Puisi Patah Hati
Oleh Kinanthi Putri
Purbaningrum dari kelas XI IPS 2
Semangat
seakan tercabut dariku
Menghabisi
langkah semalam yang telah ku tertawai sendiri
Bisakah kita simpan saja semua tawa itu bersama
Atau
tidak usah kita punyai sekalian sejak awal
Karena
semua itu semakin sakit
Membuatku
hilang akal, hilang pijakan
Dan
menghadirkan gamang tak terpungkiri
Melihatmu
menjauh memeluki keindahan lain
Aku
hanya bisa terdiam sambil menerawang
Benarkah
takdir sejahat itu
Padahal
tanganku sudah terlanjur kurentangkan untukmu
Kuhitung
kira-kira ada enam orang yang sedang berkerumun di hadapan puisiku yang
tertempel di mading. Bel pulang sekolah sudah berbunyi kira-kira dua jam yang
lalu. Tapi beberapa siswa masih banyak yang mengikuti ekstrakulikuler dan jam
tambahan untuk kelas tiga karena sudah mendekati Ujian Nasional. Aku sendiri
sedang menunggu jemputan yang tidak juga datang. Padahal sudah satu jam.
Di
seberang kulihat Oltaf melambaikan tangannya kearahku. Dengan seragam bola yang
masih kumplit menempel di badannya, dia berlari-lari kecil menghampiriku.
“Setia
banget nungguin aku, Nan.” Canda Oltaf sambil tertawa-tawa mengibaskan keringat
di tangannya ke arah mukaku.
Sepontan
aku menghindar “Hih, jorok banget sih.” Sambil aku cemberut protes pada tingkah
kekanakannya.
“Dih
sok-sokan padahal juga biasanya malah dihirup-hirup bau kringatku.” Oltaf
tertawa puas. Aku hanya diam tak menanggapi. Paham kalo aku sedang tidak ingin
bercanda, kapten tim sepak bola tersebut kembali bertanya “Mas Dirjo belum
datang jam segini?” Aku hanya menggeleng, sambil dia melihat ke arah lapangan
memastikan bahwa tidak ada yang sedang mencarinya, dia menanggapi gelenganku
“Wah minta dipecat tuh supirmu Nan, kebanyakan makan gaji buta. Aku anter aja
yuh, langit mendung tuh bentar lagi magrib lagi.” Oltaf merogoh kantong
celananya pasti mau mengambil HP, sebelum sempat dia meraih alat komunikasi
tersebut, aku menolak tawarannya “Gak usah, tadi aku udah di SMS Mamaku kalo
Mas Dirjo emang agak telat, jadi biar aku tunggu aja.”
“Wah
kalo ini sih udah bukan agak telat lagi Nan, tapi telat banget. Udahlah aku
anter aja lah, biar aku ganti baju dulu.” Paksa Oltaf lalu menggandeng tanganku
mengajakku berdiri.
“Beneran
gak usah Taf, aku juga gak enak sama Fiza kalo dia tau ntar cemburu.” Tolakku
halus sambil kubuang pandang ke arah pintu gerbang sekolah.
Sebelum
Oltaf kembali memaksaku kulihat sebuah mobil Avansa silver berhenti rapi di
depan gerbang yang sudah sepi siswa. “Nah itu Mas Dirjo udah datang, aku duluan
yah. Bye.”
Kudengar
sayup dia menjawab dan berbicara entah apa, tapi aku tidak ingin menengok
karena terasa air mataku segera jatuh. Bersamaan dengan itu rintik hujanpun
juga jatuh. Hujan pertama di bulan November. Aku bergegas menghampiri mobil
jemputanku. Memasukinya dengan perasaan nyeri yang tak seorangpun tau. Mas
Dirjo yang mengatakan permintaan maaf tak kudengarkan. Sepanjang jalan aku
hanya melamun. Bayangan seminggu yang lalu kembali terlintas.
Waktu
itu aku duduk sambil serius mengerjakan tugas Sejarah yang berlembar-lembar
belum juga selesai. Padahal soalnya hanya satu tapi jawabannya bagai menulis
buku. Tiba-tiba Oltaf yang biasanya duduk di belakangku, memilih duduk di
sampingku. Dengan wajah yang berbinar dia bercerita bahwa dia baru saja jadian
dengan Fiza, murid kelas satu yang dulu pernah aku marahi saat Ospek karena
memakai lipstik warna merah dan terlihat tidak pantas. Aku lihat mata Oltaf,
karena aku memang memiliki kelebihan bisa melihat kebohongan atau kejujuran
dari mata orang yang sedang berbicara denganku. Dari mata tersebut aku bisa
mengetahui apakah orang tersebut sedang berkata dengan jujur atau tidak. Dan
dari mata Oltaf aku lihat kejujuran kalau dia benar-benar sedang jatuh cinta.
Selanjutnya
aku tidak mendengarkan lagi kata-kata yang diucapkan oleh seseorang yang sedang
dilanda virus merah jambu tersebut. Aku menekuri buku tulisku seakan sedang
serius mengerjakan padahal entah apa yang aku tuliskan tidak lagi jelas. Oltaf
tetap menggebu-gebu bercerita sampai Guru Sejarah menegurnya dan menyuruhnya
untuk kembali ke tempat duduknya.
Dari
belakang Oltaf tetap memanggiliku dengan mengetuk-ngetuk ujung bulpennya ke
punggungku. Tanpa memalingkan wajah aku hanya memberinya isyarat kepalan
tanggan untuk meninjunya kalo dia tetap menggangguku. Dari belakang kudengar
dia tertawa pelan. Padahal mataku sudah berkaca mencoba menahan air mata.
Rasanya seperti ada sesuatu yang tercabut dari hatiku, lalu bagian yang kosong
tersebut dilintasi ribuan angin yang berbentuk seperti pisau yang
menyilet-nyiletnya. Nyeri.
Sejak
masuk SMA memang teman terdekatku adalah Oltaf, awalnya kami bisa dekat adalah
karena sama-sama suka klub sepak bola dari Inggis yaitu Chelsea. Konyol
sebenarnya tapi dari situ ternyata kami punya banyak kesamaan, itulah mengapa
kami bisa begitu dekat dan dari situ ternyata aku merasakan perasaan yang lebih
dari hanya sekedar sahabat.
Kalo
kata orang Jawa “tresno jalaran soko kulino” atau kalau diartikan dalam bahasa
Indonesia artinya cinta karena sering bersama. Mungkin itu yang membuatku jatuh
hati pada Oltaf, tapi ternyata yang merasakan hal tersebut hanya aku. Sedangkan
Oltaf hanya menganggapku tidak lebih dari seorang sahabat yang nyaman diajaknya
cerita dan bercanda. Dia jugalah yang menjadi maksud dari puisi yang tertempel
di mading sekolah. Tapi kupastikan tidak ada yang tahu.
Tanpa
kusadari Mas Dirjo sudah membukakan pintu untukku, jadi tanpa dikomando aku
keluar dari mobil yang akan segera diparkir. Rumah kulihat sangat sepi, hanya Mbok
Laila pembantu rumah yang menyambutku.
“Yang
lain kemana, Mbok?”
“Semua
sedang di rumah sakit Non.”
“Keadaan
nenek semakin memburuk ya, Mbok?”
“Loh
Non belum diberitahu Mas Dirjo ya? Kalo Neneknya Non tadi sempat meninggal.”
“Mbok
jangan bercanda, maksudnya gimana?”
“Mbok
tidak bercanda Non, tadi memang rumah dapat kabar begitu tapi terus dikabari
lagi kalau Neneknya Non tidak jadi meninggal.”
“Aku
makin bingung Mbok. Udahlah aku mau nyusul ke rumah sakit aja.”
“Mau
Magrib Non gak baik keluar. Sendyakala Non, banyak setan yang bermunculan kalo
waktu seperti ini.”
“Yaelah
Mbok masih aja percaya kaya gitu.”
“Aku
mau mandi dulu, Mas Dirjo suruh siap-siap ya Mbok.”
“Rumah
sakitnya kan jauh Non. Ibu tadi berpesan supaya Non tidak perlu menyusul, kan
besok Non Kinanti juga harus sekolah tho?”
“Aku
kan juga pengen tau keadaan Nenek Mbok, masak gak boleh. Mbok ini gimana.”
“Ya
sudah Non biar Mbok ke Mas Dirjo dulu.”
Tak
perlu waktu lama untuk bersiap-siap aku sudah berada diatas mobil. Perjalanan
menuju rumah sakit tempat nenek dirawat memakan waktu selama dua jam. Karena
berbeda kota. Setelah kakek meninggal, selama itu nenek memang lebih memilih
tinggal dengan Om Anggoro, anak laki-laki satu-satunya, padahal nenek memiliki
4 anak perempuan yang semuanya berkecukupan termasuk salah satunya adalah mamaku.
Mungkin karena Om Anggoro anak ragil alias anak terakhir sekaligus anak
laki-laki yang katanya sudah sangat ditunggu-tunggu kelahirannya oleh nenek.
Sampai
di rumah sakit, kulihat jam besuk pasien sudah di tutup. Tapi karena darurat
dan nenek termasuk pasien VIP jadi pihak rumah sakit memperlonggar peraturan,
sehingga aku diperbolehkan membesuk. Di dalam ruangan hanya ada mama dan Bulek
Diah yang menunggui. Sedangkan papa dan Om Anggoro menunggui di luar. Aneh
menurutku, karena kamar inap nenek termasuk VIP yang memiliki ruang tamu
sendiri.
Kulihat
wajah mama dan Tante Diah yang kuyu, kelelahan.
“Ma,
mama udah makan?” sambil kusodorkan roti yang sempat kubeli di Alfamart saat
menuju rumah sakit tadi.
Mama
hanya menggeleng, lalu Bulek Diah yang menjawab, “Kita tadi udah makan Nan,
kamu memang besok tidak sekolah?”
“Kinanthi
bisa ijin sehari kog Bulek, ya kan Mah?” aku minta persetujuan mama. “Aku
pengen nungguin Nenek.”
Kulihat
mama hanya mengangguk. Mata mama terlihat seperti habis menangis tapi lebih
dari itu kulihat mama seperti sedang memikul pikiran yang sangat berat. Jadi Bulek
Diah istrinya Om Anggoro lagi yang berbicara seolah menjadi juru bicara dari
mama. “Mama kamu sepertinya capek Nan, gimana kalo kamu sama papa mama kamu
sekarang menginap ke rumah Bulek saja Nan, biar diantar Om kamu yah. Malam ini
Bulek yang menjaga nenek.”
“Tapi
Kinanthi pengen sama nenek Bulek, jadi biar Kinan yang malam ini jaga nenek.
Bulek saja sama mama papa yang pulang. Sepertinya semua capek.”
Kulihat
Bulek Diah sedikit berpikir, “kamu gak papa jaga nenek sendirian Kinan?”
“Iya
Bulek gak papa.”
Mama
tiba-tiba memegang tangan Bulek Diah. Lalu seolah mengisyaratkan untuk tidak
membolehkan aku menunggui nenek di sini.
“Em
biar Bulek temani saja ya Kinan.”
“Ya
udah berdua juga gak papa kog Bulek.”
Bulek
Diah tersenyum tipis, lalu aku berjalan keluar. “Loh kamu mau kemana Kinan?”
“Manggil
papa sam Om Anggoro masuk, Bulek.”
Tiba-tiba
saja mama berlari kearahku, tangan mama mencengkeram tanganku dengan sangkat
keras, menghalangiku keluar kamar.
“Aduh
sakit Mah.” Tak lama mama langsung melepas tangannya dari pergelangan lenganku.
“Tidak
usah.” Kata mama dengan wajah datar.
Aku
benar-benar merasa ada yang aneh dengan mama, kulihat mama yang keluar kamar
tanpa berpamitan. Lalu aku kembali ke Bulek Diah meminta penjelasan tentang
keadaan yang sebenarnya terjadi seperti apa. Selama ini aku memang paling dekat
dengan Bulek Diah ketimbang saudari-saudari kandung mama. Pasalnya tiap aku
sedang libur atau sekedar ingin membuang sumpek di kota aku pasti lebih memilih
ke rumah Bulek Diah, selain itu juga karena ada nenek. Jika nenek anak laki-lakinya
hanya satu, maka kebalikannya cucu nenek yang perempuan cuma satu, yaitu aku.
Bulek
menatap nenek yang lelap dengan nafasnya satu-satu. Mata nenek berkantung hitam
terlihat semakin cekung terkatup rapi seolah tak akan mampu terbuka lagi
selamanya. Selang oksigen masih ditempatnya membantu pernafasan nenek yang
entah tujuannya sampai mana. Aku melihat tubuh nenek yang begitu kurus
terbaring tak berdaya, tak kuasa menahan air mata.
“Nenek
masih terlihat cantik kan walaupun sudah setua ini?” tanya Bulek Diah tanpa
melepas pandangnya pada nenek.
Aku
hanya mengangguk meniyakan. Memang masih terlihat sisa-sisa semburat kecantikan
diwajah nenekku ini. “Nenek pasti waktu masih muda dia sangat cantik.”
“Kamu
tau Nan kenapa Mamamu tidak memperbolehkanmu memanggil papamu dan Om-mu masuk
kesini?”
Aku
menatap Bulek Diah, tidak mengerti.
“Iya
semua karena kecantikan nenek ini.” Jawab Bulek Diah sendiri.
Aku
semakin tidak mengerti dengan maksud kata-kata Bulekku ini.
“Kinan,
dengarkan Bulek baik-baik, Bulek ingin bercerita tapi kamu harus bisa menjaga
rahasia ini.”
“Sebenarnya
ada apa Bulek?” Aku menatap Bulekku.
Sambil
memegang tangan nenekku, Bulek seolah meminta ijin pada nenek. “Ibu, bolehkan
Diah ceritakan semua pada Kinanthi. Kinan berhak tau.” Sambil tersenyum sedih
bulek melanjutkan ceritanya kepadaku. “Sebenarnya papamu dan Om-mu tidak boleh
mendekati nenek.
“Kenapa
Bulek?”
“Bukan
hanya mereka, tapi semua laki-laki tidak diperbolehkan mendekati nenek. Bahkan
untuk dokter dan perawat nenek, Om Ang-mu sudah meminta untuk diganti dengan
perempuan. Semua demi kelancaran nenekmu. Sebenarnya ini sudah menjadi batas
hidup nenek, Kinan. Tapi nenek belum bisa meninggal.”
Aku
hanya diam mendengarkan, berusaha tidak menyela cerita Bulekku, meskipun aku
belum benar-benar paham maksudnya.
“Semua
karena susuk pengasihan yang dipakai nenek.” Lanjut bulek sambil melihat nenek.
“Kinan lihatlah dagu nenekmu, disitu terletak susuk yang dipakai nenek.”
Aku
tersentak serasa tidak percaya dengan cerita bulek Diah. Aku tidak percaya
nenekku memakai barang seperti itu, terlebih dijaman modern seperti ini
masihkan hal semacam itu ada. Tapi jika kuamati wajah nenek yang cantik. Kecantikan
diwajahnya, tapi lebih dari itu dagu nenek memang bagus. Aku bayangkan dulu
pasti banyak yang menyukai nenek. Nenek terlihat manis dengan dagu yang lancip.
“Pada
saat nenek masih muda, nenek juga seorang penari yang sangat terkenal. Nenekmu
penari yang sangat laris dimanapun. Nenek memakai susuk memang agar dirinya
menjadi penari yang sukses, banyak panggilan diberbagai tempat. Selain itu,
karena susuk itu juga banyak laki-laki yang tergila-gila pada nenek.”
Aku
terdiam masih tidak percaya dengan cerita bulek Diah. Tapi aku mencoba
menanggapi “Apakah susuk itu tidak bisa diambil dari tubuh nenek, Bulek?”
“Kami
sudah mendatangi orang pintar Kinan. Ada dua cara agar susuk itu bisa
dihilangkan dari tubuh nenek. Yang pertama adalah orang yang memasangkannya
yang bisa mengambilnya. Lalu yang kedua adalah memindahkan susuk tersebut
kepada orang lain.”
“Lalu
bagaimana Bulek? Kasihan nenek tidak bisa pergi dengan tenang.” Aku merasa sedih
sekaligus tidak suka juga. Sedih karena kasihan melihat kondisi nenek, tapi benci kenapa nenek harus memakai hal semacam itu.
Kasihan sudah menderita sakit begitu lama. Bertahun-tahun hanya mampu tergeletak di ranjang rumah sakit dan berbulan-bulan ini sudah tidak dapat merespon apapun. Hanya tinggal nafas yang disokong oleh selang oksigen. Sepertinya hanya dari situ kehidupan nenek digantungkan.
Kasihan sudah menderita sakit begitu lama. Bertahun-tahun hanya mampu tergeletak di ranjang rumah sakit dan berbulan-bulan ini sudah tidak dapat merespon apapun. Hanya tinggal nafas yang disokong oleh selang oksigen. Sepertinya hanya dari situ kehidupan nenek digantungkan.
Bulekku
kembali berbicara, “Sayangnya orang pintar yang dulunya memasangkan susuk untuk
nenekmu tersebut sudah meninggal, Kinan. Kami juga sudah mencoba memindahkan
susuk tersebut ke orang lain yang memang ingin memakai susuk, tapi ternyata
tubuhnya menolak. Sementara ini Om Anggoro masih mencoba mencari orang pintar
lain yang bisa menghilangkan susuk tersebut dari tubuh nenekmu, Kinan. Semoga ada cara lain. Kasihan nenekmu harus menderita seperti itu.”
Jujur
aku sendiri tidak begitu paham dengan hal semacam itu, tapi aku berusaha
mencerna cerita bulekku. “Jadi karena itu nenek susah meninggal, Bulek?”
“Iya
Kinan. Mamamu kaget mendengar cerita ini, dia juga baru tau. Aku harap kamu tidak membenci nenekmu, jaman dulu kehidupan begitu susah
Kinan.”
Aku
pandang wajah nenek begitu renta, ringkih hanya mampu memejam. Banyak hal yang
ingin aku tanyakan padanya. Lalu bergantian aku lihat wajah bulekku yang
matanya mendakan sudah ingin terpejam. “Bulek ngantuk ya? Pasti bulek capek.”
Bulek
tersenyum tipis “Kinanthi, kamu juga sebaiknya istirahat. Tidurlah di sofa sana.”
“Iya
Bulek.” Kulirik jam di dinding sudah jam dua dini hari.
Paginya
aku sudah terbangun dengan mama duduk disampingku. “Udah bolos sehari,
sebaiknya hari ini kamu pulang Kinan.”
Kuikuti
perintah mama, aku pulang sama Mas Dirjo dan papa. Karena besok papa juga harus
kerja. Sampai di rumah hari sudah siang. Teman-teman banyak yang BBM menanyakan
kenapa aku tidak masuk sekolah. Aku rebahkan tubuhku di kasur sambil membalas
BBM temanku satu per satu. Dan esoknya seperti biasa kukenakan seragam putih
abu-abuku. Dengan diantar supirku Mas Dirjo, aku berangkat sekolah.
Kulihat
jam tanganku, kurang 15 menit bel sekolah akan berbunyi, mobil sudah berbelok
di depan gerbang sekolah. Tanpa disuruh aku turun, dari kejauhan
terlihat sosok Oltaf dan Fiza sedang berbicara berdua. Entah apa yang mereka
bicarakan tapi tiba-tiba setelah melihat aku. Oltaf malah berjalan menghampiriku.
Aku
sendiri berjalan menuju ruang kelas di lantai dua. Oltaf berusaha menjajari
langkahku. “Selamat pagi Kinanthi Putri Purbaningrum.” Aku hanya mendengus, sambil
tetap berjalan. Berusaha mengabaikan keusilan Oltaf. “Dih sombong amat tuan
putri. Hehe.” Aku duduk di tempat dudukku, lalu Oltaf duduk di depanku tapi
menghadap ke aku. “Kemarin kemana gak masuk sekolah, bolos gak ngajak-ngajak.”
Aku
lihat dia dengan wajah memelas memohon untuk tidak menggangguku pagi-pagi, tapi
dia malah tersenyum. Melihat wajahnya yang kemarin tidak aku temui sehari, seperti
muncul rasa kangen. Aku coba halau perasaan itu, aku harus sadar diri lagipula
dia sudah pacar orang. Tidak bisa kalau seakrab dulu, harus menjaga perasaan
orang lain. Karena itu aku mulai menjaga jarak sejak tau dia sudah pacaran
dengan Fiza. Selain itu juga karena aku berusaha untuk menghilangkan perasaanku
pada Oltaf.
“Aku
kangen sama kamu, Nan.”
Deg!
Jantungku rasanya mau loncat keluar dari tempatnya. Aku tidak berani menatap
Oltaf, tapi rasanya tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulutnya.
“Gak
usah becanda. Dah sana! Ganggu aja pagi-pagi, Taf.”
“Aku
gak becanda, Nan. Kamu beda ya sekarang?”
“Apa’an?”
“Gak
tau, kamu tambah cantik aja.”
“Hemb.”
“Aku
serius, Nan. Kayanya aku suka sama kamu.”
Deg!
Kali ini jantungku bener-bener keluar dari tempatnya. Kutatap mata Oltaf,
memastikan kejujuran di sana. Dan aku lihat dalam manik mata bening tersebut
yang tergambar adalah wajahku. Dia jujur berkata begitu.
“Aku
jatuh cinta sama kamu, Kinan.”
Jantungku
sudah tidak karuan rasanya, berbarengan dengan itu, HP-ku bergetar. Telepon
dari Mama. Karena bel masuk sekolah belum terdengar jadi kuangkat saja.
“Iya
Mah.”
“Nenek
meninggal, Kinan. Kamu ijin pulang yah.”
Belum
sempat aku jawab, dibelakang terdengar suara Bulek Diah sedang berbicara entah
dengan siapa. Tapi aku mampu menangkap pembicaraannya walaupun samar.
“Semar Mesem hanya bisa dipindah pada keturunan perempuan yang sedarah. Tenanglah, nanti kita mencari jalan keluarnya.” Begitu kira-kira yang diucapkan Bulek Diah. Lalu telepon ditutup.
“Semar Mesem hanya bisa dipindah pada keturunan perempuan yang sedarah. Tenanglah, nanti kita mencari jalan keluarnya.” Begitu kira-kira yang diucapkan Bulek Diah. Lalu telepon ditutup.
Kepalaku
rasanya dipenuhi dengan teka-teki silang.
Nenek
pakai susuk. Tiba-tiba Oltaf bilang cinta sama aku. Dan nenek meninggal. Lalu
kata-kata samar Bulek Diah.
Apa maksudnya?
Apa maksudnya?