Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, January 22, 2016

Semar Mesem


Puisi Patah Hati
Oleh Kinanthi Putri Purbaningrum dari kelas XI IPS 2

Semangat seakan tercabut dariku
Menghabisi langkah semalam yang telah ku tertawai sendiri
Bisakah kita simpan saja semua tawa itu bersama
Atau tidak usah kita punyai sekalian sejak awal
Karena semua itu semakin sakit
Membuatku hilang akal, hilang pijakan
Dan menghadirkan gamang tak terpungkiri
Melihatmu menjauh memeluki keindahan lain
Aku hanya bisa terdiam sambil menerawang
Benarkah takdir sejahat itu
Padahal tanganku sudah terlanjur kurentangkan untukmu

Kuhitung kira-kira ada enam orang yang sedang berkerumun di hadapan puisiku yang tertempel di mading. Bel pulang sekolah sudah berbunyi kira-kira dua jam yang lalu. Tapi beberapa siswa masih banyak yang mengikuti ekstrakulikuler dan jam tambahan untuk kelas tiga karena sudah mendekati Ujian Nasional. Aku sendiri sedang menunggu jemputan yang tidak juga datang. Padahal sudah satu jam.

Di seberang kulihat Oltaf melambaikan tangannya kearahku. Dengan seragam bola yang masih kumplit menempel di badannya, dia berlari-lari kecil menghampiriku.

“Setia banget nungguin aku, Nan.” Canda Oltaf sambil tertawa-tawa mengibaskan keringat di tangannya ke arah mukaku.

Sepontan aku menghindar “Hih, jorok banget sih.” Sambil aku cemberut protes pada tingkah kekanakannya.

“Dih sok-sokan padahal juga biasanya malah dihirup-hirup bau kringatku.” Oltaf tertawa puas. Aku hanya diam tak menanggapi. Paham kalo aku sedang tidak ingin bercanda, kapten tim sepak bola tersebut kembali bertanya “Mas Dirjo belum datang jam segini?” Aku hanya menggeleng, sambil dia melihat ke arah lapangan memastikan bahwa tidak ada yang sedang mencarinya, dia menanggapi gelenganku “Wah minta dipecat tuh supirmu Nan, kebanyakan makan gaji buta. Aku anter aja yuh, langit mendung tuh bentar lagi magrib lagi.” Oltaf merogoh kantong celananya pasti mau mengambil HP, sebelum sempat dia meraih alat komunikasi tersebut, aku menolak tawarannya “Gak usah, tadi aku udah di SMS Mamaku kalo Mas Dirjo emang agak telat, jadi biar aku tunggu aja.”

“Wah kalo ini sih udah bukan agak telat lagi Nan, tapi telat banget. Udahlah aku anter aja lah, biar aku ganti baju dulu.” Paksa Oltaf lalu menggandeng tanganku mengajakku berdiri.

“Beneran gak usah Taf, aku juga gak enak sama Fiza kalo dia tau ntar cemburu.” Tolakku halus sambil kubuang pandang ke arah pintu gerbang sekolah.

Sebelum Oltaf kembali memaksaku kulihat sebuah mobil Avansa silver berhenti rapi di depan gerbang yang sudah sepi siswa. “Nah itu Mas Dirjo udah datang, aku duluan yah. Bye.”

Kudengar sayup dia menjawab dan berbicara entah apa, tapi aku tidak ingin menengok karena terasa air mataku segera jatuh. Bersamaan dengan itu rintik hujanpun juga jatuh. Hujan pertama di bulan November. Aku bergegas menghampiri mobil jemputanku. Memasukinya dengan perasaan nyeri yang tak seorangpun tau. Mas Dirjo yang mengatakan permintaan maaf tak kudengarkan. Sepanjang jalan aku hanya melamun. Bayangan seminggu yang lalu kembali terlintas.

Waktu itu aku duduk sambil serius mengerjakan tugas Sejarah yang berlembar-lembar belum juga selesai. Padahal soalnya hanya satu tapi jawabannya bagai menulis buku. Tiba-tiba Oltaf yang biasanya duduk di belakangku, memilih duduk di sampingku. Dengan wajah yang berbinar dia bercerita bahwa dia baru saja jadian dengan Fiza, murid kelas satu yang dulu pernah aku marahi saat Ospek karena memakai lipstik warna merah dan terlihat tidak pantas. Aku lihat mata Oltaf, karena aku memang memiliki kelebihan bisa melihat kebohongan atau kejujuran dari mata orang yang sedang berbicara denganku. Dari mata tersebut aku bisa mengetahui apakah orang tersebut sedang berkata dengan jujur atau tidak. Dan dari mata Oltaf aku lihat kejujuran kalau dia benar-benar sedang jatuh cinta.

Selanjutnya aku tidak mendengarkan lagi kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang sedang dilanda virus merah jambu tersebut. Aku menekuri buku tulisku seakan sedang serius mengerjakan padahal entah apa yang aku tuliskan tidak lagi jelas. Oltaf tetap menggebu-gebu bercerita sampai Guru Sejarah menegurnya dan menyuruhnya untuk kembali ke tempat duduknya.

Dari belakang Oltaf tetap memanggiliku dengan mengetuk-ngetuk ujung bulpennya ke punggungku. Tanpa memalingkan wajah aku hanya memberinya isyarat kepalan tanggan untuk meninjunya kalo dia tetap menggangguku. Dari belakang kudengar dia tertawa pelan. Padahal mataku sudah berkaca mencoba menahan air mata. Rasanya seperti ada sesuatu yang tercabut dari hatiku, lalu bagian yang kosong tersebut dilintasi ribuan angin yang berbentuk seperti pisau yang menyilet-nyiletnya. Nyeri.

Sejak masuk SMA memang teman terdekatku adalah Oltaf, awalnya kami bisa dekat adalah karena sama-sama suka klub sepak bola dari Inggis yaitu Chelsea. Konyol sebenarnya tapi dari situ ternyata kami punya banyak kesamaan, itulah mengapa kami bisa begitu dekat dan dari situ ternyata aku merasakan perasaan yang lebih dari hanya sekedar sahabat.

Kalo kata orang Jawa “tresno jalaran soko kulino” atau kalau diartikan dalam bahasa Indonesia artinya cinta karena sering bersama. Mungkin itu yang membuatku jatuh hati pada Oltaf, tapi ternyata yang merasakan hal tersebut hanya aku. Sedangkan Oltaf hanya menganggapku tidak lebih dari seorang sahabat yang nyaman diajaknya cerita dan bercanda. Dia jugalah yang menjadi maksud dari puisi yang tertempel di mading sekolah. Tapi kupastikan tidak ada yang tahu.

Tanpa kusadari Mas Dirjo sudah membukakan pintu untukku, jadi tanpa dikomando aku keluar dari mobil yang akan segera diparkir. Rumah kulihat sangat sepi, hanya Mbok Laila pembantu rumah yang menyambutku.

“Yang lain kemana, Mbok?”

“Semua sedang di rumah sakit Non.”

“Keadaan nenek semakin memburuk ya, Mbok?”

“Loh Non belum diberitahu Mas Dirjo ya? Kalo Neneknya Non tadi sempat meninggal.”

“Mbok jangan bercanda, maksudnya gimana?”

“Mbok tidak bercanda Non, tadi memang rumah dapat kabar begitu tapi terus dikabari lagi kalau Neneknya Non tidak jadi meninggal.”

“Aku makin bingung Mbok. Udahlah aku mau nyusul ke rumah sakit aja.”

“Mau Magrib Non gak baik keluar. Sendyakala Non, banyak setan yang bermunculan kalo waktu seperti ini.”

“Yaelah Mbok masih aja percaya kaya gitu.”

“Aku mau mandi dulu, Mas Dirjo suruh siap-siap ya Mbok.”

“Rumah sakitnya kan jauh Non. Ibu tadi berpesan supaya Non tidak perlu menyusul, kan besok Non Kinanti juga harus sekolah tho?”

“Aku kan juga pengen tau keadaan Nenek Mbok, masak gak boleh. Mbok ini gimana.”

“Ya sudah Non biar Mbok ke Mas Dirjo dulu.”

Tak perlu waktu lama untuk bersiap-siap aku sudah berada diatas mobil. Perjalanan menuju rumah sakit tempat nenek dirawat memakan waktu selama dua jam. Karena berbeda kota. Setelah kakek meninggal, selama itu nenek memang lebih memilih tinggal dengan Om Anggoro, anak laki-laki satu-satunya, padahal nenek memiliki 4 anak perempuan yang semuanya berkecukupan termasuk salah satunya adalah mamaku. Mungkin karena Om Anggoro anak ragil alias anak terakhir sekaligus anak laki-laki yang katanya sudah sangat ditunggu-tunggu kelahirannya oleh nenek.

Sampai di rumah sakit, kulihat jam besuk pasien sudah di tutup. Tapi karena darurat dan nenek termasuk pasien VIP jadi pihak rumah sakit memperlonggar peraturan, sehingga aku diperbolehkan membesuk. Di dalam ruangan hanya ada mama dan Bulek Diah yang menunggui. Sedangkan papa dan Om Anggoro menunggui di luar. Aneh menurutku, karena kamar inap nenek termasuk VIP yang memiliki ruang tamu sendiri.

Kulihat wajah mama dan Tante Diah yang kuyu, kelelahan.

“Ma, mama udah makan?” sambil kusodorkan roti yang sempat kubeli di Alfamart saat menuju rumah sakit tadi.

Mama hanya menggeleng, lalu Bulek Diah yang menjawab, “Kita tadi udah makan Nan, kamu memang besok tidak sekolah?”

“Kinanthi bisa ijin sehari kog Bulek, ya kan Mah?” aku minta persetujuan mama. “Aku pengen nungguin Nenek.”

Kulihat mama hanya mengangguk. Mata mama terlihat seperti habis menangis tapi lebih dari itu kulihat mama seperti sedang memikul pikiran yang sangat berat. Jadi Bulek Diah istrinya Om Anggoro lagi yang berbicara seolah menjadi juru bicara dari mama. “Mama kamu sepertinya capek Nan, gimana kalo kamu sama papa mama kamu sekarang menginap ke rumah Bulek saja Nan, biar diantar Om kamu yah. Malam ini Bulek yang menjaga nenek.”

“Tapi Kinanthi pengen sama nenek Bulek, jadi biar Kinan yang malam ini jaga nenek. Bulek saja sama mama papa yang pulang. Sepertinya semua capek.”

Kulihat Bulek Diah sedikit berpikir, “kamu gak papa jaga nenek sendirian Kinan?”

“Iya Bulek gak papa.”

Mama tiba-tiba memegang tangan Bulek Diah. Lalu seolah mengisyaratkan untuk tidak membolehkan aku menunggui nenek di sini.

“Em biar Bulek temani saja ya Kinan.”

“Ya udah berdua juga gak papa kog Bulek.”

Bulek Diah tersenyum tipis, lalu aku berjalan keluar. “Loh kamu mau kemana Kinan?”

“Manggil papa sam Om Anggoro masuk, Bulek.”

Tiba-tiba saja mama berlari kearahku, tangan mama mencengkeram tanganku dengan sangkat keras, menghalangiku keluar kamar.

“Aduh sakit Mah.” Tak lama mama langsung melepas tangannya dari pergelangan lenganku.

“Tidak usah.” Kata mama dengan wajah datar.

Aku benar-benar merasa ada yang aneh dengan mama, kulihat mama yang keluar kamar tanpa berpamitan. Lalu aku kembali ke Bulek Diah meminta penjelasan tentang keadaan yang sebenarnya terjadi seperti apa. Selama ini aku memang paling dekat dengan Bulek Diah ketimbang saudari-saudari kandung mama. Pasalnya tiap aku sedang libur atau sekedar ingin membuang sumpek di kota aku pasti lebih memilih ke rumah Bulek Diah, selain itu juga karena ada nenek. Jika nenek anak laki-lakinya hanya satu, maka kebalikannya cucu nenek yang perempuan cuma satu, yaitu aku.

Bulek menatap nenek yang lelap dengan nafasnya satu-satu. Mata nenek berkantung hitam terlihat semakin cekung terkatup rapi seolah tak akan mampu terbuka lagi selamanya. Selang oksigen masih ditempatnya membantu pernafasan nenek yang entah tujuannya sampai mana. Aku melihat tubuh nenek yang begitu kurus terbaring tak berdaya, tak kuasa menahan air mata.

“Nenek masih terlihat cantik kan walaupun sudah setua ini?” tanya Bulek Diah tanpa melepas pandangnya pada nenek.

Aku hanya mengangguk meniyakan. Memang masih terlihat sisa-sisa semburat kecantikan diwajah nenekku ini. “Nenek pasti waktu masih muda dia sangat cantik.”

“Kamu tau Nan kenapa Mamamu tidak memperbolehkanmu memanggil papamu dan Om-mu masuk kesini?”

Aku menatap Bulek Diah, tidak mengerti.

“Iya semua karena kecantikan nenek ini.” Jawab Bulek Diah sendiri.

Aku semakin tidak mengerti dengan maksud kata-kata Bulekku ini.

“Kinan, dengarkan Bulek baik-baik, Bulek ingin bercerita tapi kamu harus bisa menjaga rahasia ini.”

“Sebenarnya ada apa Bulek?” Aku menatap Bulekku.

Sambil memegang tangan nenekku, Bulek seolah meminta ijin pada nenek. “Ibu, bolehkan Diah ceritakan semua pada Kinanthi. Kinan berhak tau.” Sambil tersenyum sedih bulek melanjutkan ceritanya kepadaku. “Sebenarnya papamu dan Om-mu tidak boleh mendekati nenek.

“Kenapa Bulek?”

“Bukan hanya mereka, tapi semua laki-laki tidak diperbolehkan mendekati nenek. Bahkan untuk dokter dan perawat nenek, Om Ang-mu sudah meminta untuk diganti dengan perempuan. Semua demi kelancaran nenekmu. Sebenarnya ini sudah menjadi batas hidup nenek, Kinan. Tapi nenek belum bisa meninggal.”

Aku hanya diam mendengarkan, berusaha tidak menyela cerita Bulekku, meskipun aku belum benar-benar paham maksudnya.

“Semua karena susuk pengasihan yang dipakai nenek.” Lanjut bulek sambil melihat nenek. “Kinan lihatlah dagu nenekmu, disitu terletak susuk yang dipakai nenek.”

Aku tersentak serasa tidak percaya dengan cerita bulek Diah. Aku tidak percaya nenekku memakai barang seperti itu, terlebih dijaman modern seperti ini masihkan hal semacam itu ada. Tapi jika kuamati wajah nenek yang cantik. Kecantikan diwajahnya, tapi lebih dari itu dagu nenek memang bagus. Aku bayangkan dulu pasti banyak yang menyukai nenek. Nenek terlihat manis dengan dagu yang lancip.

“Pada saat nenek masih muda, nenek juga seorang penari yang sangat terkenal. Nenekmu penari yang sangat laris dimanapun. Nenek memakai susuk memang agar dirinya menjadi penari yang sukses, banyak panggilan diberbagai tempat. Selain itu, karena susuk itu juga banyak laki-laki yang tergila-gila pada nenek.”

Aku terdiam masih tidak percaya dengan cerita bulek Diah. Tapi aku mencoba menanggapi “Apakah susuk itu tidak bisa diambil dari tubuh nenek, Bulek?”

“Kami sudah mendatangi orang pintar Kinan. Ada dua cara agar susuk itu bisa dihilangkan dari tubuh nenek. Yang pertama adalah orang yang memasangkannya yang bisa mengambilnya. Lalu yang kedua adalah memindahkan susuk tersebut kepada orang lain.”

“Lalu bagaimana Bulek? Kasihan nenek tidak bisa pergi dengan tenang.” Aku merasa sedih sekaligus tidak suka juga. Sedih karena kasihan melihat kondisi nenek, tapi benci kenapa nenek harus memakai hal semacam itu.

Kasihan sudah menderita sakit begitu lama. Bertahun-tahun hanya mampu tergeletak di ranjang rumah sakit dan berbulan-bulan ini sudah tidak dapat merespon apapun. Hanya tinggal nafas yang disokong oleh selang oksigen. Sepertinya hanya dari situ kehidupan nenek digantungkan.

Bulekku kembali berbicara, “Sayangnya orang pintar yang dulunya memasangkan susuk untuk nenekmu tersebut sudah meninggal, Kinan. Kami juga sudah mencoba memindahkan susuk tersebut ke orang lain yang memang ingin memakai susuk, tapi ternyata tubuhnya menolak. Sementara ini Om Anggoro masih mencoba mencari orang pintar lain yang bisa menghilangkan susuk tersebut dari tubuh nenekmu, Kinan. Semoga ada cara lain. Kasihan nenekmu harus menderita seperti itu.”

Jujur aku sendiri tidak begitu paham dengan hal semacam itu, tapi aku berusaha mencerna cerita bulekku. “Jadi karena itu nenek susah meninggal, Bulek?”

“Iya Kinan. Mamamu kaget mendengar cerita ini, dia juga baru tau. Aku harap kamu tidak membenci nenekmu, jaman dulu kehidupan begitu susah Kinan.”

Aku pandang wajah nenek begitu renta, ringkih hanya mampu memejam. Banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya. Lalu bergantian aku lihat wajah bulekku yang matanya mendakan sudah ingin terpejam. “Bulek ngantuk ya? Pasti bulek capek.”

Bulek tersenyum tipis “Kinanthi, kamu juga sebaiknya istirahat. Tidurlah di sofa sana.”

“Iya Bulek.” Kulirik jam di dinding sudah jam dua dini hari.

Paginya aku sudah terbangun dengan mama duduk disampingku. “Udah bolos sehari, sebaiknya hari ini kamu pulang Kinan.”

Kuikuti perintah mama, aku pulang sama Mas Dirjo dan papa. Karena besok papa juga harus kerja. Sampai di rumah hari sudah siang. Teman-teman banyak yang BBM menanyakan kenapa aku tidak masuk sekolah. Aku rebahkan tubuhku di kasur sambil membalas BBM temanku satu per satu. Dan esoknya seperti biasa kukenakan seragam putih abu-abuku. Dengan diantar supirku Mas Dirjo, aku berangkat sekolah.

Kulihat jam tanganku, kurang 15 menit bel sekolah akan berbunyi, mobil sudah berbelok di depan gerbang sekolah. Tanpa disuruh aku turun, dari kejauhan terlihat sosok Oltaf dan Fiza sedang berbicara berdua. Entah apa yang mereka bicarakan tapi tiba-tiba setelah melihat aku. Oltaf malah berjalan menghampiriku.

Aku sendiri berjalan menuju ruang kelas di lantai dua. Oltaf berusaha menjajari langkahku. “Selamat pagi Kinanthi Putri Purbaningrum.” Aku hanya mendengus, sambil tetap berjalan. Berusaha mengabaikan keusilan Oltaf. “Dih sombong amat tuan putri. Hehe.” Aku duduk di tempat dudukku, lalu Oltaf duduk di depanku tapi menghadap ke aku. “Kemarin kemana gak masuk sekolah, bolos gak ngajak-ngajak.”

Aku lihat dia dengan wajah memelas memohon untuk tidak menggangguku pagi-pagi, tapi dia malah tersenyum. Melihat wajahnya yang kemarin tidak aku temui sehari, seperti muncul rasa kangen. Aku coba halau perasaan itu, aku harus sadar diri lagipula dia sudah pacar orang. Tidak bisa kalau seakrab dulu, harus menjaga perasaan orang lain. Karena itu aku mulai menjaga jarak sejak tau dia sudah pacaran dengan Fiza. Selain itu juga karena aku berusaha untuk menghilangkan perasaanku pada Oltaf.

“Aku kangen sama kamu, Nan.”

Deg! Jantungku rasanya mau loncat keluar dari tempatnya. Aku tidak berani menatap Oltaf, tapi rasanya tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya.

“Gak usah becanda. Dah sana! Ganggu aja pagi-pagi, Taf.”

“Aku gak becanda, Nan. Kamu beda ya sekarang?”

“Apa’an?”

“Gak tau, kamu tambah cantik aja.”

“Hemb.”

“Aku serius, Nan. Kayanya aku suka sama kamu.”

Deg! Kali ini jantungku bener-bener keluar dari tempatnya. Kutatap mata Oltaf, memastikan kejujuran di sana. Dan aku lihat dalam manik mata bening tersebut yang tergambar adalah wajahku. Dia jujur berkata begitu.

“Aku jatuh cinta sama kamu, Kinan.”

Jantungku sudah tidak karuan rasanya, berbarengan dengan itu, HP-ku bergetar. Telepon dari Mama. Karena bel masuk sekolah belum terdengar jadi kuangkat saja.

“Iya Mah.”

“Nenek meninggal, Kinan. Kamu ijin pulang yah.”

Belum sempat aku jawab, dibelakang terdengar suara Bulek Diah sedang berbicara entah dengan siapa. Tapi aku mampu menangkap pembicaraannya walaupun samar. 

“Semar Mesem hanya bisa dipindah pada keturunan perempuan yang sedarah. Tenanglah, nanti kita mencari jalan keluarnya.” Begitu kira-kira yang diucapkan Bulek Diah. Lalu telepon ditutup.

Kepalaku rasanya dipenuhi dengan teka-teki silang.

Nenek pakai susuk. Tiba-tiba Oltaf bilang cinta sama aku. Dan nenek meninggal. Lalu kata-kata samar Bulek Diah.

Apa maksudnya?

Ting...ting...tingggg..... bel tanda masuk sekolah berbunyi.