Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, August 29, 2014

Takut Nulis

PENULIS HARUS MENULIS APA YANG INGIN DIA TULIS ATAU APA YANG INGIN MEREKA BACA!?

Buatku ini memunculkan sebuah kegalauan tersendiri. Seorang penulis dalam suatu media massa dalam artian skala publik, [mungkin] terkadang memiliki permintaan tersendiri untuk ditulisnya atau bahkan terdapat survey tema untuk tulisan yang akan dia tulis. Aku sendiri meskipun hanya menulis dalam kolom buletin skala kampus tapi jujur saja pernah kecolongan sekali dan itu benar-benar membuatku merasa harus gantung pena. Tapi untungnya drop ku tidak lama. Jadi, buat kalian jurnalis-jurnalis yang manis sebagai penyemangat silahkan mampir di Undang-Undang Pers.


Untuk ku secara pribadi dan yang selalu aku yakini, 3 pantangan besar yang tidak boleh aku tulis adalah menulis kata-kata makian, menulis yang menyinggung perasaan orang lain, dan menulis yang merugikan orang lain. Selebihnya cukup dengan kontrol diri dan tata cara manusiawi dengan kejernihan pikiran tanpa perlu mengahafal semua yang ada dalam UU Pers tersebut atau Kode Etik Jurnalistik. Setiap manusia yang sehat dan jernih pikiran pasti secara otomatis memiliki kontrol diri mana yang seharusnya dia tulis dan mana yang tidak layak untuk dia tulis. Hingga memunculkan kontrofersi tulisan.


Tapi terlepas dari semua itu, seorang penulis pasti juga pernah menulis 'reques' dari satu golongan dan ternyata hasil tulisan tersebut menyinggung golongan lain. Bagaimana dengan kasus seperti itu? Sedangkan dilain pihak, penulis juga hanya seorang manusia biasa dan berpacu dengan itu yang namanya kebenaran tulisan terkadang bersifat subjektif dan kembali dibingungkan bahwa kesubjektifan dalam pandangan tiap orang itu berbeda. Kembali memunculkan tanya, bagaimana harus menyikapi kasus seperti ini. Semua mungkin terjawab dalam Undang-Undang Pers [mungkin]. Atau Undang-Undang Penulis ciptaan kalian sendiri [mungkin].




Berbeda dengan tulisan skala publik media massa, tulisan dalam bentuk sastra seperti novel, puisi, sajak atau cerpen. Kebebasan menulis oleh penulis jauh lebih longgar [mungkin]. Penulis cenderung tidak memiliki patokan khusus atau batasan dalam menulis. Kebebasan dan kemerdekaan dalam menulis bisa diperoleh secara manusiawi disini. Meskipun begitu kritik sosial tentu juga tidak bisa terelakan takala tulisan tersebut dianggap melampaui batas-batas norma masyarakat. Meskipun batas itu sangat semu dan hampir-hampir tidak terlihat. Kembali bagi batas-batas tersebut tentu juga dari tiap pandangan orang itu berbeda-beda. Tidak mungkin seragam bahwa kata ini seharusnya tidak perlu ditulis atau kata ini biasa tuh kalo mau ditulisakan. Tiap orang memiliki batasanya masing-masing kan? Dalam hal ini aku teringat novel karya Djenar Maesa Ayu yang dianggap bagi sebagian orang tulisannya terlalu erotis. Tapi untukku secara pribadi sebuah seni karya sastra jika hal tersebut masih ada satu orang waras yang menyebutnya indah maka itu sah-sah saja. 

Tiap hal memang selalu memiliki resikonya masing-masing [mungkin]. Walaupun kita selalu berusaha untuk berhati-hati semaksimalnya tapi saat kita masih hidup di dunia ini tentu tak mungkin kita peroleh kesempurnaan. Akan ada celah cacat yang akan menjadi anggapan sebelah mata beberapa orang. Jadi, biar kukutip kata-kata Jrx drummer dari Superman Is Dead bahwa INI DUNIA BUKAN SURGA, KAMU TAK HARUS TERLIHAT SEMPURNA. Iya dalam menulispun sama, ketika sudah kita anggap sempurna namun belum tentu sempurna juga bagi orang lain.



Lain karya sastra lain juga sekedar tulisan di sosial media atau sering disebutnya sosmed. Mungkin dalam hal ini dianggap remeh dan dianggap yang paling ringan seringan kapas yang diterbangkan. Tapi ingat juga karena begitu ringannya kapas yang terbangkan tersebut, jadi banyak ribuan bahkan milyaran kapas tak terhitung yang diterbangkan. Iya, saat ini sosial media memang menjadi ajang paling laris dalam berbagi setiap kisah, cerita dan foto-foto secara luas. Baik yang bersifat pribadi atau tidak pribadi, gampangnya sih gitu. Dalam hal ini pengontrolan diri secara jernih juga sangat dibutuhkan tentunya karena jika tidak maka hal-hal yang seharusnya tidak dibagikan untuk publik malah menjadi konsumsi publik paling mudah diakses. *You Know lah*

Tapi kembali digalaukan oleh yang namanya pandangan tiap orang berbeda-beda, kontrol atau pembatasan tersebut juga bisa sangat elastis lebih dari yang terbayangkan. Ada yang beranggapan "yang seperti itu tidak pantas ditulis" atau "ah biasa saja yang kaya gitu" atau "gak penting". Tiap orang pasti berbeda-beda pandangannya tergantung pada keyakinan yang ia yakini. Hingga terkadang memunculkan hal klise yang sama "kritik sosial"


Hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi acuan bagi kita membuat kontrol diri bahkan malah menghapus seluruh daya ekspresi dan pengekangan diri luar biasa pada tiap kreasi. Mematikan secara otomatis keinginan untuk berekspresi, mencipta dan menghasilkan karya walau hanya sebatas dalam sosmed yang ringan. Menutup kran inspirasi yang seharusnya dimunculkan. Menjadi penutup kreasi dengan embel-embel karena malu atau takut akan kritikan. Padahal kritikan memang akan terus bermuncul seiring munculnya teks baru bahkan titik baru yang tidak sesuai penempatannya. Jadi anggap kritik sebagai pelurus atau pembangun disamping pondasi yang kita miliki sendiri. Jangan malah dijadikan sebagai peruntuh. Kita bebas berekspresi dengan batasan pemikiran jernih dan sedikit kritik tersebut. Kritik itu wajar.




Sebagai seorang manusia biasa yang bebas dan tidak diperbudak oleh apapun kita berhak mengekspresikan tulisan kita baik di media massa, dalam karya sastra, atau ilmiah akademis sekalipun atau bahkan yang paling ringan seperti di sosmed. Menjadi takut nulis adalah hal sia-sia yang akan menghancurkan sejarah kalian sendiri. Dengan kata lain kalian sendiri yang mem-PHK diri kalian sendiri dari keabadian, karena yang namanya menulis adalah bekerja untuk keabadian. Setidaknya itu yang selalu aku yakini sampai saat ini. Jadi, jangan takut nulis.

Dalam menulis menurutku, selama menulis tidak membuat orang lain tersinggung, tidak menggunakan kata-kata makian dan tidak merugikan orang lain karena tulisan kita tersebut, sah-sah saja mau menulis dan tetap berpatokan bahwa aku menulis tentang apa yang ingin aku tulis bukan tentang apa yang ingin mereka baca.






Saturday, August 23, 2014

Trauma

Trauma,
Trauma itu apa? Sedikit penjelasan untuk kalian. Menurut yang aku cari di Wikipedia, trauma dijelaskan sebagai jenis kerusakan jiwa yang terjadi sebagai akibat dari peristiwa traumatik. Ketika trauma yang mengarah pada gangguan stres pasca trauma, kerusakan mungkin melibatkan perubahan fisik di dalam otak dan kimia otak, yang mengubah respon seseorang terhadap stres masa depan.

Nah cukup membingungkan sih, kata-katanya lumayan susah dipahami bagi mereka yang mulai dari nol memahaminya. Tapi aku rasa bagi mereka yang mengalami atau setidaknya sedikit tau, trauma pasti bukan menjadi kata yang asing.

Dalam entri ini aku tidak akan menjelaskan panjang lebar mengenai trauma, meskipun sedikit banyak ceritaku menyinggung masalah trauma, tapi aku ingin menitik beratkan pada ceritaku, pada masalah yang sedang kuhadapi.


Trauma. Yang muncul lalu tumbuh dari banyak doktrin yang masuk di kepala ini. Semakin mengeras dari aku kecil. Seolah seperti aku ini hidup dan terbuat dari susunan trauma-trauma yang ditumpuk begitu nyata. Rasa takut, gigil dan gemetar mental juga fisik yang selalu aku alami menjadi dampak berkepanjangan yang tak mampu aku atasi dengan logika seberapapun nyatanya. Trauma terhadap suatu hal yang aku sadari betul sesungguhnya hanya ilusi bentukan doktrin masa kacilku dan masih belum mampu aku lawan.

Mungkin dari luar aku terlihat baik-baik saja, tapi satu kelemahan dari sekian banyak kelemahan yang ada pada diriku akan aku buka di sini.

Aku adalah seorang yang penakut, jauh lebih penakut dari kelihatannya. Bagi kalian yang mengenal betul aku, pasti kalian tidak percaya. Tapi memang benar begitu kenyataannya dari dulu yang selalu aku tutupi dan jika kalian tidak percaya juga berarti memang sukses aku menutupi kekuranganku tersebut.
Inilah masalah terbesarku. Aku tidak mampu mengatasi keadaan saat telah berada di muka umum. Saat presentasi di depan kelas atau saat bicara di depan banyak orang dalam keadaan formal. Memang sebelumnya aku telah memupuk keberanian tapi setelah berada di depan layar, ditatap oleh puluhan pasang mata yang melihatku, semua keberanian itu menguap habis, yang datang hanya rasa takut, menggigil dan hati yang bergetar tak karuan. Aku tidak mampu menguasai keadaan. Perasaan rendah diri berkecamuk dalam kepalaku. Bukannya aku kalah pada materinya tapi pada bagaimana aku harus menyampaikannya. Aku bisa bahkan lebih bisa dari siapapun tapi aku takut untuk bicara.

Hal ini sebenarnya sudah aku sadari sejak kecil, saat aku masih sekolah, tentu ada pertanyaan klise dari guru “siapa yang bisa, angkat tangkan?” maka saat itu aku memang bisa dan aku sadar teman-teman aku tidak bisa, tapi membayangkan aku mengangkat tangan saja, keringat dingin sudah keluar dari tubuhku, rasa takut luar biasa tak mampu aku kendalikan dan jantung berdegup lebih cepat dari normalnya. Padahal aku hanya berniat untuk menjawab saja, tapi ketakutan luar biasa sudah menguasai diriku. Akhirnya aku menyerah dalam diam, semua kusimpan sendiri dalam diam. Benar-benar tak beralasan sebenarnya. Mungkin juga menurut kalian aneh? Ya, mungkin aku memang aneh. Jika aku bisa berubah, aku ingin seperti kalian yang memiliki percaya diri tinggi. Terkadang aku begitu iri melihat teman-temanku yang memiliki mental luar biasa berani, tidak seperti aku dikuasai ketakutan yang mati-matian tak pernah sukses aku lawan.

Hal ini benar-benar masalah besar untukku, aku sebut sebagai masalah besar tentu saja karena aku adalah calon guru, mana mungkin seorang guru hanya diam di depan kelas???

Lalu kenapa aku sebut sebagai trauma, karena mamang iya, gak ada sebab pasti dari ketakutan yang terus berulang seperti itu, tapi yang aku yakini hal itu karena memang sejak kecil aku tidak pernah memiliki ruang untuk bicara dan saat aku bicara semua selalu salah atau disalahkan. Intinya aku tidak berhak bicara apapun di rumah. Ibuku dengan didikannya yang keras selalu menyuruhku untuk diam diam dan diam. Pada akhirnya dalam otakku tertera bahwa bicara itu salah!!! Jadi aku harus diam!!! Bahkan sampai aku dewasa dan mampu memahami yang mana yang benar dan yang mana yang salah, yang mana yang harus aku lakukan atau aku harus diam. Tapi sepertinya memang ada bagian dari tubuhku yang telah terlanjur memiliki trauma menolak untuk berbicara di depan umum. Ada bagian dari tubuh aku yang tak bisa aku kontrol dengan logika sebesar apapun. Jadi, aku harus bagaimana? Pernah terpikir olehku untuk datang ke pskiater untuk mengatasi masalahku ini, tapi aku tidak tau kemana bisa kutemui dan aku yakin untuk sekali konsultasi pasti juga mahal. Tapi bagaimanapun aku ingin sembuh mengingat aku adalah calon seorang guru.

Ada yang salah di dalam diriku dan aku harus membenahi hal tersebut. Jika orang tua yang menjadi perentang busur panah dan aku ibarat anak panahnya, maka aku merasa sekarang tengah berada dalam lesatan yang salah. Atau bahkan lebih buruk, aku sedang melesat pada arah yang benar hanya saja aku buta tidak bisa memposisikan diri pada kondisi yang benar. Pathetic!

Lalu aku harus bagaimana? Ketakutan saat berada di muka umum atau saat menjadi pusat perhatian banyak orang, bagaimana mengatasi ketakutan tersebut. Pada saat seperti itu logikaku seakan mati, tertimbun oleh gigil dan gemetar hati yang tak bisa aku kendalikan sendiri. Aku tidak ingin menyerah mengejar cita-citaku menjadi seorang guru tapi aku juga merasa begitu dilemahkan oleh ketakutanku sendiri. Trauma masa kecil yang sudah terlanjur mengeras menjadi bagian dalam diriku sendiri. Aku harus bagaimana?


Dalam hal ini aku tidak ingin menyalahkan ibuku, tidak juga diriku sendiri, tidak juga siapapun. Aku hanya ingin mengatasi trauma ini, aku hanya ingin terbebas dari ketakutan yang tidak mendasar sama sekali ini. Adakah kalian memiliki solusi untukku? Maukah kaluan berbagi itu? Aku harus bagaimana?



Sunday, August 10, 2014

Kebebasan vs Kesepian

Kebebasan yang harus kutukar dengan kesepian. Karena kebisingan begitu riuh rendah terlalu menyakitkan telinga, serta belenggu rantai yang terdekap dikedua kaki ku sudah semakin beku dan membuat berdarah. Dan inilah pilihan yang kuambil, kebebasan. Karena aku memang begitu rindu pada sayap hitamku yang terserah akan kukibas sendiri tanpa ada yang peduli. Tidak juga oleh kedua rantai pengikat kakiku yang telah kutanggalkan.

Meski kesepian cukup menyakitkan juga sebenarnya, namun aku rasa ini sepadan dengan apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin menikmati udara yang perlahan berubah menjadi angin dan membawaku terbang dengan bebasnya. Bersama malam dingin yang merangkak membawa lamunan bintang gemintang, langitnya yang pernah kucintai. Bersama riak ombak serta pasir yang bertemu buih menciumi kakiku. Atau bersama silau matahari senja yang terkadang membawa berbagai rasa tentang segala hal yang pernah kulewati dengan kebahagiyaan atau rasa pahit.

Inilah pilihanku, meskipun terkadang aku merasa seperti sedang dalam suatu penghianatan, suatu sandiwara dan aku menjadi tokoh antagonisnya. Tokoh jahat yang berpura-pura baik, entah kenapa aku merasa seperti sedang menipu sesuatu atau seseorang tapi siapa? Sekedar memilih untuk tidak menyalahkan diri sendiri, aku rasa aku cukup bisa memaknai mana yang harus kubenarkan dan mana yang harus kusalahkan. Meski pada dasarnya pilihan yang kupilih ini terdapat sisi ‘penghianatannya’ juga tapi kubuat seminimal mungkin dan aku rasa jika pilihan ini tak kuambil pasti aku akan lebih tersiksa, lebih merasa rugi dari sebelumnya. Jadi inilah pilihan terbaik dari yang terburuk (mungkin) ?