Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, November 25, 2015

Selamanya Kawan

Beranjak kau pergi tinggalkan masa-masa bersama
Kau pergi berlari sesaat tinggalkan semua
Kawan perjalananmu akan sepi tanpa kawan
Langkahkan lah perlahan
Raihlah mimpimu dan rebut kemenangan
Aku tak akan pernah terhenti
Tuk terus semangati diri
Tetaplah berjalan dan tetaplah perlahan
Ku akan terus menunggumu
Hingga semua kan seperti dulu
Selamanya kawan*
*Selamanya Kawan lagu After School Before Sunset



Ada satu masa dimana semua yang selalu bersama tidak lagi bersama. Mencari jalan masing-masing atau harus berpisah karena suatu keadaan. Mungkin begitulah yang menggambarkan keadaan sekarang ini. Aku merindukan kalian, kawan-kawan seperjuanganku.

Mengingat kita sekarang harus mencari jalan masing-masing, mencari kesuksesan kita masing-masing. Aku hanya berharap semoga kalian tidak melupakan semua yang pernah kita lewati bersama. Malam-malam gila yang melelahkan, begadang main poker disela-sela tugas mengerjakan pembuatan video KKL. Tertawa bersama sampai perut benar-benar kaku, di malam-malam saat kalian berjoget di stand gila Bulan Pahlawan. Atau juga saat kita menghadapi masalah-masalah pelik. Tawa canda yang tak kan pernah terlupa. Semoga kalian masih menyimpan kenangan tersebut dalam ingatan kalian dengan baik. Masa-masa yang membuat masing-masing dari kita menjadi lebih dewasa dan semakin dewasa.

Jika terlupa, maka ingatlah kembali kawan. Ingatlah kita pernah bersama menempuh perjalanan-perjalanan yang jauh menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah sama sekali kita datangi. Ingatlah kita pernah bersama-sama bercanda dalam perjalanan tersebut, kita pernah kedinginan karena kehujanan bersama. Ingatlah kita pernah berebut jas hujan bersama, sampai-sampai aku harus membeli jas hujan baru di Wonosobo. Ingatlah juga saat kita tertidur di kursi taman depan Grand Mall Solo. Atau makan nasi kuning di pinggir alun-alun Blora. Ingatlah itu kawan, kita pernah merasakan itu semua bersama. Merasakan pantat-pantat kita panas karena menempel di atas motor dari Semarang melintasi Bali hingga keliling Pulau Lombok. Sungguh petualangan yang tak pernah kulupakan. Ingatlah bahwa kita sudah seperti saudara saat kita pergi pada suatu tempat dan kita pasti memiliki tempat berteduh atau sekedar makan gratis. Ingatlah kawan The Rampoxs J

Ingatlah juga saat menangis dan tertawaku menjadi satu dalam suatu keadaan yang sangat ingin aku skip dari sejarah kehidupanku. Tapi kalian jelas merekam semua itu dalam ingatan kalian masing-masing, jadi pahit manis semuanya akan tetap aku kenang dan tak mungkin bisa satu pun ku hapus. Bagiku semua yang pahit dulu, saat ini sudah menjadi cerita lucu walau juga memalukan. Ingatlah kalian kawan saat bercanda kalian sudah sangat keterlaluan, tapi aku tidak akan marah. Karena bully tanda sayang, iya kan kawan? Jadi, meskipun aku pernah sampai akan dipenjarakan oleh suatu kekonyolan, disitu kalian yang akan merubah tangis sedihku menjadi tangis haru biru bahagia. Dengan cara kalian masing-masing. Aku bersyukur memiliki kalian kawan, dan semoga juga sebaliknya. Terima kasih atas masa yang penuh bahagia, tawa maupun air mata akan menjadi kenangan yang membuatku kaya.

Ingatlah kawan, saat aku benar-benar terbuang karena satu kekonyolan yang dinamakan cinta. Saat aku benar-benar jatuh, selalu ada kalian yang rela mengajakku berdiri walau sambil memarahiku karena kebodohanku sendiri. Aku bersyukur atas itu semua, kalian kawanku, sahabatku, mBolank J

Semoga kalian tak pernah melupakan semua itu. Masa dimana kita pernah bersama-sama tidur dalam satu kamar yang sempit, karena kelelahan begadang membuat video KKL. Walau aku selalu menjadi cewek satu-satunya. Tapi tak menjadi penghalang kebersamaan kita kawan. Sampai perut terasa kembung dan paginya tetap harus bangun dengan badan yang remuk, ditambah ternyata video kita tidak dapat diputar. Disitu kita pernah sama-sama merasa tertusuk, merasa wajah tertampar oleh segala orang yang telah mengamanati kita tugas tersebut. Tetapi dengan rangkulan tangan kita masing-masing, kita berdiri bersama. Kita bersama menghalau galau dan berjanji bahwa suatu hari kesalahan tersebut akan kita tebus. Itu semua menjadi pelajaran yang sangat penting bagi kita.

Semua malam-malam yang pernah kita lewati dengan begadang bersama sampai pagi, masih tersimpan baik dalam stand-stand Bulan Pahlawan yang kita isi dengan canda tawa canda tawa dan begitu seterusnya. Dalam embun pagi yang menempel di rumput. Juga dalam lingkar bulan yang diarak awan-awan malam. Indah dalam bingkai ingatan. Ingatlah juga kawan, saat rapat-rapat membosankan mengembungkan perutku karena harus duduk di lantai yang dingin hingga malam menghampiri dini hari. Tapi ingatlah juga, saat kita berangkulan dan berjingkrak bersama hingga keringat yang mengucur menjadi satu. Bernyanyi hingga parau. Kita pernah merasakan semua itu kawan.

Mengingat kalian yang sampai dengan rajinnya memaksaku makan, menyeretku menaiki motor, kita bertiga melaju. Tak peduli orang-orang yang melihat akan mengatakan cabe-cabean, kita hanya tertawa. Buat kalian yang penting aku tidak lupa makan, mengajakku ke warung, agar asam lambungku yang biasanya naik tidak lagi naik. Kalian yang mengajarkanku serunya ruang karaoke, kalian yang mengajarkanku bahwa aku juga bisa berteman dekat dengan kawan-kawan sesama cewek. Dan kalian yang juga sering menyeretku menggosipkan segala hal tentang orang lain. Meskipun aku lebih sering hanya mendengarkan, tapi kalian yang mengajarkanku tentang banyak hal membuatku mengerti hidup tak hanya tentang hitam dan putih saja. Kalian yang menganggapku ada, memberikanku tempat diantara kalian. Kalian yang membelaku dan bersama menghadapi berbagai picik pandangan orang lain. Ingatlah kalian, Cocomers J

Ingatlah juga kawan, kalian yang pernah satu piring denganku. Kita masak bersama, lalu dengan tawa kita makan bersama. Kesederhanaan yang tak pernah ternilai dengan apapun. Meskipun lauk yang ada hanya ala kadarnya tapi tangan-tangan yang saling mengambil bersama menjadi penikmat yang kenangannya sampai sekarang masih sangat ingin bisa aku ulangi.

Ingatlah kalian yang pernah satu ruang denganku, bahkan duduk disampingku. Yang pernah aku coreti tangannya, karena bosan mendengarkan dosen memberikan materi Sejarah yang kalian balas dengan menguap. Atau terfoto wajahnya saat ketahuan tertidur. Yang membalas keusilanku dengan menyembunyikan sepatuku dilemari depan, atau buku binderku dibawah bangku, atau malah tasku yang kalian masukan ke dalam tas kawan yang lain. Ingatkah itu kawan? Semua itu masih terekam baik dalam ingatanku, bahkan dalam buku binderku pun masih banyak coretan-coretan usil kalian.


Aku akan mengenang semuanya baik-baik, kalian yang pernah akrab, kalian yang pernah mesra. Semoga tak akan pernah terlupa akan kebersamaan kita. Dan jika keberuntungan masih berada di pihakku aku juga berharap semoga kita bisa mengualangi semua itu dengan kebersamaan yang jauh lebih indah lagi. Semoga kita bisa menemukan kesuksesan kita masing-masing. Pada akhirnya kalian yang tidak mampu aku sebutkan satu per satu, semoga kalian selalu mengenang semuanya dengan baik.

Batang, 25 November 2015






Monday, November 23, 2015

Hidup Diantara Langit


Hidup diantara langit, dengan segala kemewahan. Sedangkan aku dengan pakaian oblong dan lumpur tanah yang menempel di sendal jepitku hanya bisa tersenyum. Mereka juga tersenyum menyapaku tulus sekali, aku bersyukur. Sungguh aku bersyukur atas senyum seramah itu walaupun mereka terlihat memakai jubah-jubah emas dan sepatu tinggi yang jika aku harus melihat wajah rupawan mereka aku harus mendongak.

Mereka putih, dan benar saja tebakanku, mereka bermandikan berliter-liter botol susu. Aku tersenyum lagi memandangnya. Lalu air hujan mengguyur, mereka berteduh dalam rumah beratap bintang-bintang keemasan yang tersusun membentuk lembayung indah sekali. Aku tetap berdiri di tempatku, kubiarkan air hujan membasahi tubuhku. Mereka heran memandangku sambil lekuk sabit manis tersusun di bibir mereka, mereka mengajakku ikut berteduh. Karena ini rumah kami bersama, aku juga tahu itu. Tapi mereka tidak tahu, bahwa dengan air hujan inilah caraku mandi. Lalu senyum manis itu berubah masam, mereka bukan lagi heran tapi mulai menganggapku aneh. Aku hanya tersenyum kecut, malu bercampur tidak enak hati. Tapi memang beginilah caraku mandi.

Setelah hujan, angin mengantarkan dingin yang gigil. Dalam rumah bintang-bintang itu, mereka menyalakan perapian. Lalu satu per satu menyumbangkan kayu bakar agar perapian itu tetap menyela. Aku juga harus menyumbang kayu bakar, mereka bilang ini demi kehangatan bersama. Aku mulai bingung, aku tidak memiliki kayu bakar. Mereka tersenyum memaklumi, tapi hati kecilku tersenyum mencibir itu tidak adil. Nuraniku mulai menceramahi, aku tidak ingin kalau sebentar lagi gantian pikiranku yang mencibir diriku sendiri. Jadi kuputuskan untuk mencabut salah satu tulang ditubuhku untuk perapian itu. Mereka hanya tersenyum kasihan dan bilang demi kehangatan bersama. Tapi aku bilang, ini demi kebersamaan yang hangat. Kami tersenyum bersama-sama.

Awan-awan putih membentuk jalan diantara toko-toko yang bercahaya. Sambil bercanda-tawa mereka memasuki tiap toko itu, lalu keluar dengan membawa kantung-kantung yang berisi berbagai jenis belanjaan. Aku yang tetap berjalan di belakang mereka pasti hanya akan berhenti di depan toko menunggui mereka keluar dari toko, berjalan sebentar lalu memasuki toko lain, begitu seterusnya dan aku tetap setia pada batasku yang hanya pada depan toko saja. Menunggui mereka. Bisa berjalan diatas jalan awan-awan putih saja sudah menjadi senyum tersendiri untukku meskipun kulalui hanya dengan sendal jepitku yang disudut-sudutnya berwarna coklat.

Setelah sampai kembali di rumah bintang-bintang, kami mengitari sebuah meja makan nan besar. Diatasnya berisi berbagai macam hidangan yang begitu kumplit. Sebelum makan mereka mengisi sebuah nampan dengan koin-koin emas. Tiba pada giliranku, nampan yang setengah penuh tersebut hanya mampu aku pandangi, lalu dengan tersenyum kucabut lagi tulangku untuk mengisinya. Kemudian kami menikmati berbagai macam hidangan tersebut bersama-sama.

Begitu setiap harinya, hingga kupandangi tulang di tubuhku hilang satu per satu. Aku mulai bingung, kuhitungi hari kapan aku akan dipulangkan kembali ke tempatku. Pada jalanan yang terik terpanggang matahari hingga hitam legam, pada nasi yang tergelar di selembar kertas namun dapat kumakan dengan nikmat tanpa harus mencabuti tulangku. Juga pada rangkulan tangan-tangan yang berwarna-warni mengajakku melonjak tanpa takut apapun. Tak perlu harus memikirkan berbagai ketinggian yang tak mampu kugapai. Disini. Aku sadar ada batasan yang tidak mungkin aku mampu lewati sekalipun aku hidup bersama mereka. Aku tetap saja tanah.




Saturday, November 7, 2015

Puasa Nulis


Statusku ini menjadi penanda bahwa aku sudah sangat ingin menulis blog, tapi entah rindu belum juga terumahkan.
Kesibukan mengajar merenggut segala niat untuk merumahkan segala rindu akan kata.
Tapi disela-sela jam mengajar kali ini kusempatkan untuk menuliskan segala entah yang antah brantah ini.

Sekedar mengisi kekosongan.


Friday, July 17, 2015

Tangan Ibu

Tubuhnya melayang tepat di atasku dan hampir membuatku memekik saking kagetnya. Tapi dengan sangat cepat dia menyentuh pipiku dengan tangannya yang sedingin es. Makhluk itu, iya aku mengingatnya. Rambutnya yang kusut dan tubuhnya yang bau anyir tak mungkin bisa aku lupakan. Sosok yang dulu begitu akrab denganku tiap hari, dengan wujud yang bisa mambuat anak kecil manapun akan menangis bahkan orang dewasa juga akan lari ketakutan. Tapi tidak untukku, karena aku memang mengenalnya. Dia ibuku.


Kenapa ibu menemuiku lagi, seingatku ibu tiba-tiba menghilang saat aku masuk bangku sekolah menengah pertama. Waktu itu aku benar-benar kehilangan sosok ibu, meskipun kenyataannya aku memang sudah kehilangan ibuku saat dia melahirkanku. Iya ibu memang meninggal saat melihirkanku, tapi sejak aku mulai di sekolahkan di taman kanak-kanak aku mulai bisa melihat wanita yang berdiri di pojok ruangan memperhatikanku. Dengan baju putihnya yang terkena bercak darah dan wajahnya yang pucat dia akan tersenyum tipis jika aku balik memandangnya. Wajah itu sangat mirip dengan foto yang ayah perkenalkan padaku bahwa dia ibuku. Meskipun dalam foto wajah ibu terlihat segar ceria dengan senyumnya yang mengembang lebar memeluk ayah. Tapi memang tidak salah lagi bahwa dia ibuku.

Hanya aku yang bisa melihatnya sehingga teman-temanku yang lain menganggapku aneh, bahkan ayah selalu memarahiku tiap kali aku berbicara tentang ibu. Jadi kusimpan sendiri rahasia bahwa aku bisa melihat ibu, karena aku tidak ingin dijauhi teman-temanku dan dianggap aneh oleh mereka. Aku juga tidak ingin dimarahi ayah dan ibu tiriku.

Ibu memang muncul hanya saat-saat tertentu saja, seperti saat aku pertama kali masuk sekolah, saat aku menangis dan saat aku sedang terkena masalah. Atau saat aku mendapat menstruasi pertamaku. Waktu itu kulihat ibu berdiri menghadap tembok sambil menjilati pembalutku, mulutnya penuh darah segar dan membuatku hampir memuntahkan seluruh isi perutku. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi membuang pembalut di tempat sampah kamar mandi, aku akan mencucinya bersih terlebih dahulu lalu membungkusnya untuk selanjutnya kubuang di kali. Kuanggap itu sebagai nasehat dari ibu agar aku tidak seenaknya membuang barang pribadiku. Ibu memang selalu memperingatkanku dengan caranya sendiri.

Ibu tidak pernah berbicara sedikitpun padaku. Saat aku menangis sedih, ibu akan menutup mataku dengan telapak tangan kirinya lalu membuatku seolah seperti bermimpi. Aku seperti tiba-tiba berada di tempat lain. Pernah saat itu, saat aku masih duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. Aku benar-benar sedih karena teman sebangkuku marah padaku, berhari-hari dia menjauhiku dan saat kuajak bicara sama sekali tidak menjawabku malah melengos pergi. Lalu saat pulang dia sengaja melemparkan tasku ke tong sampah. Aku tidak tau apa salahku, aku benar-benar marah padanya tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Sampai rumah aku menangis sejadinya, lalu ibu datang melayang mendekat kearahku, aku pikir dia akan menghapus air mataku karena kulihat tangannya menyentuh wajahku tapi ternyata dia hanya menutup kedua mataku. Beberapa detik gelap menyergapku, lalu kulihat aku seperti sedang berada pada tempat yang lain.

Di tempat itu kulihat temanku tersebut, dia sedang berlari keluar dari rumahnya dengan membawa buku gambar yang mirip dengan buku gambarku yang hilang. Di sudut kiri sampulnya terdapat nama yang sengaja dihapus dengan typex. Jadi selama ini dia yang mengambilnya, aku akan memarahinya jika besok bertemu. Kulihat temanku begitu senang sambil membuka buku gambarku dan menyebrang jalan menuju rumah temanku yang lain. Lalu dari arah kiri, tiba-tiba sebuah sedan melaju menghantam tubuh temanku tersebut. Tubuh kecilnya terlempar sebelum terguling menghantam aspal jalanan. Keadaan itu begitu cepat sampai aku tergagap lalu tersadar tersentak kubuka mataku, aku masih berada di dalam kamarku sendiri. Keringat menitik di dahiku dan aku mengigil. Di depanku sudah tidak ada ibu, dia menghilang. Dua jam setelah itu, aku mendapat kabar bahwa temanku tersebut meninggal karena kecelakaan.

Di lain waktu saat ayah sudah seminggu tidak pulang karena harus menunggui ibu tiriku yang sedang mengandung dan meminta tinggal di rumah orang tuanya selama menjelang persalinan. Padahal saat itu adalah Hari Natal, tapi aku harus kesepian, tiba-tiba ibu juga menemuiku. Awalnya dia hanya berdiri disudut ruangan sambil memperhatikanku. Aku sendiri hanya duduk sedih di depan TV sambil menonton acara yang menyiarkan film sebuah keluarga yang sedang merayakan natal bersama. Ibu lalu mendekatiku dan menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang dingin. Seperti mimpi, aku kembali dibawa kesebuah tempat yang tidak aku ketahui.

Di situ terdapat sebuah aula cukup besar, tempatnya seperti rumah bangunan belanda. Ada seorang anak kecil dengan rambut yang dikepang dua. Dia melihat keluar jendela, dimana di luar terdapat sebuah taman yang cukup luas dengan banyak permainan anak-anak lengkap dengan belasan anak-anak yang sedang bermain. Ada yang berayun di atas sebuah ayunan yang tergantung di sebuah cabang pohon besar yang menghuni taman tersebut. Ada juga yang sedang bermain petak umpet dan permainan lompat tali. Ada juga anak laki-laki yang meluncur dari sebuah perosotan yang terbuat dari bangunan beton. Sedangkan anak kecil berkepang dua itu hanya melihat semuanya dari jendela yang terbuka. Kalau kuperhatikan mungkin usianya seumuran denganku. Tangannya memegang sebuah foto separuh terbakar, dia tetap mematung menatap keluar jendela. Matanya dingin tanpa ekspresi dengan tatapan yang kosong.

Belakangan kuketahui dari nenek bahwa dulu ibuku yatim piatu, setelah kedua orang tuanya meninggal akibat kebakaran rumah yang menghambiskan seluruh rumahnya beserta kedua orang tuanya. Sedangkan yang selamat dari peristiwa tersebut hanya ibuku. Warga sekitar menemukannya pingsan di dalam bak mandi. Lalu karena tidak memiliki keluarga lagi, ibu dititipkan disebuah panti asuhan. Jadi kusimpulkan bahwa anak kecil berkepang dua memegang foto setengah terbakar tersebut adalah ibuku.

Banyak yang ibu perlihatkan dengan tangannya yang dingin saat menutup kedua mataku. Namun itu semua berlangsung saat aku masih kanak-kanak. Dan saat aku sudah menginjak remaja ibu tidak pernah lagi menemuiku. Terakhir adalah saat kulihat ibu hanya duduk di ruang kerja ayah, rambutnya yang kusut dihiasi tanah liat menjuntai sampai lantai. Ibu tersenyum melihatku. Terkadang aku sangat ingin dipeluk ibu meski keadaan ibu seperti itu. Lalu sekarang setelah bertahun-tahun ibu menemui kembali. Apa yang membuat ibu menemuiku lagi?

Sosoknya menghilang berbarengan dengan suara bel dan pintu yang dibukakan oleh pembantuku. Mungkin itu suamiku yang pulang. Dan benar saja, dengan wajah yang kuyu dan penuh guratan lelah, Mas Nugroho langsung mengehempaskan badannya di sebelahku. Aku memeluknya dari samping lalu kutawarkan untuk memijitnya, tapi dia menolaknya sambil mencium keningku. Sepertinya dia memang sangat kelelahan, aku hanya tersenyum. Dia memiringkan badannya memunggungiku, lalu beberapa menit kemudian kudengar dengkuran halus. Dia pasti sangat kelelahan sehabis kerja.

Paginya kumasakan makanan kesukaan Mas Nugroho. Meskipun kami memang menyewa jasa pembantu tapi untuk urusan dapur semua aku sendiri yang mengurusi. Aku ingin menyenangkan hati suamiku, aku yang selalu memasak untuknya. Selama ini Mas Nugroho memang sangat baik sebagai suami, dia adalah adalah suami yang sempurna bahkan selama 5 tahun lebih pernikahan kami masih selalu mesra. Karena itu aku ingin dia merasa beruntung telah menikahiku serta selalu merindukanku dan masakanku. Aku selalu ingin menyenangkan hatinya dengan itu. Tapi untuk hari ini kulihat Mas Nugroho makan seperti tidak selera. Aku khawatir dia sakit, tapi setelah kutanyakan dia hanya menjawab bahwa dia sedang pusing dengan masalah pekerjaan.

Hari ini adalah hari minggu, tapi Mas Nugroho berpamitan untuk pergi untuk urusan kantor. Kulihat wajahnya memang seperti sedang memusingkan sesuatu. Dia pergi juga dengan terburu-buru. Mungkin memang masalah pekerjaannya sangat berat. Aku jadi kasihan melihatnya seperti itu.

Aku merapikan meja makan dari piring-piring kotor yang berada di atasnya, tapi melihat sisa ayam goreng aku merasa sangat mual. Hingga akhirnya kumuntahkan seluruh sarapanku. Beberapa hari terakhir ini memang aku sering sekali mual dan setelah kupikir memang aku sudah telat mestruasi selama satu bulan. Aku harus ke rumah sakit untuk mengeceknya.

Pulang dari rumah sakit keadaan sudah cukup sore dan hampir magrib, tapi aku merasa sangat bahagia. Surat keterangan yang kuterima setelah cek di dokter sangat menggembirakan untukku. Karena setelah 5 tahun lebih usia pernikahanku dengan Mas Nugroho, akhirnya kami akan memiliki anak. Selama ini meskipun aku tidak kunjung hamil tapi Mas Nugroho tidak pernah mempermasalahkan itu, dia tetap mencintaiku. Rumah tangga kami tetap utuh dan tidak pernah ada masalah yang berarti. Aku sangat beruntung mempunyai suami seperti dia yang mampu menerima aku apa adanya.


Dia pasti akan sangat senang mendengar kabar gembira ini, ku kirim pesan untuk menanyakan kapan dia pulang sambil kumasakkan nasi goreng untuknya. Setelah mendapat balasan bahwa dia sebentar lagi sampai rumah, kusiapkan nasi goreng yang sudah matang diatas meja makan sambil menungguinya. Tanpa kusadari sosok berbaju putih dengan rambutnya yang panjang telah berdiri di sampingku. Kakinya yang tidak menapak lantai rumahku, mengambang dan melayang semakin mendekatiku. Aku tersenyum menatapnya, inikah alasan kenapa ibu kembali menemuiku, karena aku juga sebentar lagi akan menjadi ibu.

Tangan ibu yang dingin menyentuh mataku. Menutupnya hingga gelap sesaat lalu setelah itu kulihat seorang laki-laki tergopoh-gopoh masuk ke dalam sebuah rumah. Ada seorang wanita cantik menyambutnya lalu menggandeng tangannya menuju sebuah kamar berwarna merah jambu, disitu seorang anak kecil mungkin berusia dua tahun sedang tertidur. Laki-laki itu menyentuh kening anak itu, lalu tersenyum. Sang wanita juga tersenyum lalu bergelayut mesra pada si laki-laki. Mereka keluar kamar merah jambu tersebut dan masuk ke kamar yang lain sambil berciuman.

Aku terengah-engah membuka mata. Air mata tanpa kusadari menetes membasahi pipiku. Dengan sangat jelas aku melihat adegan itu, laki-laki itu adalah suamiku dan wanita itu adalah adik tiriku. Aku hanya mematung ditempat dudukku dengan perasaan hancur. Suamiku dengan adik tiriku sudah berselingkuh bahkan memiliki anak berusia 2 tahun. Selama itu mereka berhubungan tapi aku sama sekali tidak tau, wanita macam apa aku? Aku harus bagaimana? Terlebih aku sedang mengandung, apa aku harus menceraikannya? Lalu bagaimana dengan nasib anakku? Tidak, mungkin saja yang diperlihatkan ibuku tadi salah atau itu hanya halusinasiku. Tapi selama ini ibu selalu menunjukanku tentang kenyataan dan itu pasti benar terjadi. Lalu apa yang harus aku lakukan? Pikiranku tiba-tiba tumpul, hatiku sudah hancur.

Bel berbunyi, pembantuku yang membukakan pintu, suamiku pulang. Dia menghampiriku dengan tersenyum padahal tadi pagi dia meninggalkanku dengan muka yang begitu sedih. Tapi sekarang dia bahagia. Air mata sudah kuhapus dari pipiku. Dia mencium keningku. Aku tersenyum untuknya. Yang terpenting kamu bahagia.


Wednesday, July 15, 2015

Perempuan Di Moncong Senapan

Tubuhnya diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.

Disebuah ruang seperti gudang dengan tikar sulam di sudutnya dia dilemparkan. Di dalam telah menunggu beberapa laki-laki berseragam serupa dengan dua laki-laki yang menyeretnya tadi. Sudah hafal betul dia dengan apa yang akan dialami selanjutnya. Dia hanya memejamkan matanya sambil mematikan seluruh indranya, tak ada lagi isak apalagi tangis atau teriakan kesakitan dari mulutnya. Lelah dia pasrah.

Semalaman dia akan digilir oleh banyak laki-laki, bahkan untuk menghitung berapa jumlah laki-laki yang menindih tubuhnya saja dia sudah tidak sanggup. Karena biasanya dia akan pingsan setelah menahan kesakitan luar biasa disekujur tubuhnya, sampai dia terbangun lalu pingsan lagi. Berkali-kali. Namun seluruh laki-laki itu seakan tidak surut memuntahkan nafsu pada lubang di tubuhnya. Tak ada belas kasihan. Hingga seluruh laki-laki yang telah mendapat giliran jahanam itu selesai. Jadi dia hanya pasrah.

Pasrah juga saat tubuhnya kembali dilemparkan dalam sel tempatnya harus menghabiskan hari-harinya dengan rasa sakit. Di situ telah menunggu beberapa perempuan lain dengan nasib yang serupa. Tak berani dia menghitung berapa jumlah perempuan yang satu sel dengannya. Karena tiap hari wajah-wajah putus asa itu selalu hilang satu per satu. Berkurang. Dan seolah dia paham kemana mereka pergi. Mereka mati. Tak kuat menahan penyiksaan diluar batas kemanusiaan.


Nyeri disekujur tubuhnya membuatnya pingsan lagi. Darah segar yang mengalir menguar amis dari sela-sela kedua kakinya. Perempuan lain yang lebih tua darinya mendekati tubuhnya. Lalu dengan jarit dia mengelap darah tersebut. Sambil memijit-mijit kakinya membuat dia bangun dari pingsan yang sesaat. Membuat air matanya meleleh tanpa dia sadari.

Perempuan itu mengatakan banyak kalimat, mungkin maksudnya untuk membuatnya kembali bersemangat. Namun tak sedikit pun berpengaruh untuknya. Telinganya terlanjur tuli karena terlalu sering mendengar bentakan, cacian dan makian yang keluar tiap kali dia digilir. Membuatnya tak lagi bisa membedakan mana kalimat hinaan dan mana kalimat nasehat penyemangat. Yang dia tahu di sini dia hanya menunggu mati.

Hari berikutnya, perempuan lain yang jauh lebih muda darinya yang diambil. Tubuh perempuan itu diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuat perempuan itu juga serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Perempuan itu pasrah.

Sesaat kemudian perempuan lain juga diseret keluar sel. Juga dengan perempuan lain berikutnya. Dan kemudian perempuan yang selanjutnya. Sedangkan dia hanya tidur meringkuk menunggu giliran. Dia pejamkan kedua matanya, meredam rasa sakit yang tidak juga hilang dari sekujur tubuhnya. Kedaan sekitar membuatnya mati rasa. Dia tidak ingin memikirkan apapun, dia tidak ingin merasakan apapun. Lalu kedua tangannya dicengkeram dua orang laki-laki yang memaksanya bangun.

Tubuhnya diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki tersebut, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia kembali pasrah.

Dia dimasukan di sebuah ruangan yang lain dari biasanya, di dalam ada seorang laki-laki yang langsung menyergapnya. Didudukan dia disebuah kursi dengan tangan dan kaki yang diikat pada kursi tersebut. Laki-laki itu mulai menanyainya dengan berbagai pertanyaan yang sama sekali tidak dia mengerti. Dan karena memang benar dia sama sekali tidak mengerti maka dia hanya diam. Lalu setelah selesai dengan satu pertanyaan tanpa jawaban laki-laki berseragam petugas tersebut akan mendaratkan moncong senapan pada wajahnya. Hingga dia babak belur dengan darah yang menitik di sudut bibir dan sebelah kupingnya.

Dia hanya diam juga saat petugas itu melepas kebaya lusuh yang menggantung di tubuhnya tanpa sempat diganti selama dia di masukkan dalam tahanan. Lalu ternyata jaritnya juga dilepas paksa oleh petugas tersebut. Hingga dia kini terduduk dengan telanjang bulat. Dia hanya diam. Karena tenaga memang sudah terkuras habis tak tersisa dari tubuhnya meski hanya sekedar ronta. Ingin sekali dia pingsan sampai proses penyiksaan selesai, atau mati sekalian. Tapi tubuhnya tetap sadar meski dia pejam matanya rapat-rapat.

Sebuah lilitan dari kawat digantungkan pada kedua puting di dadanya. Lalu lilitan lawat lainnya juga dimasukkan pada lubang perempuannya. Ingin dia meronta, tapi tenaga terlanjur raib dari tubuhnya. Menyangga kepalanya saja dia tidak mampu, tergolek dia di kursi penyiksaan. Petugas tersebut mulai menyalakan alat yang menjadi ujung dari lilitan kawat tersebut. Lalu listrik mulai menyengat dada dan lubang perempuannya. Membuat seluruh tubuhnya merasakan kesakitan luar biasa. Dia pingsan.

Tak sadarkan diri hingga bagian yang disengat lilitan kawat listrik tersebut memeleh. Laki-laki berseragam petugas tersebut baru mematikan alat penyiksa yang berada di samping kiri meja. Dia masih belum sadarkan diri juga saat petugas menyabet wajahnya dengan jaritnya lalu melepaskan tali-tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya pada kursi.

Saat dia sadar tubuhnya sudah tergeletak di dalam selnya lagi. Tubuhnya seakan tak lagi mampu mengeja rasa selain sakit dan sakit. Terlalu pedih untuknya bahkan untuk makhluk bernyawa manapun yang harus merasakan penyiksaan sekeji itu. Sakit tak terperi. Sakit hingga hanya satu pilihannya yaitu mati. Dia begitu kecewa kenapa dia tidak mati sekalian karena satu-satunya yang dia harapkan setelah mengalami berbagai penyiksaan tersebut adalah mati. Namun dia tetap hidup meski tak utuh seperti sebelumnya. Dia sadar dada dan lubang perempuannya yang meleleh tersebut akan cacat.

Dan benar berhari kemudian bagian tubuhnya tersebut bernanah mengeluarkan bau yang menguar tidak sedap. Bertambah ribuan kali nyerinya tiap kali dalam selnya perempuan-perempuan lain juga mendapat penyiksaan yang sama. Karena itu banyak perempuan yang tidak pernah kembali. Sedangkan yang lain, memilih bunuh diri karena tidak kunjung mati. Tak pernah ada yang benar-benar bertahan. Semua hanya menunggu mati.

Hingga tubuhnya kembali dipaksa berdiri. Tubuhnya kembali diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.

Meskipun untuk kali ini, tiba-tiba tersungging senyum di sudut bibirnya. Sesuai dugaannya tak ada satupun petugas laki-laki yang menggilirnya. Tidak setelah mencium bau nanah yang ada di lubang perempuannya. Semua laki-laki yang biasa menindihnya itu merasa dijijik, dia merasa menang. Malam itu hanya cibiran yang dia dapatkan. Setelah malam-malam dengan nafsu binatang yang tidak pernah dapat dia hindari, akhirnya dia dapat mengamankan tubuhnya sebagai perempuan.

Tertatih dia kembali ke selnya dengan pergelangan lengan yang dicengkeram oleh seorang petugas. Untuk pertama kali dalam hidupnya setelah dia begitu menangisi nasibnya sebagai perempuan yang harus hidup di jaman komunis wajib dimusnahkan, akhirnya dia merasa merdeka dengan tubuhnya sendiri. Meskipun harus bernanah dan cacat seumur hidup namun dia tidak akan menjadi alat pemuas nafsu laki-laki lagi. Dia tidak akan mengalami penyiksaan terendah sebagai perempuan yang harus digilir tiap malam yang mereka sebut dengan di-bon malam. Karena sebagai Gerwani seakan dia wajib menerima perlakuan tidak manusiawi tersebut. Tapi akhirnya dia bebas dari bon malam.

Sabagai tapol atau tahanan politik akibat Peristiwa 1965 dia merasa sudah tidak memiliki arti apapun sebagai seorang manusia setelah diperlakukan sebegitu keji, diperkosa bergantian, disiksa dan disetrum. Karena itu setelah tubuhnya tidak lagi berfungsi untuk para petugas itu hanya satu hukuman teringan yang akan dia terima selanjutnya, yaitu eksekusi mati. Dia begitu bahagia dalam hati.


Friday, July 10, 2015

Pelukan Demam

Tidur hanya satu jam dalam dua hari berturut-turut membuatku semopoyongan saat harus ke kamar mandi. Setelah mematikan dering telepon dari orang yang telah kuamanati untuk membangunkanku tepat sebelum Pukul Tujuh dilewati jarum pendek, kurelakan tubuhku berjalan hanya dengan hafalan langkah, karena mata belum sepenuhnya mengeja cahaya. Gelap!

Tidur lepas subuh dan terpaksa bangun sejam kemudian membuat tubuhku serasa remuk redam. Air kran yang mengguyur tubuh seolah berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk tiap menyentuh tubuh. Terlebih demam yang sukses membuatku semalaman tidak dapat memejamkan mata ternyata masih belum juga selesai menyiksa tubuhku. Kening yang harus akrab ditiduri sleyer Captain Jack-ku sebagai pengganti kain kompres ternyata setelah kusentuh masih panas bahkan lebih panas dari semalam. Tapi kupaksa juga tubuhku menerima air pegununggan Gunungpati yang telah kutinggali selama 3 tahun ini. Dingin!

Kuselesaikan ritual mandiku tidak lebih dari 5 menit dan kupasang seluruh penutup tubuhku juga tidak lebih dari 5 menit. Entahlah sebenarnya aku tidak benar-benar menghitung berapa menit aku merampungkan kewajibanku sebagai manusia tersebut, yang jelas semua kulakukan dalam waktu singkat. Agar aku tidak telat dalam ujian.

Kulihat jam di layar HP-ku, bahkan sudah Pukul Tujuh lebih, tapi ujian susulan yang akan kulakukan ini memang tidak memiliki waktu tertulis, hanya disuruh datang pagi oleh Pak Dekan. Ujian ini seharusnya dilakukan berdua dengan temanku. Tapi pada akhirnya harus kulakukan sendiri hanya karena temanku masih di kampung halamannya. Dengan alasan tidak punya duit untuk ke Semarang lagi dia merelakan nilainya harus ditahan dulu. Terserah, itu pilihan dia. Meskipun jujur aku bagitu kecewa, ujian ini seharusnya dilakukan kemarin tapi demi sebuah kepercayaan bahwa dia adalah temanku maka aku memilih menemani dia ujian hari ini. Tapi kenyataan bahwa dia tidak bisa ikut ujian yang dia kirim lewat bbm begitu membuatku ciut. Takut!


Kampus  sepi nihil mahasiswa, yang terlihat hanya pekerja kebersihan lengkap dengan alat pel ditangannya. Sepi bukan karena masih pagi, tapi kerena memang sudah tidak ada perkuliahan. Dan kupastikan mahasiswa yang biasanya berseliweran di kampus ini telah sebagian besar pulang ke kampung  halamannya. Berkumpul dengan keluarga, sahur, puasa dan buka bersama lalu merayakan lebaran yang sudah tinggal menghitung hari. Karena itu kampus hanya diramaikan oleh daun-daun kering, bertumpuk, terabai dan terbang terbawa angin. Sedang mahasiswanya sudah pergi. Mudik!

Melangkah ke gedung fakultas tiga lantai membuat keringat dingin menitik, padahal pagi masih relatif dingin. Pertanda demamku masih setia ditempatnya, tak minggat sedikitpun dari tubuhku. Aku hanya berharap aku tidak ambuk saat di kampus, pasti akan sangat merepotkan orang lain. Selain itu juga cukup memalukan.

Kembali harus ada prosesi tanya jawab dengan Satpam Fakultas, meskipun aku sedikit kehilangan hormat pada mereka yang memakai seragam putih hitam yang berdiri di depanku ini. Tapi memang ketentuaannya harus seperti itu, terlebih yang akan kutemui adalah orang terperting se-Fakultas Ilmu Sosial jadi memang harus ada keperluan yang jelas. Jadilah acara introgasi singkat dengan Pak Satpam harus dilakukan meskipun aku begitu antipati. Karena kalau tidak gara-gara Pak Satpam yang tidak amanah ini aku pasti tidak akan sepagi ini harus ke Fakultas untuk ujian. Kalau saja tugas yang kutitipkan pada Pak Satpam tidak hilang jelas aku tidak harus melakukan ujian. Sedih!

Tapi aku juga tidak ingin menyalahkan siapapun. Bahkan memang prosedurnya bagitu. Jika dosen sibuk atau tidak ada di tempat. Saat menyerahkan tugas pada petinggi kampus harus melewati Satpam sebagai perantara. Agar tugas tersebut dapat mendarat di meja dosen yang bersangkutan. Meskipun untuk kasus tugasku itu harus raib entah kemana. Sungguh aku tidak menyalahkan siapapun, mungkin sudah takdirku harus kerja dua kali. Dan ini menjadi pelajaran yang penting untukku dan siapapun kalian yang membaca tulisanku. Pastikan semua berada ditempatnya sebelum kalian bernafas lega.

Berada di ruangan dengan AC yang menggigit, menghadapi dua lembar kertas yang harus kuisi ditemani oleh Dekan sekaligus Dosen dan tanpa bisa membuka catatan apapun membuatku semakin ciut. Kepala seakan kosong seperti rongsokan kaleng yang dikocok isinya tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Kupanggili seluruh ingatan yang pernah ada selama perkuliahan tapi hasilnya tetap tidak ada. Nihil!


Lima soal yang  harus kujawab seolah menjadi komedi putar anak-anak yang kunaiki dengan muka malu tapi mau tidak mau harus tetap kunaiki. Dan rasanya semakin lama putarannya semakin cepat lepas kendali. Apa aku akan terlempar berdebam di tanah lalu mati. Yang jelas satu nomor aku kosongi. Dan yang lain kukarang  sendiri. Semua seakan mengintimidasiku bahkan kedua HP yang kukantongi di kanan dan kiri celana jeansku benar-benar mengganggu dengan getarnya. Deretan nomer berkedip-kedip tertera di layarnya. Kutekan tombol tolak. Rejet!


Selesai mencoret-coret kertas dengan jawaban yang sama sekali tidak memuaskan, aku kembali melewati jejeran gedung-gedung kampus yang sepi. Gontai dengan perasaan carut marut. Perasaan gagal dan malu yang menyergapku. Sepanjang jalan menuju kost berat rasanya kaki untuk dilangkahkan. Air mata yang kutahan-tahan jatuh juga akhirnya. Padahal aku sedang puasa. Entah!

Setelah sampai kost, aku mencoba berdamai dengan pikiranku sendiri. Namun ternyata juga gagal. Air mata tanpa isak tetap mengalir. Inikah puncaknya? Aku hanya mampu memeluk kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku. Berharap semua sakit yang dua hari ini menghimpitku segera pergi. Berharap semua kecewa dan takut yang akut dalam dadaku luruh bersama air mata yang jatuh. Berharap semua yang menyiksaku terbang hilang. Berharap.... ah doakan sajalah!


Seharusnya aku memang bisa melawannya sendiri. Kesedihan semacam ini sudah biasa aku rasakan. Aku cukup yakin aku akan bisa menetralkan perasaanku sendiri. Dalam waktu singkat! Karena memang ini adalah puncaknya! Setelah semalaman aku hanya mengeluh kesakitan sendiri. Merintih pada sepi karena panas di kepala yang tak juga mau pergi.

Padahal dua macam obat sudah kutelan, bahkan cara tradisional dengan mengompres kening juga sudah aku lakukan. Semalaman! Tapi ternyata panas di kepala namun dingin di sekujur tubuh tidak juga hilang. Tangan beku. Telapak kaki mati rasa. Hembusan nafas begitu panas mungkin juga sebenarnya aku bisa mengeluarkan api seperti naga dari hidungku. Kelopak mata pun ikut panas, kalau aku berkaca mungkinkah bola mataku berwarna merah? Kalut! Kacau! Yang terlihat adalah kasur seolah berubah warna menjadi permadani putih yang dinginnya menggigil tiada ampun. Terpikir olehku bahwa mungkin malam tadi adalah akhirku. Apa aku akan mati? Jika aku mati mungkin aku akan reinkarnasi duluan sebelum tubuhku ditemukan. Karena memang tidak ada satupun manusia yang peduli. Padahal aku sendiri tidak percaya pada konsep atau teori reinkarnasi. Namun pikiran sudah terlanjur berhalusinasi. Hilang akal.


Saking takutnya kalau aku tidak akan dapat bangun lagi, mata kujaga untuk tetap terjaga dalam sadar. Tapi sepertinya pikiranku yang sudah tidak sadar. Banyak hal menyakitkan yang bergantian terpikirkan. Semua hal yang negatif menyerbu pikiran. Banyak yang mengaku peduli, banyak yang mengaku sayang bahkan bilang cinta, tapi tak berbanding lurus dengan kenyataan. Karena memang kenyataannya aku harus menghadapi semua sendirian. Tak ada yang benar-benar ada untukku.

Di bbm, di fesbuk, dalam sms, kuteriakan kata sakit namun tak satupun yang mendengar. Atau tiba-tiba semua jadi tuli, atau sengaja menutup telingannya. Berkali-kali aku mengemis perhatian bahkan untuk secuil doa yang dapat aku amini saja tidak ada. Semua menjelma menjadi makhluk asing yang memalingkan mukanya dariku. Berjalan bergegas menjauhiku. Sedang aku hanya meringkuk memeluk lutut dan merasakan perih dalam ulu hati yang mulai mengakrapiku. Menyesakkan!


Aku menyerah menjadi pengemis, percuma! Mereka diam. Aku bisa apa? Ini tubuhku, kupertahankan semua sendiri. Kuperjuangkan kesembuhannya sendiri. Aku yang merasakan sendiri. Mungkin aku memang tak ada arti sama sekali. Namun ini tubuhku, aku yang merasakan sakitnya. Aku yang membutuhkan kesembuhannya. Aku harus berusaha sembuh.


Malam berganti dan pagi masih juga terasa mati. Mengingat semuanya yang menyergap diri dengan sakit yang tak terperi. Semua kekecewaan bercampur hati yang hancur dua hari ini harus bisa aku lalui. Aku tidak ingin kalah, tidak pada rasa sakit, tidak juga pada rasa kecewa. Semua akan berlalu, setelah puncak tangis ini. Aku masih percaya pada apa yang aku yakini. Aku masih genggam apa yang harusnya selalu aku pegang. Dan sehancur apapun aku, aku tetap memiliki inti yang kuat. Karena jatuh dan kecewa adalah saat terkuatku.





Saturday, June 20, 2015

Tentang Malam

Masih teringat olehku, jari-jari yang begitu akrab dengan plester. Akibat terlalu seringnya jari-jariku bergumul dengan bawang merah dan bawang putih berkarung-karung yang wajib dikupas tiap harinya. Tapi teringat juga kebersamaan dengan nenek dan bulekku yang dengan pekerjaan serupa kami lakukan sambil bercerita tentang banyak hal. Cerita tentang masa lalu, tentang masa sekarang dan tentang masa depan. Meski lebih banyak didominasi tentang cerita masa lalu, tentu saja untuk yang satu ini nenekku yang banyak mendominasi. Jadilah pekerjaan mengupas bawang sekaligus sebagai ajang curhat bagi nenekku.

Teringat itu, teringat juga sekarang. Meski bukan sekali ini aku bekerja di tempat laundry yang dikelola oleh bulekku sendiri. Tiap liburan semester aku memang selalu menyibukan diri dengan berbagai pekerjaan yang bisa mengisi kantong agar tetap berstamina jika tiba-tiba ada keperluan mendesak yang harus dipenuhi. Sekedar berjaga-jaga atau juga untuk memenuhi nafsu travelingku.

Mungkin karena memang terbiasa sejak kecil aku sudah dikenalkan dengan kerja keras atau karena aku yang tidak terbiasa duduk diam saat tak ada pekerjaan. Aku kadang berpikir hidup yang sesingkat ini pasti akan sia-sia kalau kita hanya berleha-leha tanpa ada secuil pun hal yang bisa kita lakukan. Akan sangat merugi sekali.


Tengah malam begini, berbagai pikiran begitu menyesak di otak. Diantara tumpukan baju-baju laundry-an yang sudah selesai aku bungkusi dengan sebelumnya tak lupa kuberi pewangi dan lebel harga masing-masing sesuai timbangan, aku merebahkan diri diantara sepi. Suwung dan nglangut menyerbu melingkupiku.

Bayangan-bayangan hadir serupa layar bioskop bersliweran silih berganti tepat di depanku. Banyak sekali yang telah kulewati. Dan malam seolah menggenapkan semuanya, malam menjadi latar sekaligus pengantar yang begitu sempurna bagi setiap ingatan yang dinamakan kenangan.

Tentang malam yang dingin di akhir Desember dengan gemerisik padi dan hinaan petani (WA). Tentang malam yang menyakitkan diantara sorak sorai orang bernyanyi tapi aku menangis sendiri (B). Tentang malam yang dingin juga penantian ternyakitkan yang pernah kualami (SM). Tentang malam yang menerbangkan ringkih rasa sakitku tanpa ada yang peduli (MK). Tentang malam yang kutangisi di teras rumahku sendiri memeluk kaki sepi (DP). Tentang malam yang menamparku hingga otakku bertebaran terserak di lantai kostku sendiri, kupunguti sebelum ada yang memperkosanya (IYK). Tentang malam yang melumpuhkanku, meracuniku sekaligusku menumbangkanku dengan perasaan mati (DPN).


Tentang malam, bahwa aku pernah begitu tersayat merasakan sakit berkali-kali yang tak terperi. Semua yang hadir menyerbuku berhias malam-malam termenyakitkan yang pernah ku lalui. Namun sekarang, semua mampu ku senyumi. Aku telah mampu melewati semua itu, menjadikanku begitu kaya akan rasa, menjadikanku cukup kuat dan lebih kuat dari sebelumnya. Membuatku belajar tentang bagaimana memperlakukan cinta, bukan bagaimana diperlakukan cinta. Semoga, doakan saja. 

Sragen, 20 Juni 2015

Tengah malam berteman tumpukan pakaian.



Memanjat Denting Tunggu


Pesing tempat ini, ku duduki namun acuh saja. Dua jam menunggu tersapu bersama dedaunan kering yang bergulung di aspal sekitarku. Lalu lalang orang yang berlari dengan sepeda motornya tanpa hirau. Juga orang entah dari dusun mana yang berjalan berbondong, membawa berbagai buntalan entah apa. Mungkin beras mungkin juga pakan ternak. Si ibu-ibu yang lusuh dengan baju entah dari jaman kapan menggendong anaknya. Melewatiku dengan menyisakan bau semerbak deterjen, mengingatkanku padamu.

Tiga jam menunggu, ku lihat anak-anak punk yang ada di seberang jalan belum juga mendapat tumpangan. Dengan tampang cengengesan berjongkok sambil disela jarinya terselip lintingan yang sesekali dihisap bergantian. Aku masih menunggu hingga diasapi sampah daun kering yang dibakar oleh si pemilik warung. Apakah bajuku akan berbau asap aku mulai khawatir tidak wangi lagi.

Empat jam menungggu, mataku sudah mulai cengeng. Tas yang sedari tadi ku gendong semakin membuat pegal punggung dan si pemilik warung samping mulai menanyaiku “belum datang jemputannya?” aku hanya tersenyum tipis kerena serak membanjiri kerongkonganku. Begitu tercekat dalam kata iya.


Bundaran Kartosuro, 17 Mei 2015


Friday, June 12, 2015

Teras, Rumah dan Pekarangan Belakang

Di sebuah salon kecantikan.

Kupandangi wajah pelangganku ini, mungkin seumuran dengan ibuku yang ada di kampung. Ah aku sudah lama tidak pulang menengok ibu dan bapak di kampung. Tapi kalau pulang juga pasti sangat menyebalkan, mendengarkan mereka berdua mengomelkan banyak hal tentang dandananku. Yang katanya aku menor, aku terlihat tua dari umurku, aku berdandan seperti perempuan tidak benar, rambutku yang ku cat merah sepertinya sangat mencemarkan nama baik mereka di kampung. Ditambah lagi dengan komentar mereka tentang pakaianku. Ah aku tidak mau mengingat mereka, membuat sakit hati saja.

Padahal tiap kali aku pulang, aku pasti tidak pernah absen membawakan duit yang bisa memenuhi kebutuhan mereka sampai berbulan-bulan. Rumah di kampung juga bisa diperbaiki semua berkat duit dari kerja kerasku. Tapi mereka tidak pernah peduli, yang mereka pedulikan adalah omongan dari tetangga yang berkomentar macam-macam tentang pekerjaanku dan pakaianku.

Mereka harusnya tahu, aku bekerja di salon. Kalau aku tidak berdandan cantik dan mengenakan pakaian yang tidak modis tentu pelangganku tidak akan percaya pada keterampilanku merias wajah dan menata rambut. Ah mereka tahu apa, hanya bisa bergosip tiap hari. Padahal di kampung mereka sangat miskin, seharusnya mereka bekerja bukannya hanya bergosip di warung-warung makan dan di pekarangan rumah. Muak aku, tapi aku juga tidak peduli. Sejak aku pergi ke kota, aku tahu di sini aku harus merubah nasipku. Aku tidak ingin miskin terus, aku harus bekerja keras. Disini tuntutannya sangat tinggi, jika ingin dihormati dan tidak dipandang rendah, aku harus mengikuti zaman.

Pertama adalah merubah gaya berpakaianku, lalu membeli SmartPhone dengan layar yang lebar seperti milik teman-temanku. Aku juga ingin makan di restoran-restoran mewah atau sekedar minum di kafe sambil berfoto selfi dengan minuman yang dari harganya tidak mungkin untuk tetangga-tetanggaku di kampung membelinya. Masuk di kafe-nya saja mereka pasti sudah minder. Tapi aku berbeda, aku cantik dan aku pantas!

Semua bisa terwujud karena laki-laki itu. Awalnya memang tidak begitu kupedulikan. Terlebih ketika ku ingat kata-kata ibuku “Secinta apapun kamu, secantik apapun kamu dan sepintar apapun juga kalau kamu merebut lelaki milik perempuan lain, kamu dinamakan: binatang!” Kata ibu keras sambil melempar senyum getir, aku menggigil. “Hanya perempuan yang tidak punya hati yang dapat melakukan itu. Semua ada karmanya. Jangan sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Balasannya lebih berat!” Tambah ibu lagi, matanya menerawang entah apa yang dia pikirkan, seolah dia tidak sedang berada ditempatnya saat ini. Aku hanya diam tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi itu dulu sekali, kata-kata ibu seolah seperti tertelan segala bentuk kemewahan yang aku miliki. Juga segala limpahan kasih sayang yang laki-laki itu berikan untukku, dia begitu perhatian lebih dari bapakku atau laki-laki manapun. Aku tidak pernah merasa sebegitu tersanjung ketika dia berikan bunga mawar dan cincin. Meskipun aku dengar dari teman-teman yang lain bahwa selain punya istri dan empat anak, laki-laki tersebut juga tidak begitu kaya. Tapi aku tidak peduli, teman-temanku hanya iri. Yang terpenting adalah aku bisa hidup enak sekarang, tidak hanya mengandalkan duit gaji kerja di salon yang tidak seberapa. Aku sadar duit itu hanya akan habis untuk mengirimi bapak ibuku di kampung saja. Sedangkan jika dari laki-laki ini aku bisa berdandan dengan kosmetik bermerk, baju-baju bermerk dan tentu aku bisa memamerkan foto-foto kelas atas ke sosial media yang akan membuat teman-temanku iri.


Aku rasa semua ini juga bukan murni karena kesalahnku saja, kenyataannya istri laki-laki itu tidak secantik aku, tentu lah suaminya mencari perempuan lain. Istrinya itu gembrot, tubuhnya dipenuhi lemak disana-sini dan laki-laki mana yang mau tidur dengan perempuan yang baunya selalu seperti bumbu dapur. Tidak seperti aku yang selalu menjaga penampilan dan juga wangi. Pantaslah kalau suaminya lebih memilih tidur denganku. Jadi jangan salahkan aku, aku memang cantik dan langsing. Dan jika suaminya menyukai aku dengan segala kasih sayang yang dia berikan, masak aku tolak?

Di sebuah kamar tidur.

Kupandangi cermin di depanku, yang nampak adalah seorang perempuan dengan tubuh telanjang. Tanpa secuil pun kain yang melekat. Kulitnya tak lagi semulus dulu, sekarang berbagai guratan yang menandakan bekas dapur dan sumur begitu melekat. Ditambah dengan gumpalan-gumpalan lemak disekitar paha dan perut, padahal dulu aku begitu sintal, tidak terlalu gemuk tapi tidak terlalu kurus, pas saja dan segar. Sekarang banyak bagian yang tidak begitu sedap dipandang. Beralih ke bagian wajah, dulu bibir yang merah itu begitu indah, sekarang legam padahal aku tidak merokok. Pipiku yang dulu juga bersih, tiba-tiba menjelma menjadi rawa, banyak bercak-bercak hitam yang berkerumun menghuninya.


Ini semua gara-gara KB! Namanya perempuan, kalau tidak pakai KB, ratusan anak bisa lahir. Yang repot siapa? Perempuan juga. Katanya kalau pakai IUD, lebih aman. Tapi aku takut, masak ada benda yang terbuat dari plastik dan tembaga berbentuk T dimasukan ke dalam rahim, pemakaiannya bisa 4-5 tahun. Ketika alat itu dipasang kita harus menaikan kaki tinggi-tinggi. Mengangkang! Yang buat aku ngeri, kita harus memeriksa diri sendiri apakah alat kontrasepsi itu masih berada dalam rahim dengan cara meraba benang IUD tersebut ke dalam vagina. Ngeri kalau harus memasukan jari sendiri ke dalam vagina. (Novel Tempurung - Oka Rusmini, dengan sedikit edit).

Selain itu, segala macam pekerjaan rumah juga aku sendiri yang mengurus tanpa pembantu. Jangankan menyewa pembantu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja aku juga harus bekerja berjualan nasi dan lauk-pauk tiap pagi. Mengurus 4 orang anak yang semuanya butuh makan. Mengurus rumah yang tiap hari selalu saja kotor. Mencuci, memasak, menyetrika, mengepel, menyapu, bagai babu di rumah sendiri. Kamu ingin aku tetap cantik seperti dulu? Semua tergerus perlahan terlebih dengan pekerjaan yang mengharuskanku bekerja keras siang malam di dapur demi menambah pemasukan tiap hari. Kamu begitu ingin aku selalu wangi? Bau asap dapur yang akan kau cium!

Berbeda sekali dengan kamu yang bekerja kantoran, mungkin hanya pegawai negeri rendahan, tapi kenyataannya duit gajimu malah kamu tukar dengan mobil. Yang harus kamu cicil dengan duit gajimu tiap bulan, hingga minus. Dan harus aku yang memenuhi segala kebutuhan rumah perharinya, pintar sekali kamu. Jelas kamu bisa kelihatan rapi bersih dan wangi tiap hari sehingga dapat digoda perempuan muda di luar sana. Apalagi dengan setelan seragam pegawai negerimu, lengkaplah untuk perempuan lain mengangapmu laki-laki sukses. Sedangkan aku hanya di belakangmu sambil merapikan segala kegagalanmu sebagai suami.

Memang sudah kodratnya sebagai perempuan, aku tidak ingin menyalahkan takdir. Tapi kenapa aku yang selalu disalahkan saat suamiku ketahuan memiliki perempuan lain di luar? Mereka menyalahkanku karena aku gembrot, tidak bisa menjaga tubuh, bau ku seperti bumbu dapur dan selalu cerewet. Mereka juga bilang aku perempuan goblok, yang mau saja dibohongi suaminya terus. Andai saja mereka tahu, aku juga sakit hati tiap kali membayangkan suamiku tidur dengan perempuan lain. Pertengkaran demi pertengkaran tiap hari, barang-barang yang dibanting ke lantai dan juga anak-anak yang ketakutan. Aku mulai lelah dan sadar bahwa semua itu tidak ada gunanya. Sekarang bagiku aku sudah tidak dapat egois lagi, tubuh ini sudah bukan lagi milikku sendiri tapi juga milik anak-anakku. Banyak yang harus aku pertimbangkan. Aku tidak ingin memberikan keluarga yang tidak utuh bagi mereka, setidaknya saat mereka pulang sekolah mereka akan menjumpai bapak ibunya ada di rumah.

Menjadi seorang perempuan terlebih seorang ibu, sudah bukan waktunya lagi memikirkan diri sendiri. Buatku melihat anak-anakku tumbuh adalah kebahagiaan yang luar biasa, yang terpenting sekarang adalah anak-anakku. Dan suamiku? Yang penting dia tidak membawa perempuan lacur itu ke dalam rumah tangga ini bagiku perempuan tersebut hanya pekarangan belakang yang tidak perlu aku tahu, aku ingin tutup mata saja soal itu. Selain itu juga suamiku tetap memikirkan kebutuhan anak-anak, itu sudah cukup.

Di sebrang sebuah jalan

Di pandangi teman-temanku, rasanya risih sekali. Mereka mengamati mataku yang bengap hasil dari menangis semalaman. Aku hanya diam saat teman-teman menanyaiku macam-macam. Beruntun!

Aku bercerita pun mereka belum tentu akan mengerti keadaanku. Jadi aku hanya diam saja, aku juga tidak ingin berbagi duka untuk mereka, buatku teman-teman hanya cukup tau suka ku saja. Kenyataannya aku masih lengkap dengan tawaku dan ceria sepanjang bersama mereka meskipun mata sepertinya tidak dapat membohongi. Tak apalah biar semua sesak kumiliki sendiri.

Segala hal yang begitu menyakitkan, ketika melihat kedua orang tuaku saling membantingi barang-barang rumah, saling memaki satu sama lain. Aku yang hanya mampu menangis terisak diam-diam, hal yang sepertinya bukan terjadi sekali dua kali di rumah, tapi begitu sering bahkan aku lupa sejak kapan dimulainya. Sepertinya sudah sejak aku masih kecil, aku juga lupa kapan. Entah!

Aku hanya kadang bingung harus bagaimana saat kedua orang tuaku sudah saling memaki satu sama lain. Berbagai perasaan tiba-tiba saja menyerbuku, membuatku seolah menjadi patung, diam beku ditempatnya. Hanya melihat sambil air mata meleleh dan beku sendiri.

Pernah suatu ketika aku berharap kenapa mereka tidak bercerai saja sekalian, daripada hanya tiap hari bertengkar terus, barang-barang di rumah pecah rusak. Apalagi saat itu yang dibanting adalah radio kesayanganku, hanya itu hiburanku di rumah. Tapi sampai sekarang mereka tidak bercerai juga, entah aku harus bersyukur atau tidak bagiku semua sama saja. Mereka masih rajin perang dingin kalau sekarang. Membuatku bingung dan ikut dingin hingga membeku di rumah.


Jadi kuputuskan untuk pergi saja, pulang hanya sekedar untuk menengok adikku yang terkecil yang masih sering berlarian mengikutiku kalau aku keluar rumah. Tidak ada lagi yang peduli padaku, ibu juga hanya akan marah-marah membuat kupingku panas, sebaliknya bapak malah hanya diam seolah aku adalah makhluk transparan yang tidak pernah ada keberadaannya. Saat pulang aku hanya kasihan pada adik-adikku yang masih kecil. Melihat mereka seperti melihat diriku sendiri saat itu. Hanya menangis sesenggukan.

Kuputuskan untuk tidak lagi peduli, entah ibu yang salah karena jelek, gendut, dan cerewet atau kerena bapak yang punya perempuan lain di luar, atau malah si perempuan jahat yang sudah menggoda bapak. Aku benar-benar tidak peduli, kenyataannya hanya aku dan adik-adikku yang menjadi korbannya. Rumahku surgaku sudah tidak lagi kami mengerti maknanya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi kami sudah tidak lagi berfungsi. Dan aku lebih memilih panas terik matahari sebagai tempatku berlindungku.

Kurapikan kembali tumpukan koran yang ada disebelahku, lalu kupeluk mereka dalam dadaku seolah mereka seperti seorang bayi yang akan terjatuh lepas satu satu kalau tidak aman dalam pelukanku. Dari sinilah aku bisa makan tiap hari, bersama teman-teman yang juga mencari sesuap nasi di bawah lampu merah. Diseberang jalan kulihat bapak berlalu dengan perempuan cantik yang seumuran denganku, begitu bahagia menaiki Avansanya.