Banyak yang bilang kalau cinta itu dari mata turun ke hati.
Tapi sepertinya untuk kasusku agak berbeda, cinta yang aku alami malahan dari
telinga turun ke hati. Itu terjadi pada cinta pertamaku. Dia adalah seorang
penyiar radio, sebuah radio desa kecil. Bukan radio swasta atau radio
pemerintah melainkan sebuah radio yang dipancarkan dengan jangkauan frekuensi
yang dekat, radio milik sendiri. Radio yang jika terkena angin sedikit saja
sudah mampu menghadirkan suara kemresek dengan sempurnanya. Jadi, tidak salah jika cinta pertama milikku dikatakan dari telinga turun ke hati. Karena
penyiar radio tersebut memang belum pernah sekalipun kulihat wajahnya, hanya
dari suaranya aku bisa merasakan getar menyenangkan di dalam hatiku.
Masaku saat itu memang mungkin bisa disebut dengan masa
demam radio, mulai dari radio swasta dari kota tetangga yang siarannya begitu terprogram rapi sampai radio-radio kecil yang saling berebut tempat di udara. Semua
memenuhi udara dan hanya dengan tape radio kecil milikku dulu aku sudah dapat
menikmati siang hingga malam menjadi pagi dengan mendengarkan radio. Bahkan
setelah tape kecilku menjadi rongsokan karena tak sengaja terbanting, aku tetap
bisa menikmati siaran radio dengan hape cetuk, hape jaman dulu. Aku masih ingat
hape pertama yang kumiliki saat aku memasuki SMP dulu, merk-nya Siemens dengan
layar berwarna orens. Hanya dengan dipasangi hetset sudah mampu tersambung
dengan ribuan chennel radio yang bebas untuk dipilih. Atau mungkin saat itu aku
juga menggunakan wokmen sebagai radio, karena pada jamanku alat tersebut sudah
mampu membuatku terkagum-kagum. Hanya dengan sebuah alat sebesar telapak tangan
orang dewasa kita sudah mampu mendengarkan musik dari alat tersebut. Kita hanya
perlu memasukan kaset pita ke dalam alat tersebut dan dengan hetset lagu dari
kaset tersebut sudah bisa kita dengarkan. Atau jika bosan, wokmen juga bisa
beralih fungsi menjadi radio, yang bisa kita bawa kemana-mana. Karena dalam
penggunaannya, wokmen hanya butuh dua batre, atau mungkin 4 batre, aku sudah
lumayan lupa. Entahlah, rasanya memiliki wokmen saat itu memang menjadi hal
yang sangat menyenangkan, walaupun tidak bisa disebut barang mewah. Pasalnya,
hampir semua teman SD-ku pada tingkat akhir saat itu memiliki wokmen. Karena
barang tersebut dijual saat darmawisata ke jogja. Aku ingat sekali, teman-teman
semua membeli di bus dan akupun juga ikut membeli, wokmen sekaligus hetsetnya,
lalu ditambah dengan kaset pita sebagai pelengkap. Kaset dari lagu-lagunya
Peterpan, grub band tersebut memang sedang naik daun pada masa itu. Semua anak
pada masa itu hampir hafal semua lagu-lagu Paterpan.
Memasuki masa SMP, seperti murahnya harga wokmen beserta
perangkatnya, mudah juga untuk cepat rusaknya. Alat yang begitu menakjubkanku
tersebut tidak mampu bertahan lama, dua sampai tiga kali aku mencoba membeli
lagi, tapi lagi-lagi tidak sampai lama sudah tidak mau berfungsi, meskipun aku
dalam penggunaannya sudah sangat berhati-hati sekali. Tapi pada akhirnya wokmen
dan kaset pita tetap punah seiring waktu, terganti dengan alat-alat lebih
canggih lainnya. Seperti hape, meskipun pada saat itu hape masih sangat
sederhana kalau dibandingkan dengan hape jaman sekarang: smartphone.
Namun dari hape yang berlayar orens tersebut, sebagian
kecil dunia pra-remajaku dibentuk. Radio menjadi teman yang begitu setia tentu
diantara buku-buku novel, satu dua teman sekelas dan berbagai kesibukan sekolah
dan pekerjaan di rumah. Namun radio memang menjadi satu-satunya teman di malam
hari, bahkan saat-saat terkritis dari insomniaku, radio mampu menjadi teman
tersetia sampai pagi. Awalnya memang hanya sebatas mendengarkan radio yang
memberikan lagu-lagu teman tidur siang hari, tapi ternyata siaran radio di
malam hari jauh lebih seru. Dalam hal ini aku lebih suka radio-radio kampung,
karena pembahasannya bebas, guyonanya juga seenaknya sendiri, lagu-lagu yang
diputar lebih beragam, bahkan penyiarnya lebih sering menggunakan bahasa jawa
ngoko asal-asalan, dan yang paling penting tidak ada yang namanya iklan. Tidak
seperti pada radio swasta yang ngobrolnya sedikit, lagu yang diputar sedikit
tapi iklannya seabrek. Radio swasta memang tidak seseru radio-radio kampung
yang penyiarnya kadang sama sekali tidak mengerti unggah-ungguh berbahasa. Tapi
memang kenapa, justru itu yang menyenangkan, karena memang dalam dunia
sehari-hari unggah-ungguh sudah sangat ditekankan, jika dalam dunia radio aku
juga harus mencari hal yang formal semacam itu, dimana letak hiburannya. Jadi
bagiku, radio ibarat obat penyembuh, obat penambah tenaga, obat pelarian dari
dunia biasa yang biasa-biasa. Bisa tertawa dari guyonan orang yang sama sekali
tidak kita kenal, tapi rasanya kita juga terlibat dalam guyonan tersebut adalah
suatu kesenangan yang tak mampu terjelaskan.
Awalnya memang hanya sekedar mendengarkan radio, menikmati
lagu-lagu yang diputar atau ikut tertawa kalau si penyiar menggoda si penelepon
di radio tersebut. Tapi lama-lama aku juga ingin kalau lagu yang ingin aku
dengarkan dapat di putar, jadi dengan hati yang berdebar aku mencoba mengirim
sms ke stasiun radio tersebut. Berbagai perasaan tidak enak melingkupi hati, takut rasanya. Iya karena untuk pertama kali aku mengirim sms ke
sebuah stasiun radio dengan tingkat detak jantung yang tak terkira cepatnya.
Bahkan saat mengetik sms berulang-ulang kali aku membacanya kembali agar tak
ada satu huruf pun yang kurang atau salah ketik. Tidak terhenti sampai disitu
saja tersiksanya jantungku bahkan sampai membuat tanganku basah keringat
dingin. Dan penyiksaan tersebut hampir berlangsung cukup lama sampai smsku
terbaca oleh si penyiar. Mungkin kalian yang sekarang sedang membaca mengatakan
bahwa aku lebay, tapi memang itu yang aku alami pada saat tersebut. Betapa
tidak, coba kalian bayangkan, seorang anak SMP yang baru pertama memegang hape,
yang biasanya hepe tersebut hanya untuk bermain game ular-ularan saja tiba-tiba
harus mengirim sms ke sebuah stasiun radio untuk pertama kali dan akan
dibacakan oleh seorang penyiar dan akan didengarkan oleh seluruh pendengar
radio tersebut dan lain sebagainya dan lain sebagainya pemikiran-pemikiranku.
Tidak salah jika, aku merasakan penyiksaan sebagaimana rupa. Terlebih pada
masa itu, jumlah orang yang memiliki hape belumlah semerata sekarang, sekalipun
pada masa tersebut hape hanya secanggih untuk sms dan telpon saja. Jika kalian
masih menganggapku lebay, coba bandingkan keadaan dulu dengan sekarang,
sekarang anak paud bahkan yang baru mau dititipkan ke playgroub saja sudah
mampu menguasai tablet atau smartphone. Merk-merk hape legend seperti siemens,
sony ericsson atau nokia sudah surut dari peredaran, padahal dulu merk-merk
tersebutlah yang pertama kali merajai pasar perdagangan di Indonesia. Jika
diingat aku sendiri, hape pertama yang kumiliki bermerk siemens. Jadi bisa
dibandingkan pertama kali memegang hape dengan hape merk pertama yang masuk
di Indonesia dengan situasi saat ini yang menggunakan alat komunikasi yang
sudah canggih dan semua kalangan semua lapisan masyarakat sudah mampu memiliki
dan menggunakannya. Jadi sms bukan menjadi barang begitu krusial lagi karena
semua orang menjadi biasa dan terbiasa, terlebih saat ini sms malah sudah
tergusur oleh pengirim pesan-pengirim pesan yang lebih disempurnakan, seperti
bbm, wa, line, dan lain sebagainya yang dapat kalian cari dan unduh di playstore.
Pada awal pertama mengirim sms di radio memang guncangan
seperti itu tetap terulang aku rasakan, dua tiga kali tidak hilang, memang
sepertinya tidak mudah untuk hilang. Tapi setelah sekian kali berkirim sms
lambat-lambat perasaan semacam itu cukup mereda. Dan setelah terbiasa hilang
sama sekali, selain itu juga karena kusiasati dengan menggunakan nama samaran. Nami,
nama itu aku pilih karena aku merasa itu nama yang cukup unik, dalam bahasa
jawa kata tersebut artinya ya nama namun diperhalus penggunaannya dalam bahasa
jawa kromo lugu. Jadi, aku tidak perlu mengarang-arang nama lain untukku,
karena ketika aku cantumkan dari pengirim untuk sebuah sms di radio tersebut,
aku hanya mencantumkan nama tapi dalam bahasa kromo lugu. Awalnya sebenarnya
aku memilih hal tersebut untuk sekedar mensiasati agar aku tidak kuwalat kepada
bapakku yang telah memberiku nama Intan, apalagi di Sragen merubah nama
harusnya dengan cara dibancaki dan akan sangat ribet, jadi aku dengan kesadaran
penuh merasa bahwa aku tidak berganti nama, hanya mencantumkan kata nama (dalam
bahasa jawa kromo lugu artinya nami) saja sebagai identitas. Tapi pada
perjalanannya ternyata Nami bukan hanya sekedar aku gunakan sebagai identitas
untuk sms di radio. Tapi juga setiap akun yang aku gunakan. Mulai dari
friendster, mig33, mixit, nimbuzz, facebook, twitter, email, instagram, bbm
bahkan blogku ini. Meskipun pada masa sekarang, nama untuk akun bbm dan
facebook sudah aku ganti dengan nama asli. Tapi aku baru sadar bahwa Nami sudah
turut serta dalam perjalanan panjang sejarah hidupku di dunia maya, malah terseret
juga dalam dunia nyata, buktinya masih banyak teman-temanku yang memanggilku
Nami. Begitulah sejarah singkat asal mula nama Nami menjadi identitas lain
dalam diriku.
Kembali ke persoalan awal tentang radio, aku yang semakin terbiasa mengirim sms ke berbagai stasiun radio rupanya tidak membuatku ingin
bertelpon ria untuk sekedar meriques lagu. Aku tetap tidak bergeser sedikitpun,
karena aku merasa cukup dengan riques lagu hanya dari sms saja. Tapi sesuai
perkembangannya ternyata periques semakin banyak yang meminta lagu langsung
lewat telpon, dan lebih spesialnya lagi, riques yang lewat telpon lagunya
diputar lebih dulu. Semakin merasa seru dengan radio, bagiku tidak menjadi soal
laguku akan diputar lebih dulu atau malah tidak diputar sekalipun juga tidak
apa, karena smsku yang berisi permintaan lagu dan kiriman salam tersebut sudah
cukup hanya dengan dibaca oleh penyiarnya, tapi yang menjadi soal adalah
biasanya penelpon begitu genitnya meladeni candaan dari si penyiar. Apalagi
jika penyiar tersebut adalah penyiar yang aku spesialkan. Penyiar yang begitu
menarik pada awal perkenalan karena dia juga entah kenapa tertarik dengan nama
samaranku, katanya Nami nama tersebut mirip dengan tokoh anime yang dia suka,
aku tidak tahu itu siapa. Dengan suara yang renyah dengan tertawa yang juga
begitu renyah enak didengar, bahkan tertawanya pun juga menarik buatku. Tidak
seperti penyiar-penyiar yang lain. Dia cukup unik dengan lagu-lagu yang dia
pilih untuk diputar, dengan wawasan music dan band-band yang tidak lagi dalam
pasaran. Wawasan umum dia juga begitu luas, karena setiap siaran pasti akan
banyak hal yang dia bahas. Kembali aku katakan dia tidak seperti
penyiar-penyiar radio kampung kebanyakan. Meskipun dia siaran pada radio
kampung tapi pengetahuan dan pembahasan yang dia bawa saat siaran tidak kalah
dari radio formal. Dan lebih unggulnya dia bawakan dengan tidak formal sama
sekali, tapi tetap dengan unggah-ungguh yang pas, dengan bercandanya yang tidak
berlebih, dan tidak meladeni genitnya penelpon dengan berlebih juga tapi tetap
bisa membuat suasana yang semangat. Boleh dibilang dia penyiar yang cerdas
untuk ukuran radio kampung.
Nama penyiar itu adalah Eno, begitu yang dia kenalkan setiap
kali mengudara. Belakangan aku tau itu bukan nama aslinya, dia memakai nama
tersebut karena ngefans dengan drummer-nya Netral. Begitu banyak hal yang aku
sukai dari dia. Lalu pada suatu waktu saat dia siaran, dia menggunakan nomer
hape pribadinya sendiri untuk melayani periques. Aku hanya menyimpannya, tidak
ada keberanian untuk meng-sms sekalipun itu hanya untuk meriques lagu. Tapi
selang beberapa lama dia jarang sekali siaran. Terus terang meskipun tetap
menyenangkan mendengarkan radio, tapi rasa-rasanya tetap ada yang kurang.
Ingin sekali aku tanyakan langsung kenapa sudah tidak pernah
siaran, tapi banyak hal yang membuat takut. Akhirnya daripada tersiksa batin
karena rasa takut dan sebagainya, tidak aku sms juga. Aku hanya menunggu sambil
berharap dia akan siaran lagi.
Begitu lama aku menunggu tidak juga sekalipun terdengar
suara dia di radio, bahkan saking takutnya kalau-kalau aku terlewat saat dia
siaran dan aku tidak tahu, maka aku pasang frekuensi hanya pada chennel radio
miliknya, suara kemresek pun juga aku dengarkan, saat ada yang mengudara aku
pusatkan pendengaranku, tapi terlalu sering kupingku dikecewakan karena
ternyata yang siaran bukan dia. Lalu aku ceritakan kesedihanku pada sahabatku
yang sedang tiduran kasurku, sambil aku ikut tiduran disampingnya, aku minta
tanggapan apa yang harus aku lakukan. Lalu tiba-tiba dia menyambar hapeku, dia
mau mengirim sms untuk penyiar tersebut. Terjadilah saling rebut merebut hape,
rasanya aku belum punya nyali kalau harus sms dulu. Tapi sahabatku tersebut
bilang kalau sms pun juga tidak apa-apa dia tidak akan tahu siapa yang sms.
Setelah aku pikirkan benar juga omongannya, jadi aku putuskan untuk meng-sms
Mas Eno. Satu sms yang berbuntut rasa takut begitu lama. Tapi karena sedang
bersama seorang sahabat yang ada di dekatku jadi hal tersebut tidak terlalu
mengganggu pikiranku, hanya pada saat-saat teringat saja aku kembali deg-degan.
Karena sepertinya smsku tidak akan mendapat balasan.
Kemudian selang cukup lama, mungkin berminggu-minggu
kemudian smsku baru terbalas. Aku begitu ingat keadaan pada saat itu, aku
sedang studytour ke Jakarta pada waktu kelas 2 SMP, mungkin pada saat itu belum
ada jalan tol yang panjang karena bus berhenti disebuah rumah makan dalam
wilayah Jawa Barat. Udara begitu dingin padahal jam masih menunjukan pukul 8
malam, langit gelap tanpa arakan awan, hanya hitam pekat tapi dengan pijar satu
bintang yang sangat cerah. Saking cerahnya bintang tersebut tak kuasa untuk
mengedipkan dirinya sendiri. Berdiam diri menjadi satu satunya penghuni langit.
Indah sekali ditambah dengan satu getar dari layar hp yang berkedip memunculkan
sebuah pesan. Cukup satu pesan yang juga menggetarkan hatiku, satu pesan dari
Mas Eno. Mas penyiar. Perlu beberapa menit untuk aku menenangkan diri agar
dapat membuka pesan tersebut, dan perlu beberapa menit pula untuk aku dapat
membalas smsnya itupun setelah aku baca berulang-ulang smsku sendiri agar tidak
ada kesalahan untuk setelah itu dapat aku kirim. Aku pandang langit malam di
Jawa Barat rasanya jadi ribuan kali indahnya. Tapi juga dengan detak jantung
yang luar biasa cepat. Berada dalam bus yang bergerak sampai tiba di Jakarta,
tak sekejap pun aku mampu memejamkan mata. Kejadian tersebut masih melekat
secara detail dalam ingatan, menjadi salah satu kenangan indah yang tak mungkin
terlupa. Meskipun kalau dari sekarang mungkin terhitung sudah 10 tahun, tapi
mengingatnya kembali seperti masih tersisa segala indahnya, suasananya, hawa
dinginnya juga getar di jantung yang menyenangkan. Selaksa malam yang menakjubkan bahkan jika hanya sekedar dikenang.
Ternyata sms-an kami berlanjut lebih panjang, sebagai teman
dia adalah orang yang menyenangkan. Seru jika diajak cerita, membahas apapun
rasanya menjadi sangat menyenangkan. Orang yang supel, dengan berbagai
pembahasan yang tidak pernah membosankan. Bahkan dia juga sering telpon aku,
awalnya memang canggung dan aku lebih banyak diam, tapi dia memang orang yang
pintar mencairkan suasana, membuat orang menjadi nyaman untuk bicara. Aku yang
biasanya takut-takut kalau telpon menjadi terbiasa setelah dengan dia. Seperti
yang aku bilang dia memang orang yang cerdas. Banyak hal yang tidak pernah aku
tahu, aku pelajari dari dia. Mulai dari band-band yang bagus dan tidak pasaran.
Karena itu seleranya unik, memang dari awal akupun juga suka pada yang tidak
sering-sering aku dengar, karena pada masa itu memang band-band melayu sedang
naik daun. Aku bahkan ingat kata-kata dia kalau “Aku memang suka lagu-lagu yang
slow melow kendow, asal tidak cengeng”. Dia bilang dia suka band-band yang
beraliran melodick punk, dia juga yang mengenalkan aku pada band-band tersebut.
Aku juga mulai suka pada Blink-182, Endank Soekamti, Netral, SID, Green Day,
dll. Meskipun setelah itu aku juga lebih menyukai yang beraliran keras;
Slipknot, System Of Down, Betrayer, Bandoso, Burger Kill, dll. Dia bilang
aliranku malah kebablasan jadi Metal Gedruck. Entahlah, memang musik-musik
seperti itu menjadi lebih enak didengar diantara band-band metal yang sering sekali
diputar di radio. Jadilah, aku satu-satunya pendengar yang meriques lagu-lagu
keras diantara mereka yang meminta lagu-lagu dari band melayu.
Selain itu juga dia yang membuat aku menyukai One Piece
sampai sekarang, meskipun pada dasarnya aku memang menyukai anime sejak SD.
Bahkan aku punya dua buku berisi lyric lagu-lagu anime, sayangnya kedua-duanya
sekarang sudah jadi abu. Kami bahkan berdebat tentang anime mana yang lebih
seru antara Naruto atau One Piece. Aku sama sekali tidak menyukai One Piece karena
tokoh utamanya memiliki kekuatan yang aneh, tidak seperti Naruto. Tapi dia
tetap memaksa agar aku menonton One Piece dulu, dia bilang kalau aku pasti
suka. Tapi karena penasaran pada satu tokoh yang dia bilang namanya juga Nami
seperti namaku, maka aku putuskan untuk sekali menonton. Pada saat itu One
Piece memang masih tayang di TV. Jadi mudah saja untuk bisa menonton, dan benar
kata Mas Eno, bahkan aku akui lebih seru daripada Naruto. Tanpa sadar tak
pernah satu episode pun terlewat, anime yang penuh petualangan seru.
Menyenangkan bisa berpetualang dan mendapat teman yang banyak, sahabat yang
banyak dan bisa pergi kemanapun ke berbagai tempat yang belum pernah didatangi.
Dari situ juga mungkin saat SMA aku ingin punya teman yang banyak, tidak
seperti saat SMP, boleh dibilang aku tidak punya teman, di sekolah temanku
nyaris hanya buku dan teman sebangku ku saja. Selain itu aku juga jadi mulai
menyukai berpetualang ke tempat-tempat yang baru dan menantang. Aku suka
berpergian kemana pun bersama teman-temanku. Membuat kenangan yang bisa
dikenang saat tua nanti, saat sudah tidak mampu kemana-mana lagi.
Setelah sekian lama berteman dengan Mas Eno, sudah tidak
membuatku ragu lagi kalau aku memang menyukai dia, cinta petamaku. Padahal kami
belum pernah sekalipun bertemu. Lalu dia menyuruhku membuat akun friendster.
Pada masa itu memang belum ada facebook, dia bilang kalau mau melihat wajahnya
aku bisa lihat di friendster miliknya. Ada fotonya disana. Awalnya aku ragu,
tapi diam-diam aku buat juga, bahkan friendsterku penuh dengan berbagai keakuan
tentang aku. Segala hal yang aku suka aku tulis dalam friendster, aku telah
memiliki friendster yang sempurna. Tapi aku belum juga mengintip friendster
miliknya, bukan karena takut wajahnya mengecewakan, sama sekali bukan. Tapi
memang karena aku belum bisa mengendalikan hatiku sendiri, debar jantungku
selalu memuncak setiap aku melihat hapeku memunculkan nama Mas Eno dilayarnya.
Sekedar mendapat sms dari dia saja hatiku bisa begitu terbang, membaca-baca
kembali sms dari dia bisa menerbitkan senyum yang tak berkesudahan, apalagi
ketika ditelpon rasanya aku seperti terlonjak-lonjak menaiki kora-kora. Maka
jika harus melihat friendster miliknya aku juga harus benar-benar siap
kejatuhan bintang-bintang.
Setelah lama, aku akhirnya melihat friendsternya juga,
melihat foto dia. Tepat seperti dugaan, suara yang renyah itu juga milik
laki-laki yang menawan, yang menawan hatiku hingga menahun. Apapun itu, aku
bertambah menyukainya. Meskipun temanku berkomentar dia tidak ganteng-ganteng
banget, dia juga pendek, tapi apapun aku tetap menghamba pada dia. Tapi dari situ aku juga mulai berpikir aku harus
menghentikan les berenangku, karena dengan berenang aku bisa bertambah tinggi,
sedangkan aku tidak ingin lebih tinggi dari dia.
Selain di friendster dia ternyata juga sama-sama pengguna
mig33, siapa sangka, jadilah akun Nami selalu setia menunggu dia di room
Sragen, siapa tau suatu waktu dia login mig33 dan bisa chatting bareng. Untuk
semua akun sosmed aku gunakan nama Nami, itu semua juga untuk dia, nama yang
dia sukai. Dan aku berharap dia akan menemukanku dengan nama itu, setidaknya di
dunia maya. Karena memang sampai sekarang kami berteman juga dalam dunia itu
saja. Tapi aku pastikan perasaanku ke dia tidak maya, perasaanku ke dia benar-benar
nyata. Meskipun tidak sekalipun kami pernah bertemu secara langsung, meskipun
setelah 3 tahun kami telah berteman akrab dan 2 tahun sitelahnya aku tidak
pernah sedikitpun menghubungi dia, tapi memang selama 5 tahun itu perasaan
cintaku ke dia benar-benar nyata. 3 tahun berteman tanpa sekalipun pernah
bertemu langsung, dan karena ulah sahabatku sendiri aku harus menangisi dia dan
berkata kalau lebih baik tidak perlu lagi saling menghubungi, awalnya dia
terus-terusan berusaha menolak, tapi akhirnya dia menerima juga keputusanku.
Jadilah 2 tahun sisanya adalah hari-hari hampa aku berusaha untuk bisa
melupakan dia. Cinta pertamaku, yang tidak akan pernah mengetahui perasaanku
ini.
Kalau dipikir memang banyak hal dari diriku yang berkiblat
dari Mas Eno, mulai dari selera bermusik, band-band kesukaan, anime kesukaan,
pandangan tentang kehidupan, keakuan tentang aku bahkan sedikit banyak berasal
dari dia, mungkin kehidupan sepanjang remaja yang mengantarkan aku pada masa
sekarang juga tidak lepas dari pengaruhnya. Dia tidak mungkin tau dan selamanya
dia tidak akan tau, tapi aku bersyukur pernah memiliki bahagia meski hanya
menjadi temannya. Dan aku bangga memiliki cinta pertama dari orang yang cerdas.
Aku cukup sadar meski hanya sebatas ini yang aku peroleh dari dia. Pada
akhirnya aku benar-benar bersyukur pernah memiliki dia cinta dalam diam.