Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, July 17, 2015

Tangan Ibu

Tubuhnya melayang tepat di atasku dan hampir membuatku memekik saking kagetnya. Tapi dengan sangat cepat dia menyentuh pipiku dengan tangannya yang sedingin es. Makhluk itu, iya aku mengingatnya. Rambutnya yang kusut dan tubuhnya yang bau anyir tak mungkin bisa aku lupakan. Sosok yang dulu begitu akrab denganku tiap hari, dengan wujud yang bisa mambuat anak kecil manapun akan menangis bahkan orang dewasa juga akan lari ketakutan. Tapi tidak untukku, karena aku memang mengenalnya. Dia ibuku.


Kenapa ibu menemuiku lagi, seingatku ibu tiba-tiba menghilang saat aku masuk bangku sekolah menengah pertama. Waktu itu aku benar-benar kehilangan sosok ibu, meskipun kenyataannya aku memang sudah kehilangan ibuku saat dia melahirkanku. Iya ibu memang meninggal saat melihirkanku, tapi sejak aku mulai di sekolahkan di taman kanak-kanak aku mulai bisa melihat wanita yang berdiri di pojok ruangan memperhatikanku. Dengan baju putihnya yang terkena bercak darah dan wajahnya yang pucat dia akan tersenyum tipis jika aku balik memandangnya. Wajah itu sangat mirip dengan foto yang ayah perkenalkan padaku bahwa dia ibuku. Meskipun dalam foto wajah ibu terlihat segar ceria dengan senyumnya yang mengembang lebar memeluk ayah. Tapi memang tidak salah lagi bahwa dia ibuku.

Hanya aku yang bisa melihatnya sehingga teman-temanku yang lain menganggapku aneh, bahkan ayah selalu memarahiku tiap kali aku berbicara tentang ibu. Jadi kusimpan sendiri rahasia bahwa aku bisa melihat ibu, karena aku tidak ingin dijauhi teman-temanku dan dianggap aneh oleh mereka. Aku juga tidak ingin dimarahi ayah dan ibu tiriku.

Ibu memang muncul hanya saat-saat tertentu saja, seperti saat aku pertama kali masuk sekolah, saat aku menangis dan saat aku sedang terkena masalah. Atau saat aku mendapat menstruasi pertamaku. Waktu itu kulihat ibu berdiri menghadap tembok sambil menjilati pembalutku, mulutnya penuh darah segar dan membuatku hampir memuntahkan seluruh isi perutku. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi membuang pembalut di tempat sampah kamar mandi, aku akan mencucinya bersih terlebih dahulu lalu membungkusnya untuk selanjutnya kubuang di kali. Kuanggap itu sebagai nasehat dari ibu agar aku tidak seenaknya membuang barang pribadiku. Ibu memang selalu memperingatkanku dengan caranya sendiri.

Ibu tidak pernah berbicara sedikitpun padaku. Saat aku menangis sedih, ibu akan menutup mataku dengan telapak tangan kirinya lalu membuatku seolah seperti bermimpi. Aku seperti tiba-tiba berada di tempat lain. Pernah saat itu, saat aku masih duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. Aku benar-benar sedih karena teman sebangkuku marah padaku, berhari-hari dia menjauhiku dan saat kuajak bicara sama sekali tidak menjawabku malah melengos pergi. Lalu saat pulang dia sengaja melemparkan tasku ke tong sampah. Aku tidak tau apa salahku, aku benar-benar marah padanya tapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Sampai rumah aku menangis sejadinya, lalu ibu datang melayang mendekat kearahku, aku pikir dia akan menghapus air mataku karena kulihat tangannya menyentuh wajahku tapi ternyata dia hanya menutup kedua mataku. Beberapa detik gelap menyergapku, lalu kulihat aku seperti sedang berada pada tempat yang lain.

Di tempat itu kulihat temanku tersebut, dia sedang berlari keluar dari rumahnya dengan membawa buku gambar yang mirip dengan buku gambarku yang hilang. Di sudut kiri sampulnya terdapat nama yang sengaja dihapus dengan typex. Jadi selama ini dia yang mengambilnya, aku akan memarahinya jika besok bertemu. Kulihat temanku begitu senang sambil membuka buku gambarku dan menyebrang jalan menuju rumah temanku yang lain. Lalu dari arah kiri, tiba-tiba sebuah sedan melaju menghantam tubuh temanku tersebut. Tubuh kecilnya terlempar sebelum terguling menghantam aspal jalanan. Keadaan itu begitu cepat sampai aku tergagap lalu tersadar tersentak kubuka mataku, aku masih berada di dalam kamarku sendiri. Keringat menitik di dahiku dan aku mengigil. Di depanku sudah tidak ada ibu, dia menghilang. Dua jam setelah itu, aku mendapat kabar bahwa temanku tersebut meninggal karena kecelakaan.

Di lain waktu saat ayah sudah seminggu tidak pulang karena harus menunggui ibu tiriku yang sedang mengandung dan meminta tinggal di rumah orang tuanya selama menjelang persalinan. Padahal saat itu adalah Hari Natal, tapi aku harus kesepian, tiba-tiba ibu juga menemuiku. Awalnya dia hanya berdiri disudut ruangan sambil memperhatikanku. Aku sendiri hanya duduk sedih di depan TV sambil menonton acara yang menyiarkan film sebuah keluarga yang sedang merayakan natal bersama. Ibu lalu mendekatiku dan menutup kedua mataku dengan telapak tangannya yang dingin. Seperti mimpi, aku kembali dibawa kesebuah tempat yang tidak aku ketahui.

Di situ terdapat sebuah aula cukup besar, tempatnya seperti rumah bangunan belanda. Ada seorang anak kecil dengan rambut yang dikepang dua. Dia melihat keluar jendela, dimana di luar terdapat sebuah taman yang cukup luas dengan banyak permainan anak-anak lengkap dengan belasan anak-anak yang sedang bermain. Ada yang berayun di atas sebuah ayunan yang tergantung di sebuah cabang pohon besar yang menghuni taman tersebut. Ada juga yang sedang bermain petak umpet dan permainan lompat tali. Ada juga anak laki-laki yang meluncur dari sebuah perosotan yang terbuat dari bangunan beton. Sedangkan anak kecil berkepang dua itu hanya melihat semuanya dari jendela yang terbuka. Kalau kuperhatikan mungkin usianya seumuran denganku. Tangannya memegang sebuah foto separuh terbakar, dia tetap mematung menatap keluar jendela. Matanya dingin tanpa ekspresi dengan tatapan yang kosong.

Belakangan kuketahui dari nenek bahwa dulu ibuku yatim piatu, setelah kedua orang tuanya meninggal akibat kebakaran rumah yang menghambiskan seluruh rumahnya beserta kedua orang tuanya. Sedangkan yang selamat dari peristiwa tersebut hanya ibuku. Warga sekitar menemukannya pingsan di dalam bak mandi. Lalu karena tidak memiliki keluarga lagi, ibu dititipkan disebuah panti asuhan. Jadi kusimpulkan bahwa anak kecil berkepang dua memegang foto setengah terbakar tersebut adalah ibuku.

Banyak yang ibu perlihatkan dengan tangannya yang dingin saat menutup kedua mataku. Namun itu semua berlangsung saat aku masih kanak-kanak. Dan saat aku sudah menginjak remaja ibu tidak pernah lagi menemuiku. Terakhir adalah saat kulihat ibu hanya duduk di ruang kerja ayah, rambutnya yang kusut dihiasi tanah liat menjuntai sampai lantai. Ibu tersenyum melihatku. Terkadang aku sangat ingin dipeluk ibu meski keadaan ibu seperti itu. Lalu sekarang setelah bertahun-tahun ibu menemui kembali. Apa yang membuat ibu menemuiku lagi?

Sosoknya menghilang berbarengan dengan suara bel dan pintu yang dibukakan oleh pembantuku. Mungkin itu suamiku yang pulang. Dan benar saja, dengan wajah yang kuyu dan penuh guratan lelah, Mas Nugroho langsung mengehempaskan badannya di sebelahku. Aku memeluknya dari samping lalu kutawarkan untuk memijitnya, tapi dia menolaknya sambil mencium keningku. Sepertinya dia memang sangat kelelahan, aku hanya tersenyum. Dia memiringkan badannya memunggungiku, lalu beberapa menit kemudian kudengar dengkuran halus. Dia pasti sangat kelelahan sehabis kerja.

Paginya kumasakan makanan kesukaan Mas Nugroho. Meskipun kami memang menyewa jasa pembantu tapi untuk urusan dapur semua aku sendiri yang mengurusi. Aku ingin menyenangkan hati suamiku, aku yang selalu memasak untuknya. Selama ini Mas Nugroho memang sangat baik sebagai suami, dia adalah adalah suami yang sempurna bahkan selama 5 tahun lebih pernikahan kami masih selalu mesra. Karena itu aku ingin dia merasa beruntung telah menikahiku serta selalu merindukanku dan masakanku. Aku selalu ingin menyenangkan hatinya dengan itu. Tapi untuk hari ini kulihat Mas Nugroho makan seperti tidak selera. Aku khawatir dia sakit, tapi setelah kutanyakan dia hanya menjawab bahwa dia sedang pusing dengan masalah pekerjaan.

Hari ini adalah hari minggu, tapi Mas Nugroho berpamitan untuk pergi untuk urusan kantor. Kulihat wajahnya memang seperti sedang memusingkan sesuatu. Dia pergi juga dengan terburu-buru. Mungkin memang masalah pekerjaannya sangat berat. Aku jadi kasihan melihatnya seperti itu.

Aku merapikan meja makan dari piring-piring kotor yang berada di atasnya, tapi melihat sisa ayam goreng aku merasa sangat mual. Hingga akhirnya kumuntahkan seluruh sarapanku. Beberapa hari terakhir ini memang aku sering sekali mual dan setelah kupikir memang aku sudah telat mestruasi selama satu bulan. Aku harus ke rumah sakit untuk mengeceknya.

Pulang dari rumah sakit keadaan sudah cukup sore dan hampir magrib, tapi aku merasa sangat bahagia. Surat keterangan yang kuterima setelah cek di dokter sangat menggembirakan untukku. Karena setelah 5 tahun lebih usia pernikahanku dengan Mas Nugroho, akhirnya kami akan memiliki anak. Selama ini meskipun aku tidak kunjung hamil tapi Mas Nugroho tidak pernah mempermasalahkan itu, dia tetap mencintaiku. Rumah tangga kami tetap utuh dan tidak pernah ada masalah yang berarti. Aku sangat beruntung mempunyai suami seperti dia yang mampu menerima aku apa adanya.


Dia pasti akan sangat senang mendengar kabar gembira ini, ku kirim pesan untuk menanyakan kapan dia pulang sambil kumasakkan nasi goreng untuknya. Setelah mendapat balasan bahwa dia sebentar lagi sampai rumah, kusiapkan nasi goreng yang sudah matang diatas meja makan sambil menungguinya. Tanpa kusadari sosok berbaju putih dengan rambutnya yang panjang telah berdiri di sampingku. Kakinya yang tidak menapak lantai rumahku, mengambang dan melayang semakin mendekatiku. Aku tersenyum menatapnya, inikah alasan kenapa ibu kembali menemuiku, karena aku juga sebentar lagi akan menjadi ibu.

Tangan ibu yang dingin menyentuh mataku. Menutupnya hingga gelap sesaat lalu setelah itu kulihat seorang laki-laki tergopoh-gopoh masuk ke dalam sebuah rumah. Ada seorang wanita cantik menyambutnya lalu menggandeng tangannya menuju sebuah kamar berwarna merah jambu, disitu seorang anak kecil mungkin berusia dua tahun sedang tertidur. Laki-laki itu menyentuh kening anak itu, lalu tersenyum. Sang wanita juga tersenyum lalu bergelayut mesra pada si laki-laki. Mereka keluar kamar merah jambu tersebut dan masuk ke kamar yang lain sambil berciuman.

Aku terengah-engah membuka mata. Air mata tanpa kusadari menetes membasahi pipiku. Dengan sangat jelas aku melihat adegan itu, laki-laki itu adalah suamiku dan wanita itu adalah adik tiriku. Aku hanya mematung ditempat dudukku dengan perasaan hancur. Suamiku dengan adik tiriku sudah berselingkuh bahkan memiliki anak berusia 2 tahun. Selama itu mereka berhubungan tapi aku sama sekali tidak tau, wanita macam apa aku? Aku harus bagaimana? Terlebih aku sedang mengandung, apa aku harus menceraikannya? Lalu bagaimana dengan nasib anakku? Tidak, mungkin saja yang diperlihatkan ibuku tadi salah atau itu hanya halusinasiku. Tapi selama ini ibu selalu menunjukanku tentang kenyataan dan itu pasti benar terjadi. Lalu apa yang harus aku lakukan? Pikiranku tiba-tiba tumpul, hatiku sudah hancur.

Bel berbunyi, pembantuku yang membukakan pintu, suamiku pulang. Dia menghampiriku dengan tersenyum padahal tadi pagi dia meninggalkanku dengan muka yang begitu sedih. Tapi sekarang dia bahagia. Air mata sudah kuhapus dari pipiku. Dia mencium keningku. Aku tersenyum untuknya. Yang terpenting kamu bahagia.


Wednesday, July 15, 2015

Perempuan Di Moncong Senapan

Tubuhnya diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.

Disebuah ruang seperti gudang dengan tikar sulam di sudutnya dia dilemparkan. Di dalam telah menunggu beberapa laki-laki berseragam serupa dengan dua laki-laki yang menyeretnya tadi. Sudah hafal betul dia dengan apa yang akan dialami selanjutnya. Dia hanya memejamkan matanya sambil mematikan seluruh indranya, tak ada lagi isak apalagi tangis atau teriakan kesakitan dari mulutnya. Lelah dia pasrah.

Semalaman dia akan digilir oleh banyak laki-laki, bahkan untuk menghitung berapa jumlah laki-laki yang menindih tubuhnya saja dia sudah tidak sanggup. Karena biasanya dia akan pingsan setelah menahan kesakitan luar biasa disekujur tubuhnya, sampai dia terbangun lalu pingsan lagi. Berkali-kali. Namun seluruh laki-laki itu seakan tidak surut memuntahkan nafsu pada lubang di tubuhnya. Tak ada belas kasihan. Hingga seluruh laki-laki yang telah mendapat giliran jahanam itu selesai. Jadi dia hanya pasrah.

Pasrah juga saat tubuhnya kembali dilemparkan dalam sel tempatnya harus menghabiskan hari-harinya dengan rasa sakit. Di situ telah menunggu beberapa perempuan lain dengan nasib yang serupa. Tak berani dia menghitung berapa jumlah perempuan yang satu sel dengannya. Karena tiap hari wajah-wajah putus asa itu selalu hilang satu per satu. Berkurang. Dan seolah dia paham kemana mereka pergi. Mereka mati. Tak kuat menahan penyiksaan diluar batas kemanusiaan.


Nyeri disekujur tubuhnya membuatnya pingsan lagi. Darah segar yang mengalir menguar amis dari sela-sela kedua kakinya. Perempuan lain yang lebih tua darinya mendekati tubuhnya. Lalu dengan jarit dia mengelap darah tersebut. Sambil memijit-mijit kakinya membuat dia bangun dari pingsan yang sesaat. Membuat air matanya meleleh tanpa dia sadari.

Perempuan itu mengatakan banyak kalimat, mungkin maksudnya untuk membuatnya kembali bersemangat. Namun tak sedikit pun berpengaruh untuknya. Telinganya terlanjur tuli karena terlalu sering mendengar bentakan, cacian dan makian yang keluar tiap kali dia digilir. Membuatnya tak lagi bisa membedakan mana kalimat hinaan dan mana kalimat nasehat penyemangat. Yang dia tahu di sini dia hanya menunggu mati.

Hari berikutnya, perempuan lain yang jauh lebih muda darinya yang diambil. Tubuh perempuan itu diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuat perempuan itu juga serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Perempuan itu pasrah.

Sesaat kemudian perempuan lain juga diseret keluar sel. Juga dengan perempuan lain berikutnya. Dan kemudian perempuan yang selanjutnya. Sedangkan dia hanya tidur meringkuk menunggu giliran. Dia pejamkan kedua matanya, meredam rasa sakit yang tidak juga hilang dari sekujur tubuhnya. Kedaan sekitar membuatnya mati rasa. Dia tidak ingin memikirkan apapun, dia tidak ingin merasakan apapun. Lalu kedua tangannya dicengkeram dua orang laki-laki yang memaksanya bangun.

Tubuhnya diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki tersebut, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia kembali pasrah.

Dia dimasukan di sebuah ruangan yang lain dari biasanya, di dalam ada seorang laki-laki yang langsung menyergapnya. Didudukan dia disebuah kursi dengan tangan dan kaki yang diikat pada kursi tersebut. Laki-laki itu mulai menanyainya dengan berbagai pertanyaan yang sama sekali tidak dia mengerti. Dan karena memang benar dia sama sekali tidak mengerti maka dia hanya diam. Lalu setelah selesai dengan satu pertanyaan tanpa jawaban laki-laki berseragam petugas tersebut akan mendaratkan moncong senapan pada wajahnya. Hingga dia babak belur dengan darah yang menitik di sudut bibir dan sebelah kupingnya.

Dia hanya diam juga saat petugas itu melepas kebaya lusuh yang menggantung di tubuhnya tanpa sempat diganti selama dia di masukkan dalam tahanan. Lalu ternyata jaritnya juga dilepas paksa oleh petugas tersebut. Hingga dia kini terduduk dengan telanjang bulat. Dia hanya diam. Karena tenaga memang sudah terkuras habis tak tersisa dari tubuhnya meski hanya sekedar ronta. Ingin sekali dia pingsan sampai proses penyiksaan selesai, atau mati sekalian. Tapi tubuhnya tetap sadar meski dia pejam matanya rapat-rapat.

Sebuah lilitan dari kawat digantungkan pada kedua puting di dadanya. Lalu lilitan lawat lainnya juga dimasukkan pada lubang perempuannya. Ingin dia meronta, tapi tenaga terlanjur raib dari tubuhnya. Menyangga kepalanya saja dia tidak mampu, tergolek dia di kursi penyiksaan. Petugas tersebut mulai menyalakan alat yang menjadi ujung dari lilitan kawat tersebut. Lalu listrik mulai menyengat dada dan lubang perempuannya. Membuat seluruh tubuhnya merasakan kesakitan luar biasa. Dia pingsan.

Tak sadarkan diri hingga bagian yang disengat lilitan kawat listrik tersebut memeleh. Laki-laki berseragam petugas tersebut baru mematikan alat penyiksa yang berada di samping kiri meja. Dia masih belum sadarkan diri juga saat petugas menyabet wajahnya dengan jaritnya lalu melepaskan tali-tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya pada kursi.

Saat dia sadar tubuhnya sudah tergeletak di dalam selnya lagi. Tubuhnya seakan tak lagi mampu mengeja rasa selain sakit dan sakit. Terlalu pedih untuknya bahkan untuk makhluk bernyawa manapun yang harus merasakan penyiksaan sekeji itu. Sakit tak terperi. Sakit hingga hanya satu pilihannya yaitu mati. Dia begitu kecewa kenapa dia tidak mati sekalian karena satu-satunya yang dia harapkan setelah mengalami berbagai penyiksaan tersebut adalah mati. Namun dia tetap hidup meski tak utuh seperti sebelumnya. Dia sadar dada dan lubang perempuannya yang meleleh tersebut akan cacat.

Dan benar berhari kemudian bagian tubuhnya tersebut bernanah mengeluarkan bau yang menguar tidak sedap. Bertambah ribuan kali nyerinya tiap kali dalam selnya perempuan-perempuan lain juga mendapat penyiksaan yang sama. Karena itu banyak perempuan yang tidak pernah kembali. Sedangkan yang lain, memilih bunuh diri karena tidak kunjung mati. Tak pernah ada yang benar-benar bertahan. Semua hanya menunggu mati.

Hingga tubuhnya kembali dipaksa berdiri. Tubuhnya kembali diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.

Meskipun untuk kali ini, tiba-tiba tersungging senyum di sudut bibirnya. Sesuai dugaannya tak ada satupun petugas laki-laki yang menggilirnya. Tidak setelah mencium bau nanah yang ada di lubang perempuannya. Semua laki-laki yang biasa menindihnya itu merasa dijijik, dia merasa menang. Malam itu hanya cibiran yang dia dapatkan. Setelah malam-malam dengan nafsu binatang yang tidak pernah dapat dia hindari, akhirnya dia dapat mengamankan tubuhnya sebagai perempuan.

Tertatih dia kembali ke selnya dengan pergelangan lengan yang dicengkeram oleh seorang petugas. Untuk pertama kali dalam hidupnya setelah dia begitu menangisi nasibnya sebagai perempuan yang harus hidup di jaman komunis wajib dimusnahkan, akhirnya dia merasa merdeka dengan tubuhnya sendiri. Meskipun harus bernanah dan cacat seumur hidup namun dia tidak akan menjadi alat pemuas nafsu laki-laki lagi. Dia tidak akan mengalami penyiksaan terendah sebagai perempuan yang harus digilir tiap malam yang mereka sebut dengan di-bon malam. Karena sebagai Gerwani seakan dia wajib menerima perlakuan tidak manusiawi tersebut. Tapi akhirnya dia bebas dari bon malam.

Sabagai tapol atau tahanan politik akibat Peristiwa 1965 dia merasa sudah tidak memiliki arti apapun sebagai seorang manusia setelah diperlakukan sebegitu keji, diperkosa bergantian, disiksa dan disetrum. Karena itu setelah tubuhnya tidak lagi berfungsi untuk para petugas itu hanya satu hukuman teringan yang akan dia terima selanjutnya, yaitu eksekusi mati. Dia begitu bahagia dalam hati.


Friday, July 10, 2015

Pelukan Demam

Tidur hanya satu jam dalam dua hari berturut-turut membuatku semopoyongan saat harus ke kamar mandi. Setelah mematikan dering telepon dari orang yang telah kuamanati untuk membangunkanku tepat sebelum Pukul Tujuh dilewati jarum pendek, kurelakan tubuhku berjalan hanya dengan hafalan langkah, karena mata belum sepenuhnya mengeja cahaya. Gelap!

Tidur lepas subuh dan terpaksa bangun sejam kemudian membuat tubuhku serasa remuk redam. Air kran yang mengguyur tubuh seolah berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk tiap menyentuh tubuh. Terlebih demam yang sukses membuatku semalaman tidak dapat memejamkan mata ternyata masih belum juga selesai menyiksa tubuhku. Kening yang harus akrab ditiduri sleyer Captain Jack-ku sebagai pengganti kain kompres ternyata setelah kusentuh masih panas bahkan lebih panas dari semalam. Tapi kupaksa juga tubuhku menerima air pegununggan Gunungpati yang telah kutinggali selama 3 tahun ini. Dingin!

Kuselesaikan ritual mandiku tidak lebih dari 5 menit dan kupasang seluruh penutup tubuhku juga tidak lebih dari 5 menit. Entahlah sebenarnya aku tidak benar-benar menghitung berapa menit aku merampungkan kewajibanku sebagai manusia tersebut, yang jelas semua kulakukan dalam waktu singkat. Agar aku tidak telat dalam ujian.

Kulihat jam di layar HP-ku, bahkan sudah Pukul Tujuh lebih, tapi ujian susulan yang akan kulakukan ini memang tidak memiliki waktu tertulis, hanya disuruh datang pagi oleh Pak Dekan. Ujian ini seharusnya dilakukan berdua dengan temanku. Tapi pada akhirnya harus kulakukan sendiri hanya karena temanku masih di kampung halamannya. Dengan alasan tidak punya duit untuk ke Semarang lagi dia merelakan nilainya harus ditahan dulu. Terserah, itu pilihan dia. Meskipun jujur aku bagitu kecewa, ujian ini seharusnya dilakukan kemarin tapi demi sebuah kepercayaan bahwa dia adalah temanku maka aku memilih menemani dia ujian hari ini. Tapi kenyataan bahwa dia tidak bisa ikut ujian yang dia kirim lewat bbm begitu membuatku ciut. Takut!


Kampus  sepi nihil mahasiswa, yang terlihat hanya pekerja kebersihan lengkap dengan alat pel ditangannya. Sepi bukan karena masih pagi, tapi kerena memang sudah tidak ada perkuliahan. Dan kupastikan mahasiswa yang biasanya berseliweran di kampus ini telah sebagian besar pulang ke kampung  halamannya. Berkumpul dengan keluarga, sahur, puasa dan buka bersama lalu merayakan lebaran yang sudah tinggal menghitung hari. Karena itu kampus hanya diramaikan oleh daun-daun kering, bertumpuk, terabai dan terbang terbawa angin. Sedang mahasiswanya sudah pergi. Mudik!

Melangkah ke gedung fakultas tiga lantai membuat keringat dingin menitik, padahal pagi masih relatif dingin. Pertanda demamku masih setia ditempatnya, tak minggat sedikitpun dari tubuhku. Aku hanya berharap aku tidak ambuk saat di kampus, pasti akan sangat merepotkan orang lain. Selain itu juga cukup memalukan.

Kembali harus ada prosesi tanya jawab dengan Satpam Fakultas, meskipun aku sedikit kehilangan hormat pada mereka yang memakai seragam putih hitam yang berdiri di depanku ini. Tapi memang ketentuaannya harus seperti itu, terlebih yang akan kutemui adalah orang terperting se-Fakultas Ilmu Sosial jadi memang harus ada keperluan yang jelas. Jadilah acara introgasi singkat dengan Pak Satpam harus dilakukan meskipun aku begitu antipati. Karena kalau tidak gara-gara Pak Satpam yang tidak amanah ini aku pasti tidak akan sepagi ini harus ke Fakultas untuk ujian. Kalau saja tugas yang kutitipkan pada Pak Satpam tidak hilang jelas aku tidak harus melakukan ujian. Sedih!

Tapi aku juga tidak ingin menyalahkan siapapun. Bahkan memang prosedurnya bagitu. Jika dosen sibuk atau tidak ada di tempat. Saat menyerahkan tugas pada petinggi kampus harus melewati Satpam sebagai perantara. Agar tugas tersebut dapat mendarat di meja dosen yang bersangkutan. Meskipun untuk kasus tugasku itu harus raib entah kemana. Sungguh aku tidak menyalahkan siapapun, mungkin sudah takdirku harus kerja dua kali. Dan ini menjadi pelajaran yang penting untukku dan siapapun kalian yang membaca tulisanku. Pastikan semua berada ditempatnya sebelum kalian bernafas lega.

Berada di ruangan dengan AC yang menggigit, menghadapi dua lembar kertas yang harus kuisi ditemani oleh Dekan sekaligus Dosen dan tanpa bisa membuka catatan apapun membuatku semakin ciut. Kepala seakan kosong seperti rongsokan kaleng yang dikocok isinya tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Kupanggili seluruh ingatan yang pernah ada selama perkuliahan tapi hasilnya tetap tidak ada. Nihil!


Lima soal yang  harus kujawab seolah menjadi komedi putar anak-anak yang kunaiki dengan muka malu tapi mau tidak mau harus tetap kunaiki. Dan rasanya semakin lama putarannya semakin cepat lepas kendali. Apa aku akan terlempar berdebam di tanah lalu mati. Yang jelas satu nomor aku kosongi. Dan yang lain kukarang  sendiri. Semua seakan mengintimidasiku bahkan kedua HP yang kukantongi di kanan dan kiri celana jeansku benar-benar mengganggu dengan getarnya. Deretan nomer berkedip-kedip tertera di layarnya. Kutekan tombol tolak. Rejet!


Selesai mencoret-coret kertas dengan jawaban yang sama sekali tidak memuaskan, aku kembali melewati jejeran gedung-gedung kampus yang sepi. Gontai dengan perasaan carut marut. Perasaan gagal dan malu yang menyergapku. Sepanjang jalan menuju kost berat rasanya kaki untuk dilangkahkan. Air mata yang kutahan-tahan jatuh juga akhirnya. Padahal aku sedang puasa. Entah!

Setelah sampai kost, aku mencoba berdamai dengan pikiranku sendiri. Namun ternyata juga gagal. Air mata tanpa isak tetap mengalir. Inikah puncaknya? Aku hanya mampu memeluk kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku. Berharap semua sakit yang dua hari ini menghimpitku segera pergi. Berharap semua kecewa dan takut yang akut dalam dadaku luruh bersama air mata yang jatuh. Berharap semua yang menyiksaku terbang hilang. Berharap.... ah doakan sajalah!


Seharusnya aku memang bisa melawannya sendiri. Kesedihan semacam ini sudah biasa aku rasakan. Aku cukup yakin aku akan bisa menetralkan perasaanku sendiri. Dalam waktu singkat! Karena memang ini adalah puncaknya! Setelah semalaman aku hanya mengeluh kesakitan sendiri. Merintih pada sepi karena panas di kepala yang tak juga mau pergi.

Padahal dua macam obat sudah kutelan, bahkan cara tradisional dengan mengompres kening juga sudah aku lakukan. Semalaman! Tapi ternyata panas di kepala namun dingin di sekujur tubuh tidak juga hilang. Tangan beku. Telapak kaki mati rasa. Hembusan nafas begitu panas mungkin juga sebenarnya aku bisa mengeluarkan api seperti naga dari hidungku. Kelopak mata pun ikut panas, kalau aku berkaca mungkinkah bola mataku berwarna merah? Kalut! Kacau! Yang terlihat adalah kasur seolah berubah warna menjadi permadani putih yang dinginnya menggigil tiada ampun. Terpikir olehku bahwa mungkin malam tadi adalah akhirku. Apa aku akan mati? Jika aku mati mungkin aku akan reinkarnasi duluan sebelum tubuhku ditemukan. Karena memang tidak ada satupun manusia yang peduli. Padahal aku sendiri tidak percaya pada konsep atau teori reinkarnasi. Namun pikiran sudah terlanjur berhalusinasi. Hilang akal.


Saking takutnya kalau aku tidak akan dapat bangun lagi, mata kujaga untuk tetap terjaga dalam sadar. Tapi sepertinya pikiranku yang sudah tidak sadar. Banyak hal menyakitkan yang bergantian terpikirkan. Semua hal yang negatif menyerbu pikiran. Banyak yang mengaku peduli, banyak yang mengaku sayang bahkan bilang cinta, tapi tak berbanding lurus dengan kenyataan. Karena memang kenyataannya aku harus menghadapi semua sendirian. Tak ada yang benar-benar ada untukku.

Di bbm, di fesbuk, dalam sms, kuteriakan kata sakit namun tak satupun yang mendengar. Atau tiba-tiba semua jadi tuli, atau sengaja menutup telingannya. Berkali-kali aku mengemis perhatian bahkan untuk secuil doa yang dapat aku amini saja tidak ada. Semua menjelma menjadi makhluk asing yang memalingkan mukanya dariku. Berjalan bergegas menjauhiku. Sedang aku hanya meringkuk memeluk lutut dan merasakan perih dalam ulu hati yang mulai mengakrapiku. Menyesakkan!


Aku menyerah menjadi pengemis, percuma! Mereka diam. Aku bisa apa? Ini tubuhku, kupertahankan semua sendiri. Kuperjuangkan kesembuhannya sendiri. Aku yang merasakan sendiri. Mungkin aku memang tak ada arti sama sekali. Namun ini tubuhku, aku yang merasakan sakitnya. Aku yang membutuhkan kesembuhannya. Aku harus berusaha sembuh.


Malam berganti dan pagi masih juga terasa mati. Mengingat semuanya yang menyergap diri dengan sakit yang tak terperi. Semua kekecewaan bercampur hati yang hancur dua hari ini harus bisa aku lalui. Aku tidak ingin kalah, tidak pada rasa sakit, tidak juga pada rasa kecewa. Semua akan berlalu, setelah puncak tangis ini. Aku masih percaya pada apa yang aku yakini. Aku masih genggam apa yang harusnya selalu aku pegang. Dan sehancur apapun aku, aku tetap memiliki inti yang kuat. Karena jatuh dan kecewa adalah saat terkuatku.