Buatku ini memunculkan sebuah kegalauan tersendiri. Seorang penulis dalam suatu media massa dalam artian skala publik, [mungkin] terkadang memiliki permintaan tersendiri untuk ditulisnya atau bahkan terdapat survey tema untuk tulisan yang akan dia tulis. Aku sendiri meskipun hanya menulis dalam kolom buletin skala kampus tapi jujur saja pernah kecolongan sekali dan itu benar-benar membuatku merasa harus gantung pena. Tapi untungnya drop ku tidak lama. Jadi, buat kalian jurnalis-jurnalis yang manis sebagai penyemangat silahkan mampir di Undang-Undang Pers.
Untuk ku secara pribadi dan yang selalu aku yakini, 3 pantangan besar yang tidak boleh aku tulis adalah menulis kata-kata makian, menulis yang menyinggung perasaan orang lain, dan menulis yang merugikan orang lain. Selebihnya cukup dengan kontrol diri dan tata cara manusiawi dengan kejernihan pikiran tanpa perlu mengahafal semua yang ada dalam UU Pers tersebut atau Kode Etik Jurnalistik. Setiap manusia yang sehat dan jernih pikiran pasti secara otomatis memiliki kontrol diri mana yang seharusnya dia tulis dan mana yang tidak layak untuk dia tulis. Hingga memunculkan kontrofersi tulisan.
Tapi terlepas dari semua itu, seorang penulis pasti juga pernah menulis 'reques' dari satu golongan dan ternyata hasil tulisan tersebut menyinggung golongan lain. Bagaimana dengan kasus seperti itu? Sedangkan dilain pihak, penulis juga hanya seorang manusia biasa dan berpacu dengan itu yang namanya kebenaran tulisan terkadang bersifat subjektif dan kembali dibingungkan bahwa kesubjektifan dalam pandangan tiap orang itu berbeda. Kembali memunculkan tanya, bagaimana harus menyikapi kasus seperti ini. Semua mungkin terjawab dalam Undang-Undang Pers [mungkin]. Atau Undang-Undang Penulis ciptaan kalian sendiri [mungkin].
Berbeda dengan tulisan skala publik media massa, tulisan dalam bentuk sastra seperti novel, puisi, sajak atau cerpen. Kebebasan menulis oleh penulis jauh lebih longgar [mungkin]. Penulis cenderung tidak memiliki patokan khusus atau batasan dalam menulis. Kebebasan dan kemerdekaan dalam menulis bisa diperoleh secara manusiawi disini. Meskipun begitu kritik sosial tentu juga tidak bisa terelakan takala tulisan tersebut dianggap melampaui batas-batas norma masyarakat. Meskipun batas itu sangat semu dan hampir-hampir tidak terlihat. Kembali bagi batas-batas tersebut tentu juga dari tiap pandangan orang itu berbeda-beda. Tidak mungkin seragam bahwa kata ini seharusnya tidak perlu ditulis atau kata ini biasa tuh kalo mau ditulisakan. Tiap orang memiliki batasanya masing-masing kan? Dalam hal ini aku teringat novel karya Djenar Maesa Ayu yang dianggap bagi sebagian orang tulisannya terlalu erotis. Tapi untukku secara pribadi sebuah seni karya sastra jika hal tersebut masih ada satu orang waras yang menyebutnya indah maka itu sah-sah saja.
Tiap hal memang selalu memiliki resikonya masing-masing [mungkin]. Walaupun kita selalu berusaha untuk berhati-hati semaksimalnya tapi saat kita masih hidup di dunia ini tentu tak mungkin kita peroleh kesempurnaan. Akan ada celah cacat yang akan menjadi anggapan sebelah mata beberapa orang. Jadi, biar kukutip kata-kata Jrx drummer dari Superman Is Dead bahwa INI DUNIA BUKAN SURGA, KAMU TAK HARUS TERLIHAT SEMPURNA. Iya dalam menulispun sama, ketika sudah kita anggap sempurna namun belum tentu sempurna juga bagi orang lain.
Lain karya sastra lain juga sekedar tulisan di sosial media atau sering disebutnya sosmed. Mungkin dalam hal ini dianggap remeh dan dianggap yang paling ringan seringan kapas yang diterbangkan. Tapi ingat juga karena begitu ringannya kapas yang terbangkan tersebut, jadi banyak ribuan bahkan milyaran kapas tak terhitung yang diterbangkan. Iya, saat ini sosial media memang menjadi ajang paling laris dalam berbagi setiap kisah, cerita dan foto-foto secara luas. Baik yang bersifat pribadi atau tidak pribadi, gampangnya sih gitu. Dalam hal ini pengontrolan diri secara jernih juga sangat dibutuhkan tentunya karena jika tidak maka hal-hal yang seharusnya tidak dibagikan untuk publik malah menjadi konsumsi publik paling mudah diakses. *You Know lah*
Tapi kembali digalaukan oleh yang namanya pandangan tiap orang berbeda-beda, kontrol atau pembatasan tersebut juga bisa sangat elastis lebih dari yang terbayangkan. Ada yang beranggapan "yang seperti itu tidak pantas ditulis" atau "ah biasa saja yang kaya gitu" atau "gak penting". Tiap orang pasti berbeda-beda pandangannya tergantung pada keyakinan yang ia yakini. Hingga terkadang memunculkan hal klise yang sama "kritik sosial"
Hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi acuan bagi kita membuat kontrol diri bahkan malah menghapus seluruh daya ekspresi dan pengekangan diri luar biasa pada tiap kreasi. Mematikan secara otomatis keinginan untuk berekspresi, mencipta dan menghasilkan karya walau hanya sebatas dalam sosmed yang ringan. Menutup kran inspirasi yang seharusnya dimunculkan. Menjadi penutup kreasi dengan embel-embel karena malu atau takut akan kritikan. Padahal kritikan memang akan terus bermuncul seiring munculnya teks baru bahkan titik baru yang tidak sesuai penempatannya. Jadi anggap kritik sebagai pelurus atau pembangun disamping pondasi yang kita miliki sendiri. Jangan malah dijadikan sebagai peruntuh. Kita bebas berekspresi dengan batasan pemikiran jernih dan sedikit kritik tersebut. Kritik itu wajar.
Sebagai seorang manusia biasa yang bebas dan tidak diperbudak oleh apapun kita berhak mengekspresikan tulisan kita baik di media massa, dalam karya sastra, atau ilmiah akademis sekalipun atau bahkan yang paling ringan seperti di sosmed. Menjadi takut nulis adalah hal sia-sia yang akan menghancurkan sejarah kalian sendiri. Dengan kata lain kalian sendiri yang mem-PHK diri kalian sendiri dari keabadian, karena yang namanya menulis adalah bekerja untuk keabadian. Setidaknya itu yang selalu aku yakini sampai saat ini. Jadi, jangan takut nulis.
Dalam menulis menurutku, selama menulis tidak membuat orang lain tersinggung, tidak menggunakan kata-kata makian dan tidak merugikan orang lain karena tulisan kita tersebut, sah-sah saja mau menulis dan tetap berpatokan bahwa aku menulis tentang apa yang ingin aku tulis bukan tentang apa yang ingin mereka baca.