Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Saturday, June 20, 2015

Tentang Malam

Masih teringat olehku, jari-jari yang begitu akrab dengan plester. Akibat terlalu seringnya jari-jariku bergumul dengan bawang merah dan bawang putih berkarung-karung yang wajib dikupas tiap harinya. Tapi teringat juga kebersamaan dengan nenek dan bulekku yang dengan pekerjaan serupa kami lakukan sambil bercerita tentang banyak hal. Cerita tentang masa lalu, tentang masa sekarang dan tentang masa depan. Meski lebih banyak didominasi tentang cerita masa lalu, tentu saja untuk yang satu ini nenekku yang banyak mendominasi. Jadilah pekerjaan mengupas bawang sekaligus sebagai ajang curhat bagi nenekku.

Teringat itu, teringat juga sekarang. Meski bukan sekali ini aku bekerja di tempat laundry yang dikelola oleh bulekku sendiri. Tiap liburan semester aku memang selalu menyibukan diri dengan berbagai pekerjaan yang bisa mengisi kantong agar tetap berstamina jika tiba-tiba ada keperluan mendesak yang harus dipenuhi. Sekedar berjaga-jaga atau juga untuk memenuhi nafsu travelingku.

Mungkin karena memang terbiasa sejak kecil aku sudah dikenalkan dengan kerja keras atau karena aku yang tidak terbiasa duduk diam saat tak ada pekerjaan. Aku kadang berpikir hidup yang sesingkat ini pasti akan sia-sia kalau kita hanya berleha-leha tanpa ada secuil pun hal yang bisa kita lakukan. Akan sangat merugi sekali.


Tengah malam begini, berbagai pikiran begitu menyesak di otak. Diantara tumpukan baju-baju laundry-an yang sudah selesai aku bungkusi dengan sebelumnya tak lupa kuberi pewangi dan lebel harga masing-masing sesuai timbangan, aku merebahkan diri diantara sepi. Suwung dan nglangut menyerbu melingkupiku.

Bayangan-bayangan hadir serupa layar bioskop bersliweran silih berganti tepat di depanku. Banyak sekali yang telah kulewati. Dan malam seolah menggenapkan semuanya, malam menjadi latar sekaligus pengantar yang begitu sempurna bagi setiap ingatan yang dinamakan kenangan.

Tentang malam yang dingin di akhir Desember dengan gemerisik padi dan hinaan petani (WA). Tentang malam yang menyakitkan diantara sorak sorai orang bernyanyi tapi aku menangis sendiri (B). Tentang malam yang dingin juga penantian ternyakitkan yang pernah kualami (SM). Tentang malam yang menerbangkan ringkih rasa sakitku tanpa ada yang peduli (MK). Tentang malam yang kutangisi di teras rumahku sendiri memeluk kaki sepi (DP). Tentang malam yang menamparku hingga otakku bertebaran terserak di lantai kostku sendiri, kupunguti sebelum ada yang memperkosanya (IYK). Tentang malam yang melumpuhkanku, meracuniku sekaligusku menumbangkanku dengan perasaan mati (DPN).


Tentang malam, bahwa aku pernah begitu tersayat merasakan sakit berkali-kali yang tak terperi. Semua yang hadir menyerbuku berhias malam-malam termenyakitkan yang pernah ku lalui. Namun sekarang, semua mampu ku senyumi. Aku telah mampu melewati semua itu, menjadikanku begitu kaya akan rasa, menjadikanku cukup kuat dan lebih kuat dari sebelumnya. Membuatku belajar tentang bagaimana memperlakukan cinta, bukan bagaimana diperlakukan cinta. Semoga, doakan saja. 

Sragen, 20 Juni 2015

Tengah malam berteman tumpukan pakaian.



Memanjat Denting Tunggu


Pesing tempat ini, ku duduki namun acuh saja. Dua jam menunggu tersapu bersama dedaunan kering yang bergulung di aspal sekitarku. Lalu lalang orang yang berlari dengan sepeda motornya tanpa hirau. Juga orang entah dari dusun mana yang berjalan berbondong, membawa berbagai buntalan entah apa. Mungkin beras mungkin juga pakan ternak. Si ibu-ibu yang lusuh dengan baju entah dari jaman kapan menggendong anaknya. Melewatiku dengan menyisakan bau semerbak deterjen, mengingatkanku padamu.

Tiga jam menunggu, ku lihat anak-anak punk yang ada di seberang jalan belum juga mendapat tumpangan. Dengan tampang cengengesan berjongkok sambil disela jarinya terselip lintingan yang sesekali dihisap bergantian. Aku masih menunggu hingga diasapi sampah daun kering yang dibakar oleh si pemilik warung. Apakah bajuku akan berbau asap aku mulai khawatir tidak wangi lagi.

Empat jam menungggu, mataku sudah mulai cengeng. Tas yang sedari tadi ku gendong semakin membuat pegal punggung dan si pemilik warung samping mulai menanyaiku “belum datang jemputannya?” aku hanya tersenyum tipis kerena serak membanjiri kerongkonganku. Begitu tercekat dalam kata iya.


Bundaran Kartosuro, 17 Mei 2015


Friday, June 12, 2015

Teras, Rumah dan Pekarangan Belakang

Di sebuah salon kecantikan.

Kupandangi wajah pelangganku ini, mungkin seumuran dengan ibuku yang ada di kampung. Ah aku sudah lama tidak pulang menengok ibu dan bapak di kampung. Tapi kalau pulang juga pasti sangat menyebalkan, mendengarkan mereka berdua mengomelkan banyak hal tentang dandananku. Yang katanya aku menor, aku terlihat tua dari umurku, aku berdandan seperti perempuan tidak benar, rambutku yang ku cat merah sepertinya sangat mencemarkan nama baik mereka di kampung. Ditambah lagi dengan komentar mereka tentang pakaianku. Ah aku tidak mau mengingat mereka, membuat sakit hati saja.

Padahal tiap kali aku pulang, aku pasti tidak pernah absen membawakan duit yang bisa memenuhi kebutuhan mereka sampai berbulan-bulan. Rumah di kampung juga bisa diperbaiki semua berkat duit dari kerja kerasku. Tapi mereka tidak pernah peduli, yang mereka pedulikan adalah omongan dari tetangga yang berkomentar macam-macam tentang pekerjaanku dan pakaianku.

Mereka harusnya tahu, aku bekerja di salon. Kalau aku tidak berdandan cantik dan mengenakan pakaian yang tidak modis tentu pelangganku tidak akan percaya pada keterampilanku merias wajah dan menata rambut. Ah mereka tahu apa, hanya bisa bergosip tiap hari. Padahal di kampung mereka sangat miskin, seharusnya mereka bekerja bukannya hanya bergosip di warung-warung makan dan di pekarangan rumah. Muak aku, tapi aku juga tidak peduli. Sejak aku pergi ke kota, aku tahu di sini aku harus merubah nasipku. Aku tidak ingin miskin terus, aku harus bekerja keras. Disini tuntutannya sangat tinggi, jika ingin dihormati dan tidak dipandang rendah, aku harus mengikuti zaman.

Pertama adalah merubah gaya berpakaianku, lalu membeli SmartPhone dengan layar yang lebar seperti milik teman-temanku. Aku juga ingin makan di restoran-restoran mewah atau sekedar minum di kafe sambil berfoto selfi dengan minuman yang dari harganya tidak mungkin untuk tetangga-tetanggaku di kampung membelinya. Masuk di kafe-nya saja mereka pasti sudah minder. Tapi aku berbeda, aku cantik dan aku pantas!

Semua bisa terwujud karena laki-laki itu. Awalnya memang tidak begitu kupedulikan. Terlebih ketika ku ingat kata-kata ibuku “Secinta apapun kamu, secantik apapun kamu dan sepintar apapun juga kalau kamu merebut lelaki milik perempuan lain, kamu dinamakan: binatang!” Kata ibu keras sambil melempar senyum getir, aku menggigil. “Hanya perempuan yang tidak punya hati yang dapat melakukan itu. Semua ada karmanya. Jangan sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Balasannya lebih berat!” Tambah ibu lagi, matanya menerawang entah apa yang dia pikirkan, seolah dia tidak sedang berada ditempatnya saat ini. Aku hanya diam tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi itu dulu sekali, kata-kata ibu seolah seperti tertelan segala bentuk kemewahan yang aku miliki. Juga segala limpahan kasih sayang yang laki-laki itu berikan untukku, dia begitu perhatian lebih dari bapakku atau laki-laki manapun. Aku tidak pernah merasa sebegitu tersanjung ketika dia berikan bunga mawar dan cincin. Meskipun aku dengar dari teman-teman yang lain bahwa selain punya istri dan empat anak, laki-laki tersebut juga tidak begitu kaya. Tapi aku tidak peduli, teman-temanku hanya iri. Yang terpenting adalah aku bisa hidup enak sekarang, tidak hanya mengandalkan duit gaji kerja di salon yang tidak seberapa. Aku sadar duit itu hanya akan habis untuk mengirimi bapak ibuku di kampung saja. Sedangkan jika dari laki-laki ini aku bisa berdandan dengan kosmetik bermerk, baju-baju bermerk dan tentu aku bisa memamerkan foto-foto kelas atas ke sosial media yang akan membuat teman-temanku iri.


Aku rasa semua ini juga bukan murni karena kesalahnku saja, kenyataannya istri laki-laki itu tidak secantik aku, tentu lah suaminya mencari perempuan lain. Istrinya itu gembrot, tubuhnya dipenuhi lemak disana-sini dan laki-laki mana yang mau tidur dengan perempuan yang baunya selalu seperti bumbu dapur. Tidak seperti aku yang selalu menjaga penampilan dan juga wangi. Pantaslah kalau suaminya lebih memilih tidur denganku. Jadi jangan salahkan aku, aku memang cantik dan langsing. Dan jika suaminya menyukai aku dengan segala kasih sayang yang dia berikan, masak aku tolak?

Di sebuah kamar tidur.

Kupandangi cermin di depanku, yang nampak adalah seorang perempuan dengan tubuh telanjang. Tanpa secuil pun kain yang melekat. Kulitnya tak lagi semulus dulu, sekarang berbagai guratan yang menandakan bekas dapur dan sumur begitu melekat. Ditambah dengan gumpalan-gumpalan lemak disekitar paha dan perut, padahal dulu aku begitu sintal, tidak terlalu gemuk tapi tidak terlalu kurus, pas saja dan segar. Sekarang banyak bagian yang tidak begitu sedap dipandang. Beralih ke bagian wajah, dulu bibir yang merah itu begitu indah, sekarang legam padahal aku tidak merokok. Pipiku yang dulu juga bersih, tiba-tiba menjelma menjadi rawa, banyak bercak-bercak hitam yang berkerumun menghuninya.


Ini semua gara-gara KB! Namanya perempuan, kalau tidak pakai KB, ratusan anak bisa lahir. Yang repot siapa? Perempuan juga. Katanya kalau pakai IUD, lebih aman. Tapi aku takut, masak ada benda yang terbuat dari plastik dan tembaga berbentuk T dimasukan ke dalam rahim, pemakaiannya bisa 4-5 tahun. Ketika alat itu dipasang kita harus menaikan kaki tinggi-tinggi. Mengangkang! Yang buat aku ngeri, kita harus memeriksa diri sendiri apakah alat kontrasepsi itu masih berada dalam rahim dengan cara meraba benang IUD tersebut ke dalam vagina. Ngeri kalau harus memasukan jari sendiri ke dalam vagina. (Novel Tempurung - Oka Rusmini, dengan sedikit edit).

Selain itu, segala macam pekerjaan rumah juga aku sendiri yang mengurus tanpa pembantu. Jangankan menyewa pembantu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja aku juga harus bekerja berjualan nasi dan lauk-pauk tiap pagi. Mengurus 4 orang anak yang semuanya butuh makan. Mengurus rumah yang tiap hari selalu saja kotor. Mencuci, memasak, menyetrika, mengepel, menyapu, bagai babu di rumah sendiri. Kamu ingin aku tetap cantik seperti dulu? Semua tergerus perlahan terlebih dengan pekerjaan yang mengharuskanku bekerja keras siang malam di dapur demi menambah pemasukan tiap hari. Kamu begitu ingin aku selalu wangi? Bau asap dapur yang akan kau cium!

Berbeda sekali dengan kamu yang bekerja kantoran, mungkin hanya pegawai negeri rendahan, tapi kenyataannya duit gajimu malah kamu tukar dengan mobil. Yang harus kamu cicil dengan duit gajimu tiap bulan, hingga minus. Dan harus aku yang memenuhi segala kebutuhan rumah perharinya, pintar sekali kamu. Jelas kamu bisa kelihatan rapi bersih dan wangi tiap hari sehingga dapat digoda perempuan muda di luar sana. Apalagi dengan setelan seragam pegawai negerimu, lengkaplah untuk perempuan lain mengangapmu laki-laki sukses. Sedangkan aku hanya di belakangmu sambil merapikan segala kegagalanmu sebagai suami.

Memang sudah kodratnya sebagai perempuan, aku tidak ingin menyalahkan takdir. Tapi kenapa aku yang selalu disalahkan saat suamiku ketahuan memiliki perempuan lain di luar? Mereka menyalahkanku karena aku gembrot, tidak bisa menjaga tubuh, bau ku seperti bumbu dapur dan selalu cerewet. Mereka juga bilang aku perempuan goblok, yang mau saja dibohongi suaminya terus. Andai saja mereka tahu, aku juga sakit hati tiap kali membayangkan suamiku tidur dengan perempuan lain. Pertengkaran demi pertengkaran tiap hari, barang-barang yang dibanting ke lantai dan juga anak-anak yang ketakutan. Aku mulai lelah dan sadar bahwa semua itu tidak ada gunanya. Sekarang bagiku aku sudah tidak dapat egois lagi, tubuh ini sudah bukan lagi milikku sendiri tapi juga milik anak-anakku. Banyak yang harus aku pertimbangkan. Aku tidak ingin memberikan keluarga yang tidak utuh bagi mereka, setidaknya saat mereka pulang sekolah mereka akan menjumpai bapak ibunya ada di rumah.

Menjadi seorang perempuan terlebih seorang ibu, sudah bukan waktunya lagi memikirkan diri sendiri. Buatku melihat anak-anakku tumbuh adalah kebahagiaan yang luar biasa, yang terpenting sekarang adalah anak-anakku. Dan suamiku? Yang penting dia tidak membawa perempuan lacur itu ke dalam rumah tangga ini bagiku perempuan tersebut hanya pekarangan belakang yang tidak perlu aku tahu, aku ingin tutup mata saja soal itu. Selain itu juga suamiku tetap memikirkan kebutuhan anak-anak, itu sudah cukup.

Di sebrang sebuah jalan

Di pandangi teman-temanku, rasanya risih sekali. Mereka mengamati mataku yang bengap hasil dari menangis semalaman. Aku hanya diam saat teman-teman menanyaiku macam-macam. Beruntun!

Aku bercerita pun mereka belum tentu akan mengerti keadaanku. Jadi aku hanya diam saja, aku juga tidak ingin berbagi duka untuk mereka, buatku teman-teman hanya cukup tau suka ku saja. Kenyataannya aku masih lengkap dengan tawaku dan ceria sepanjang bersama mereka meskipun mata sepertinya tidak dapat membohongi. Tak apalah biar semua sesak kumiliki sendiri.

Segala hal yang begitu menyakitkan, ketika melihat kedua orang tuaku saling membantingi barang-barang rumah, saling memaki satu sama lain. Aku yang hanya mampu menangis terisak diam-diam, hal yang sepertinya bukan terjadi sekali dua kali di rumah, tapi begitu sering bahkan aku lupa sejak kapan dimulainya. Sepertinya sudah sejak aku masih kecil, aku juga lupa kapan. Entah!

Aku hanya kadang bingung harus bagaimana saat kedua orang tuaku sudah saling memaki satu sama lain. Berbagai perasaan tiba-tiba saja menyerbuku, membuatku seolah menjadi patung, diam beku ditempatnya. Hanya melihat sambil air mata meleleh dan beku sendiri.

Pernah suatu ketika aku berharap kenapa mereka tidak bercerai saja sekalian, daripada hanya tiap hari bertengkar terus, barang-barang di rumah pecah rusak. Apalagi saat itu yang dibanting adalah radio kesayanganku, hanya itu hiburanku di rumah. Tapi sampai sekarang mereka tidak bercerai juga, entah aku harus bersyukur atau tidak bagiku semua sama saja. Mereka masih rajin perang dingin kalau sekarang. Membuatku bingung dan ikut dingin hingga membeku di rumah.


Jadi kuputuskan untuk pergi saja, pulang hanya sekedar untuk menengok adikku yang terkecil yang masih sering berlarian mengikutiku kalau aku keluar rumah. Tidak ada lagi yang peduli padaku, ibu juga hanya akan marah-marah membuat kupingku panas, sebaliknya bapak malah hanya diam seolah aku adalah makhluk transparan yang tidak pernah ada keberadaannya. Saat pulang aku hanya kasihan pada adik-adikku yang masih kecil. Melihat mereka seperti melihat diriku sendiri saat itu. Hanya menangis sesenggukan.

Kuputuskan untuk tidak lagi peduli, entah ibu yang salah karena jelek, gendut, dan cerewet atau kerena bapak yang punya perempuan lain di luar, atau malah si perempuan jahat yang sudah menggoda bapak. Aku benar-benar tidak peduli, kenyataannya hanya aku dan adik-adikku yang menjadi korbannya. Rumahku surgaku sudah tidak lagi kami mengerti maknanya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi kami sudah tidak lagi berfungsi. Dan aku lebih memilih panas terik matahari sebagai tempatku berlindungku.

Kurapikan kembali tumpukan koran yang ada disebelahku, lalu kupeluk mereka dalam dadaku seolah mereka seperti seorang bayi yang akan terjatuh lepas satu satu kalau tidak aman dalam pelukanku. Dari sinilah aku bisa makan tiap hari, bersama teman-teman yang juga mencari sesuap nasi di bawah lampu merah. Diseberang jalan kulihat bapak berlalu dengan perempuan cantik yang seumuran denganku, begitu bahagia menaiki Avansanya.



Monday, June 1, 2015

Rok Polos

Ternyata dia duluan yang mengingatku, teman sesama suporter bola yang ternyata juga teman mengajiku saat masih kecil. Yang teringat dalam ingatan masa kecilku adalah saat seorang anak laki-laki yang usianya lebih muda setahun dari aku memberiku surat merah jambu dengan malu-malu. Aku sendiri malu menerimanya, dari situ teman-teman yang lain mengejekku pacaran dengan anak laki-laki tersebut. Setelahnya aku sudah tidak mau mengaji lagi. Malu. Padahal Pak Ustad sampai ke rumahku untuk membujukku ikut mengaji, tapi aku tidak pernah datang ke masjid. Malu.


Mengingat itu aku jadi tersenyum lalu tertawa. Aku lupa berapa usiaku, saat itu aku masih kelas tiga SD. Setelah selesai giliran mengaji iqro satu persatu, tanpa dikomando kami anak perempuan berkumpul untuk mengobrol. Di depan Pak Ustad kulihat seorang anak laki-laki sudah memegang Al-Qur’an, aku cukup kagum padanya. Diusia yang lebih muda dari aku satu tahun tapi dia sudah sampai membaca Al-Qur’an. Arif namanya, solatnya juga khusuk, tidak seperti anak laki-laki seumuran Arif yang lainnya. Mereka kalau sholat sering pecicilan, usil, suka mlotrokne sarung teman disebelahnya.

“Kamu melihat siapa Mi?” Tanya seorang teman disebelahku.

“Wah pasti sedang melihat Arif ya?” Goda seorang teman yang sepertinya memang mulutnya didesain untuk bergosip.

“Tidak.” Jawabku singkat.

“Halah mengaku saja, iya juga tidak apa-apa.” Sambung temanku yang lainnya lagi.

“Kalo memperhatikan cowok itu tidak apa-apa, wajar kog” kata Mbak Warsiti yang umurnya memang sudah lumayan jauh di atasku, dia sudah SMP.

“Tami lagi jatuh cinta ya?”

“Jatuh cinta?” aku bingung tidak mengerti yang dimaksudkan temanku, belum terjangkau oleh otakku yang berumur masih muda.

“Iya, jatuh cinta Tami, masak kamu tidak pernah menonton sinetron.”

“Aku tidak mengerti Mbak?”

“Biasanya kalau sudah jatuh cinta nanti tubuhmu akan mengeluarkan darah. Kamu akan pipis darah.”

“Hah!” yang benar saja kog mengerikan begitu, aku begidik memikirkan darah yang keluar dari tubuhku, apa aku akan mati?

“Apa itu sakit Mbak?” tanya temanku yang lain, yang juga penasaran sepertinya.

“Kata simbokku itu biasa.”

“Biasa bagaimana, mengeluarkan darah kog biasa? Mengerikan!”

“Apa kita akan mati?”

“Semua perempuan akan mengalaminya.”

“Aku tidak mau!” kataku sedikit keras sampai Arif menengok kearahku. Dia yang sudah selesai mengaji duduk kembali di tempat duduknya yang berada dibelakangku, sambil menyandar di tembok masjid yang berpapan kayu, aku lihat dia mulai mengatupkan matanya. Tidur?

“Jangan keras-keras ini di masjid.”

“Aku juga tidak mau berdarah.” Kata temanku yang satu SD denganku.

“Kalau tidak mau berdarah berarti kamu bukan anak perempuan.”

“Masa harus seperti itu?”

“Kamu juga berdarah Mbak?”

“Iya.”

“Kapan mbak? Mbak tidak takut?”

“Tentu saja takut, aku bingung, waktu itu pas pertama aku lulus SD. Simbokku yang bilang kalau tidak apa-apa aku sudah dewasa. Semua anak perempuan pasti mengeluarkan darah. Pertama rasanya sakit dan risih. Aku harus memakai busa putih di celanaku agar darahnya tidak jatuh keman-mana. Namanya softex, tapi kata simbok kalau ke warung belinya roti, begitu. Aku juga dibelikan sprite oleh simbokku katanya biar tidak nyeri. Simbok juga bilang kalau aku akan mengalaminya setiap bulan.” Kata mbak Warsiti panjang lebar.

“Aku masih belum mengerti Mbak?”

“Apa itu tidak bahaya Mbak, kok ya aneh perempuan harus mengeluarkan darah?”

“Kalau darahnya habis gimana Mbak? Ibuku kog tidak pernah cerita yang seperti itu. Mengerikan sekali.”

“Aku juga bingung, simbokku awalnya juga tidak pernah cerita. Tapi setelah itu simbokku mengatakan bahwa aku sudah besar sekarang, aku harus bisa jaga diri dari laki-laki.”

“Memang kenapa Mbak? Sudah sering kamu berdarah mbak?”

“Kata simbok agar aku tidak diperkosa laki-laki. Jadi aku harus jaga diri, baru dua kali ini aku berdarah, terakhir minggu lalu sampai 7 hari.”

“Jangan menakut-nakuti Mbak.”

“Sakit sekali Mbak?”

“Kadang.”

“Kadang gimana Mbak?”

“Pokoknya tidak enak. Darah itu bisa muncul berhari-hari. Pokoknya tidak enak. Kalau kita jalan dia mengalir dan terus keluar.”

“Apa kita tidak akan kehabisan darah Mbak, kog sampai berhari-hari gitu?”

“Rasanya bagaimana? Apa seperti pipis?”

“Tidak juga, dia keluar sendiri.”

“Apa tidak bisa kita tahan agar tidak keluar pas sedang sibuk Mbak?”

“Ya tidak.”

“Waduh kog ya merepotkan sekali tho.”

“Aku tidak mau mengalami itu.” Kata temanku yang mulai pucat membayangkan dia juga akan berdarah seperti Mbak Warsiti.

“Kamu tidak bisa menolaknya.”

“Apa tidak ada obat yang bisa diminum biar tidak berdarah Mbak?” Tanyaku sambil membetulkan letak dudukku yang begitu tidak nyaman karena saat mengaji harus memakai rok panjang polos berwarna biru muda.

“Tidak ada obat yang seperti itu, sudah jatahnya perempuan harus mengeluarkan darah.”

“Apa anak laki-laki juga mengeluarkan darah?”

“Tidak.”

“Kenapa kog tidak Mbak?”

“Aku juga tidak tahu, mungkin karena kelaminnya beda. Kamu pernah melihat kelamin anak laki-laki kan?”

“Pernah Mbak, adikku kan laki-laki.” Jawabku polos.

Belum sempat Mbak Warsiti berbicara lagi, kerumunan kami dibubarkan oleh Pak Ustad. Ternyata semua yang bergiliran mengaji sudah selesai. Kami kembali duduk rapi sambil berdoa mengakhiri pertemuan. Masjid berlantai kayu sederhana ini seolah terasa basah olehku. Basah oleh keringat atau aku ngompol atau malah aku sudah berdarah. Mengerikan sekali, tapi ternyata hanya tumpahan air minum dari teman disebelahku yang membasahi sebagian kakiku.

Dalam pikiranku masih belum sepenuhnya mencerna apa yang dimaksudkan oleh Mbak Warsiti. Yang ada hanya takut kalau nanti aku berdarah. Apalagi tidak ada obatnya. Tapi tadi kata Mbak Warsiti kalau aku jatuh cinta, aku akan berdarah. Kuputuskan aku tidak akan jatuh cinta. Berarti aku tidak boleh memperhatikan anak laki-laki, aku tidak boleh memperhatikan Arif agar aku tidak jatuh cinta. Aku tidak boleh jatuh cinta agar aku tidak berdarah. Tapi aku masih bingung, jatuh cinta itu seperti apa? Aku harus nonton sinetron biar mengerti.