Fato kusam, menghadirkan gambar aku yang berdiri mematung tanpa
ekspresi dengan adikku yang berada di sampingku. Foto kusam yang membawaku pada
kenangan masa itu. Setelah berfoto aku lalu dibelikan jajan wafer oleh bapakku,
wafernya banyak sampai berbungkus-bungkus. Aku makan dan berbagi dengan adikku.
Aku yang berumur 7 tahun dan adikku
kira-kira berumur 5 tahun, begitu bahagiya memakan wafer kami sambil
tertawa-tawa.
Rasanya kami sudah makan banyak wafer tapi tetap masih banyak juga
sisanya, tidak habis-habis. Sampai kami tidak ingin makan lagi. Aku beresi sisa
wafer tersebut lalu kumasukan dalam kaleng yang membukanya sungguh harus dengan
tenaga ekstra. Kulihat ibu keluar dari arah dapur ingin memandikan adikku
sambil membawa handuk yang setengah kering. Ibu melihat ruang tamu yang begitu
berantakan dengan remah-remah wafer disana sini. Lalu ibu perintahkan aku untuk
membersihkannya. Aku yang tetap mencoba membuka kaleng tersebut menolak
perintah ibu. Karena aku rasa itu bukan tanggung jawabku, adikku yang selain
makan berceceran juga sekaligus mengotori lantai dengan menginjak wafer yang
tidak ia makan lagi. Jadi itu bukan salahku, bukan aku yang seharusnya
membersihkan remah-remah wafer tersebut.
Tapi ternyata karena jawaban tidak mau dari aku tersebut membuat
ibuku sangat marah. Dia keluarkan seluruh kata-kata umpatan dan segala
nama-nama binatang yang tidak pantas didengarkan oleh kuping kecilku yang masih
berumur 7 tahun ini. Lalu karena aku begitu kaget melihat ibu ternyata sangat
marah seperti itu, aku hanya diam tetap keukeuh tidak mau membersihkan
kekotoran yang dibuat oleh adikku. Ibu menghampiriku siap melayangkan handuk
basah tersebut kearahku, terkena handuk yang begitu berat membuat kepalaku
terhuyung sakit rasanya. Seperti terkena sabetan berkilo-kilo buku yang
dijatuhkan dari atas menimpa kepalaku, mungkin tidak meniggalkan goresan luka
tapi cukup membuat aku pusing dan mata yang berkunang-kunang.
Dari situlah aku begitu membenci wafer dan aku bersumpah tidak
akan memakan wafer lagi seumur hidupku. Dan memang benar kenyataannya sampai
sekarang aku tidak pernah lagi menyentuh yang namanya wafer. Aku benci wafer!
Selain itu ternyata juga menghadirkan ketakutan pada handuk, sampai tiap kali
habis mandi aku tidak pernah lagi menggunakan handuk. Banyak alasan aku
keluarkan, lupa membawa, ribet, atau tidak tahu handuknya dimana atau apalah
yang jelas hal tersebut dapat menjauhkan aku dari handuk. Sampai saat kuliah
dan teman-teman yang sehabis mandi di kostku menanyai handukku untuk
dipinjampun aku juga menjawabnya dengan fariasi jawaban terkadang kujawab
sedang kotor, sedang dilaundry atau sudah hilang. Yang jelas aku tidak pernah
lagi memakai handuk. Ya aku takut pada handuk!
Konyol memang, hal sepele tersebut sudah mampu mebuatku benci dan
takut. Bukannya tidak pernah aku mencoba melawan ketakutanku, pernah suatu kali
saat pertama pindah ke kost aku dibelikan handuk baru oleh ibuku. Aku keluarkan
dari dalam tas, cukup membuatku deg-degan setengah mati. Tapi aku mencoba
berpikir rasional, handuk tidak akan membunuhku, begitulah hingga sorenya
setelah aku mandi aku sampirkan handuk tersebut dipundakku lalu selesai mandi
kucoba menggunakan handuk untuk mengeringkan tubuhku. Namun tiba-tiba yang
terpikir adalah handuk ini tidak hanya menyerap air yang membasahi tubuhku tapi
juga menyerapku masuk ke dalam setiap pori-pori handuk. Aku ketakutan luar
biasa, terasa ngilu di sekujur tubuhku. Kakiku mulai gemetar tidak karuan,
kejadian masa kecilku kembali membayang di pelupuk mata. Tersabet oleh handuk
besar yang lumayan basah dan membuat
kepalaku pusing sekaligus melahirkan banyak kunang-kunang dimataku.
Tidak dapat lagi aku menguasai diriku sendiri. Aku gagal melawan ketakutanku
pada handuk!
Masih mematung aku menatap foto yang sudah hampir tidak jelas
tersebut, foto yang ada dalam dompet bapakku, yaitu foto dengan aku dan adikku
di dalamnya. Saat kami masih kecil, dengan kisah yang kualami dan masih kuingat
jelas sampai sekarang. Setelah disabet berkali-kali dengan handuk basah
tersebut, tentu aku menangis. Bukan hanya karena rasa sakit karena sabetan yang
membuat kupingku hampir budek berdengung-dengung tapi juga kerena umpatan dan
makian yang keluar dari mulut ibuku sudah sampai batas nama-nama jahanam yang
entah terenggut dari lorong-lorong gelap nan kotor yang antar brantah.
Karena mungkin ibu sudah capek menyabeti aku dengan handuk basah
yang jelas berat tersebut, ibu lalu gantian menendangku dan mencubitiku atau
isitilahnya dalam bahasa Jawa yaitu ‘nyiweli’ sampai pahaku terasa begitu perih
sakit. Aku tahu setelah ini pasti akan meninggalkan bekas biru-biru kehitaman
di pahaku, karena hal tersebut sudah sangat sering aku alami. Ibu menyuruh aku
berhenti menangis, namun bukannya berhenti menangis aku malah menjadi-jadi. Air
mata berleleran keluar membasahi pipi dan sesenggukan aku lalu diseret ibu
keluar dari rumah. Tangan besar ibu mencengkeram pergelangan tangan kecilku,
terasa kasar dan sakit. “Minggato wae neng omah malah mung gawe perkoro kowe,
anak setan!” Ya itu berarti aku telah diusir ibuku, “kono rasah neng kene, aku
wegah mbok eloni meneh, minggato!” sambil berkata seperti itu ibu membanting
pintu rumah. Lalu terdengar suara klik dari dalam rumah, suara pintu dikunci!
Aku tetap menangis di beranda rumah, namun hanya air mata yang
berleleran dengan hidung yang juga basah oleh ingusku, tanpa suara. Hari sudah
menjelang magrib, tapi tidak kujumpai bapakku juga. Aku hanya menunggu bapak
pulang, aku tahu cuma bapak yang sayang kepadaku. Aku anggap begitu karena ibu
begitu jahatnya tega telah mengusirku.
Jalanan dipetang hari begitu sepi, ibu tidak juga membukakan pintu
untukku dan bapak juga belum kelihatan tidak tahu dimana. Yang terlihat
didepanku hanyalah pekarangan rumah yang berdiri dua pohon yaitu pohon rambutan
dan pohon mangga, diantanya berdiri tiang listrik besar yang tiangnya dari
beton, jadi saat aku lingkarkan tangan kecilku tidak juga cukup merangkul penuh
tiang listrik yang menyambungkan listrik satu desa tersebut. Lalu terdapat
sungai yang arusnya kadang deras saat hujan turun, diatasnya ada jembatan bambu
atau kami sering menyebutnya dengan ‘sesek’ yang menyambungkan pekarangan
rumahku dengan jalan raya kecil. Rumahku menghadap ketimur dengan bertetangga
rumah megah milik seorang pengusaha kayu. Rumah megah dengan tembok pembatas
yang tinggi dan diatasnya terdapat kawat duri, rumah yang berada di samping
kiri rumahku. Karena di depan rumah hanya ada kebun luas dengan ditumbuhi
berbagai macam pepohonan rimbun, yang kami menyebutnya dengan ‘alas cilik’
alias hutan kecil. Agak jauh di utara ada gereja dan di selatannya ada tembok
menjulang tinggi bangunan penjara peninggalan jaman Belanda yang di atasnya
juga terdapat tempat mengintai berikut lonceng besar. Lonceng yang jarang
sekali terdengar, aku pernah mendengarnya sekali itu saat ada narapidana yang
kabur melarikan diri lewat lubang pembuangan yang tembus ke sungai.
Di sudut belakang tembok yang mengitari penjara tersebut kalau
dari cerita nenekku adalah tempat penjagalan manusia pada peristiwa 65 dulu.
Aku cukup ngeri membayangkannya, ketika kepala manusia dalam hitungan detik
sudah terlepas dari tubuhnya ditebas oleh parang dengan darah yang
menyelimutinya. Aku tidak tahu cerita tersebut benar atau tidak, tapi yang
jelas kalau dari cerita tetangga sekitar memang sering melihat banaspati, yaitu
kepala yang terbakar terbang di antara pepohonan kelapa. Aku juga tidak tahu
hal tersebut benar atau tidak, aku belum pernah melihanya.
Dilangit timur mulai muncul bintang kecil, sandyakala sudah hampir
menghilang. Sandyakala yaitu senjakala atau dalam kebudayaan Jawa mengandung
muatan keramat dan gaib, karena menandai masa antara siang dan malam, terang
dan gelap. Di bawah suasana warna langit kemerahan dan sebagian petang, mulai
berkeliaranlah makhluk-makhluk kegelapan, termasuk roh-jahat yang diperhebat
lagi oleh kata ‘ala’ yang berarti jahat atau buruk. Bahkan saat sandyakala
seperti ini biasanya anak-anak yang bermain harus pulang kerumah masing-masing,
tidak ada yang boleh keluar rumah. Begitu pantangan dan kepercayaan dari orang
Jawa.
Namun aku sekarang, tetap diluar sambil menangis sesenggukan. Air
mata belum juga berhenti mengalir. Awet sekali tangisku hingga terdengar suara
pintu terbuka, ternyata nenekku. Nenek berusaha mendiamkan aku agar tidak
menangis lagi dan mengajakku masuk, tapi aku takut kalau di dalam akan dihajar
oleh ibuku lagi. Jadi aku tetap tidak mau masuk rumah, berharap bapak yang akan
datang menolongku dan melindungi aku dari amukan ibu. Nenek dengan kebaya dan
jarit yang ia pakai menghapus air mataku yang membasahi pipi.
Nenek tetap membujukku masuk karena hari sudah hampir malam,
sayup-sayup adzan magrib saja sudah berganti dengan adzan isya. Aku tetap tidak
ingin masuk rumah, karena aku rasa wajah marah ibuku jauh lebih menakutkan
daripada makhluk dunia lain yang paling seram sekalipun. Lalu nenek duduk di
belakangku, dia bercerita bahwa dulu sewaktu ia kecil juga pernah diusir ibunya
keluar dari rumah, menangis sendiri dalam gelap malam di beranda rumah, dan
tiba-tiba ada tangan dengan jari-jari sebesar pisang yang menyentuh pundak
nenek. Kata nenek lagi, tangan tersebut sangat dingin seperti es batu, dengan
bulu-bulu yang lebat, namun saat nenek menengok kebelakang tidak ada siapapun.
Setelah bercerita tersebut nenek lalu masuk rumah meninggalkanku sendiri. Pintu
tertutup rapat, tapi aku tahu pintu tidak lagi dikunci. Setelah menghapus
sekenanya air mata di pipi, aku masuk rumah. Aku melihat ibu berdiri menyandar
di tembok samping kamarku dengan menatapku dingin “wis kesel nangise?” hanya
itu yang keluar dari mulut ibuku.
Ingatan masa kecilku, aku tidak menangis menatap foto kusam masa
laluku ini. Hatiku sudah cukup mengeras, dingin terasa walau kadang masih
sakit. Ku taruh lagi dompet bapak di meja rias ibu. Setelah mengambil uang
seratus ribuan untuk membeli bunga tabur. Aku lalu keluar, diluar orang-orang
sudah sibuk menata kursi di pekarangan rumah dan tetangga juga sanak saudara
dekat sudah berdatangan. Bapak duduk di tikar sambil menangis, tidak kulihat
adikku entah dia menangis dimana. Di depan bapak, dalam tutupan jarit ibuku
terbujur kaku tidak bergerak. Terbungkam diam membungkam serta seluruh
keangkuhannya semasa hidup.