Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Saturday, November 30, 2013

Pilihan Terpilih

Ini sudah entah kuluman yang keberapa dari dia dalam satu jam ini. Lalu dalam peluknya yang mesra ku coba bertanya "Sebenarnya apa yang kamu rasakan saat ciuman seperti ini, yank?" Sambil kembali mencium keningku, dia menjawab "Ya seneng donk yank, kan bisa bersama orang yang disayangi" Aku hanya terdiam saat setelah itu, lalu dia jadi sibuk bercerita entah apa, aku tak lagi merespon keadaan saat itu. Aku juga jadi begitu sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku merasa apa yang dia rasakan tak sama dengan apa yang aku rasakan selama ini. Terkadang bahkan mati-matian aku mencoba meresapi pelukan hangat dari dia atau ciuman halus dibibir dari dia, segala kemesraan yang selama ini dia berikan penuh untukku. Tapi yang ada hanya hambar, iya memang tubuh ini menerima semua, tapi hati? Tak pernah kurasakan yang namanya tersengat ribuaan volt listrik dalam tubuhku saat bibirnya mengulum bibirku atau rasa hangat yang merambati hati ketika tubuhnya memelukku. Semua terasa biasa, ciuman dengan dia rasanya seperti bibir yang bertemu sendok berisi penuh nasi goreng lalu aku mengunyahnya. Pelukan, terasa seperti tubuh yang memeluk guling saat mata begitu ngantuk. Biasa!


Sedih sekali aku harus menciptakan keadaan seperti ini. Tersangkut diantara ribuan gelembung sabun warna warni nan indah, namun saat kucoba mengambilnya satu maka saat itu juga pecah gelembung tersebut, hingga menyisakan rasa kecewa bertubi. Semua begitu ilusi, begitu senyum yang harus tertarik dalam lengkungan yang palsu. Senyum dengan gincu palsu!

Iya memang benar bahwa hidup ini adalah panggung sandiwara, dan dalam kegamangan yang luar biasa ini kurasa aku adalah orang yang berekting dengan begitu baiknya. Sempurna dimata dia, namun untuk hatiku sendiri? Hati seperti menjadi organ tubuh yang berada diruangan tersendiri dan dijauhkan dari tubuhku, entah dimana, mungkin dalam toples biskuit atau dalam kaleng susu, atau terkurung dalam kardus berplester dobel begitu rapat. Dia tidak sadari, tentang pertentangan dalam tubuhku ini. Karena memang seperti yang telah kusebutkan diatas, bahwa aku begitu pintar dalam berekting menjadi kekasih yang romantis dengan kasih sayang penuh untuk dia. Bukan hal yang susah untuk sekedar membalas segala kemesraan dia, meskipun dengan hati yang mati, tak merasakan apapun. Jahatkah aku?

Kembali kutegaskan pada diri bahwa cinta itu butuh proses. Aku selalu meyakini bahwa merasakan cinta itu seperti naik tangga bukan naik lift yang sekali pencet bisa langsung sampai lantai teratas, namun semua membutuhkan proses dalam tiap tiap anak tangganya. Namun hingga mungkin jenuh menaiki tangga yang tak juga mengantarkanku pada lantai yang landai. Hingga kusadari ternyata aku menaiki tangga ini hanya dengan satu kaki dan kaki yang satunya masih tertinggal di tangga gedung yang lain. Iya kurasa perumpamaannya memang seperti itu, karena memang kenyataan yang ada seperti itu. Terlambatlah kusadari bahwa hatiku hanya satu dan tak pernah bergerak mendekat pada pacarku sendiri meski satu inci. Hatiku masih berada di tempatnya yang semula, kaku membeku dimiliki seutuhnya dalam gunung salju merah jambu itu. Lalu aku harus bagaimana? Tetap stag dan melanjutkan sandiwara yang bahkan tak kunikmati sama sekali atau bersiap untuk kehilangan apa yang tak hatiku mengerti?

Dan dalam malam yang mengecewakaan memang semua sandiwara itu kuakhiri 'aku pengen putus yank' lalu dengan perasaan yang acuh kutekan tombol kirim dalam menu dihapeku. Jahatkah aku? Iya atau tidak, tetap kata maaf semoga bisa mewakili. Hingga tidur dalam pelukan pekat malam mengantarkanku pada rasa sendirian nan kesepian hingga saat ini, namun itulah jalan yang kupilih. Biar kumiliki diri dan hati seutuhnya kembali. Sudah lama tak kubuat hatiku sendiri bahagiya. setelah ini aku berjanji aku akan melakukan apa yang hatiku inginkan dan membahagiyakannya.

02:47
Sragen, 30 November 2013

Tuesday, November 26, 2013

Attitude Plagiat


Lama tak kusapa dari sudut sini, lorong-lorong kemarin terlalu gelap, terlalu pekat hingga menelantarkan tiap kata yang merengek minta ditata.
Lama memang harus kuguyur dahulu amarah didada ini, agar tak mengotori tiap tetesan monolog dalam sudut sini.
Mengurai kembali apa yang begitu bergumpal-gumpal dalam otak, agar tali yang kan menjadi ku miniti jalan dalam mengalirkan lentik sang jemari bisa menderas kembali.
Jernih sejernih-jernihnya, jangan sampai terkotori oleh emosi sesasat yang tercipta dari apa yang kunamakan 'attitude plagiat' oleh mu.
Yang juga begitu mengobrak-abrik pikiranku kemarin.
Detik ini kucumbui dengan keikhlasan luar biasa, kembali menata pena menggores kata dalam kesabaran yang semoga tak kan pernah luntur.
Karena itu yang paling aku benci dan tidak mudah meski sekedar mengacuhkan saja.
Ingin ku lontarkan segala amarah tumpah ruah hingga darah mengarah tepat dalam klimaksnya, namun apa daya, segala yang bertameng 'inspirasi' memang malah menjadi senjata paling ampuh. Tapi dalam lorong ini penilaian mutlak tetap sama, 'ciri khas' kepenulisan tiap orang itu berbeda-beda.
Tapi bagaimana, aku menyerah untuk semua perdebatan sengit itu, bukan berarti kalah! karena dalam hal ini kamu telah kuberikan kesempatan kedua, maka gunakan lah sebaik mungkin.
Untuk ku sendiri yang terpenting sekarang adalah untuk tidak takut dalam menulis.
Aku tidak ingin menjadi pengecut dan trauma menulis. Yang jelas aku tidak ingin mengecewakan kata yang siap terpilin menjadi kalimat dan menyusun monolog entah apa.
Seperti puisiku sebelumnya, aku tidak akan memasung kata meski hanya menyusun monolog saja.
Dan sekarang kutekankan, jika memang itu gaya penulisanmu (plagiat) maka lanjutkan saja.


Di sudut sini aku berkata, ATAS NAMA APATIS.

Sunday, November 17, 2013

Tiga Bulan Untuk Selamanya

Malam sudah selarut ini tapi aku masih juga belum ditemui. Terbersit dalam pikirku untuk segera kuakhiri tapi langkah berat untuk mencari maaf sejauh ini haruskah terhenti begitu saja, semua harus sia-sia. "Tidak boleh sia-sia" jawabku dalam hati dan dengan perasaan yang semakin tak terarah aku duduk kembali di pinggir trotowar. Menatap jalan raya yang tinggal satu-satu kendaraan yang melintas, karena memang sudah begitu larut. Melontarkan ingatanku pada kilas balik masa lalu, seperti melihat video yang kubuat sendiri dengan aplikasi Movie Maker, semua membayang dipelupuk mata.

Wednesday, November 13, 2013

Kepalsuan Cinta

Biar cinta habis dikremasi waktu
Lalu terbang dijalanan bersama debu
Ditindas kediktatoran cinta yang palsu
Menjadi retorika yang menggebu-gebu
Mengawali kepalsuan lain


07:23
Sragen, 27 Maret 2011

Tak Kulanjutkan

Membekap sanubari
Mengalirkan nanah dalam darah
Entah apa yang tercampur dalam pikiran
Sekarat membeku ternyata bukan akhir
Ada yang memang tercampur
Dan itu cukup untuk tidak membuat sebuah akhir
Aku berang....
Nanah terlanjur muncrat dari jantung
Luka terlanjur membasuh seluruh tubuh
Duka terlanjur mendikte otak
Tak akan ku lanjutkan
Jika memang bukan akhir
Maka biar aku yang mengakhiri
Harus ada yang diakhiri
Aku mundur dengan teratur
Tak akan kulanjutkan


07:01
Sragen, 25 Maret 2011

Tuesday, November 12, 2013

Kisah Picisan

Hari itu aku terburu-buru pulang, hingga melupakan buku tulisku yang masih tertinggal di kelas. Sebelum genap lantai bawah aku kembali ke lantai dua untuk mengambil buku tulisku. Lorong lantai dua sudah sepi, mungkin karena sekarang hari sabtu jadi teman-teman juga terburu-buru untuk segera pulang. Sebelum mencapai kelas ada deretan jendela yang memperlihatkan isi dalam kelas. Dari jendela paling sudut kulihat Semi mantan pacarku sedang duduk berdua dengan Disa sahabatku, entah apa yang mereka bicarakan. Tapi kulihat Disa menangis dan Semi berusaha untuk menenangkan Disa. Sambil mencoba memeluk Disa, Semi menghapus air mata Disa dan mungkin mengatakan sesuatu tapi karena jarak jadi aku tidak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan. Rasanya meskipun sudah menjadi mantan pacar Semi tapi hatiku tetap saja bergemuruh, ingin rasanya aku marah dan melabrak mereka. Walaubagaimanapun Disa adalah sahabatku yang paling dekat, kenapa harus seperti itu dengan Semi. Karena sudah tidak tahan melihat adegan seperti di sinetron-sinetron itu aku putuskan untuk pulang dan mengabaikan buku tulisku.

Hari seninnya, ada gosip yang mengatakan kalo Disa temanku tersebut hamil. Tak lain dan tak bukan Semi yang dikabarkan sedang dekat dengan Disa adalah cowok yang menghamili Disa. Aku hanya diam menanggapi gosip tersebut, tapi memang hari itu Disa dan Semi tidak masuk sekolah. Gosip memang benar-benar cepat berkembang dalam sekolahku ini. Meskipun cukup kaget juga mendengar gosip itu tapi memang hal yang seperti itu sudah sering terjadi, bulan lalu juga anak kelas sebelah dikabarkan hamil. Karena malas mengikuti upacara bendera hari senin aku dan genk ku seperti biasa bersembunyi dikantin sekolah, setelah menyelesaikan makan bakso, aku dan teman-teman se-genk ku kembali kekelas. Kami juga mencoba mencari tahu kebenaran gosip tentang Disa yang juga satu genk dengan kami. Sambil bercerita tentang apa yang aku lihat kemarin saat dikelas pulang sekolah, kami berjalan keluar kantin tapi karena keasyikan cerita tanpa memperhatikan jalan aku menabrak seseorang yang membawa semangkuk bakso.
Karena benar-benar kesal, aku mengumpat dan marah-marah pada orang tersebut yang telah menabrak aku hingga kuah bakso mengotori seragam OSIS SMP putih biru ku.



(yang penting nulis)

Jangan Pasung Kata


Jangan pasung kata
Meskipun hanya menyusun monolog saja
Namun biarlah kata berlarian
Kaki-kaki kecilnya akan menggores sejarah sepanjang jalan




Senja Itu




Masih pada kisah temaram senja yang sama
dan mengumpulkan bayang langit senja tanpa jeda
yang bersembunyi diantara kecipak riak ombak kecil
mengendap begitu dalam, entah mampu ku tangkap atau tidak
entah...

Sisa-sisa rasa dari inisial B
Pekalongan, 18 Juni 2013

Sakit



Sakit

Hidup


Kadang indah, kadang busuk
Beginilah hidup

Mantingan-Jawa Timur, 30 Desember 2012

Monolog Motivasi Diri


Puisi dalam hati
Memotivasi diri

Gd. C5
dalam perenunganku tentang hidup
Semarang, 7 Mei 2013


Yang Selalu Kupegang


Ketika koma tak juga beranjak dari tempatnya
Mungkin titik yang harus dimunculkan
untuk mengawali kalimat yang baru

Suatu pagi setelah bermalam di PKM FIS UNNES

Aku 'pernah'


dan aku
Juga dingin gelap yang melingkupiku
di jalanan
Terima kasih telah mengingatkanku
bahwa aku 'pernah'
menjadi bagian 'mu'

Yogyakarta, 1 Maret 2013

Rindu Itu Kamu


Banyak sekali ku buat metafora
Tentang rindu tanpa ragu
Tanpa rambu-rambu
Banyak juga monolog perdu nan nan berlagu rindu
Yang manis namun sendu pilu
Yang kusam kelam namun merdu
Yang mentah tak terbantah namun madu
Namun setelah kurangkum satu-satu
Kutarik garis lurus, miring, lengkung, zig-zag, sampai melingkar-lingkar
Dan kuhitung dengan proyeksi ketepatan akurat
Semua hanya berujung pada satu
Yaitu kamu

Untuk inisial B rindu ini bermuara
Semarang, 29 Mei 2013



Mulai Peduli


Haruskah aku tetap peduli,
saat semua yang terasa hanya menyakiti hati?
Iya, sepertinya harus kubuang yang tidak perlu!

Ingin kubunuh rasa itu sebelum ia semakin mengkronis
Inisial B
Pantai Marun, 18 Mei 2013

Pemahamanku


Allah memberi kita mata bukan hanya untuk memandang lurus,
tapi untuk memandang lebih luas

GSG UNNES, 8 April 2013

Rindu


Ketika rindu itu bertanya
Maka jawabannya adalah kamu
Tidak banyak yang kuingin darimu
Hanya
Jagalah kesehatanmu


Untuk seseorang yang samar di hati
Semarang, 27 Maret 2013

Spasi Ini Untukmu


Hingga yang memasung hati berlari pergi
Hingga seluruh kaku berlalu
Aku di sini dengan segenggam spasi untukmu
Maaf jika aku berusaha melupakanmu


Inisial R
Sragen, 22 Maret 2013


Di Ujung Rasa Sakit


dan ketika bayangmu tak lagi ramah akan sapa
bahkan untuk secuil lekuk sabit di bibir
maka monolog luka memandikan metafora yang cerewet berkata-kata
begitu aku
begitu makna
begitu cerita
berkelebat bersama uthopia tanpa realita
dan hnya khayal semata
semakin berlari menunjukan bahwa saat-saat kalah dan kecewa sperti ini menjadi saat-saat terkuat dalam hidup
dan yakini hidup selalu punya caranya sendiri dalam melobangi kebuntuan

Dieng-Wonosobo, 9 Maret 2013
Karena R


Berangsur Melupakan


Entah
Sejak saat itu mulai kuceraikan harapku akanmu
Melangkah menjejaki otak yang sempat bayangmu bebal menjejal


Menghapus inisial R
Semarang, 12 Maret 2013


Pengalihan Rasa


Kubiarkan biar-bias kabur bayangmu mendahului kabur berlari
Entah kapan mampu ku tanggap kembali
Dan kini aku menjauh sejauh-jauhnya

Mencoba melupakan inisial R
Mantingan, Jawa Timur 12 Maret 2013


Monday, November 11, 2013

Aku Paham


Memahami bayangmu yang acuh pada senyumku
Membuatku semakin akur dengan rasa sakit
Musik tolong mandikan luka-luka ini
Mencoba menggiring duka dengan A Little Piece of Heaven

Karena Inisial R
Semarang 21 Februari 2013


Sakit Ini Sudah Kumiliki


Mencintai tanpa mengaharap dibalas untuk dicintai
Begitu realisasi dari logika yang cerewet berkata-kata
Dan satu-satunya jalan adalah melupakan
Mengenyahkan segala rasa cinta
Agar lepas dari rasa sakit yang begitu menyesak di otak
Membuang segala harap
Pertajam untuk tidak memanja perasaan
Lalu semakin perkuat untuk memelihara logika
Mengikhlaskan waktu kan sembuhkan semua luka yang ada


Masih di inisial R
Semarang, 25 Februari 2013


Monolog tak terjamah tak terjemah


Satu kesalahan yang berujung pahit,
seandainya kamu tahu betapa besar rasa menyesalku ini.
Hingga hanya satu kata yang kumengerti . . . Maaf . . .


Saat masa di inisial R
Semarang, 6 Maret 2013

Monolog Bingung


Dan yang hadir hanya rasa sakit bertubi menyetubuhi diri
Membuat segala yang tergula'i terasa mati tak berarti
Lalu harus dengan apa kecewa ini ku eja?
Harus bagaimana sesal ini ku urai agar segera cerai berai?
Harus seperti apa canggung yang teraba ini mampu segera ku lupa?
Sedang sekedar tatapanmu saja sudah membuat otakku purba
#ku tetap menggenggam spasi meski itu berduri

Untuk yang berinisial R
Semarang, 1 Februari 2013
di dua dini hari lebih 25 menit

Stasiun Yang Sendiri


Mencoba menempatkan kesabaran di lokomotif paling depan
Saat kamu pura-pura terpejam sesungguhnya aku terajam
Tapi biarlah, sudah ku ajarkan peron itu untuk sekedar bernyanyi
Menghibur sayu mataku
Dan mencelupkan sepi dengan senyum mengembang
Berlarik-larik dengan lori yang berkarat disengat dingin pekat
Besi tua, mulailah berbicara sekedar meracau juga tak apa
Karena kurasa kereta tak kan lewat malam ini
Hingga memberi sepi yang berhembus rapi
Malam ini, sepi lagi
Tanpa rel yang bergemerutuk layak gigi beradu
Malam ini, sepi dicumbui
Stasiun yang sendiri

Sragen, 31 Juli 2013


Sebaris teguran dari Allah

Aku mengerti Allah menegur hamba-Nya selalu dengan cara yang berbeda-beda. Seperti kisahku ini, yang hari ini kualami. Orang Jawa menyebutnya dengan tindihan.

Begini biar aku ceritakan langsung dengan kisah yang kualami saja. Malam itu karena sudah benar-benar kelelahan mungkin, aku tidur tanpa berdoa lebih dulu. Sampai entah antara mimpi atau benar-benar sadar aku tidak dapat bangun. Badan bagian belakang terasa sangat berat dan panas. Hingga bagian tengkuk adalah puncaknya, lalu aku hilang kesadaran. Ingin bangun, ingin berteriak tapi tidak mampu. Segala macam doa yang kubisa yang kuhafal, semua aku panjatkan meski untuk membuka mulutpun aku tidak bisa, tapi aku tetap berusaha menguasai diriku sendiri. Sampai pada Surat Al-Ikhlas malah membuat tubuhku seperti terbakar, panas luar biasa. Tapi aku tetap paksakan untuk membaca surat itu. Mencapai 3x aku baca, lalu tubuhku sudah berangsur bisa aku kuasai. Tanpa mengumpulkan tenaga, dengan kesadaran yang belum sepenuhnya kukuasai, aku berlari kekamar temanku yang bersebelahan dari kamarku. Kugedor-gedor pintunya berharap dia akan terbangun, tetapi ternyata temanku masih belum tidur. Dengan mukena yang masih menempel dibadan temanku membukakan pintu, sebenarnya aku ingin menangis menghambur ke temanku tapi rasanya pasti akan terlihat lebay, karena itu aku coba untuk menenangkan diri sendiri, sambil bercertita kalo aku tindihan. Lalu aku disuruh solat, tapi karena aku sedang halangan jadi aku diantarkan untuk wudhu saja.

Sebenarnya aku bukan orang yang penakut karena itu setelah diantarkan wudhu aku balik tidur dikamarku sendiri, sebenarnya aku sudah disuruh temanku untuk menyalakan lampu tapi aku tidak biasa tidur dengan lampu yang menyala. Dalam kamar yang gelap gulita dan hawa dingin yang merasuk dari luar, karena akupun juga tidak biasa jika tidur dengan pintu kamar tertutup, rasanya gerah dan sumpek. Kamar kostku dilantai dua dan langsung menghadap ke luar, yang jika kulihat pemandangan depan adalah gang kecil dan tembok kampus lalu gedung kampusku yang menjulang megah tapi gelap gulita.

Dengan kesadaran yang sepenuhnya masih kukuasai aku belum juga mampu tertidur lagi, sampai samar-samar kulihat di pojok sebelah lemariku ada bayangan hitam dengan wajah yang hitam legam tak terlalu jelas. Yang terlihat hanya bayangan hitam dengan sepasang tanduk hitam dikepala. Aku hanya melihat badanku kaku tidak mampu bergerak. Lalu setelah bayangan itu mulai memudar, aku berlari lagi kekamar disebelah, mengetuk pintu kamar temanku, dan untungnya temanku masih juga belum tidur.

Kuputuskan malam itu menerima tawaran temanku untuk tidur bertiga dikamarnya, dengan pikiran yang kusut kucoba pejamkan mata sambil kupasang hetset dan kuputar Surat Ar-Rahman yang ada di mp3 hapeku, berharap dengan ini aku bisa mendapat ketenangan.

Seperti yang sudah kubilang aku bukan orang yang penakut, sebelum ini aku sudah sering ketindihan. Pernah tiga hari berturut-turut meskipun sudah kubaca doa sebelum tidur tapi tetap saja keadaan aneh yang menimpa antara sadar dan tidak itu menimpaku juga. Sampai saat itu teman kampusku aku suruh menelponku dan kuwanti-wanti jangan dimatikan sebelum aku benar-benar tidur.

Pulang malam atau pagi buta berjalan sendirian diantara deretan gedung-gedung kampus yang terkenal dengan kisah-kisah misterinya juga tidak membuatku merinding sama sekali. Bahkan buatku antara malam, tengah malam, siang, atau pagi buta buatku itu sama saja.


Dulu karena aku sedang dalam pikiran yang kacau juga pernah tidur sendirian di teras sebuah rumah dipinggir Jalan Raya Ungaran-Salatiga. Tak ada rasa takut bahkan saat aku dihampiri oleh anak-anak punk. Aku memang selalu percaya bahwa Allah tidak akan mungkin sampai setega itu, dan aku juga selalu berpatokan pada pasrah ngalah karo Sing Kuoso.

Karena itu dengan keadan tidur berdesakan bertiga dengan lampu yang menyala dan pintu kamar tertutup, aku tetap tak dapat tidur juga, rasa takut kalo-kalo aku bocor juga menghantui pikiranku, karena ini aku sedang numpang tidur dikamar temanku. Aku tidak ingin membuat kotor seprei temanku, karena itu aku kembali ke kamarku, aku pamit dan tidur di kamarku sendiri, dengan pintu kamar yang kubiarkan terbuka, sedikit hawa dingin dan ketenangan dari alam tetap bisa kurasakan dan kali ini lampu kunyalakan. Rasanya konyol sekali, tidur di perko sudah pernah, tidur di kampus juga pernah, di SPBU malah sudah terlanjur sering, tapi tidur di kamar sendiri dengan bantal dan guling yang bisa dipeluk serta kasur empuk dan selimut yang nyaman masak aku malah takut.

Pikiran buruk tentang entah makhluk apa yang kulihat itu  ku coba nalar, bagaimanapun manusia hidup di dunia ini memang tidak sendiri, ada makhluk tak kasat mata juga yang diciptakan oleh Allah. Kupasrahkan semua pada Sang Pemilik semesta raya ini. Meskipun begitu sampai pagi menjelang aku juga tidak dapat tertidur.

Jujur sebenarnya memang akhir-akhir ini hidupku sedang horror-horrornya, semua berawal saat setelah aku turun dari Gunung Ungaran, padahal mendaki yang lebih tinggi dari Ungaran aku sudah pernah, bahkan mendaki Ungaran juga bukan yang pertama buatku. Tapi yang kali ini terasa aneh, karena badan terasa sangat berat, kaki untuk melangkah juga sangat berat seperti membawa beban berkilo-kilo. Aku awalnya berpikir kalo mungkin hanya efek kecapekan karena aku bekerja melebihi kapasitas kekuatan tubuhku sendiri. Tapi berhari-hari kenapa tak hilang juga, terbersit dalam pikiran mungkinkah aku di ikuti oleh makhluk halus dari Gunung Ungaran, tapi kutampik juga pikiran itu. Hingga saat aku pulang kerumah dan terbangun dipagi yang buta karena mimpi buruk, aku tidak dapat tidur lagi, lalu aku mengecek sms dalam ponselku. Ada banyak sms, tapi satu sms yang begitu mengejutkan adalah sms dari temanku yang berbunyi bahwa iya benar kalo aku di ikuti dari Ungaran, aku balik sms temanku hingga ingin kutelpon saat itu juga. Tapi mungkin akan mengganggu karena keadaan masih sangat pagi saat itu. Lalu aku bangunkan bapakku dikamarnya, bapak malah nasehatin aku dengan wejangan yang tak terlalu aku perhatikan, intinya aku disuruh lebih rajin Sholat.

Kembali ke Semarang, aku mendapat secarik kertas yang berisi supaya aku melakukan apa yang dituliskan dalam kertas tersebut sebagai benteng untuk diriku biar tidak diganggu. Disitu juga digambarkan makhluk yang mengikuti aku dari Gunung Ungaran, bentuknya hitam, memiliki ekor dan sepasang tanduk, juga membawa seperti tongkat. Jika kata kakak tingkat yang mengurusi teater makhluk itu mengikuti aku saat dipertigaan sebelum belokan ke Kolam Renang yang ada di Ungaran. Memang saat itu aku turun gunung dengan pikiran yang sedang menuntutku untuk dibawah, tidak seperti biasanya aku yang penuh percaya diri. Apalagi saat turun itu aku berbarengan dengan gerombolan kakak tingkat dan disitu juga ada orang yang aku sukai, aku hanya diam, tidak seperti biasanya aku yang cerewet dan sekali ngomong pasti asal yang ada dipikiran dikeluarkan. Tapi saat itu aku hanya diam, rasanya tiap kali akan ngomong aku takut salah, aku takut dibilang banyak tingkah oleh orang yang aku sukai tersebut, aku takut kalo dia berpikiran bahwa aku terlalu arogan dan seenaknya sekenanya sebagai seorang cewek. Intinya aku takut kalo aku salah bicara dan menimbulkan pikiran negarif dia tentang aku. Karena itu aku hanya memilih diam, bahkan dipikir oleh ketua organisasiku tersebut kalo aku sedang marah, sedang ngambek. Mereka semua pada ngobrol dan bercanda, tapi sepanjang perjalanan aku hanya menekuri jalan menunduk dan diam sibuk dengan pikiranku sendiri. Bahkan terkadang suwung. Yang jelas memang aku tidak sedang ingin bicara, apapun.



Sedangkan kalo kakak tingkatku yang dari organisasiku, sebenarnya aku ini sudah di ikuti bahkan sejak survey ke Gunung Ungaran dua minggu sebelumnya. Dimata airnya pun aku sampai muntah-muntah, aku pikir saat itu mungkin karena magh aku kambuh, meskipun diperut tidak terasa sakit, namun hanya tubuh yang sangat berat untuk melangkah. Namun setelah muntah tubuh terasa enteng dan aku berjalan yang paling depan.

Setelah menerima secarik kertas berisi pertintah-perintah yang sebaiknya aku lakukan itu, aku malah hanya slengekan, hal itu malah aku jadikan lelucon. Aku ya tetap menjadi aku yang bertingkah sesukaku. Aku bilang pada makhluk yang mengikuti aku tersebut tidak ada gunyanya mengikuti aku, aku tidak cantik, tidak punya uang juga jadi tidak ada untungnya mengikuti aku. Bukan bermaksud menantang atau menyepelekan tapi memang aku orangnya suka bercanda, untuk mencairkan suasana teman-temanku yang takut. Aku tetap menjadi aku yang meskipun sepenuhnya percaya bahwa hal-hal yang seperti itu memang ada tapi tak kubiarkan rasa takut berlebih malah mengganggu kenyamananku untuk hidup. Kertas tersebut hanya sebatas aku baca isinya dan kumasukan dalam tas, tak satupun ada yang kulaksanakan bukan karena aku tidak percaya tapi rasa malas melakukan itu yang membuat aku mengabaikan kertas tersebut.

Meskipun setelah banyak kejadian gaib yang diceritakan teman-teman dan kakak tingkat diteter itu juga, meskipun sampai setelah bertemu kakak itu dan di nasehatin banyak hal. Bahkan sampai kejadian horror di kampus juga, karena mungkin suro kalo menurut pikiranku. Jadi hal-hal gaib sedang kuat-kuatnya, atau entah apa. Yang katanya makhluk-makhluk dari dunia lain malah sedang banyak-banyaknya menghuni di gedung kampus depan kostku. Aku juga hanya menanggapinya dengan biasa, kuanggap pengalam baru yang menarik dengan kisah horror tersebut, bukan berarti aku tidak percaya, aku memang percaya. Sepenuhnya percaya, tapi bukan berarti itu membuat aku merasa takut dengan kampusku sendiri, tempat aku mengasah ilmu, mencari ilmu dan menjadikan aku berguna disuatu saat nanti.

Banyak cerita-cerita horror yang sudah aku dengarkan, bahkan aku mengalaminya sendiri hari ini, dengan ketindihan dan melihat langsung bayangan hitam bertanduk tersebut. Mungkinkah bayangan tersebut adalah makhluk yang sama dengan yang digambarkan oleh kakak tingkat diteater yang katanya mengikuti aku. Aku tidak ingin membesar-besarkan cerita itu atau takut berlebihan setelah ini. Aku juga tidak ingin menyebut bahwa puncaknya adalah hari ini dimana setelah aku tindihan lalu ada bayangan hitam bertanduk yang menampakan diri didepanku yang jauh sebelumnya memang sudah digambarkan oleh kakak tingkat di teater, tapi buatku hal tersebut kujadikan sebagai teguran dari Allah agar aku lebih mendekatkan diri dengan-Nya, lebih rajin Sholat, dan mungkin juga harus lebih bisa menjaga tingkah lakukuAku tetap harus menjadi aku yang meskipun dimalam hari tapi tetap harus berani, bukan berarti aku tidak percaya akan hal gaib semacam itu tetapi harus lebih santun dalam menghadapinya bukannya menyepelekan dan seenaknya. Dan aku tetap harus menjadi aku yeng percaya sepenuhnya bahwa  Allah akan tetap menjaga aku sekalipun itu dalam tidurku. Aku tetap pasrah dan ikhlas pada kehendak dan ketetapan-Nya atas diriku. Yang jelas semua ini telah menjadi pelajaran yang sangat berharga buatku.



Semarang, 11/11/13

Sunday, November 10, 2013

Sepenggal Kisah

saat ku ungkap apa yang mengendap pada harapku atasmu
disitulah ku sertakan potongan-potongan angan dan ingin
namun sepertinya sudah tertiup angin
tak kau simpan?
padahal aku mengukirnya dengan debaran
sambil terbatuk-batuk menelan cermin hitam prinsip
yang tersenyum sinis menatapku
dan kini semua seakan menghina, mengejek, menghimpit kepalaku
bahkan sepi pun tertawa; ha..ha..ha.. kamu karam !


Itulah puisi yang kutulis setelah aku nembak seorang teman yang aku sukai, sebenarnya bukan nembak juga sih, mungkin lebih tepatnya kalo aku menyebutnya sebuah pengakuan hati, mengungkapkan apa yang aku rasakan, agar hatiku lega. Sehari dia hanya diam ternyata dia memikirkan jawaban atas pernyataanku itu, padahal aku tidak bertanya apa dia mau jadian sama aku.
Waktu itu aku memang sangat kacau, apalagi setelah bilang kalo aku suka dia. Rasanya malu, bukan mati yang aku ingin pada saat itu tapi enyah dari bumi, ditelan bumi hilang tak berbekas, moksa saja.
Tapi ternyata jawaban dari dia sungguh mengejutkan. Dia tanggapi kata 'suka' dan 'serius' itu dengan jawaban 'iya'
Duh senengnya gak karu-karuan sampe rasanya pengen nyebur ke laut aja saking gak ngerti harus percaya apa nggak. Dia yang pendiam tapi kadang gila juga kalo diajak bercanda bilang 'jadian' sama aku.
God, rasanya langit runtuh memelukku saat itu, semua yang kupandang terasa sangat indah. Maaf jika ini lebay, tapi memang begitu yang aku rasakan.
Dan selanjutnya kisah ini berujung pada seperti apa biar aku rahasiakan saja, atau akan aku kisahkan di entri yang akan datang, entahlah.
Bagiku yang ini cukup sekian.

Ingatan tentang Wonosari


Jika teringat tentang Wonosari Gunungkidul, ingatanku berlari pada masa yang begitu penuh memberi luka. Teringat pada teman masa kecil yang dengan kaki tanpa alas berlari mengejar mobil yang membawaku pergi. Dengan air mata berleleran dihari yang beranjak sore. Aku yang melihat dari kaca mobil hanya mampu menggigit bibirku, sambil menahan rasa nyeri luar biasa dalam dada. Tidak dapat berbuat apa pun, selain merasakan kelopak mataku yang ikut memanas, dan akhirnya dom dimataku yang kutahan-tahan pecah juga. Membanjirkan air mata, sesenggukan aku menahan sesak dihati yang begitu sakit.
Hingga jarak menelan tubuh kecil berseragam SD lusuh itu, sedang mobil tetap dengan acuhnya melaju. Menghadirkan efek mati dihati.
Kini setelah bertahun-tahun akhirnya ku dipertemukan dengan rupa Wonosari lagi, tempat bersemayamnya kenangan manis bercampur pahit,
namun dimanakah kamu sekarang?





Semarang, 3 Oktober 2013

Melupakan


'dan mungkin detik yg dicumbui diam, mjd jeda diantara aq dan qm,, rasa'y spasi ini bgtu mnyiksa batin.. tp jika itu menjadi bagian yg qm garis bawahi,, aq hnya bisa mngikuti,, tidak apa qm ulurkan gandenganmu, qm lepas pun tidak apa, tp jika qm lihat kesamping, aq tetap disitu'. Menatap layar HP dengan sayu kubaca dalam hati sms-ku itu, sms yang kukirim diakhir Bulan Mei, sudah 5 bulan kadaluarsa tapi tetap kusimpan. Bahkan kalimat dalam kata itu pun tetap menjadi halauanku sampai sejauh ini. Meski raut mukaku sudah berganti ribuan kali, namun rupanya hatiku tak pernah berganti tempat walau se-inci pun.
Kusandarkan punggungku di pintu kamar kostku sambil menatap langit malam.
Perlahan kueja sebuah kata
Me-lu-pa-kan


untuk yang berinisial B
Semarang, 19 September 2013

Biarlah

Sadar kalo kenyataannya aku diselingkuhipun tak terasa sakit sama sekali buatku. "Sebenarnya hatiku sedang berada dimana?" teriakku keras dari lantai dua kamar kostku. "Atau jangan-jangan aku sudah tidak punya hati? Kenapa tak terasa sakit? Tak lagi punya perasaankah aku?" kalo yang ini lirih saja aku ucapkan, berharap tidak mengganggu penghuni kost yang lain. 
Dan bukannya tidak mungkin kalo hatikupun sendiri sedang selingkuh sekarang. LDR bukan hal yang mudah, kami sama-sama menyadari itu. Sambil kutengok langit yang malam ini sepi bintang gemintang dan bulan yang tak juga nongol, kulanjut chatku dengan pacarku yang sedang berada di Sragen, kota kelahiranku.
Biarlah....




Semarang, 18 September 2013

Harga Diri

Sudah sejak kapan aku ngetik sms tanpa ada yang kukirim sama sekali, akupun sudah lupa tepatnya. Hanya untuk sebatas melegakan hatiku saja. Sambil setelah itu kubayangkan kamu membaca sms ini, lalu kureka-reka juga reaksimu setelah itu. Aku memang tak pernah punya nyali lagi untuk mengirimimu sms. Bagiku aku sudah tak lagi punya muka untuk itu. "Huft..." kuhela nafas demi sedikit melegakan rongga dadaku yang selama ini begitu sesak oleh rasa sakit.

Jika hatiku yang hancur berkeping-keping, setiap harinya ribuan kali juga tak apa buatku, tetap aku akan dengan mudahnya memungutinya sendiri satu persatu, kutata hingga terbentuk kembali. Tapi ini yang hancur adalah harga diriku, rasanya bahkan untuk berdiri pun aku lupa caranya.

Kuabaikan sebaris nama yang muncul berkedip-kedip dilayar HP yang juga ikut tergeletak disampingku. Semua perasaan sakit itu memapras habis gairahku untuk hidup. Lalu kututupi mukaku dengan bantal, berharap dengan begitu aku bisa mati saja.
Tapi kurasa tidak.



Semarang, 18 September 2013

Nisan Terabai

"Cucuku Jenguklah aku" ratap satu nisan yang di sampingnya tertancap bendera merah putih dari kayu. Nisan disebelahnya hanya tersenyum-senyum sembari menatap lalu lalang kendaraan yang ngebut di seberang komplek pemakaman umum tersebut. Setelah itu terkaget karena ranting kering jatuh menimpanya tanpa aba-aba terlebih dahulu. Meskipun siang dengan  matahari menyengat tempat itu tetap teduh karena ditumbuhi pohon-pohon yang rindang lagi angker. Begitu deskripsi orang-orang yang tinggal disekitar situ. Makam yang batu nisannya telah hilang dan ilalang liar tumbuh dengan makmurnya pun menyahut "Sudahlah" hanya itu tanggapannya. Sedang nisan yang berada dipaling pojok hanya tertawa-tawa parau dengan senyum yg menyeringai. Langit senja mulai menampakan keanggunan-Nya dengan semburat langit yang begitu indah, menurut nisan yang umurnya baru dua minggu "warna langitnya seperti es cream vanila bercampur strawberry" ungkapnya, meski setelah itu dia murung karena sesudah itu adalah langit malam kelam. Mereka dengan banyak pikiran masing-masing. Mereka.....
Sejejeran nisan terabai.




Semarang, 22 September 2013

Biarkan Aku

Biar aku berpuisi disini
Sekedar menghalau galau yg merantau risau
Biar aku berteriak disini
Hingga riak sesak tak lagi menyesak diotak
Biar aku menangis disini
Hingga air mata luka menjelma parodi tawa
Biar aku . . . ahhh sudah . . . .
Doa kan saja lah . . . .




Semarang, 11 September 2013

Divisi ku Divisi Jurnalistik


Divisi Merpati dalam keluarga besar Exsara (Ekspedisi Sejarah Indonesia) merupakan divisi kepenulisan a.k.a jurnalistik yang setiap bulannya menerbitkan Buleexs (Buletin Exsara).
Sejak pertama diperkenalkan pada Exsara aku memang sudah sangat tertarik, pada awalnya malah Exsara itu aku pikir suatu organisasi jurnalistik karena saat itu lah pertama kali aku memegang Buleexs yang didalamnya ada puisi yang ditulis oleh ketua Exsara sendiri. Disitulah awal ketertarikanku pada Exsara, dan sudah kuputuskan jika aku masuk Exsara aku inginnya masuk Divisi Merpati.
Saat hanya ngobrol biasa dengan anggota Exsara (saat aku belum jadi anggota Exsara) tiap kali ditanya ingin masuk apa pasti jawabanku adalah Divisi Merpati. Bahkan saat Pedas (Pendidikan Dasar) waktu itu juga secara tegas aku pasti menjawab ingin masuk divisi penerbitan ini. Dalam kumpul bersama membahas segala sesuatu semua bahkan ditanya satu-satu ingin masuk apa, kebanyakan mereka masih bingung dan tidak menjawab, dan kuamati jika pun ada yang menjawab pasti jawabannya ingin masuk Divisi Rajawali alias divisi tentang kepenjelajahan. Banyak sepertinya yang memang sengaja menghindari masuk Divisi Merpati.
Karena mungkin bagi mereka terlihat ribet, repot, memusingkan, jika tugas kuliah saja sudah sangat memusingkan ditambah Divisi Merpati yang juga harus menulis, tentu mereka sudah merasa malas duluan, dan lebih memilih Divisi Rajawali yang menjelajah memilih tempat-tempat yang akan jadi lawatan kita. Karena aku sendiri juga sempat berpikir seperti itu, tapi dengan aku yang memang suka menulis jadi kupilih divisi ini tiap kali disuruh mengacungkan jari saat ditanya masuk divisi apa yang di inginkan.

Awalnya saat dimasukan dalam divisi merpati, bahkan sebagai wakil ketua divisi aku cukup ngeri juga karena divisi ini dalam setahun yang lalu boleh dibilang tak ada hasil kerjanya (dalam hal ini buleexs).


Buleexs Merpati Press hanya terbit saat itu saja, rasanya saat pertama kali aku pegang Buleexs ya saat itu yang terakhir juga. Setahun hanya sekali ya saat perkenalan itu saja, setelah itu tidak pernah terbit lagi. Mungkin karena kekurangan anggota, seperti yang kudengar anggotanya hanya dua orang, meskipun sebenarnya banyak tapi kebanyakan mungkin sibuk jadi tidak sempat mengurusi Buleexs. Tapi kepengurusan yang baru ini anggota kami seluruhnya ada 8 orang ditambah satu penasehat. Berhasilah Divisi Merpati bangkit dari mati suri dan Buleexs bisa terbit tiap bulan.

Dengan semangat, senang hati dan kerja tulus menghadirkan Buleexs tiap bulannya maka kami bekerja dalam divisi ini. Mencintai Buleexs sepenuhnya dan hati merasa begitu senang tiap kali terbit adalah semangat kami yang tidak pernah mati. Jika dulu Divisi Merpati jadi divisi yang paling tidak kelihatan hasil kerjanya, maka ternyata sekarang Divisi Merpati merupakan divisi yang paling kompak. Tuntutan pekerjaan mungkin salah satu sebabnya, jadi tiap bulan dua kali bahkan lebih kita adakan pertemuan untuk membahas penerbitan Buleexs, kadang setelah pertemuan rutin Exsara selesai atau kadang memang kita sendiri yang mengadakan di kucingan. Kekompakan ini semoga selalu terjaga dalam semangat divisi khusus.


Kekompakan yang tidak akan ada habisnya hingga nanti saat tugas kami purna, aku yakin semua itu akan menjadi kenangan yang sangat kami rindukan.
Mencipta dan percaya bahwa tulisan itu abadi juga menjadi nyawa tersendiri bagi kami. Semoga ini semua juga bisa menjadi abadi dalam diri kami, menjadi kenangan indah suatu saat nanti, dan menjadi bermanfaat bukan hanya bagi kami tapi bagi keseluruhan.

Intan_Div.Merpati

Saturday, November 9, 2013

Aku, Hasratku dan Petualanganku

Aku diolah dengan berbagai keinginan, hasrat serta proses pencapaian yang tak pernah kuduga, bukan sekedar ujungnya tapi saat proses pencapaian tersebut. Hingga angan-angan yang ada membentuk kekuatan tersendiri yang entah. Terkadang mengantarkanku pada bosan sesaat akan hidup atau jenuh luar biasa yang memang menuntutku dalam menyalurkan angan-angan tersebut.



Aku yang terlahir sebagai Si Pemanah, Sang Sagitarius yang gemar pada petualangan bahkan yang menjurus ekstrim tentu tak mengherankan jika selalu berusaha memenuhi hasrat akan petualangan tersebut. Perjalanan ke tempat-tempat yang belum pernah kaki ini menginjakkannya atau dalam pengembaraan yang mampu membawa pikir menjadi musafir bahkan tanpa sendal jepit.



Terkadang ini membuatku tersenyum juga, apakah bahkan dalam pemaknaan langkah hidup sekalipun aku juga memperhitungkannya sebagai petualangan yang haruslah seperti bianglala dalam kepala, kepalaku sendiri. Inikah aku? inikah yang aku mau? inikah yang harus aku mau? dan dari inikah semua yang harus aku lakukan?



Aku seperti puluhan tatapan kalian dan aku menyambungnya dalam kepalaku menjadikan itu sebagai pondasi jembatan, yang akan menjembatani aku pada petualanganku. Mereka petualangan-petualangan yang diseberang jembatan itu melambaikan tangan mengajakku kesana dan saat aku selesai membangun jembatan menuju mereka maka mereka akan merentangan tangan. Terkadang memelukku hangat, dengan harum wangi dan manis membuatku tak capeknya melengkungkan sabit dibibir. Atau terkadang dalam pelukan itu juga terdapat pisau-pisau yang mengirisi aku hingga kulit yang terdalam. Terkadang bukan pelukan yang kudapat tapi melempar aku pada jurang yang begitu pekat gelap. Namun terkadang setelah itu mengajakku berlari pada taman begitu rupa tak terbagayangkan. Atau terkadangan percampuran dari semuanya. Apapun itu tak pernah kusalahkan mereka, karena memang begitulah watak yang dinamakan petualangan. Tak harus berawal manis berujung manis, karena pasti malah akan menghempaskanku pada bosan yang menyudahi aku untuk jatuh cinta pada petualangan tersebut.

Sedikit catatan ini adalah sedikit tentang pendefinisian aku beserta hasrat akan petualangan-petualangan yang aku.


Failed Mt. Lawu 3265 mdpl


Ini adalah foto bersama saat kami di basecamp Cemoro Kandang 29 Maret 2013. Sesaat sebelum kami memulai perjalan menuju Puncak Gunung Lawu 3265 mdpl. Perjalanan yang jujur saja kutempuh dengan perjuangan yang luar biasa. Dua kali aku muntah-muntah karena magh yang memang menjadi penyakit kambuhan buatku. Dan dari judulnya saja sudah jelas bahwa aku gagal mencapai puncak Lawu, terhenti di Post 3 lah kaki ku, kekuatanku sudah menghilang dari tempatnya, dan hanya mampu mendekam dalam tenda ditemani temanku.

Kecewa? Jelas luar biasa kurasakan namun aku tidak ingin memaksakan tubuh yang memang benar-benar belum mampu ini. Tapi dari situ aku berjanji akan mencapai puncak Lawu suatu saat nanti. Sedikit tips mulailah mendaki dari Basecamp Cemoro Sewu di Magetan saja, karena dengar2 dari sana lebih enak tracknya tidak terlalu berat, lalu bisa turun melalui jalur pendakian Cemoro Kandang. Hahaha... mungkin saat itu kami salah memilih jalur. Tapi tak apalah mendaki bersama kakak tingkat tak pernah aku sesali, karena menjadi pengalaman yang luar biasa nano-nano. Solidaritas mereka, guyonan bersama, perhatian antara satu sama lain, kekonyolan yang ada, sifat kekeluargaan dan yang jelas aku jadi nambah teman nambah kenalan juga nambah koneksi.

Tak banyak yang ingin aku tulis, malah saat belum selesai kupublikasikan tulisan ini aku sudah ingin berganti dengan bercerita tentang pendakian pertamaku di Puncak Ungaran sebelumnya, karena sudah dua kali aku mencapai Puncak Ungaran 2050 mdpl. Namun biar kusimpan dulu yang itu.

Mungkin tulisanku yang ini tidak begitu runtut, jujur saja aku masih meraba-raba bagaimana cara penulisanku, motifnya, gaya penulisan yang sepenuhnya ala aku sendiri, karena aku percaya setiap penulis memiliki cara penulisannya masing-masing, memiliki gaya mereka sendiri. Hemb... Kalo aku mungkin biar mengalir menyampaikan segala yang hati ucapkan saja yaaa??? hahahaha....

Saat TM di kost kakak tingkat, waktu itu malam, bahkan untuk kesana saja kami dijemput. Rasanya tidak enakan orang jawa lah yang aku rasakan, merepotkan, sungkan, gak enak, padahal baru awal tapi aku sudah merepotkan. Karena pada saat itu juga kami masih belum akrab betul, kenal juga baru kali itu. Tapi nekat saja ikut pendakian acara rombel mereka. Jujur mendaki Gunung Lawu itu juga sebenarnya setengah hati, demi menemani temanku, atas bujukan dia aku mau mengikuti pendakian. Gunung Lawu yang ada di Karanganyar dan Magetan, perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur ini dari kota kelahiranku Sragen selalu terlihat sangat agung dan indah, namun jujur saja sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bisa berada dipuncaknya. Kalaupun aku suka kesana dulu juga paling mentok ke Grojogan Sewu Tawangmangu, Karanganyar di Jawa Tengah ataupun ke Telaga Sarangan, Magetan di Jawa Timur. Namun kali ini aku akan kesana, mendaki dengan upaya dan kekuatan yang kumiliki. Mampukah? Jawabannya sudah diatas.



Aku masih ingat hari Jumat kami berangkat, Pukul tujuh pagi seharusnya, tapi karena kebiasaan jam ngaret yang seharusnya jangan dilestarikan tapi tetap membudaya alhasil jam sepuluhlah kami memulai perjalanan dari Kost Punokawan di GunungPati Semarang menuju ke Gunung Lawu di Karanganyar. Pertama kami persiapkan botol-botol kosong yang kami remas-remas agar 30 botol tersebut mampu masuk semua dalam carrier. Lalu di lanjut dengan berdoa bersama, perjalan kami mulai dengan semangat.

Namun demi melaksanakan kewajiban sebagai orang Islam saat adzan berkumandang, kami meminggirkan sepeda motor dan memarkirkannya di Masjid Agung Salatiga. Selain itu juga kewajiban para laki-laki di hari jumat yaitu Sholat Jumat. Karena memang rombongan kami paling banyak adalah kaum adam tersebut. Seusai sholat dan beristirahat perjalanan pun dilanjutkan melewati kota Boyolali, sedikit arah Klaten, lalu Sukoharjo, Kartosuro dan makan kucingan bersama di samping Stadion Manahan Solo.

Memasuki kawasan Karanganyar mendung yang memang sudah memayungi sejak siang pun menampakan hasilnya, yaitu hujan nun lebat. Berhenti sebentar di sebuah SPBU didaerah entah tak tau namanya untuk sholat, mengisi amunisi motor dan juga memakai mantel alias jas hujan. Setelah itu melanjutkan perjalanan kembali dengan udara dan hawa yang mendingin karena sepeda motor telah melaju didaerah yang memiliki jalanan berliku naik turun dengan pemandangan pedesaan dikanan-kiri.

Sampai di Basecamp Cemoro Kandang, waktu sudah magrib, kami beristirahat dan badan tak cukup kuat menerima air yang dingin minta ampun karena itu tubuh terkena air hanya untuk wudhu dan menggosok gigi. Lalu dilanjut mengobrol dan tidur di mushola dengan gigi yang saling beradu karena dingin. Berselimut SB milik kakak tingkat ku mencoba memejamkan mata.

Paginya kami sarapan roti dan melakukan doa bersama lalu melangkahkan kaki memulai pendakian. Di sepanjang perjalan awal pun badan terasa sudah sangat berat karena kondisi perut yang terserang magh terasa begitu sangat sakit bahkan untuk bernafas sekalipun. Kakak tingkat mencoba selalu menyemangati dengan kondisiku yang seperti ini, loyalitas dan perhatian mereka yang sungguh besar sebenarnya cukup membuatku senang sekaligus tidak enak hati karena sudah sangat menyusahkan mereka. Hingga muntah muntah juga tangan kakak tingkat tak lepas dari leher belakang untuk sekedar melegakan seluruh isi perut yang harus aku keluarkan dari mulut. Namun meski begitu aku tetap ingin berjuang sampai atas, dan ternyata setelah muntah memang badan terasa sangat enteng. Berlari saja sudah mampu, magh diperut sudah tidak terasa dan aku merasakan sudah sehat. Hingga mencapai post tiga. Kami putuskan untuk menginap bermalam karena hujan yang tak henti-hentinya.

Dari post tiga saat hujan mereda, terlihat kota-kota dibawah kaki Gunung Lawu. Lampu-lampu yang menyala bagai bintang namun berada dibawah kami, seperti para bintang gemintang itu berpindah kebawah. Ada yang runtut searah jalan, mungkin seperti ular yang dipakaikan lampu-lampu kecil diselurh tubuhnya. Ada juga daerah yang gelap sebagian, lalu ada lampu-lampu yang bergerombol dibagian yang lain. Intinya aku begitu takjub memandang pemandangan tersebut. Hal yang tidak aku temukan saat pendakianku yang pertama di Gunung Ungaran, padahal saat itu juga mendaki di malam hari, tapi karena pendakian yang dilakukan dengan sangat terburu-buru dan tanpa menikmati pemandangan seperti ini jadi pemandangan seperti ini tak sempat kudapat di pendakian ku yang pertama.

Paginya entah jam berapa yang jelas matahari belum muncul menghangatkan dan gelap masih menyelimuti, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Namun badanku terasa begitu berat bahkan untuk menopang kaki ku sendiri terasa tak mampu. Dalam perjalanan ke post 4 pun aku tumbang, muntah-muntah lagi jadi diputuskan untuk aku tidak usah melanjutkan perjalanan dan kusetujui usulan itu, aku tidak ingin lebih merepotkan lagi dari ini jika aku memaksakan diri. Ditemani temanku yang juga tidak kuat, kami berdua pun tidur dalam tenda dan SB di pos 3.

Hingga pagi menghangatkan tenda kami, aku bangun lalu membuat sarapan mie instan dengan kompor gas kecil yang sebelumnya diajarkan oleh kakak tinggat cara menggunakannya sebelum mereka pergi melanjutkan perjalanan ke Puncak Lawu. Meski pada saat itu aku hanya sayup-sayup mendengarkan karena badan yang lemas, namun aku rasa aku cukup bisa menggunakan kompor gas untuk pendaki ini.

Memandang pemandangan yang tadi malam kami lihat, berbeda sekali meski kami melihat dari sudut yang sama. Gumpalan awan dengan sinar matahari yang hangat, meski sang matahari itu sendiri tidak terlihat karena tertutup bukit namun pemandangan ini juga Subhanallah dipandang. Sambil merasakan betapa Agungnya Tuhan Yang Maha Kuasa, tak terasa mata menitikkan air juga. Dibasahi oleh rasa haru luar biasa, rasa syukur mampu sampai di titik ini ternyata menghapus rasa kecewa yang sebelumnya sampai terbawa dalam mimpi karena gagal sampai Puncak Hargo Dumilah. Namun meski begitu jika ada kesempatan lagi aku pasti akan mendaki lagi gunung ini. Entah kapan namun perjuangan dan petualanganku pasti akan mengantarkanku juga ke puncak-puncak tertinggi negri ini, juga ke tempat-tempat yang belum kukunjungi. Semoga Engkau selalu meridhoi ya Robb Pemilik semesta raya ini.