Kepada teman,
sebenarnya kurang mengalah seperti apa aku. Sejak dulu,
sejak dari kecil, aku selalu mengalah, semuanya demi agar aku punya teman. Biarlah
lelah aku tahan, tapi setidaknya temanku nyaman. Biarlah aku yang tidak
berpunya tapi setidaknya temanku ada. Selalu itu yang aku utamakan. Tapi entah
sampai sekarang rasanya memang aku terus yang bagaikan menggendong
teman-temanku dengan pundak yang sudah begitu kesakitan, dengan kaki yang
terus-terusan tersaruk sepanjang jalan. Aku mengalah.
Kepada teman,
aku melewati masa taman kanak-kanak dengan banyak ketakutan,
dengan banyak rasa malu, dengan banyak rasa tidak percaya diri. Tapi aku terus
saja berusaha menggandeng satu persatu tangan-tangan kecil dari tiap bangku
yang juga kecil. Aku mencoba ingin memiliki setidaknya satu saja balasan dari
gandengan tangan kecil tersebut. Iya memang ada, tapi kenapa sampai hati
gandengan tersebut menyeretku pada rasa ketakutan yang lain, pada rasa rendah
diri yang lain. Tak ada secuilpun cacatku tersebut yang terhapus, malah terasa semakin
tergenapkan, bertambah-tambah. Tapi apa pernah aku lepas gandengan tersebut? Tidak
pernah! Susah payah aku memilikinya, maka akan berusaha bagaimanapun aku
pertahankan.
Kepada teman,
memasuki masa sekolah dasar, aku tetap anak yang sama. Anak yang
ingin memiliki teman, banyak teman! Namun dari gandengan sepertinya perlahan
berubah menjadi seretan. Entah aku sadari entah tidak tapi aku perlahan hanya
menjadi pengikut. Apakah disitu aku masih dipanggil dengan sebutan teman oleh
temanku? Entahlah, tapi yang jelas aku tetap menganggapnya teman. Segala hal
aku lalukan agar dapat bersama dalam linggakaran pertemanan tersebut. Segala
hal! Tapi sepertinya itu saja tidak cukup. Aku semakin tertinggal jauh oleh
teman-temanku. Aku terlalu dibelakang untuk bisa mengejar. Karena aku memang
tak pernah sejajar. Dari awal sekalipun, hanya aku sendiri yang mati-matian
menjajari mereka, tapi kenyataan memang yang akhirnya menyadarkanku. Berdiri aku
sendiri, memandangi yang tak pernah terlihat lagi. Memaku langkah, sempatkah
diantara temanku yang akan menengokku?
Kepada teman,
aku sudah benar-benar lelah pada masa ini, masa putih biru.
Biarlah masa yang kali ini aku habisan untuk sendiri, tanpa harus mati-matian
mencari teman. Aku tidak lagi percaya bahwa teman bisa menghapus kesakitan dari
rasa sepi. Aku menyerah saja, lebih baik diam. Namun, ternyata satu gapaian
tangan yang malah meraih tanganku. Tangan itu, merentangkan setangkap
pertemanan. Dia bilang akan manis jika dimakan berdua. Hari-hari, aku merasa
seperti memiliki penyangga saat aku lelah dalam senja, aku seperti memiliki
pendorong tiap pagi, aku seperti memiliki pengungkit kala siang terik
menyusutkanku, dan aku seperti memiliki penggandeng dalam hari-hari itu. Apalagi
yang aku kurangkan. Aku pun lakukan hal yang sama. Aku begitu bersyukur aku
memiliki teman. Atau sudah seharusnya aku sebut sabahat, iya aku memiliki
sahabat. Segala milikku adalah miliknya, tak ada tanda titik sekecil apapun aku
sembunyikan darinya. Semua pintu serba terbuka untuknya. Bahkan pintu
terlemahku pun terbuka hanya untuknya. Dia sahabatku, satu-satunya sahabatku
sampai pada detik itu. Sampai pada satu titik dimana dia menggempurku habis
dalam satu pukulan telak. Tanpa sempat dia lepaskan tanganku, rupanya seperti
itu cara seorang yang telah kuanggap sebagai sahabat menghancurkan satu
persahabatan. Aku kalah! Kalah oleh rasa perih yang yang tak terperi. Aku hanya
mampu diam dalam jatuhku. Aku masih berusaha mencerna semuanya, memahami satu
persatu yang ditimpakan padaku, sendiri. Hingga aku sadar seharusnya memang
sejak awal aku pilih sendiri, tidak perlu teman, apalagi sahabat. Bukankah dari
sekian banyak waktu memang sendiri. Lalu mengapa butuh teman. Maka begitulah, kuhabiskan
masa putih biruku hanya dengan buku dan dunia khayalku sendiri. Teman? Silahkan
kalian bisa anggap aku teman, tapi aku tidak.
Kepada teman,
entah haruskah aku memiliki pengharapan tentang teman diakhir
masa sekolahku ini? Awal masa putih abu-abu rasanya cacatku kembali bertambah
memenuhi mukaku. Adakah yang seperti ini aku akan memiliki teman? Tidak! Aku tidak
akan lagi berharap-harap yang hanya akan semakin mencederai hatiku sendiri. Biarlah
semua seperti biasanya, diam, sepi, sendiri. Namun memang perlahan kembali aku
harus berpikir, begitu perlahan, sangat perlahan. Lambat! Hingga benar-benar
tiba di masa terakhir sekolah. Semua teman bisa aku raih, semua! Entah aku
sadari atau tidak, tapi ternyata begitu menyenangkan bisa memiliki teman
sebanyak ini. Dan begitu bodohnya aku terlambat menyadari itu. Tapi tidak apa,
akan aku pertahankan. Bukankah itu bagian dari yang sulit? Mempertahankan suatu
hubungan! Apalagi hubungan pertemanan.
Kepada teman,
kita menempuh perjalanan masing-masing, kita memilih jalan
kita sendiri-sendiri, dan melaluinya juga sendiri-sendiri. Hingga sapaankku
dari jalan ini, satu persatu tak lagi kalian balas. Satu persatu, setiap pagi,
tak pernah terlewat barang satupun sapaanku untuk kalian. Hingga aku malu, malu
mengganggu kalian yang telah sebuk dengan rutinitas kalian sendiri. Mungkin
masa ini, teman memang harus yang serutinitas dengan diri kita. Bukankah aku
sudah pernah bisa memiliki teman yang banyak, lalu kenapa tidak aku coba
kembali. Dan memang iya, teman tak terhitung aku miliki. Yang malam bisa satu
kopi dalam gelas yeng sama, yang paginya bisa dalam satu kelas, yang siangnya
bisa dalam satu perjalanan, yang setiap saat memenuhi segala jungkir balikku. Hingga
kesepian terkadang bisa berubah menjadi benda asing yang tak kukenal sama
sekali. Begitu beraneka segala pertemanan yang disuguhkan untukku. Dari berbagai
sudut. Hingga terkadang aku begitu kuwalahan. Senang, sedih, susah, lelah,
tertawa terbagi rata bersama. Pertemanan yang berupa-rupa. Tak lupa aku bersyukur atas semua itu. Tiap harinya
adalah hari yang selalu hidup. Selalu dengan berbagai lembar yang penuh rasa. Begitu
menyenangkan.
Teman,
hal-hal yang menyenangkanpun juga mampu surut ternyata. Satu
demi satu, meniti jalannya masing-masing. Hingga hari-hari kesepian kembali
memunculkan dirinya, menjadi tak lagi asing untukku. Tinggal satu dua teman
yang aku miliki. Dan tanpa aku sadari bodohnya aku dimasa anak-anak kembali
pada aku saat ini. Saking takutnya kehilangan yang satu dua tersebut, aku selalu
mengalah habis-habisan. Sakitnya rasa kesepian membuatku kapok untuk
merasakannya lagi. Kusodorkan punggungku saat ada temanku yang perlu gendongan,
kurelakan pundakku saat ada temanku yang ingin bersandar. Ku ulur tanganku
bagitu melihat temanku terjatuh dan kurentangkan tangganku saat temanku rapuh
perlu sebuah pelukan. Mataku siap tetap terjaga saat temanku membutuhkan untuk
terlelap, mulutku siap memberikan senyum meski dalam keadaan terpahit sekalipun
dan kupingku siap mendengar olok-olok buruk bahkan untuk diriku sendiri.
Teman,
aku pikir memang seharusnya seperti itu kan agar aku dapat
tetap berteman. Mengorbankan banyak hal, mengalah banyak hal, merelakan banyak
hal. Untuk dapat memiliki teman. Agar kesepian bisa menjauh sejauh-jauhnya. Karena
memang seperti yang selalu aku ingat, kesepian jauh lebih sakit daripada rasa
sakit itu sendiri. Aku hanya tidak ingin kesepian, jadi biarlah aku korbankan
sedikit demi sedikit meski terkadang sakit. Aku hanya tidak ingin kesepian,
jadi biarlah aku yang terus mengalah. Entah sampai kapan.
Teman,
aku hanya tidak ingin kesepian. Itu saja.
Semarang, 3 Desember 2016
kamar kost-ku yang sepi
Gunungpati yang menggigil dalam pagi