Salam Suegeree,
Jika Historia dalam edisi bulan lalu mengulas tentang sejarah lokal dari pulau kecil nan indah–Lombok, maka dalam edisi kali ini membahas tentang salah satu pahlawan nasional. Buleexs yang mengangkat tema Bulan Pahlawan, mencoba mengulas sosok Laksamana John Lie yang akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga dengan begitu Laksamana John Lie merupakan warga negara Indonesia ber-Etnis Tionghoa yang pertama tercatat sebagai pahlawan nasional. Namun siapakah Laksamana John Lie tersebut?
Laksamana John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahja Daniel Dharma ini lahir di Manado, 9 Maret 1911 dan meninggal di Jakarta pada 27 Agustus 1998. Oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 November 1995, salah satu TNI Angkatan Laut ini menerima Bintang Mahaputera Utama, sehingga Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Pada mulanya putra pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio ini bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda hingga kemudian bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Setelah diterima di Angkatan Laut RI, John Lie bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini dia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghadapi Sekutu. Lalu atas jasanya, John Lie dinaikan pangkatnya menjadi mayor. Sejak saat itu dia memperlihatkan kemampuannya sebagai patriot sejati, di awal kemerdekaan RI John Lie juga ditugaskan mengamankan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan ke luar negeri.
Dalam operasi mengawal kapal pengangkut karet 800 ton yang kemuadian diserahkan kepada kepala perwakilan RI di Singapura. Karet dan hasil bumi yang lainnya tersebut dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata yang akan digunakan sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan John Lie tidak ringan mengingat kapal-kapal Angkatan Laut Belanda sangat sering berpatroli. Ditambah harus menghadapi gelombang laut yang besar untuk ukuran kapal Indonesia yang belum secanggih kapal saat ini. Kapal kecil cepat tersebut bernama The Outlaw, paling sedikit John Lie melakukan operasi ‘penyelundupan’ 15 kali dan ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John Lie sempat ditangkap oleh perwira Inggris. Namun di pengadilan Singapura, karena tidak terbukti melanggar hukum maka John Lie dibebaskan.
Laksamana John Lie juga terlibat aktif dalam sejumlah operasi penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI/Permesta. Pada tanggal 1 Mei 1950 Menteri Panglima Angkatan Laut Raden Soebijakto memerintahkan kapal perang Angkatan Laut untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John Lie menjadi komandan kapal-kapal korvet RI Rajawali, bersama KRI Pati Unus yang dikomandani Kapten S Gino dan KRI Hang Tuah yang dipimpin oleh Mayor Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 1950. Di bawah komando Mayor Pelaut John Lie, pendaratan juga dilanjutkan di Pulau Seram dan Pulau Piru. Melalui tiga titik ini dan dibantu kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS pun terdesak hingga pada 15 November 1950 operasi pembersihan RMS di Ambun dan sekitarnya pun selesai.
Untuk menumpas pemberontakan DI/TII yang pertama kali muncul di Jawa Barat pada 1949 yang pengaruhnya meluas hingga ke Aceh 1950 dan Sulawesi Selatan pada 1953, Presiden Soekarno memerintahkan operasi militer dan pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan, termasuk TNI AL. Jadi, kapal TNI AL yang menggelar operasi patroli pantai pada saat itu dipimpin oleh Mayor John Lie. Juga pada 1958 pemerintah menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra dan Perjuang Semesta (Permesta) di Sulawesi. Dimana pada saat itu John Lie sebagai komandan letkol yang menjadi wakil operasi gabungan TNI. Dalam operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17) yang dipimpin oleh Letkol John Lie.
Setelah operasi PRRI/Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama setahun untuk tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington. Pada 1960, John Lie diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari unsur TNI AL dan pada 1960-1966 menjabat kepala inspektur pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia, yang sebelumnya pada 5 Oktober 1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan kepada John Lie.
Jiwa patriotisme, cinta tanah air dan membela negara diperlihatkan oleh Laksamana John Lie. Bergabung dengan TNI Angkatan Laut RI pada awal kemerdekaan, sebagian besar hidup John Lie dibaktikan pada negara dan bangsanya di lautan. Karena itu John Lie tidak suka dengan istilah ‘pribumi’ dan ‘nonpribumi’ yang dinilai hanya menyudutkan orang-orang Tionghoa di Indonesia, karena di Indonesia sendiri pada era Orde Baru istilah ‘nonpribumi’ pasti selalu merujuk pada orang-orang Tionghoa dan konotasinya selalu jelek. Menurut John Lie sendiri orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia, apapun latar belakang suku, ras, etnis, agama adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. Jadi soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan yang mereka bela.
Seperti yang kita ketahui juga bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negara kepulauan dimana sebagian besar wilayahnya adalah perairan, karena itu juga kali ini kolom historia Buleexs menghadirkan tentang kepahlawanan di lautan. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca semua.
NB : Tulisanku yang dimuat di Buletin Exsara edisi November
Intan_Div.Merpati
NB : Tulisanku yang dimuat di Buletin Exsara edisi November