Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, November 25, 2015

Selamanya Kawan

Beranjak kau pergi tinggalkan masa-masa bersama
Kau pergi berlari sesaat tinggalkan semua
Kawan perjalananmu akan sepi tanpa kawan
Langkahkan lah perlahan
Raihlah mimpimu dan rebut kemenangan
Aku tak akan pernah terhenti
Tuk terus semangati diri
Tetaplah berjalan dan tetaplah perlahan
Ku akan terus menunggumu
Hingga semua kan seperti dulu
Selamanya kawan*
*Selamanya Kawan lagu After School Before Sunset



Ada satu masa dimana semua yang selalu bersama tidak lagi bersama. Mencari jalan masing-masing atau harus berpisah karena suatu keadaan. Mungkin begitulah yang menggambarkan keadaan sekarang ini. Aku merindukan kalian, kawan-kawan seperjuanganku.

Mengingat kita sekarang harus mencari jalan masing-masing, mencari kesuksesan kita masing-masing. Aku hanya berharap semoga kalian tidak melupakan semua yang pernah kita lewati bersama. Malam-malam gila yang melelahkan, begadang main poker disela-sela tugas mengerjakan pembuatan video KKL. Tertawa bersama sampai perut benar-benar kaku, di malam-malam saat kalian berjoget di stand gila Bulan Pahlawan. Atau juga saat kita menghadapi masalah-masalah pelik. Tawa canda yang tak kan pernah terlupa. Semoga kalian masih menyimpan kenangan tersebut dalam ingatan kalian dengan baik. Masa-masa yang membuat masing-masing dari kita menjadi lebih dewasa dan semakin dewasa.

Jika terlupa, maka ingatlah kembali kawan. Ingatlah kita pernah bersama menempuh perjalanan-perjalanan yang jauh menjelajahi tempat-tempat yang belum pernah sama sekali kita datangi. Ingatlah kita pernah bersama-sama bercanda dalam perjalanan tersebut, kita pernah kedinginan karena kehujanan bersama. Ingatlah kita pernah berebut jas hujan bersama, sampai-sampai aku harus membeli jas hujan baru di Wonosobo. Ingatlah juga saat kita tertidur di kursi taman depan Grand Mall Solo. Atau makan nasi kuning di pinggir alun-alun Blora. Ingatlah itu kawan, kita pernah merasakan itu semua bersama. Merasakan pantat-pantat kita panas karena menempel di atas motor dari Semarang melintasi Bali hingga keliling Pulau Lombok. Sungguh petualangan yang tak pernah kulupakan. Ingatlah bahwa kita sudah seperti saudara saat kita pergi pada suatu tempat dan kita pasti memiliki tempat berteduh atau sekedar makan gratis. Ingatlah kawan The Rampoxs J

Ingatlah juga saat menangis dan tertawaku menjadi satu dalam suatu keadaan yang sangat ingin aku skip dari sejarah kehidupanku. Tapi kalian jelas merekam semua itu dalam ingatan kalian masing-masing, jadi pahit manis semuanya akan tetap aku kenang dan tak mungkin bisa satu pun ku hapus. Bagiku semua yang pahit dulu, saat ini sudah menjadi cerita lucu walau juga memalukan. Ingatlah kalian kawan saat bercanda kalian sudah sangat keterlaluan, tapi aku tidak akan marah. Karena bully tanda sayang, iya kan kawan? Jadi, meskipun aku pernah sampai akan dipenjarakan oleh suatu kekonyolan, disitu kalian yang akan merubah tangis sedihku menjadi tangis haru biru bahagia. Dengan cara kalian masing-masing. Aku bersyukur memiliki kalian kawan, dan semoga juga sebaliknya. Terima kasih atas masa yang penuh bahagia, tawa maupun air mata akan menjadi kenangan yang membuatku kaya.

Ingatlah kawan, saat aku benar-benar terbuang karena satu kekonyolan yang dinamakan cinta. Saat aku benar-benar jatuh, selalu ada kalian yang rela mengajakku berdiri walau sambil memarahiku karena kebodohanku sendiri. Aku bersyukur atas itu semua, kalian kawanku, sahabatku, mBolank J

Semoga kalian tak pernah melupakan semua itu. Masa dimana kita pernah bersama-sama tidur dalam satu kamar yang sempit, karena kelelahan begadang membuat video KKL. Walau aku selalu menjadi cewek satu-satunya. Tapi tak menjadi penghalang kebersamaan kita kawan. Sampai perut terasa kembung dan paginya tetap harus bangun dengan badan yang remuk, ditambah ternyata video kita tidak dapat diputar. Disitu kita pernah sama-sama merasa tertusuk, merasa wajah tertampar oleh segala orang yang telah mengamanati kita tugas tersebut. Tetapi dengan rangkulan tangan kita masing-masing, kita berdiri bersama. Kita bersama menghalau galau dan berjanji bahwa suatu hari kesalahan tersebut akan kita tebus. Itu semua menjadi pelajaran yang sangat penting bagi kita.

Semua malam-malam yang pernah kita lewati dengan begadang bersama sampai pagi, masih tersimpan baik dalam stand-stand Bulan Pahlawan yang kita isi dengan canda tawa canda tawa dan begitu seterusnya. Dalam embun pagi yang menempel di rumput. Juga dalam lingkar bulan yang diarak awan-awan malam. Indah dalam bingkai ingatan. Ingatlah juga kawan, saat rapat-rapat membosankan mengembungkan perutku karena harus duduk di lantai yang dingin hingga malam menghampiri dini hari. Tapi ingatlah juga, saat kita berangkulan dan berjingkrak bersama hingga keringat yang mengucur menjadi satu. Bernyanyi hingga parau. Kita pernah merasakan semua itu kawan.

Mengingat kalian yang sampai dengan rajinnya memaksaku makan, menyeretku menaiki motor, kita bertiga melaju. Tak peduli orang-orang yang melihat akan mengatakan cabe-cabean, kita hanya tertawa. Buat kalian yang penting aku tidak lupa makan, mengajakku ke warung, agar asam lambungku yang biasanya naik tidak lagi naik. Kalian yang mengajarkanku serunya ruang karaoke, kalian yang mengajarkanku bahwa aku juga bisa berteman dekat dengan kawan-kawan sesama cewek. Dan kalian yang juga sering menyeretku menggosipkan segala hal tentang orang lain. Meskipun aku lebih sering hanya mendengarkan, tapi kalian yang mengajarkanku tentang banyak hal membuatku mengerti hidup tak hanya tentang hitam dan putih saja. Kalian yang menganggapku ada, memberikanku tempat diantara kalian. Kalian yang membelaku dan bersama menghadapi berbagai picik pandangan orang lain. Ingatlah kalian, Cocomers J

Ingatlah juga kawan, kalian yang pernah satu piring denganku. Kita masak bersama, lalu dengan tawa kita makan bersama. Kesederhanaan yang tak pernah ternilai dengan apapun. Meskipun lauk yang ada hanya ala kadarnya tapi tangan-tangan yang saling mengambil bersama menjadi penikmat yang kenangannya sampai sekarang masih sangat ingin bisa aku ulangi.

Ingatlah kalian yang pernah satu ruang denganku, bahkan duduk disampingku. Yang pernah aku coreti tangannya, karena bosan mendengarkan dosen memberikan materi Sejarah yang kalian balas dengan menguap. Atau terfoto wajahnya saat ketahuan tertidur. Yang membalas keusilanku dengan menyembunyikan sepatuku dilemari depan, atau buku binderku dibawah bangku, atau malah tasku yang kalian masukan ke dalam tas kawan yang lain. Ingatkah itu kawan? Semua itu masih terekam baik dalam ingatanku, bahkan dalam buku binderku pun masih banyak coretan-coretan usil kalian.


Aku akan mengenang semuanya baik-baik, kalian yang pernah akrab, kalian yang pernah mesra. Semoga tak akan pernah terlupa akan kebersamaan kita. Dan jika keberuntungan masih berada di pihakku aku juga berharap semoga kita bisa mengualangi semua itu dengan kebersamaan yang jauh lebih indah lagi. Semoga kita bisa menemukan kesuksesan kita masing-masing. Pada akhirnya kalian yang tidak mampu aku sebutkan satu per satu, semoga kalian selalu mengenang semuanya dengan baik.

Batang, 25 November 2015






Monday, November 23, 2015

Hidup Diantara Langit


Hidup diantara langit, dengan segala kemewahan. Sedangkan aku dengan pakaian oblong dan lumpur tanah yang menempel di sendal jepitku hanya bisa tersenyum. Mereka juga tersenyum menyapaku tulus sekali, aku bersyukur. Sungguh aku bersyukur atas senyum seramah itu walaupun mereka terlihat memakai jubah-jubah emas dan sepatu tinggi yang jika aku harus melihat wajah rupawan mereka aku harus mendongak.

Mereka putih, dan benar saja tebakanku, mereka bermandikan berliter-liter botol susu. Aku tersenyum lagi memandangnya. Lalu air hujan mengguyur, mereka berteduh dalam rumah beratap bintang-bintang keemasan yang tersusun membentuk lembayung indah sekali. Aku tetap berdiri di tempatku, kubiarkan air hujan membasahi tubuhku. Mereka heran memandangku sambil lekuk sabit manis tersusun di bibir mereka, mereka mengajakku ikut berteduh. Karena ini rumah kami bersama, aku juga tahu itu. Tapi mereka tidak tahu, bahwa dengan air hujan inilah caraku mandi. Lalu senyum manis itu berubah masam, mereka bukan lagi heran tapi mulai menganggapku aneh. Aku hanya tersenyum kecut, malu bercampur tidak enak hati. Tapi memang beginilah caraku mandi.

Setelah hujan, angin mengantarkan dingin yang gigil. Dalam rumah bintang-bintang itu, mereka menyalakan perapian. Lalu satu per satu menyumbangkan kayu bakar agar perapian itu tetap menyela. Aku juga harus menyumbang kayu bakar, mereka bilang ini demi kehangatan bersama. Aku mulai bingung, aku tidak memiliki kayu bakar. Mereka tersenyum memaklumi, tapi hati kecilku tersenyum mencibir itu tidak adil. Nuraniku mulai menceramahi, aku tidak ingin kalau sebentar lagi gantian pikiranku yang mencibir diriku sendiri. Jadi kuputuskan untuk mencabut salah satu tulang ditubuhku untuk perapian itu. Mereka hanya tersenyum kasihan dan bilang demi kehangatan bersama. Tapi aku bilang, ini demi kebersamaan yang hangat. Kami tersenyum bersama-sama.

Awan-awan putih membentuk jalan diantara toko-toko yang bercahaya. Sambil bercanda-tawa mereka memasuki tiap toko itu, lalu keluar dengan membawa kantung-kantung yang berisi berbagai jenis belanjaan. Aku yang tetap berjalan di belakang mereka pasti hanya akan berhenti di depan toko menunggui mereka keluar dari toko, berjalan sebentar lalu memasuki toko lain, begitu seterusnya dan aku tetap setia pada batasku yang hanya pada depan toko saja. Menunggui mereka. Bisa berjalan diatas jalan awan-awan putih saja sudah menjadi senyum tersendiri untukku meskipun kulalui hanya dengan sendal jepitku yang disudut-sudutnya berwarna coklat.

Setelah sampai kembali di rumah bintang-bintang, kami mengitari sebuah meja makan nan besar. Diatasnya berisi berbagai macam hidangan yang begitu kumplit. Sebelum makan mereka mengisi sebuah nampan dengan koin-koin emas. Tiba pada giliranku, nampan yang setengah penuh tersebut hanya mampu aku pandangi, lalu dengan tersenyum kucabut lagi tulangku untuk mengisinya. Kemudian kami menikmati berbagai macam hidangan tersebut bersama-sama.

Begitu setiap harinya, hingga kupandangi tulang di tubuhku hilang satu per satu. Aku mulai bingung, kuhitungi hari kapan aku akan dipulangkan kembali ke tempatku. Pada jalanan yang terik terpanggang matahari hingga hitam legam, pada nasi yang tergelar di selembar kertas namun dapat kumakan dengan nikmat tanpa harus mencabuti tulangku. Juga pada rangkulan tangan-tangan yang berwarna-warni mengajakku melonjak tanpa takut apapun. Tak perlu harus memikirkan berbagai ketinggian yang tak mampu kugapai. Disini. Aku sadar ada batasan yang tidak mungkin aku mampu lewati sekalipun aku hidup bersama mereka. Aku tetap saja tanah.




Saturday, November 7, 2015

Puasa Nulis


Statusku ini menjadi penanda bahwa aku sudah sangat ingin menulis blog, tapi entah rindu belum juga terumahkan.
Kesibukan mengajar merenggut segala niat untuk merumahkan segala rindu akan kata.
Tapi disela-sela jam mengajar kali ini kusempatkan untuk menuliskan segala entah yang antah brantah ini.

Sekedar mengisi kekosongan.