Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, August 18, 2017

Aku Saat Ini


Hidup ini sepi sekali Tuhan? Tidakkah aku masih memiliki kisahku sendiri untuk bisa aku tulis. Terkadang aku lelah membaca kisah-kisah orang lain. Tapi jika yang kumiliki hanya terus-terusan rasa sepi dengan hari yang tiap harinya sama. Apa bedanya aku dengan mayat? Tak memiliki jalan keluar dari kebuntuanku sendiri. Tak mampu memiliki kertas baru dalam lembaran-lembaranku. Tiap hari adalah kertas yang sama. Lalu apa yang harus kutulis jika semua seragam?

Sungguh aku lelah Tuhan. Tak ada bedanya aku dari orang mati. Tak lagi memiliki arti tak lagi memiliki guna. Bagi siapapun.

Betapa menyedihkannya hidup semacam ini. Hilang dari orang-orang. Hilang dari hiruk pikuk manusia yang dulu pernah aku kenal. Masa-masa itu. Aku sebenarnya rindu. Masa saat tak ada sedetikpun waktu untuk aku bisa berpikir bahwa hidup ini sepi. Bahkan tak pernah terpikirkan aku akan mengalami masa sesepi ini. Aku harus mengalami masa dengan kesendirian yang sangat panjang. Masa dimana aku menjadi manusia yang tak memiliki arti dan guna sedikitpun bagi orang lain bahkan untuk diri sendiri sekalipun. Masa aku benar-benar menjadi sang pecundang. Sepi dan suwung.

Entah kapan aku akan keluar dari kebuntuanku sendiri. Entah kapan.

Tuhan, tolong kasihanilah aku.

Monday, June 12, 2017

Puisi Dalam Pulau Buru Tanah Air Beta




Puisi Oleh Hersri Setiawan

Dengan Tangan terikat
Dan geraham terkunci
Tidak lebih dari seorang bandit
Ketika ia diseret
Kedepan penguasa di bumi
Dengan dada telanjang
Tidak lebih dari bertaruh mati
Karena dia anak dewasa, anak dewasa
Di depan altar pengadilan dia disiksa, bukan diperiksa
Dia diperkosa, bukan ditanya
Bisa apa dia?
Selain bertahan
Di dalam mulut terkatup, sobekan koran dia telan
Melecut merobek tubuh darah mengucur
Bisa apa dia?
Selain bertahan
Dan berkata sepatah
Aku anak dewasa yang berjanji berani
Mengangkat sumpah
Ekor ikan pari
Gagang karabin
Cincin listrik
Gilir berganti
Dan ia rebah
Ujung telunjukmu bergetar
Terbayang menuding ke udara
Bersama suaramu, penghabisan
Aku anak kemenangan, anak kemenangan
Dia sudah bertahan
Dia sudah berlawan
Kemudian ia rebah
Pada kompas dalam nafas
Gelung bergulung dalam gugur
Ada amanat dalam maut
Kumandang nyaring dari gugur






Pantai Sanleko,
Aku mencium angin pantai
Asin laut berdebur mengusap bibir
Getaran sepi melibur datang besama
Gelombang bergulung
Bayangan seragam loreng
Mata tentara dendam kesumat
Bayangan gagang karabin
Bersambar di atas kepala
Oleh rasa sendiri
Basah tampuk mataku
Dua puluh tahun lalu
Delapan ratus lima puluh tapol-tapol tak berdaya
Merangkak dipanasnya pasir
Masing-masing hanya bisa mencoba bertahan
Angka-angka nomor deportasi
Hitam di dada dan pantat seragam
Seperti komunis-komunis dan yahudi
Musuh-musuh Hitler yang harus mati
Tangan-tangan dan kaki-kaki kurus
Melindungi dada dan kepala mereka
Dari sambaran gagang-gagang karabin
Kenangan dua puluh tahun
Kembali mengalir bersama tetes air mata









Ziarah,
Papan-papan mati
Berlumut sudah
Lebih hitam dari tanah
Tenggelam dalam sejarah
Tanah sejarah
Berjajar-jajar terpahat nama-nama
Di atas tanah
Tanda kematian
Tetanam tegak-tegak
Makin dipandang makin membisu
Makin terdiam
Makin berseru
Membisikan pesan
Papan-papan mati, tanda kehidupan
Orang-orang kalah kembali berpisah
Pantang menyerah, pantang menyerah



Wednesday, March 15, 2017

Air Mata

Apa yang kumiliki dari kesendirian?
Selain hanya air mata yang berkata-kata
Mengatakan segala sakit


Sragen, 15 Maret 2017



Saturday, March 11, 2017

Jangan Kau Ramu Pilu

Kulihat kau begitu kalut
Lalu kudengar kau mengutuk kabut
Gelap merambat lembut
Nyala matamu lalu terenggut
Kenapa sayang?
Sini duduk cerita
Jangan terus kau peluk diam
Karena kau jelas tahu
Diammu adalah suwung malam-malamku
Dan murammu meramu pilu untukku
Memadamkan juga nyala mataku

Sinilah sayang
Sedih jangan kau timang
Buang
Buanglah yang jauh
Biar lekuk sabit bibirmu kembali utuh
Biar gelak tawamu yang lucu kembali utuh


Sragen, 11 Maret 2017
Pagi tadi masih kau cumbu tawa
Dalam malam kenapa kau biarkan sirna?




Kiriman Sihir Darimu

Kiriman sihir tawa darimu
Menyelinap dalam bantalku
Jika tidak begitu
Orang tuaku bisa tahu
Betapa gaduh ombak di hatiku
Deburnya sampai menggelitiki kaki
Tapi biarlah
Karena aku menikmatinya
Di situ terselip sebait bahagia
Membuai diri
Tanpa tidur tapi aku mampu bermimpi

Saat ini
Di sini detik jam mematri
Dan malam mulai menjemput pagi
Pagi yang masih bagitu dini
Pagi pucat pasi

Dan kirimanmu datang lagi
Segelas kopi dan semanis janji
Kirimanmu telah kumiliki
Seluruhnya
Seutuhnya
Tak bercedera
Tak berdera


Sragen, 11 Maret 2017
Untuk kamu yang memiliki senyum lucu. Terimakasih



Tuesday, March 7, 2017

Berugak Tua


Tanah basah diresapi embun
Kicau kenari melintas di atas kebun
Terendus bau panggang ayam semalam
Anjing liar berlari mengejar
Dalam sapuan liur karena lapar


Aku masih duduk di atas berugak tua
Melihat kenari terbang menjauh
Melihat anjing liar menjilat tulang separuh

Di bawah berugak tua
Cericit anak ayam kehilangan induknya
Sepagi ini mengais remah nasi
Mondar mandir sendiri
Induknya belum ketemu juga
Tapi dia tidak terlalu peduli
Terus mengais mencari remah nasi


Berugak tua teduh di bawah pohon mahoni
Dan aku bersandar pada tiangnya merapuh
Sambil berpikir tentang perjalanan yang jauh
Tentang nyiur dan bau ikan di Pelabuhan Lembar
Tentang silau matahari senja di pantai
Tentang bukit hijau dan langit yang biru jernih
Tentang roda-roda motor yang menggilas kenangan sepanjang Semarang-Lombok


Berugak tua yang teduh
Menghalau panas dan peluh
Penghimpun lamunan yang membasuh
Dalam diam dalam angan yang bersimpuh
Dan berugak tua menagih

Akan aku duduk di atasnya lagi


Sragen, 7 Maret 2017
Terkenang tentang suasana di Lombok





Friday, March 3, 2017

Kemangi Mati

Pagi dengan mendung yang sama
Petir topan menguasai udara
Embun ringkih tiada berani muncul
Terbekap daun-daun dipukul angin
Lalu mati berkafan dingin


Pagi begini lagi
Kemangi layu mati di kebun depan
Tanpa dekap dan pelukan
Tanpa tangis dan ratapan
Kemangi mati dipayung mendung pagi
Kemangi berwangi melati

Sragen, 3 Maret 2017





Thursday, March 2, 2017

Makhluk Lemah Yang Bernama Perempuan

Beberapa hari yang lalu aku selesai membaca buku Gadis Pantai milik Pramoedya Ananta Toer. Buku dengan kisah seorang gadis dari keluarga nelayan miskin yang diambil menjadi gundik seorang pembesar Bendoro di Pesisir Utara. Mereka memberi sebutan pada gadis pantai tersebut dengan Mas Nganten yang berarti seorang perempuan yang melayani kebutuhan seks pembesar sampai kemudian pembesar tersebut memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya. Begitulah takdir gadis pantai hanya sebagai pengantin percobaan. Meski dia telah lahirkan selusin anak sekalipun, dia bukanlah seorang istri tapi hanya seorang hamba sahaya dari Bendoronya. Sebenarnya bukan hanya satu dua perempuan yang memiliki takdir suram semacam itu, tapi ada banyak dan tak berjumlah banyaknya. Dan kisah semacam itu telah benar-benar pernah terjadi pada masa dulu.


Kisah semacam itu, bukan hanya terjadi di Tlatah Jawa ini tapi juga terjadi di banyak belahan bumi yang lain. Kisah yang menempatkan perempuan sebagai objek pesakitan. Yang paling menonjol saja, contohnya seperti di India. Adat istiadat dan kepercayaan di sana bagitu mengikat perempuan sangat erat sampai pada tahap bahkan untuk bernapas pun harus dengan seizin orang lain yang berwenang atas tubuhnya, atas hidupnya. Dari sinetron-sinteron ANTV yang berparade siang sampai malam yang biasa aku tonton sambil bekerja, dari situ aku juga banyak belajar. Seorang perempuan yang harus menjalani hidup dalam bebatan tradisi. Sejak kecil, bahkan sebelum mendapat haid sudah harus dijodohkan, yang kemudian harus tinggal ikut di rumah mertuanya. Pada fase ini, perempuan kecil sudah harus mulai belajar bukan hanya sebagai istri tapi juga sebagai menantu. Karena memang tradisi di India perempuan yang sudah menikah harus ikut dengan mertua. Bayangkan saja, bagaimana beratnya adaptasi dalam sebuah keluarga baru apalagi untuk seorang anak. Tapi memang begitulah takdir sebagai seorang perempuan India, ketika kecil dia adalah anak orang tuanya yang harus hormat dan tunduk pada orang tuanya sendiri. Kemudian menjadi seorang istri dan menantu, yang harus mengabdi dan taat pada suami yang bahkan untuk makan sekalipun harus menunggu sang suami selesai makan barulah dia bisa makan dengan piring sisa makan sang suami. Juga harus melayani mertua karena memang harus hidup ikut dengan mertuanya. Lalu menjadi seorang ibu, yang jika memiliki anak perempuan maka juga harus mengalami ditinggal sang anak.
Di China pada masa lalu, seorang anak perempuan harus melakukan tradisi ikat kaki atau foot binding, yang harus membuat tulang telapak kakinya hancur. Mereka beranggapan semakin kecil kaki seorang perempuan, maka ia dianggap semakin cantik. Sehingga ayunan langkah mereka tampak anggun dan feminin dan menunjukkan status sosialnya. Untuk keluarga miskin, budaya ini hanya diterapkan pada putri tertua agar segera mendapatkan calon suami yang mengangkat derajat mereka. Bayangkan, sejak kecil perempuan di China harus merasakan kesakitan seperti itu hanya karena tradisi. Tradisi kecantikan yang tidak kalah ekstrim juga terdapat pada suku Padaung (Kayan Lahwi). Para perempuan di sana akan dianggap cantik bila memiliki leher yang jenjang dan panjang. Oleh karena itu, perempuan Kayan mulai mengenakan cincin logam di lehernya sejak usia 5 tahun, yang semakin lama akan semakin banyak seiring dengan bertambahnya usia mereka. Selain sebagai penanda kecantikan, banyaknya kalung logam yang memperpanjang leher mereka juga menunjukkan status sosial. Tradisi ini ternyata masih dilakukan hingga sekarang oleh suku yang berada di antara Burma dan Thailand ini. Hal tersebut sesungguhnya bukan hanya sekedar demi sebuah kecantikan, karena bagi seorang anak perempuan apakah dia akan mengerti arti sebuah kecantikan. Dari tradisi yang mengikat dengan rasa sakit tersebut, anak perempuan kecil harus terikat.



Sesungguhnya di Jawa sendiri kedudukan seorang perempuan tak jauh rendahnya dari negara India. Tradisi yang menempatan perempuan sebagai konco wingking atau teman belakang begitu kentara pada masa dulu. Yang bahkan bagi seorang perempuan jawa dalam kehidupan rumah tangganya mendengar berita buruk adalah dua hal yaitu jika tidak tentang kematian suaminya atau tentang suaminya yang ingin memiliki istri lagi. Dan jika telah mendengar kabar seperti itu perempuan Jawa hanya mampu sumarah, pasrah menerima keadaan.

Lalu pada masa saat ini, memang perbudakan terhadap perempuan telah berubah, tapi hanya wajahnya saja sedang jiwanya masih saja sama. Dengan melejitnya pemahaman emansipasi wanita yang banyak terdengar di sana sini tapi pada pelaksanaanya aku rasa malah semakin kebablasan. Perempuan memang memiliki hak yang sama dalam menuntut pendidikan dan pekerjaan. Tapi hal tersebut menjadi kebablasan, kenapa aku katakan seperti itu. Lihat saja, perempuan pun juga dipersamaderajatkan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki dalam mencari nafkah. Namun disamping itu perempuan juga memiliki tanggungjawab lahiriah, yaitu mengurus seluruh pekerjaan rumah. Perempuan mencari nafkah untuk keluarganya tapi juga sekaligus mengurus rumah dan keluarganya. Beban yang begitu dua kali lipat dipundaknya. Tapi apa itu salah? Tidak! Yang salah adalah munculnya cerita setelah itu, cerita bahwa sang suami menjadi lupa akan tanggungjawabnya. Merasa istrinya telah mampu membantu mencari nafkah sehingga membuat suami lalai akan tanggungjawabnya sendiri.


Sebenarnya tak perlu jauh-jauh melihat dalam perbandingan yang samasekali tak jauh berbeda. Dalam hidupku sendiri, aku telah banyak mengenal perempuan-perempuan kuat yang harus hidup berat lebih dari laki-laki. Yang meski memiliki tulang punggung keluarga tapi pada kenyataannya malah dialah yang menjadi tulang punggung itu sendiri. Dari situ terkadang aku bertanya, apakah memang sudah takdirnya bagi perempuan harus menjalani hidup yang jauh lebih berat dari pada laki-laki. Bahkan sejak lahir, sejak hadirnya seorang manusia baru di dunia. Perempuan lah yang harus menghadirkan manusia baru tersebut dengan kesakitan luar biasa bahkan kadang juga dengan taruhan nyawa. Hingga setelah kematian pun telah disebutkan bahwa penghuni neraka paling banyak adalah perempuan. Jika pertanyaan seperti ini memang tidak semestinya dipertanyakan karena dianggap mempersalahkan Tuhan, maka biarlah aku yang dihukum. Tapi, manusia yang diberi akal pikiran tidakkah dia boleh berpikir dan bertanya atas ketidak tahuannya?

Kisah penghancuran perempuan yang dianggap makhluk lemah tak berdaya telah banyak aku tonton, aku baca dari buku dan bahkan aku lihat sendiri. Spirits’ Homecoming, merupakan sebuah film tentang jugun ianfu yang ada di Korea Selatan. Film yang berlatar perang dunia ke-2 yang terjadi daratan Korea tersebut sebenarnya kisahnya pun tidak akan jauh berbeda dengan jugun ianfu yang terjadi di Indonesia pada masa itu. Dimana perempuan dipaksa menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Lalu jaman yang bergati juga dengan kebengisannya yang lain masuk pada masa 65. Gerwani, sebuah organisasi yang bernaung dibawah PKI. Gerwani dan organisasi-organisasi perempuan yang lain juga terseret dalam kemelut saat meletus peristiwa 1965. Perempuan yang mengikuti organisasi semacam itu bahkan yang tidak mengikuti organisasi apapun tetapi suaminya tertuduh anggota PKI juga harus merasakan geger 65. Berbagai siksaan yang dialami, terlebih bagi seorang perempuan penghancuran bukan hanya dalam bentuk fisik tapi juga mental. Dan dari itu semua sejarah telah mencatatnya.




Makhluk lemah yang hanya diibaratkan sebagai tulang rusuk dari laki-laki. Yang tugasnya bukan hanya menjaga organ jantung dalam tubuh tapi terkadang juga harus menjadi sekuat tulang punggung dalam menyangga beban hidup seluruh keluarga di atas punggungnya. Kisah semacam itu tentu terlalu sering aku saksikan sendiri, juga kalian pasti pernah melihatnya sendiri, entah itu ibumu, nenekmu, kakak perempuanmu, adik perempuanmu, saudara perempuanmu atau hanya sekedar tetangga saja. Sebanyak apapun kita melihatnya, tapi keadilan tidak pernah akan bisa dituntut karena memang begitulah takdir perempuan. Terkadang kita memang harus sadar, ada keadilan yang ibarat seperti danau yang tenang tak beriak sedikitpun tetapi sangat dalam. Biarlah ini hanya menjadi sebuah perenungan. Merenung di tepian danau tersebut.



Thursday, February 23, 2017

Aku Tidak Mampu

Pagi yang berongga
Derap masa kembali mengorek luka
Memaku aku dalam beku
Kursi pesakitan yang selalu menunjukku sambil berkata "kamu tidak mampu"
Aku terdiam
Tersadar dalam ketidakmampuan
Hanya hati yang mampu berteriak
Hingga tersedak memuntahkan semua riak-riak sesak
Memang, ketika semua terpaku
Diam menyediaan hati untuk bicara bertanya
Benarkah?
Lalu apa yang harus aku lalukan?
Sedang tawa palsu telah lenyap dalam selokan
Senyum semu yang kemarin hilang di kelokan
Kembali sesal yang dulu terkumpul
Menyembul di permukaan
Melingkupiku dalam khayal yang mewujud
Ingin aku tentang semua mata yang menatapku pada maniknya
Namun pandangan semakin kabur
Menunjukkan aku yang akhirnya karam terkubur


Sragen, 23 Februari 2017






Wednesday, February 22, 2017

Sajak-Sajak Yang Jatuh Cinta

Ada yang bilang bahwa jatuh cinta bisa membuat seseorang menjadi penyair dadakan. Mungkin itu juga yang terjadi padaku saat itu. Rasa berbunga dalam hati seolah menjadi mesin mencetak kata, terketik-ketik tanpa titik. Jantung yang berdetak menghadirkan sajak. Rapi menyusuri lekuk sabit dalam dupa pemujaan atas nama si dia. Dia yang mampu menjelma ribuan kerlip bintang meskipun langit begitu gelap pekat.

Dia yang kucinta, masih ingatkah dengan ini semua?







Sajak, tolong ingatkanlah ini semua pada dia.
Sajak, semoga dia tak akan pernah berjarak meski seinci pun dari diriku.
Sajak, tolong semogakan.


Kisah Anak-Anak Dalam Film Perang Dunia

Masa kanak-kanak ditentukan oleh suara, bau-bauan, dan penglihatan, sebelum alasan kegelapan berkembang (John Betjeman).

Anak-anak merupakan masa awal dalam mempelajari kehidupan. Lalu bagaimana kehidupan anak-anak tersebut dalam keadaan perang dunia yang tak menentu. Disini ada 10 film tentang kisah anak-anak dalam perang dunia yang pernah aku tonton.

1. The Boy In The Striped Pajamas

Sudah banyak film perang dunia yang aku tonton, namun film ini adalah film pertama tentang perang dunia yang berkisah tentang anak-anak. Sedikit cerita film ini berkisah pada tahun 1930-an, saat Nazi berkuasa di Jerman, tentang seorang anak bernama Bruno, berusia 8 tahun. Dia adalah anak dari Kolonel tentara Nazi kesatuan Waffen SS (Schutzstaffel). Setiap hari ketika Bruno bermain ayunan di halaman rumahnya, dia menyaksikan adanya kepulan asap membumbung tinggi keluar dari satu cerobong asap. Kepulan asap itu adalah hasil dari pembakaran orang-orang Yahudi di Kamp Konsentrasi itu. Suatu saat, Bruno mengikuti arah kepulan asap dan dia sampai di pagar berkawat dari kamp di halaman belakang. Di sana Bruno melihat seorang anak laki-laki seumurnya, Shmuel, sedang duduk di balik pagar berkawat dengan gerobak kecilnya (gerobak yang biasa digunakan untuk mengangkat pasir). Sejak itu terjadilah persahabatan antara kedua anak yang berbeda ras, tingkat ekonomi, sosial, dan politik; seperti bumi dan langit. Bruno kemudian rajin mengunjungi sahabatnya ini, Shmuel, dengan membawa bekal yang diambilnya dari rumahnya secara sembunyi-sembunyi. Tidak ada yang mengetahui tentang persahabatan “terlarang” itu. Singkat cerita, suatu hari ibu Bruno menyadari bahwa anaknya hilang. Rupanya Bruno pergi ke Kamp Konsentrasi itu, menerobos masuk dengan merayap melalui bawah pagar listrik yang sudah digali. Ia menukar baju dengan baju tahanan yang diberikan Shmuel kepadanya. Mereka ingin mencari ayah Shmuel namun mereka kemudian terperangkap di antara orang-orang dewasa yang sedang digiring tentara Nazi untuk dimasukkan ke dalam ruang gas kematian. Ibu Bruno meraung-raung ketika menyadari anaknya meninggal di dalam ruang gas itu. Dan entah apa yang ada dalam pikiran ayah Bruno yang seorang tentara Nazi, apakah kecewa menyesal atau perasaan sedih dengan semua rangkaian kejadian tersebut. 

Begitulah potongan cerita dari film yang membuat aku berhenti untuk berpikir sejenak lalu kembali dengan rasa ingin tahu yang lebih banyak mengenai kisah anak-anak dalam perang dunia. Tentang kepolosan diantara kesemruwetan masa perang. Buatku film ini bukan hanya bagus tapi juga sangat menyentu terutama pada bagian akhirnya, jadi jika kalian penasaran dengan film ini, silahkan menontonnya.

2. The Book Thief

Sebenarnya dulu sekali, aku sudah pernah menonton film ini, mungkin pernah ditayangkan di TV atau aku memang memiliki filmnya, aku sudah lupa. Lalu kemudian aku mencoba mencari film ini lagi dan menontonnya. 

Sinopsisnya seperti ini. Ditengah kengerian Perang Dunia II, seorang gadis muda bernama Liesel Meminger  hadir ditengah keluarga barunya dan memberikan perubahan untuk orang-orang disekitarnya. Ayah angkatnya memberi ia tempat untuk belajar membaca dan menulis. Sejak saat itu Liesel gemar mengumpulkan buku-buku yang ia peroleh dari mana saja.

Sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Max Vandenburg, seorang pemuda Yahudi yang tengah bersembunyi dari kejaran Nazi. Hans sangat berhutang budi pada Ayah Max dan mengambil resiko untuk menyembunyikan Max dirumahnya. Max yang kagum dengan semangat Liesel mengajarkannya membaca dan membuat Liesel tahu banyak hal tentang dunia. Di satu sisi, Liesel sangat senang dengan kehadiran Max namun disisi lain ia tahu bahwa Max akan menjadi ancaman bagi dirinya dan keluarga angkatnya. Bagaimana kisah Liesel selanjutnya yang membawa perubahan pada orang-orang disekitarnya dan bagaimana juga ia bertahan hidup bertaruh nyawa di tengah ganasnya Perang Dunia II? Tonton saja film ini.

3. Grave Of The Fireflies

Film anime buatan Jepang ini ceritanya begitu menyedihkan. Setelah menonton film ini hati terasa kosong suwung dan hanya diisi oleh angin-angin dingin. Film ini diawali dengan gambaran tentang pertistiwa penyerangan pasukan udara sekutu, yang menyerang salah satu kota di Jepang. Di salah satu kota tersebut, film ini menceritakan dua orang anak tentara angkatan laut Jepang, yakni Setsuko dan Seita. Kehidupan mereka sebelum penyerangan itu, berjalan harmonis. Sampai suatu ketika, datang sebuah ancaman yang mengharuskan mereka berdua beserta ibunya mengungsi ke tempat persembunyian.

Dalam keadaan dimana Setsuko dan Seita harus mengungsi, dan menyusul ibunya yang sudah terlebih dulu sampai di tempat pengungsian, mereka kehilangan kontak dengan sang ibu. Setelah peneyerangan untuk sementara reda, mereka pun mendatangi satu persatu tempat-tempat pengungsian yang di duga menjadi persinggahan ibu. Namun, usaha mereka hampir menemui jalan buntu, sampai suatu ketika salah satu dari mereka, yakni kakak dari Setsuko (Seita) mendatangi sebuah rumah sakit. Di sana, atas petunjuk dari seorang perawat, ia berhasil menemukan ibunya, akan tetapi dalam keadaan mengalami luka bakar hampir 90%. Dengan kondisi ibu yang seperti itu, Seita tak memberi tahu adiknya, karena dia khawatir kabar tersebut akan membuat adiknya sangat terpukul. Keesokan harinya, dokter yang merawat ibu, mengabarkan bahwa nyawa beliau tak dapat diselamatkan lagi. Seita pun menerima kenyataan itu dengan ikhlas. Sepulangnya dari prosesi pembakaran jenazah ibunya, Seita membawa abu kremasi ibunya dan tak berniat untuk tidak memberi tahu tentang kepergian sang ibu. 


Kehidupan mereka setelah kepergian sosok ibu, berjalan dengan keceriaan yang dikondisikan. Seita mencoba menutupi kesedihan yang ada dengan keceriaan. Dia mencoba menghibur adiknya ditengah-tengah carut-marut kehidupan bangsa Jepang yang sedang terpuruk. Lalu bangaimana caranya menghibur adik kecilnya tersebut, sebaiknya kalian menonton filmnya sendiri, kalian akan banyak belajar dari film ini.

4. Giovanni's Island

Meskipun film ini tidak semenyedihkan film Grave Of The Fireflies, namun film anak-anak tentang perang ini juga memiliki sisi yang membuat sedih. Dimana pun film yang berkisah tentang perang pastilah memiliki sisi yang menyedihkan. Bercerita tentang dua orang kakak beradik bernama Junpei dan Kanta yang hidup di pesisir di salah satu pulau yang berada dalam gugusan kepulauan Kuril, Jepang. Film ini bersetting tahun 1945, periode yang menjadi titik balik kehidupan sosial politik Jepang karena kekalahan Jepang pada era Perang Dunia ke 2.

Inti cerita dimulai ketika Kaisar Jepang mengumumkan bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu dibawah kepemimpinan Amerika Serikat dan didengarkan oleh seluruh penduduk di pulau tersebut dan tak lama kemudian mendengar kabar bahwa dalam waktu dekat tentara Soviet akan tiba di pulau tersebut. Ini adalah salah satu hal yang menarik di film ini dimana memperlihatkan situasi pasca perang. Selain mengambil setting di kawasan paling utara Jepang (kepulauan Kuril) film ini pun menceritakan “kisah” antara Jepang dan Soviet (yang kadang terlupakan sebagai bagian dari Allied Force) yang jarang diceritakan. Dalam waktu singkat Tentara Soviet yang oleh penduduk disebut Russkies datang dan menduduki pulau tersebut dan mendirikan basis pertahanan di sana. Rumah Junpei dan Kanta pun harus rela dirampas dan dijadikan rumah komandan dari tentara Soviet sehingga harus tinggal di bagian dapur merangkap kandang kuda. Begitu pula dengan sekolah meraka yang harus rela dibagi dua, setengah untuk sekolah warga pulau dan setengahnya untuk sekolah bagi anak-anak prajurit yang ditugaskan.

Di sekolah inilah Junpei dan Kanta kemudian bertemu dengan seorang gadis Soviet bermata biru bernama Tanya yang kemudian diketahui ternyata adalah putri dari sang Komandan Pasukan Soviet. Meskipun mereka berbeda kultur, bahasa, budaya dan situasi politik antar negara yang seakan memposisikan Jepang sebagai terjajah dan Soviet sebagai penjajah, namun tak menjadi halangan bagi mereka untuk menjalin persahabatan.

Film ini sangat menarik bagi saya karena meskipun mengambil setting pasca PD2, dimana memang kondisi Jepang cukup mengenaskan sebetulnya, namun film ini memberikan nuansa ceria dan menghibur dari segi cerita dan art-nya. Misalnya ketika saat sekolah dimana satu kelas menyanyikan lagu rakyat Jepang tetapi di kelas lain yang tepat di sebelahnya menyanyikan lagu rakyat Soviet yang cukup terkenal “Katyusha” dan kemudian dua kelas ini saling bergantian menyanyikan lagu rakyat, dimana “Kelas Jepang” menyanyikan Katyusha dan sebaliknya. Dan saya kira film ini sangat bagus untuk memberikan gambaran awal khususnya yang mempelajari mengenai sosial politik Jepang, apa yang terjadi di kepulauan Kuril (yang saat ini berada dibawah yurisdiksi Pemerintah Rusia) pasca PD 2. Melihat bagaimana sulitnya masyarakat mendapatkan bahan makanan pokok, hingga bagaimana penduduk Kuril sangat familiar dengan budaya Soviet.

Tidak hanya berhenti disitu, tapi anak-anak tersebut dan  seluruh penduduk di Kepulauan Kuril dipindahkan ke Pulau Shakalin yang berada di bagian barat untuk dipekerjakan di logging camp. Kisah selanjutnya adalah kehidupan anak-anak itu dalam camp, silahkan kalian tonton sendiri dalam filmnya.

5. The Flowers Of War

Film ini memang tidak seluruhnya berkisah mengenai anak-anak tetapi dalam film ini terdapat kehidupan anak-anak yang juga harus melewati kerasnya kehidupan masa perang dunia. Ceritanya tentang kisah penyerangan dan pendudukan Jepang di Ibukota Cina, Nanking ketika perang dulu. Para tentara Jepang membunuh banyak penduduk, memperkosa para wanita dan kemudian membunuhnya. Ketakutan melanda seluruh kota. Di saat seperti ini, seorang perias mayat yang kemudian menjadi pendeta bernama John berusaha menyelamatkan sekelompok gadis-gadis muda anak sekolahan yang berlindung di gereja. Tidak lama setelah kedatangan John, para pelacur rumah bordil yang sedang mencari tempat persembunyian berdatangan ke gereja. Mereka beranggapan bahwa gereja lebih aman dibandingkan pengungsian. Kedatangan John dan para pelacur mendapatkan sambutan buruk dari George, asisten Pendeta Ingleman karena dianggap mengotori gereja. Lalu kisah selanjutnya akan tidak lagi menarik jika aku tuliskan disini, jadi alangka baiknya jika kalian menonton saja film ini.

6. La Rafle

Kisah mengenai peristiwa genosida kembali diceritakan dalam Film ini, La Rafle merupakan film tentang kekejaman Nazi yang membuatku begitu berpikir panjang. Penderitaan kaum Yahudi di jaman Perang Dunia ke-2 sudah menjadi tema dalam banyak perfilman, kadang cenderung terlihat over eksploitasi. Seakan tak cukup dijadikan pelajaran bahwa apapun namanya sentimen rasis memang harus dilenyapkan. FIlm ini adalah kisah nyata dari peristiwa penangkapan orang-orang Yahudi di Prancis pada waktu Perang Dunia ke-2 untuk dibawa ke kamp konsentrasi atau kamp pemusnahan di Auschwitz dsb. Cerita berawal dari rencana pemindahan orang-orang Yahudi ke Eropa Timur seperti yang diminta oleh Hitler, diktator Nazi Jerman, yang kemudian didiskusikan oleh petinggi rezim Vichy Prancis, Maréchal (Marsekal) Pétain dan Pierre Laval, deputinya. Disetujui untuk kuota 24.000 orang Yahudi, di tingkat operasional, Kepolisian Paris dan Milice yang akan bertugas menangkap orang-orang Yahudi non-Prancis yang sudah teregistrasi lengkap dan membawa mereka pada tgl 16 Juli 1942 ke Vélodrome d'Hiver sebagai tempat transit.

Adegan berpindah ke kalangan Yahudi, dengan fokus kehidupan anak-anak kecil Joseph Weismann dan Simon Zygler, serta keluarganya yang saling bertetangga. Kehidupan mereka sudah terhimpit oleh banyaknya larangan, termasuk bersekolah, bekerja dan mengunjungi area publik. Dengan dilaksanakannya Operasi 'Spring Breeze', nasib mereka makin mengenaskan. Di Vel' d'Hiv, ada dokter Yahudi, David yang bertugas di klinik mengurus puluhan orang sakit, hanya dibantu oleh sedikit perawat, termasuk seorang suster Protestan yang peduli dengan kaum Yahudi. Ia pun ikut ke tempat kamp transit selanjutnya di Beaune-La-Rolande khusus untuk merawat anak-anak. Suster tersebut tak berdaya melawan penguasa dan merelakan ketika anak-anak ini harus dipisahkan dari para orangtua mereka. Hanya soal waktu, tak terkecuali, semuanya pun akhirnya dikirim ke Timur untuk dihabisi.

Film yang cukup menyedihkan apalagi jika kita berpikir bahwa dulu kisah tersebut benar-benar terjadi. Bagaimanakah nasip anak-anak tersebut dalam masa perang yang begitu mengerikan. Silahkan nonton film ini.

7. Empire Of The Sun

Film ini berkisah tentang seorang anak laki-laki kecil dari keluarga ekspatriat, James terpisah dari keluarganya ketika tentara Jepang masuk ke Cina. Ia adalah seorang anak kecil yang memiliki cita-cita menguasai angkasa alias menjadi pilot pesawat tempur. Dia menjadi tawanan di Longhua Civilian Assembly Center, sebuah kamp tentara Jepang, selama Perang Dunia II. Film ini menceritakan bagaimana James berusaha bertahan hidup ditengah konflik yang sedang bergejolak tersebut.

Sedikit cerita saja mengenai film ini. Karena akan lebih bagus jika kalian menontonnya secara langsung. Sedikit cerita bukan berati film ini tidak bagus, tetapi penggambaran dalam film ini memiliki pemikiran yang akn berbeda dari setiap kepala yang menontonnya, jadi silahkan menonton dan kalian bisa artikan sendiri bagaimana film ini.

8. Snow Flower And The Secret Fan

Awalnya aku bisa memperole film ini adalah dari bagitu penasarannya aku terhadap kisah tradisi pengikatan kaki di Cina. Kisah ini ditulis dengan gaya memoar seorang wanita berusia 80 tahun yang bernama Lily, yang menceritakan pengalaman hidupnya bersama Bunga Salju sebagai laotong alias “kembaran sehati”nya. Lily memulai kisahnya pada 1828, ketika dia berusia 5 tahun dan tinggal di desa Puwei, di Baratdaya Cina. Kebebasan masa kecilnya tiba-tiba terampas ketika dia harus menjalani pengikatan kaki, sebuah tradisi menyakitkan yang harus dilalui oleh para wanita Cina agar memperoleh status yang terhormat. Begitulah kemudian kisah itu berlanjut yang dapat kalian tonton dalam filmnya jika kalian penasaran. 

9. The Last Emperor

The Last Emperor menceritakan kisah hidup seorang Kaisar terakhir Cina, Puyi. Film ini diawali dengan adegan Puyi yang diangkat menjadi Kaisar ketika dia masih berumur 3 tahun. seorang kaisar cilik yang naif dan tidak tahu apa-apa dalam semalam dinobatkan menjadi seorang Kaisar Cina. Mereka menyebutnya , The Son of Heaven. Dijauhkan dari orang tuanya dan tinggal sendirian bersama dengan pelayan-pelayannnya di Istana terlarang membentuk karakter seorang Puyi menjadi sosok remaja yang kesepian. Istana terlarang bagaikan penjara dengan dirinya sebagai tahanan sehingga Puyi tidak pernah mengetahui bagaimana kehidupan di luar tembok Istana. mengutip kata seorang Guru kaisar puyi yang didatangkan dari Inggris, “The emperor is the loneliest boy on the earth”

Ketika Cina berubah menjadi Negara Republik dengan Dr.Sun Yat Sen sebagai presiden pertamanya, Puyi bukan lagi seorang Kaisar dengan kekuatan imperialnya,, meski begitu dia tetap diperbolehkan tinggal di Istana bersama ratu, Wen Rong dan selirnya Wen Xiu. Yang miris adalah ketika dirinya diharuskan meninggalkan Istana dan sudah tidak diperbolehkan lagi tinggal disana. untuk pertama kalinya, meskipun dirinya ingin sekali melihat dunia luar, kaisar yang tak pernah keluar Istana merasa takut menghadapi dunia luar…

10. Memoirs Of A Geisha

Tidak hanya sekali aku menonton film ini, mungkin dalam film ini tidak seluruhnya bercerita tentang kisah anak-anak tetapi dari seorang anak yang bertumbuh dengan takdirnya menjadi seorang geisha. Adalah seorang anak yang berasal dari kampung Nelayan “Yoroido”, sebuah kampung terpencil yang sangat jauh dari Gion, Kyoto. Keadaan ekonomi memaksa dia (Chiyo) dan kakaknya Satsu, dijual menjadi budak sejak mereka berusia 9 tahun.  Chiyo dan Satsu dijual pada Okiya (rumah Geisha) yang berbeda. Chiyo yang memiliki mata berwarna cermin (abu-abu samar) terlihat sangat cantik dan menarik sehingga memiliki potensi untuk menjadi Geisha yang memikat.

Chiyo kecil yang mengalami berbagai peristiwa pahit dalam hidupnya hingga takdir menjadikan dia seorang Geisha bernama Sayuri, lika-liku kehidupan seorang gadis kacil dengan segala kisahnya sebaiknya kalian tonton sendiri dari film ini.

⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀⇀

Itulah film-film kisah anak dalam sejarah dan perang dunia yang pernah aku tonton, dari film-film tersebut aku banyak belajar tentang sejarah.

“Tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini, ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati, hidup atau kalah-menang.”

(Pramoedya Ananta Toer)