Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Thursday, March 2, 2017

Makhluk Lemah Yang Bernama Perempuan

Beberapa hari yang lalu aku selesai membaca buku Gadis Pantai milik Pramoedya Ananta Toer. Buku dengan kisah seorang gadis dari keluarga nelayan miskin yang diambil menjadi gundik seorang pembesar Bendoro di Pesisir Utara. Mereka memberi sebutan pada gadis pantai tersebut dengan Mas Nganten yang berarti seorang perempuan yang melayani kebutuhan seks pembesar sampai kemudian pembesar tersebut memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya. Begitulah takdir gadis pantai hanya sebagai pengantin percobaan. Meski dia telah lahirkan selusin anak sekalipun, dia bukanlah seorang istri tapi hanya seorang hamba sahaya dari Bendoronya. Sebenarnya bukan hanya satu dua perempuan yang memiliki takdir suram semacam itu, tapi ada banyak dan tak berjumlah banyaknya. Dan kisah semacam itu telah benar-benar pernah terjadi pada masa dulu.


Kisah semacam itu, bukan hanya terjadi di Tlatah Jawa ini tapi juga terjadi di banyak belahan bumi yang lain. Kisah yang menempatkan perempuan sebagai objek pesakitan. Yang paling menonjol saja, contohnya seperti di India. Adat istiadat dan kepercayaan di sana bagitu mengikat perempuan sangat erat sampai pada tahap bahkan untuk bernapas pun harus dengan seizin orang lain yang berwenang atas tubuhnya, atas hidupnya. Dari sinetron-sinteron ANTV yang berparade siang sampai malam yang biasa aku tonton sambil bekerja, dari situ aku juga banyak belajar. Seorang perempuan yang harus menjalani hidup dalam bebatan tradisi. Sejak kecil, bahkan sebelum mendapat haid sudah harus dijodohkan, yang kemudian harus tinggal ikut di rumah mertuanya. Pada fase ini, perempuan kecil sudah harus mulai belajar bukan hanya sebagai istri tapi juga sebagai menantu. Karena memang tradisi di India perempuan yang sudah menikah harus ikut dengan mertua. Bayangkan saja, bagaimana beratnya adaptasi dalam sebuah keluarga baru apalagi untuk seorang anak. Tapi memang begitulah takdir sebagai seorang perempuan India, ketika kecil dia adalah anak orang tuanya yang harus hormat dan tunduk pada orang tuanya sendiri. Kemudian menjadi seorang istri dan menantu, yang harus mengabdi dan taat pada suami yang bahkan untuk makan sekalipun harus menunggu sang suami selesai makan barulah dia bisa makan dengan piring sisa makan sang suami. Juga harus melayani mertua karena memang harus hidup ikut dengan mertuanya. Lalu menjadi seorang ibu, yang jika memiliki anak perempuan maka juga harus mengalami ditinggal sang anak.
Di China pada masa lalu, seorang anak perempuan harus melakukan tradisi ikat kaki atau foot binding, yang harus membuat tulang telapak kakinya hancur. Mereka beranggapan semakin kecil kaki seorang perempuan, maka ia dianggap semakin cantik. Sehingga ayunan langkah mereka tampak anggun dan feminin dan menunjukkan status sosialnya. Untuk keluarga miskin, budaya ini hanya diterapkan pada putri tertua agar segera mendapatkan calon suami yang mengangkat derajat mereka. Bayangkan, sejak kecil perempuan di China harus merasakan kesakitan seperti itu hanya karena tradisi. Tradisi kecantikan yang tidak kalah ekstrim juga terdapat pada suku Padaung (Kayan Lahwi). Para perempuan di sana akan dianggap cantik bila memiliki leher yang jenjang dan panjang. Oleh karena itu, perempuan Kayan mulai mengenakan cincin logam di lehernya sejak usia 5 tahun, yang semakin lama akan semakin banyak seiring dengan bertambahnya usia mereka. Selain sebagai penanda kecantikan, banyaknya kalung logam yang memperpanjang leher mereka juga menunjukkan status sosial. Tradisi ini ternyata masih dilakukan hingga sekarang oleh suku yang berada di antara Burma dan Thailand ini. Hal tersebut sesungguhnya bukan hanya sekedar demi sebuah kecantikan, karena bagi seorang anak perempuan apakah dia akan mengerti arti sebuah kecantikan. Dari tradisi yang mengikat dengan rasa sakit tersebut, anak perempuan kecil harus terikat.



Sesungguhnya di Jawa sendiri kedudukan seorang perempuan tak jauh rendahnya dari negara India. Tradisi yang menempatan perempuan sebagai konco wingking atau teman belakang begitu kentara pada masa dulu. Yang bahkan bagi seorang perempuan jawa dalam kehidupan rumah tangganya mendengar berita buruk adalah dua hal yaitu jika tidak tentang kematian suaminya atau tentang suaminya yang ingin memiliki istri lagi. Dan jika telah mendengar kabar seperti itu perempuan Jawa hanya mampu sumarah, pasrah menerima keadaan.

Lalu pada masa saat ini, memang perbudakan terhadap perempuan telah berubah, tapi hanya wajahnya saja sedang jiwanya masih saja sama. Dengan melejitnya pemahaman emansipasi wanita yang banyak terdengar di sana sini tapi pada pelaksanaanya aku rasa malah semakin kebablasan. Perempuan memang memiliki hak yang sama dalam menuntut pendidikan dan pekerjaan. Tapi hal tersebut menjadi kebablasan, kenapa aku katakan seperti itu. Lihat saja, perempuan pun juga dipersamaderajatkan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki dalam mencari nafkah. Namun disamping itu perempuan juga memiliki tanggungjawab lahiriah, yaitu mengurus seluruh pekerjaan rumah. Perempuan mencari nafkah untuk keluarganya tapi juga sekaligus mengurus rumah dan keluarganya. Beban yang begitu dua kali lipat dipundaknya. Tapi apa itu salah? Tidak! Yang salah adalah munculnya cerita setelah itu, cerita bahwa sang suami menjadi lupa akan tanggungjawabnya. Merasa istrinya telah mampu membantu mencari nafkah sehingga membuat suami lalai akan tanggungjawabnya sendiri.


Sebenarnya tak perlu jauh-jauh melihat dalam perbandingan yang samasekali tak jauh berbeda. Dalam hidupku sendiri, aku telah banyak mengenal perempuan-perempuan kuat yang harus hidup berat lebih dari laki-laki. Yang meski memiliki tulang punggung keluarga tapi pada kenyataannya malah dialah yang menjadi tulang punggung itu sendiri. Dari situ terkadang aku bertanya, apakah memang sudah takdirnya bagi perempuan harus menjalani hidup yang jauh lebih berat dari pada laki-laki. Bahkan sejak lahir, sejak hadirnya seorang manusia baru di dunia. Perempuan lah yang harus menghadirkan manusia baru tersebut dengan kesakitan luar biasa bahkan kadang juga dengan taruhan nyawa. Hingga setelah kematian pun telah disebutkan bahwa penghuni neraka paling banyak adalah perempuan. Jika pertanyaan seperti ini memang tidak semestinya dipertanyakan karena dianggap mempersalahkan Tuhan, maka biarlah aku yang dihukum. Tapi, manusia yang diberi akal pikiran tidakkah dia boleh berpikir dan bertanya atas ketidak tahuannya?

Kisah penghancuran perempuan yang dianggap makhluk lemah tak berdaya telah banyak aku tonton, aku baca dari buku dan bahkan aku lihat sendiri. Spirits’ Homecoming, merupakan sebuah film tentang jugun ianfu yang ada di Korea Selatan. Film yang berlatar perang dunia ke-2 yang terjadi daratan Korea tersebut sebenarnya kisahnya pun tidak akan jauh berbeda dengan jugun ianfu yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Dimana perempuan dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Lalu jaman yang bergati juga dengan kebengisannya yang lain masuk pada masa 65. Gerwani, sebuah organisasi yang bernaung dibawah PKI. Gerwani dan organisasi-organisasi perempuan yang lain juga terseret dalam kemelut saat meletus peristiwa 1965. Perempuan yang mengikuti organisasi semacam itu bahkan yang tidak mengikuti organisasi apapun tetapi suaminya tertuduh anggota PKI juga harus merasakan geger 65. Berbagai siksaan yang dialami, terlebih bagi seorang perempuan penghancuran bukan hanya dalam bentuk fisik tapi juga mental. Dan dari itu semua sejarah telah mencatatnya.




Makhluk lemah yang hanya diibaratkan sebagai tulang rusuk dari laki-laki. Yang tugasnya bukan hanya menjaga organ jantung dalam tubuh tapi terkadang juga harus menjadi sekuat tulang punggung dalam menyangga beban hidup seluruh keluarga di atas punggungnya. Kisah semacam itu tentu terlalu sering aku saksikan sendiri, juga kalian pasti pernah melihatnya sendiri, entah itu ibumu, nenekmu, kakak perempuanmu, adik perempuanmu, saudara perempuanmu atau hanya sekedar tetangga saja. Sebanyak apapun kita melihatnya, tapi keadilan tidak pernah akan bisa dituntut karena memang begitulah takdir perempuan. Terkadang kita memang harus sadar, ada keadilan yang ibarat seperti danau yang tenang tak beriak sedikitpun tetapi sangat dalam. Biarlah ini hanya menjadi sebuah perenungan. Merenung di tepian danau tersebut.



No comments:

Post a Comment