga luka yang dia miliki bertumpuk dan dia lupa berapa banyak yang dia miliki. Sampai dia tak lagi paham keberadaan dirinya saat ini. Namun kali ini tak ada air mata karena semua sudah mengering. Kering tersengat matahari yang setiap hari menatapnya dengan sorot kebencian. Dia sudah berhenti untuk mencoba berpikir dia tidak lagi ingin berpikir, hanya dia jalani yang ada di depan matanya saat ini. Lalu dia tengok kardus berisi nasi bungkus yang dia letakkan di sampingnya. Dia bopong kembali lalu dia berjalan diantara gelap malam.



Semarang, 1 April 2016
Kado untuk seseorang yang ditinggal menikah oleh mantannya
Percaya saja, yang bermain drama akan kena karma



Tuesday, March 29, 2016

Telpon Tengah Malam

Dia yang setiap tengah malam menelponku, sebenarnya ada apa? Di jauh sana dia menggeleng, padahal jelas aku tak akan tau itu. Di sudut bibirnya yang pahit dia mengecap manis kenangan yang pernah ada antara aku dan dia. Apakah malam yang mengantarkan kenangan itu padanya, karena malam memang biasanya seperti itu. Dia hanya tersenyum tipis, lagi-lagi aku tidak akan tau senyum itu.

Perlukah aku tertawa? Saat dia mencoba terbahak pada candaannya sendiri. Mungkin maksudnya agar mencairkan suasana. Namun dia tak pernah tau, sebeku apa senyum yang tak seorangpun memeluknya. Jangankan cair, hangat pun tidak. Aku hanya bergumam, sekedar menghargai suaranya yang tetap serenyah dulu bertanya ini itu.

Maaf, hanya itu sebenarnya yang ingin aku ucap. Namun kelu dan tersendat di kerongkonganku. Aku juga tak kuasa mematikan telponnya, karena aku yakin canggung yang hadir lambat-lambat juga akan membuat mengakhirinya sendiri. Aku tinggal menungguinya.

Malam tak pernah mengantarkan kenangan yang sama padaku, entah padanya. Aku juga tidak paham, meski semestinya aku tanyakan saja semua padanya. Karena aku yakin tanpa dia edit sehuruf pun dengan jujur akan dia jawabi semuanya. Namun lagi-lagi lidahku kelu. Suasana kembali beku.

Aku tau, di jauh sana dia pasti bingung pada suasana canggung yang berdengung-dengung melalui hampa udara yang dia sambung. Maaf, lagi-lagi itu yang tertera saat aku memejamkan mata. Namun tak kuungkap, hanya mewujud lalu hilang dengan sendirinya. Aku tidak sedang dalam kondisi ingin menghadirkan pertanyaan darinya. Percayalah, semua sudah jauh berbeda, disadari atau tidak. Aku hanya terlalu nyaman dipeluki diam saat telpon darinya kembali meraung tengah malam, tiap tengah malam.


Malam tak mengantarkan kenangan untukku, malam hanya mengijinkanku untuk diam. Diam yang berjingkat-jingkat dalam koma yang kemudian hanya dengung mati dari telpon yang tertempel di telingaku. Entah, aku pun tak pernah menunggui telpon tengah malam darinya. Namun jika itu terjadi, sudah dipastikan tak akan ada yang berubah. Keadaan tetap sama, canggung, bingung berdengung-dengung.




Monday, February 22, 2016

Hujan Untuk Febri

Gadis kecil itu bernama Febri, dan dia mencintai hujan lebih dari siapapun. Senyumnya akan mengembang ketika hujan mulai merintik satu-satu. Tapi di musim kemarau seperti ini, kemarau juga senyum Febri.

Gadis kecil itu masih kelas dua SD, dengan seragam lusuhnya dia akan berlari sepulang sekolah untuk segera mengambil payungnya yang warna-warni. Iya, dia adalah gadis kecil penyedia jasa ojek payung. Dari lembar demi lembar yang dia dapat tersebut, dia gunakan untuk membantu keuangan keluarganya. Tapi di musim kemarau seperti ini, jelaslah bahwa ia kehilangan rupiah yang dapat membantu asap dapur keluarganya untuk tetap mengepul. Karena itu gadis kecil tersebut mencintai hujan lebih dari siapapun.

Namun gadis kecil itu sudah sebulan ini berkabut, seperti ruam udara di Kota Jambi yang juga berkabut. Bukan kabut embun dengan titik-titik air yang menyejukan, tapi kabut asap yang memekat hingga membuat indra penglihatan dan penciuman terganggu. Karena masalah kabut asap tersebut pulalah sekolah Febri diliburkan selama dua minggu ini. Itu juga yang membuat senyum seolah dirampas dari wajah mungil Febri.

Padahal untuk gadis kecil itu, sekolah merupakan tempat belajar sekaligus bermain. Diantara waktu yang dia habiskan untuk mencari uang membantu Ibunya, sekolah seakan menjadi satu-satunya tempat dimana dia bisa tersenyum dan bermain dengan teman-temannya. Hidup miskin yang dia jalani membuatnya harus ikut bekerja. Karena itu dia begitu merindukan hujan lebih dari siapapun, agar dia dapat mencari uang dari mengojek payung, agar kabut asap yang menyelimuti kotanya dan membuat dia tidak dapat bersekolah segera hilang.

Gadis kecil itu memang hanya tinggal dengan Ibunya, Ibu semata wayang itulah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Tanpa Bapak dia hidup, bapak yang meninggalkan dia saat usianya masih kecil, bahkan tak ada secuilpun kenangan bersama bapaknya yang dia ingat. Bapak yang kata Ibunya sudah meninggalkan dia dan ibunya demi perempuan lain yang lebih muda dan cantik. Bapak yang tidak bertanggung jawab terhadapnya dan ibunya. Bapak yang tiap kali dimaki-maki ibunya saat ibunya itu marah, padahal bapaknya tidak akan pernah mendengar makian ibunya tersebut. Karena itu dia juga tidak peduli lagi ada bapak atau tidak dalam hidupnya, itu tidaklah penting.

Gadis kecil itu benar-benar merindukan hujan, merindukan lambaian tangan dari orang-orang yang ingin dinaungi payungnya. Sambil mengulurkan tangan menerima upah dari jasa ojek payungnya, bibir mungil Febri akan mengucapkan terima kasih. Lalu sesungging senyum dari bibirnya yang setelah itu terjadi meskipun belum tentu dibalas senyum juga dari pelanggan ojek payungnya, tapi dia senang. Dari situ dia mulai menyukai hujan.


Pernah di suatu siang terik yang tidak memberikan pertanda sedikitpun untuk hujan akan turun, Febri mencoba mencari pekerjaan lain. Dia menjual koran di lampu merah yang cukup ramai di Kota Asap tersebut. Tapi belum sampai sepuluh menit dia berada di situ, datanglah seorang laki-laki dengan segepok koran ditangannya yang dengan kasar mengusir Febri. Laki-laki itu berdalih bahwa tempat tersebut adalah lahan dagangnya. Gadis kecil yang baru kelas dua SD bisa apa melawan seorang laki-laki. Akhirnya dia berhenti berjualan koran.

Esoknya dia mencari pekerjaan lain, maka mulailah Febri bekerja di tempat cuci pakaian atau istilah kerennya itu Laundry. Dia ditempatkan di bagian menjemur pakaian yang telah selesai di cuci. Maka dari situlah kulitnya yang dulu putih hingga banyak yang mengira bahwa dia warga keturuan berubah perlahan menjadi hitam disengat matahari. Meskipun dia betah berlama-lama di bawah terik tapi dia juga tidak terlalu menyukai pekerjaannya.

Selain itu dia juga pernah bekerja di tempat pengupasan bawang, yang sukses membuat jari-jari tangan kecilnya merah perih. Terkadang dia meringis menerima upah yang tak seberapa dari pekerjaannya menguapas bawang tersebut bukan karena upahnya yang sedikit tapi lebih karena kulit jari tangannya yang benar-benar perih tak terperi. Akibat mengupas kiloan kulit bawang tersebut jugalah matanya bening menjadi mengabur berembun tersengat pedasnya bawang kupasannya tersebut.

Berbagai pekerjaan tak kenal ampun dia coba satu per satu, namun tetap dia hanya menyukai pekerjaannya sebagai penyedia jasa ojek payung. Karena itu dia begitu merindukan hujan. Hujan yang turun menurunkan rezeki untuknya. Hujan yang membasahi tubuh kecilnya tapi tak sedikitpun pernah membuatnya sakit. Bahkan saat tubuhnya habis dihajar ibunya dia tetap berlari menembus hujan dengan memeluk payung warna-warninya.

Hujan seakan menjadi obat yang paling mujarap untuknya saat lebam biru-biru menghiasi lengan, kaki dan punggungnya. Air hujan yang menyentuh kulit-kulit lebamnya tersebut memberikan efek sejuk baginya. Juga saat dia begitu kesakitan menerima setiap pukulan tanpa ampun dari ibunya, hujan seakan memeluknya dalam basah yang indah. Saat makian dan cacian dari ibunya yang membabi buta dilesatkan untuknya, hujan yang jatuh dimanapun tempat jatuhnya tersebut seperti bernyanyi menghiburnya.

Febri gadis kecil yang baru kelas dua SD itu tentulah akan menangis saat kemarahan ibunya yang terkadang tidak dia tahu karena apa dan hanya bisa dia terima karena hanya kepadanyalah ibunya dapat melampiaskan kemarahannya. Segala caci maki yang keluar dari lorong-lorong jahanam tergelap yang tak pernah dia paham keberadaannya, tak perlah luput dia terima. Lalu segala macam bentuk pukulan juga tak luput mendarat di tubuh kecilnya. Dan saat itu dia hanya mampu menangis.

Lalu saat ibunya sudah merasa puas melampiaskan semua kemarahannya, Febri dapat tertatih keluar rumah. Menyambut dan disambut oleh hujan, dia akan menangis sesenggukan tanpa disadari oleh siapapun. Karena air hujan menyembunyikan air mata Febri yang menetes, lalu hujan pulalah yang menghapus air matanya tanpa ia sadari air yang menganak sungai di pipinya hanya air hujan saja. Sedang air matanya sudah terhenti. Dia merasa sangat diselamatkan oleh hujan.

Gadis kecil itu percaya setelah hujan pasti akan ada pelangi yang indah, seperti hidupnya yang penuh lelah, lebam dan tangis pasti akan ada senyum yang indah. Karena itu dia sangat merindukan hujan. Hujan yang dapat menghadirkan senyum untuknya. Hujan yang menghapus semua lukanya. Hujan yang akan memeluk tubuh kecilnya.

Gadis kecil itu benar-benar mencintai hujan lebih dari siapapun, dan sepertinya hujan pun juga mencintainya. Seperti saat ini, hujan turun dengan derasnya saat tubuh kecil Febri diusung menuju peristirahatan terakhirnya. Tubuhnya tak lagi bernyawa saat api melalap dia dan ibunya sekaligus. Himpitan ekonomi membuat ibunya menyalakan api untuk terlebih dahulu mengguyur tubuhnya sendiri lalu anaknya dengan bensin. Hingga membuat keduanya tak bernyawa lagi.


Kini gadis kecil yang mencintai hujan itu telah pergi. Dan berhari-hari hujan yang dia cintai itu turun tak berhenti. Karena hujan juga mencintainya.