Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Thursday, January 30, 2014

Pahlawan Nasional Ber-Etnis Tionghoa Yang Pertama

Salam Suegeree,

Jika Historia dalam edisi bulan lalu mengulas tentang sejarah lokal dari pulau kecil nan indah–Lombok, maka dalam edisi kali ini membahas tentang salah satu pahlawan nasional. Buleexs yang mengangkat tema Bulan Pahlawan, mencoba mengulas sosok Laksamana John Lie yang akhirnya ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 10 November 2009 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sehingga dengan begitu Laksamana John Lie merupakan warga negara Indonesia ber-Etnis Tionghoa yang pertama tercatat sebagai pahlawan nasional. Namun siapakah Laksamana John Lie tersebut?

Laksamana John Lie yang juga dikenal dengan nama Jahja Daniel Dharma ini lahir di Manado, 9 Maret 1911 dan meninggal di Jakarta pada 27 Agustus 1998. Oleh Presiden Soeharto pada tanggal 10 November 1995, salah satu TNI Angkatan Laut ini menerima Bintang Mahaputera Utama, sehingga Almarhum dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.


Pada mulanya putra pasangan suami-istri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio ini bekerja sebagai mualim kapal niaga milik Belanda hingga kemudian bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Setelah diterima di Angkatan Laut RI,  John Lie bertugas di Cilacap dengan pangkat kapten. Di pelabuhan ini dia berhasil membersihkan ranjau yang ditanam oleh Jepang untuk menghadapi Sekutu. Lalu atas jasanya, John Lie dinaikan pangkatnya menjadi mayor. Sejak saat itu dia memperlihatkan kemampuannya sebagai patriot sejati, di awal kemerdekaan RI John Lie juga ditugaskan mengamankan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan ke luar negeri.

Dalam operasi mengawal kapal pengangkut karet 800 ton yang kemuadian diserahkan kepada kepala perwakilan RI di Singapura. Karet dan hasil bumi yang lainnya tersebut dibawa ke Singapura untuk dibarter dengan senjata yang akan digunakan sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan John Lie tidak ringan mengingat kapal-kapal Angkatan Laut Belanda sangat sering berpatroli. Ditambah harus menghadapi gelombang laut yang besar untuk ukuran kapal Indonesia yang belum secanggih kapal saat ini. Kapal kecil cepat tersebut bernama The Outlaw, paling sedikit John Lie melakukan operasi ‘penyelundupan’ 15 kali dan ketika membawa 18 drum minyak kelapa sawit, John Lie sempat ditangkap oleh perwira Inggris. Namun di pengadilan Singapura, karena tidak terbukti melanggar hukum maka John Lie dibebaskan.

Laksamana John Lie juga terlibat aktif dalam sejumlah operasi penumpasan pemberontakan di dalam negeri seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan PRRI/Permesta. Pada tanggal 1 Mei 1950 Menteri Panglima Angkatan Laut Raden Soebijakto memerintahkan kapal perang Angkatan Laut untuk melaksanakan blokade di perairan Ambon. John Lie menjadi komandan kapal-kapal korvet RI Rajawali, bersama KRI Pati Unus yang dikomandani Kapten S Gino dan KRI Hang Tuah yang dipimpin oleh Mayor Simanjuntak. Pendaratan di Pulau Buru dilaksanakan pada tanggal 13 Juli 1950. Di bawah komando Mayor Pelaut John Lie, pendaratan  juga dilanjutkan di Pulau Seram dan Pulau Piru. Melalui tiga titik ini dan dibantu kekuatan gabungan TNI, pasukan RMS pun terdesak hingga pada 15 November 1950 operasi pembersihan RMS di Ambun dan sekitarnya pun selesai.

Untuk menumpas pemberontakan DI/TII yang pertama kali muncul di Jawa Barat pada 1949 yang pengaruhnya meluas hingga ke Aceh 1950 dan Sulawesi Selatan pada 1953, Presiden Soekarno memerintahkan operasi militer dan pemulihan keamanan yang melibatkan seluruh elemen pertahanan, termasuk TNI AL. Jadi, kapal TNI AL yang menggelar operasi patroli pantai pada saat itu dipimpin oleh Mayor John Lie. Juga pada 1958 pemerintah menggelar operasi untuk menumpas Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra dan Perjuang Semesta (Permesta) di Sulawesi. Dimana pada saat itu John Lie sebagai komandan letkol yang menjadi wakil operasi gabungan TNI. Dalam operasi ini TNI AL membentuk Amphibious Task Force-17 (ATF-17)  yang dipimpin oleh Letkol John Lie.

Setelah operasi PRRI/Permesta 1958-1959, John Lie dikirim ke India selama setahun untuk tugas belajar di Defence Service Staff College, Wellington. Pada 1960, John Lie diangkat menjadi anggota DPR Gotong Royong dari unsur TNI AL dan pada 1960-1966 menjabat kepala inspektur pengangkatan kerangka kapal di seluruh Indonesia, yang sebelumnya pada 5 Oktober 1961 Presiden Soekarno menganugerahkan tanda jasa kepahlawanan kepada John Lie.

Jiwa patriotisme, cinta tanah air dan membela negara diperlihatkan oleh Laksamana John Lie. Bergabung dengan TNI Angkatan Laut RI pada awal kemerdekaan, sebagian besar hidup John Lie dibaktikan pada negara dan bangsanya di lautan. Karena itu John Lie tidak suka dengan istilah ‘pribumi’ dan ‘nonpribumi’ yang dinilai hanya menyudutkan orang-orang Tionghoa di Indonesia, karena di Indonesia sendiri pada era Orde Baru istilah ‘nonpribumi’ pasti selalu merujuk pada orang-orang Tionghoa dan konotasinya selalu jelek. Menurut John Lie sendiri orang yang tidak mementingkan atau membela nasib bangsa Indonesia, apapun latar belakang suku, ras, etnis, agama adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa. Jadi soal pribumi dan nonpribumi bukannya dilihat dari suku bangsa dan keturunan, melainkan dari sudut pandang kepentingan yang mereka bela.

Seperti yang kita ketahui juga bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah negara kepulauan dimana sebagian besar wilayahnya adalah perairan, karena itu juga kali ini kolom historia Buleexs menghadirkan tentang kepahlawanan di lautan. Semoga bisa bermanfaat bagi pembaca semua.

Intan_Div.Merpati

NB : Tulisanku yang dimuat di Buletin Exsara edisi November

Homespot Jumadi

Beliau orang yang selalu ngabulin semua permintaanku, selama beliau mampu pasti demi kebahagiyaanku beliau berikan. Beliau juga lah yang rela menyerahkan seluruh dunianya untuk aku. Tak pernah bilang 'tidak' meskipun itu begitu berat untuk beliau lakukan. Hemb terlalu berlebihan gak sih? Tapi ini sungguh nyata, aku merasa beruntung menjadi anaknya. Namanya Jumadi, beliau adalah bapakku.


Aku menulis ini dengan menahan sesenggukan, mencoba untuk tidak melelehkan air yang menggenang di mata. Meskipun dengan pandangan yang berembun namun tiap curahan cerita ini memang harus kutuliskan, sudah lama aku begitu ingin menulis tentang laki-laki yang selalu berjuang buat aku.

Bapak, bagiku bukan hanya sekedar kepala rumah tangga ataupun tulang punggung bagi keluar kecil ini. Beliau adalah orang yang paling luar biasa buatku, laki-laki terbaik yang tiada duanya. Dimana lagi kutemukan orang yang rela memboncengkan anaknya dari Sragen sampai Semarang, padahal anaknya ini sudah besar dan sudah berani melanglang buana kesana-kemari. Hanya agar anaknya bisa mengerjakan tugas kuliah, panas dan rasa capek pun tidak dihiraukan. Ketika sampai di kost pun hanya wudhu, solat lalu memberikan aku uang saku. Sambil kasih wejangan sedikit dan minta maaf karena cuma bisa ngasih uang segitu itupun hasil pinjaman dari sahabat bapak. Setelah bapak pamit pulang, pecah semua air mataku. Seperti sekarang ini, mengingat semua itu saja sudah bisa membuat air mataku tumpah ruah sekarang. Maaf pak anak bapak ini memang cengeng.


Teringat moment Ramadhan kemarin, bagi kami itu adalah Ramadhan terberat sepanjang hidup. Ketika bapak hanya sendiri mengurus rumah, termasuk mengurus semua kebutuhanku dan adikku. Ditinggal ibuku membuat bapak timpang. Terpaksa harus merelakan barang yang begitu bapak sukai dijual. Teringat saat lebaran lalu kami ke rumah nenek di desa, saat sungkem dengan nenek, bapakku menangis tersedu-sedu, seperti seorang anak kecil yang jatuh dari sepeda. Bapak meluruhkan segala rasa sesak yang begitu menghimpitnya. Aku yang melihatnya hanya bisa menahan air mata agar tidak jatuh, tapi akhirnya jebol juga pertahananku saat aku diboncengkan bapak dengan sepeda motor plat merah bapak. Aku menangis tanpa suara dibelakang punggung bapak. Malu kalo ketahuan.


Bapak, dimana lagi kutemukan orang yang saat sahur membangunkanku sambil bilang "ayo tangi, ndank raup sik" hanya bilang seperti itu dan makanan sahur sudah siap dengan teh hangat, kami tinggal makan. Memanjakan anaknya? Itulah bapakku. Orang yang paling gemati sedunia. Pokoknya semua yang pernah berstatus sebagai pacarku, kalah deh sama bapakku ini.



Jaman es-em-a, bapakku yang tiap hari minggu ngasih aku duit 5 ribu, ngasih aku kunci motor dan ngasih aku ijin buat sepeda motoran dihari minggu. Maksudnya biar aku ngerti daerah Sragen, kota kelahiranku sendiri sekaligus biar aku lebih mahir mengendarai motor. Orang yang pertama ngasih aku hadiah sepeda ontel jaman SD karena aku ulang tahun dan yang bikin iri teman-temanku saat aku ditraktir bakso bakar bapak saat aku SMP. 

Orang yang pertama kali ngajarin aku naik sepeda ontel sampe sepeda motor, ya bapakku. Yang pertama kali nemenin aku nonton konser ya bapakku, yang pertama ngajak nonton pertandingan sepak bola ya bapakku. 

Bapak, dimana lagi kutemukan orang yang mengantarkan anaknya tiap pagi ke terminal bahkan terkadang sampai sekolah yang jauhnya sampai 22 kilo. Padahal anaknya sudah berseragam putih abu-abu. Bapakku, yang begitu sering mengantarkan aku, meskipun itu ke potokopian atau ke pasar buat beli baju tas atau betulin jam tangan. Sama bapak saat muter-muter cari sendal gunung, diantar bapak juga pas cari sepatu, masuk distro keluar distro. Seluruh Sragen diubek-ubek sampe nemu sepatu yang pas. Yang nganterin aku ngurus SIM sampe ke Solo, yang nganterin aku ngurus sidang di Salatiga, nganterin ngurus kuliah dan kost di Semarang. Intinya 'tukang ojek' pribadi terbaik sepanjang masa itu adalah bapakku.

Jaman es-em-a juga seringnya ngerjain tugas itu dikantor bapak. Dan bapak pun juga sangat sabar meski nunggu aku sampe malem banget.


Ini cerita saat aku masih duduk dikursi kecil taman kanak-kanak, saat kelas nol kecil, bapak bertengkar dengan ibu, terus bapak minggat dari rumah bawa televisi malem-malem. Aku nangis sambil 'nggondeli' baju bapak biar gak pergi terus ibu yang marah nyuruh ikut bapak saja. Tapi aku takut kalo ibu tambah marah, akhirnya aku hanya bisa nangis di teras berjam-jam. Bujukan apapun gak bisa buat aku masuk rumah atau berhenti nangis. Maklum saja, aku anaknya 'nempel' banget sama bapak, tidur siang aja kalo gak sama bapak pasti gak bisa tidur. Sampe nenek yang ngajak aku masuk dengan nakutin aku kalo dulu pas nenek masih kecil dan dalam keadaan kaya aku begitu dia pernah dipegang sama genderuwo yang jari-jarinya itu segede pisang dan rasanya dingin banget. Aku takut dan akhirnya mau masuk rumah, meskipun nangisnya ya awet. Gak salah lah kalo julukanku jaman dulu itu gembeng kreweng

Entah sampe berapa bulan atau malah tahunan bapak pergi dari rumah, berasanya lama banget. Nah, ada cerita memalukan sampe kuinget hingga sekarang, saat itu dikasih bu guru TK ku surat buat dikasih keorang tua, ibu guru bilangnya suruh ngasih ke bapak lalu aku jawabnya "bapak saya lagi minggat bu". Aku gak tahu itu jawaban yang benar atau salah, yang jelas jawaban polosku itu sampai ketelinga ibu kepala sekolahku. Lalu Ibu kepala sekolah TK ku yang satu RT sama aku tersebut cerita diwarung ibuku pas beli sarapan diwarung ibu, karena saat itu aku ikut bantu-bantu diwarung ibu jadi aku tahu dan malu karena banyak pembeli lain ketawa denger cerita itu. Padahal kalo buat aku yang ngalami semua itu, rasanya dihati nyesek banget :(( Malu ples sedih rasanya.

Pernah jaman kelas satu SD aku dijemput bapak dijajanin bakso di deket stadion. Setelah selesai makan aku diantar pulang diturunin didepan rumah terus bapak pergi lagi. Mungkin saking kangennya bapak lama gak ketemu aku, habis itu aku nangis sampe batuk-batuk terus muntah-muntah. Keluar deh semua bakso yang tadi kumakan.

Aduh rasanya kog ceritanya nangis terus yah? Yodah kita lewatin aja bagian yang nangis-nangis. Nah kalo yang ini cerita saat aku kelas dua es-em-a pas bulan puasa juga, karena aku kepo aku baca-baca sms dihape bapak. SENSOR. Yang jelas sms dihape bapak bikin aku marah aku emosi aku benci sama bapak. Aku banting pintu didepan wajah bapak terus dari dalam kamar aku teriak-teriak marah sama bapak. Nangis "pak aku iki ketimbang ibuk nu asline luwih sayang ro bapak, tapi bapak malah koyo ngunu" dengan suara yang serak karena nangis dari dalam kamar aku teriak-teriak. (Maaf kalo dibosankan dengan tangisan) Sampai paginya aku gak mau sekolah pengennya mati aja, mata sembab dengan pergelangan tangan kiri yang merah-merah berdarah. Hasil goresanku sendiri dari silet kecil tapi tajam. Gelap mata yang dipikirkan hanya aku mati biar bapak kapok. Huft... memang menyakitkan ketika orang yang paling disayang mlah mengecewakan.

Terlepas dari kisah suram diatas, sampai sekarang bapak tetap jadi laki-laki terbaik nomor satu buatku. Yang begitu sabar dan selalu berusaha menuruti kemauanku sebisanya. Bapakku yang pagi-pagi benar mengajakku jajan 'ngiras' soto kwali, berada diboncengan bapak membuat mataku panas terus diam-diam nangis. (duh kan ada adegan nangis lagi)


Bapakku yang paling rajin mengingatkanku kalo aku malas sholat, yang ngebangunin aku jam 3 pagi buat belajar kalo pas waktu-waktu ujian. Bapak juga yang selalu ngajarin aku untuk 'ngajeni' biar ngerti tata krama unggah ungguh karena memang aku tinggal di Sragen yang notabene adat Jawanya begitu kental bahkan lebih ketat daripada Surakarta yang sekarang sudah 'tercemar' oleh pengaruh dari luar.

Dengan semua kenangan yang begitu banyak dengan bapakku, kenangan indah saat diajak bapak liburan, katam seluruh Jogja, katam seluruh Solo, Tawangmangu, Wonogiri, kenangan pahit pas jatuh di Magetan, seneng luar biasa pas diajak ke Malang, atau sekedar liburan di waduk saja. Kecukupan fasilias dari bapak yang bahkan tanpa aku minta.

Bapakku, ibarat sebuah jaringan wifi gratis, seperti yang bapak pasang dirumah. Modem internet rumah yang begitu memudahkan anak-anaknya diera globalisasi ini. Jadi adikku tidak perlu lagi seharian nginep di warnet yang entah tidak bisa dipantau sedang mengakses apa saja disana. Aku juga tidak perlu lagi malem-malem ngerjain tugas di kantor bapak, meskipun terkadang kangen juga dengan suasana kantor bapak.
Jadi benar kalo bapak itu ibarat jaringan internet gratis, yang memfasilitasi kami dengan banyak hal yang kami butuhkan. Termasuk kasih sayang dan kehangatan keluarga.
Homespot Jumadi, bukan hanya sekedar nama koneksi internet dirumah. Tapi ini benar-benar bapakku.


Bapakku, dengan segala tenaganya meskipun bapak orang yang tidak suka banyak omong, tapi melalui semua tindakannya aku tahu bapak sangat sayang sama aku. Kami memang tidak diajarkan buat saling mengungkapkan kasih sayang dengan kata-kata manis, tapi kami diajarkan untuk mengalirkan semua kasih sayang dalam setiap tindakan. Semampunya, setiap kesempatan, dan semua mengalir dengan tulus bahkan tanpa sadari.


Tuesday, January 28, 2014

mBolank

Tulisan dari salah satu angka 8 ku
Baca blog Bahol
Klik =>> Goresan Pena Kehidupan: Ini Kami Anak anak Liar yang mencoba jelajah Nusan...:


Racauan Part 3

Aku bukan siapa-siapa. 

Ini sebuah kesadaran diri luar biasa, ketika aku tahu aku memang 'belum' menjadi 'manusia' dan tidak 'dimanusiakan' oleh mereka yang menganggap diri mereka manusia. Aku masih berusaha menjadi 'manusia' ketika mereka telah berlari jauh di depanku. 

Aku cukup sadar diri, yang hanya mampu melihat mereka dari balik punggung mereka. 

Aku cukup sadar diri, ketika hanya diremehkan dan dianggap tidak lebih penting dari sekedar mata yang melihat begitu banyak keberhasilan mereka. Sambil tersenyum bahagiya dan mencoba mengakrabkan diri dengan mereka, namun seperti seorang putri cantik yang jijik memegang tissue kotor, begitulah mereka memperlakukan aku. 

Aku cukup sadar diri, ketika aku tidak dihargai sama sekali. Bukannya aku ingin dihargai, tapi cukup 'dilihat' saja aku sudah senang. Tapi mereka mengesampingkan aku yang tulus merentangkan tangan untuk mereka tapi jelas-jelas ditolak dan mereka lebih memilih memeluk seorang yang mereka anggap setara dengan mereka saja. 

Aku tahu aku belum sepadan dengan mereka! Aku sadar diri untuk ini. Tapi haruskah aku diperlakukan seburuk itu? Padahal aku begitu tulus ikut bahagiya dan bersyukur atas 'manusia' nya mereka itu.

Kenapa aku harus repot-repot ingin akrab dengan mereka? Jawabannya simple saja, cukup sederhana sebenarnya, AKU HANYA INGIN BERTEMAN DENGAN MEREKA. 

Tapi sepertinya aku memang telah ditolak secara mentah-mentah. Standar kepantasan yang mereka silangkan sebagai garis pemisah antara aku dan mereka sudah mereka tancapkan dan pertegas sedemikian rupa dengan hanya melihat aku dengan sebelah mata saja. 

Masihkah aku ingin berteman dengan mereka? Yang sudah jelas menolakku pada saat ini. Lagi-lagi disini kutuliskan bahwa aku bukan orang yang pendendam. Jadi tak apa jika mereka menolakku, tak apa juga jika suatu saat mereka bisa tersenyum dan 'melihat' aku. 

Karena aku cukup sadar diri siapa aku dan siapa mereka. 

Aku juga orang yang optimis pada suatu hal meskipun pada sebaliknya aku juga cukup underestimate pada diriku sendiri. Jadi kubiarkan semua ini mengalir, kuserahkan semua pada sang waktu. 

Aku akan tetap berusaha untuk menjadi 'manusia'. Tapi cukup dipahami dalam hal ini kugunakan standar 'manusia' sesuai dengan 'aku' bukan 'mereka'. 

Karena aku rasa aku dengan mereka memang 'berbeda'. Dan perlu di garis bawahi, aku tidak pernah menyalahkakan mereka atas kenapa aku 'belum' sepadan dengan mereka, karena kembali kuulang bahwa aku memang sadar diri dengan semua yang terjadi ini. 

Aku sadar diri, dengan segala kepantasan yang ada. Saat mereka dan aku begitu 'berbeda' meskipun sama-sama sedang menggunakan Jas Kuning Almamater Unnes. 

Meskipun pada awalnya semua aku anggap sama, namun jelas dengan keras mereka tegaskan semua perbedaan itu. Dan aku cukup sadar diri. Aku dan mereka berbeda, beda posisi, beda kedudukan semua yang berada pada dimensi tempat, pada dasarnya memang berbeda. 


Sunday, January 26, 2014

The Rampoks ke Pulau Nusakambangan


Ini adalah program The Rampoks ke Golden Water alias Banyumas J

Pertama kami semua janjian kumpul di depan ATM BNI Unnes, pukul 06.00 Waktu Insya Allah molor, dan bener aja molor sampe jam 8an lebih kita baru memulai perjalanan. Pada tanggal 15 Januari 2014 kami berduabelas yaitu Aku semotor dengan Riwan, Bahol yang semotor dengan Sulthon, Ardit ma Yanrika, Amri sama Prita, Eko boncengan ma Muadi, dan dua sejoli Reza-Jambi, kami ber-6 motor pun siap tancap gas melewati macetnya Ungaran, naik turunnya Temanggung, menembus dinginnya Wonosobo, disengat panasnya Banjarnegara, nostalgia dengan Kota Purbalingga dan Purwokerto lalu menginjak Cilacap untuk pertama kalinya. 


Dalam perjalanan pun selain jadi objek bully, aku juga sempat di buat galau karena omongan Riwan hap-hap. Huhu
Jujur aku jadi bengong dibelakang boncengan Hap
tanpa sadar air mata keluar hikz hikz  
Ampun dah, yah kalian harus tau, aku memang cengeng kawan.

Tapi aku gampang nangis juga gampang ketawa, gampang sedih gampang juga bahagiyanya.
Beda dari orang yang jarang dibuat sedih, tapi sekalinya dibuat sedih duh sedihnya bisa tahunan, marahnya bisa tujuh turunan. (Bukan aku)
Yang begini namanya pendendam, penyakit hati, hidup sekali thu harus dinikmati men, bukan buat menebar kebencian. Rugi dah !! (bukan aku)

Jadi meskipun dibikin nangis juga setelah itu bisa langsung cepat cubit perut gendut Hap, bercanda sama driverku yang 'nganyelke'

(nah yang ini baru aku)
Begitu aku. Begitu sifatku. Sanguin sekaligus Sagitarius.



Dan inilah saat kami berhenti untuk makan siang, buang air kecil, buang air besar, dan tak lupa narsis poto-poto. Di Alun-alun Temanggung.


Saat ada motor teman kami Bahol yang mengalami masalah pada ban belakangnya, kami berhenti di jalan Wonosobo. Jalan yang berada diantara dua gunung, yaitu Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro, dan ternyata bengkelnya pun dekat dengan BC Pendakian Gunung Sindoro.
Duh pemandangannya fix subhanallah bingits   :p


Brreemmm... brreeemmmm... motor boleh minjem nih. Punya Eko, temenku se-Karisidenan Surakarta, asal Kleten.


Di Wonosobo pun kami terkena hujan, meskipun rintik tapi hawa yang dingin membuat badan cukup menggigil juga. Karena itu aku meminta diantar driverku Kakak Riwan untuk membeli mantel.
Yey jajan mantel baru di Pasar Wonosobo, tapi setelah membeli mantel ternyata udah gak ujan lagi men -____-

Perjalanan pun dilanjutkan dan tujuan pertama kami adalah Kota Purbalingga. Hemb tak terlalu meledak-meledak di hati, karena memang aku sudah pernah mBolank ke Purbalingga jadi ini bukan kali pertama aku maen ke Temanggung, Wonosobo, Banjarnegara, Purbalingga dan Purwokerto.

Inilah saat kami 'ngerampok' di rumah Bahol. Namanya juga The Rampoks, beda dari mBoloank, jadi pasti ada rumah teman kami yang dirampok. Eh ralat, mBolank pun dulu juga 'ngrampok' J
Makasih Bahol udah menjamu kami.


Nah kalo yang ini di Purwokerto, rumahnya Reza yang juga sukses kami ‘rampok’ sekaligus tempat kami menginap. Makasih iya Za udah mau nampung kita-kita J


Persiapan tenaga buat tancap gass besok pagi, kami pun tidur terlelap dalam mimpi.
Tarik selimut, peluk mimpi, berdoa mulai, gutnet n' hevnesdrim


Nah perjalanan dari Purwokerto ke Cilacapnya pun di lanjut keesokan harinya, tanggal 16 Januari 2014


Sangat menjiwai kan yang mau ke pulau yang sering buat nahan teroris, pada ekting jadi teroris nih, maksudnya biar gratis masuknya -___-


Yehaaaa sebenarnya bukan hanya acara The Rampoks nih tapi mBolank juga ngeksis men (emot mringis) bahkan kalo Ardit bilank "track rengkot mBolank lebih tinggi men" sambil berbangga karena kami udah pernah mBolank sampe Purwokerto.

Dan inilah kami (mBolank) yang selalu menyempatkan diri poto bertiga. Sahabatku, angka 8 ku ^_^







Personil kumplit dan yeah mBolank ngerangkap The Rampoks siap berlayar. Eh tapi sebelumnya kami cikitau cikitau dulu dijalan. Begitu bahasanya Hap-hap menanggapi jalan-jalan berlubang di sepanjang Purwokerto menuju Cilacap. 



Yah meskipun ngidam motor Supra ku gak kesampean, paling nggak aku diboncengkan motor Supra nya Hap-hap. Bilang apa? Makasih Hap :))


Nah inilah poto-poto sesaat sebelum kami berlayar menuju Pulau Nusakambangan. Ngelobby bapak-bapak pemilik kapal dengan bahasa dan logat ngapak. Kami hanya kena 12Rb/orang PP. 



 Yohs kami pun siap berlayar ke pulau negri para tahanan, Pulau Nusakambangan, dan sensasinya men, cikitau cikitau :)

Cikitau-cikitau nya pindah ke laut men :)




Menginjak Pulau Nusakambangan, dengan pasir putihnya yang mempesona. Juga misteri dari benteng yang ada di pulau tersebut, memberikan aura yang berbeda. Namun tak mengurangi keindahan dari pulau para tahanan ini.



Berjalan mengelilingi sebagian pulau, melangkahkan kaki disetapak juga diantara kanan-kiri pepohohonan yang lebat, jalan yang becek, dan dinding-dinding benteng yang telah di selimuti tumbuhan. Juga lorong-lorong benteng yang gelap. 







Selain itu juga pemandangan indah pantainya dengan batu karang di sepanjang bibir pantai. Andai aku tidak sedang menstruasi, aku pasti sudah ikut melebur dengan air pantai di negri tahanan ini. Seperti kedua temanku Ardit n' Riwan yang sudah basah-basahan. Aku paling tidak tahan sebenarnya kalo gak ikut basah kuyup nyebur di pantai.




Ciyee suit suit ihirr ada yang pacaran nih, Reza Rafi Fadilah dan Fitria Susilowati alias Jambi.
Poto dipantai berdua, dengan pasirnya, air lautnya, karangnya jadi keinget dulu ada yang pernah nyatain cinta di pinggir pantai juga.
wkwkwkwk ngggg ya sudah lah
masa lalu men :))


Nih aku poto ekting galau dulu :))


Nah adegan ini jangan ditiru, emang aku anaknya gak bisa diem, jadi ada batang pohon meskipun itu tinggi juga wajib di coba.


Ini teman-teman yang sedang menikmati jajanan piknik, dan aku poto mereka dari atas pohon. Pada makan kacang n' pisang, nah aku yang diatas jelas jadi sasaran dari kedua makanan tersebut.
Moment tepat, makanannya pun tepat, posisiku juga tepat.
Siap deh di bully lagi -____-


Zzzztttttt nunggu yang lagi pada bersih-bersih diri, mending aku tiduran. 
Hikz gak puas rasanya karena gak ikut nyebur di pantai.


Belum puas satu pantai, kita jelajah pantai di Pulau Nusakambangan yang sebelahnya, kalo gak salah namanya Pulau KarangBolonk (maybe)
Meskipun cuma sebentar tapi paling tidak, karena jauh-jauh sudah nyebrang ke pulau tetangga ini, akan sangat rugi jika tidak melihat pantai yang disuguhkan.


Saatnya say good bye pada Pulau Nusakambangan dan keluar dari pulau, perahu Antonio diterpa hujan rintik-rintik ditambah dengan kecepatan perahu motor yang melaju membuat kami basah dan mata perih karena air laut.



Menginjak lagi Pulau Jawa, kami jajan tahu masak, makanan khas Cilacap, kalo di Sragen mungkin namanya tahu kupat. Rasanya enak dan murah, tapi tetap saja aku gak habis. Satu piring porsinya banyak men.
Kami jajan di pinggir pantai, sembari di bully -____-
huft gak di Semarang, di Blora, di Wonosobo, sepanjang perjalanan, Purbalingga, Purwokerto, dimana-mana, sampe Pulau Nusakambangan
dimanapun tempatnya, aku dibully adalah hiburannya. Hemb... (Kluthik kepala teman satu-satu)
Terkadang ada rasa sebal juga, tapi aku adalah orang yang tidak bisa marah. Kalo sudah seperti itu aku hanya bisa bilang Bully Tanda Sayang (emot melet)

Inilah saat kami di Benteng Pendem, kebersamaan kami dengan poto-poto.
Yey poto depat menyatukan kami :))






Nih poto-poto koplak kami, kampret aku malu gaya begitu. Tapi buat seru-seruan sih. Ardit juga udah berusaha sekoad tenaga men, ngatur camdig biar bisa otomatis berdiri moto sendiri, biar kita semua kumplit poto barengnya. 


Dan benginilah hasilnya miring-miring kaya orangnya :))
Tapi kebersamaan dan keseruannya memang tiada duanya kawan. 




Disinilah kami juga mengalami kenangan buruk, sayangnya aku tidak mengalami langsung karena saat itu aku tidak ikut sholat di mushola museum, aku ditemani Bahol jajan baju untuk adikku. Beh ketinggalan satu cerita nih?


Dan badan yang begitu lelah rupanya tak membuat semangat kami lelah juga, istirahat sebentar sambil bercanda-bercanda sudah mampu memelekkan kembali mata kami yang sempat sayu dan mengembangkan kembali mata kami.



 Perjalanan pun kami tutup, saatnya cuci piring untuk The Rampoks yang udah ngerampok di Rumah Reza. (sambil nempelin sticker di pintu rumah Reza, bertuliskan "rumah ini telah didatangi The Rampoks") hehe


Puas ngerampok sembari mBolank di Purbalingga, Purwokerto sampai Cilacap dan Pulau Nusakambangan.

Selanjutnya ke pulau mana lagi yah? Apakah, yang terdekat dan sudah menjadi target kami yaitu Karimun Jawa? Atau malah pulau impianku sejak dulu, Pulaunya Laskar Pelangi, Pulau Belitong? Atau mengikuti jejak kakak tingkatku, pergi ke Pulau Lombok? Kita lihat saja nanti kawan.
Sekarang saatnya gass pulank kembali ke Semarang :))
Bismillah....


Yehaaa salam sendok dan piring dari The Rampoks. Tunggu kisah perjalanan kami selanjutnya kawan.


To Be Continued . . . .