Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, December 21, 2016

Sepasang Sendal Jepit

Hari ini sendal jepitku rusak. Sendal yang sudah berjasa menemaniku melangkah itu sudah tidak mampu mempertahankan tubuhnya sendiri. Sudahkah dia lelah dengan jalanan beraspal yang panas, dengan jalan berbatu dan becek. Mungkinkah dia sudah lelah dengan guyuran air kran saat aku berwudhu.

Meskipun hanya sendal jepit tapi itu sudah mampu membuatku sedih. Tanpa sendal jepit itu, bisa saja kakiku tertancap paku, beling, ataupun benda lainnya yang bisa membuat kaki berdarah. Benda yang hanya menjadi alas bagi kaki. Benda yang setiap kali aku melangkah berarti aku menginjaknya, namun ternyata begitu berjasa.

Sendal jepitku yang sama sekali tak mewah. Hanya sendal jepit berharga murah, dibeli dari penjual lapak kaki lima diseputaran alun-alun daerah. Sendal jepitku yang sudah begitu berjasa mengalasi kakiku dalam melangkah. Pastilah dia sudah lelah. Atau mungkin jengah.



Monday, December 19, 2016

Hujan Kita

Untuk Devid

Hujan
Sungguh
Meski beribu kali paksaanpun aku tak akan sanggup
Tak akan sanggup merangkai hujan dalam kata-kata
Meski hujan
Selalu mewujudkanmu dalam rinainya
Dalam setiap tetesnya
Dalam setiap rintiknya
Adalah sabda
Kebeningan rindu yang tak terjumlah banyaknya
Dan hujan
Aku sungguh tak mampu berkata-kata

Sragen, 15 Desember 2016
17:41 Waktu Indonesia Hujan



Dari Devid

Karena hujan tak akan diam
Hujan akan mengalirkan rasa rindu yang selalu aku rasakan
Aku titipkan pada setiap tetes hujan

Sukoharjo, 15 Desember 2016
17:46 Waktu Indonesia Masih Hujan




Tapi Kamu

Aku memperhatikanmu, tapi kamu?
Aku melihatmu, tapi kamu?
Aku merindukanmu, tapi kamu?
Aku menyayangimu, tapi kamu?
Aku mencintaimu, tapi kamu?

Entah...


Sragen, 19 Desember 2016


Monday, December 12, 2016

Kepik Emas

Ada seekor kepik emas, menempel pada daun, daun yang entah apa namanya berada di pinggir pematang sawah. Di tepi sebuah sungai kecil, atau boleh disebut dengan selokan tempat air yang mengaliri tiap petak sawah. Kepik emas kecil tak cuma satu dua, tapi banyak sekali jumlahnya. Dan menempel pada tiap daun-daun yang ada. Daun yang kian hari bolong-bolong. Mungkin kepik emas tersebut yang memakan daun itu hingga bolong dimana-mana. Begitu dari yang kuamati.

Aku tak begitu paham dengan kehidupan kepik emas yang terlihat hanya diam saja, padahal dibalik cangkang emasnya yang kaca tersebut terdapat sayap. Sayap yang tiap saat bisa membawanya terbang ketika merasa terancam. Kepik emas mungkin sejenis serangga. Serangga kecil diantara luasnya semesta. Tak banyak yang menghiraukan serangga kecil bersayap tersebut. Jika dibandingkan serangga yang lain, yang lebih besar lebih indah, seperti kupu-kupu dengan sayapnya yang menawan.

Kepik emas hanya binatang kecil entah apa gunanya bagi dunia yang begitu luas ini. Terik matahari yang menyengat perlahan bergerak ke barat dan kepik emas tetap diam di tempatnya. Pun ketika segerombolan anak-anak kampung yang bertanjang dada memburu mereka. Satu per satu ditangkapi. Habis sudah kepik-kepik emas hari itu. Puas anak-anak tersebut memperoleh banyak kepik dalam plastik beningnya masing-masing. Entah untuk apa kepik emas itu bagi mereka nanti.

Senjakala melembayung, biasnya mengantarkan capung-capung yang terbang melesat diatas selokan sawah. Satu kepik emas terjatuh dari tangan seorang anak. Mungkin terlewat oleh anak tersebut. Satu kepik emas yang tak mampu kembali terbang ke atas daun. Mungkin tubuhnya hancur digenggam terlampau kuat oleh sang anak kampung. Satu kepik kecil yang berwarna keemasan tersebut tak mampu melawan takdirnya untuk hidup barang sehari lagi melewati malam yang sebentar lagi datang. Satu kepik emas mati. Dalam diam aku hanya bertanya sendiri. Adakah artinya kematian satu kepik emas kecil diantara luasnya semesta raya ini? Lalu angin mendesau mengantarkan jawab pada sepi.




Mendung

Satu hari yang banyak orang menunggunya dalam setahun penuh. Bagiku telah berlalu begitu saja tanpa sisa. Seperti hari-hari yang lain, terlewati.
Mungkin bedanya, hanya dari macam-macam ucapan yang diberikan oleh orang lain untukku. Yang menguap bersama detik yang juga berlalu.
Menggelayut dalam selaput mendung.
Di langit.
Langit manapun.


12 Desember 2016
Sragen penuh mendung


Saturday, December 3, 2016

Kepada Teman

Kepada teman,
sebenarnya kurang mengalah seperti apa aku. Sejak dulu, sejak dari kecil, aku selalu mengalah, semuanya demi agar aku punya teman. Biarlah lelah aku tahan, tapi setidaknya temanku nyaman. Biarlah aku yang tidak berpunya tapi setidaknya temanku ada. Selalu itu yang aku utamakan. Tapi entah sampai sekarang rasanya memang aku terus yang bagaikan menggendong teman-temanku dengan pundak yang sudah begitu kesakitan, dengan kaki yang terus-terusan tersaruk sepanjang jalan. Aku mengalah.

Kepada teman,
aku melewati masa taman kanak-kanak dengan banyak ketakutan, dengan banyak rasa malu, dengan banyak rasa tidak percaya diri. Tapi aku terus saja berusaha menggandeng satu persatu tangan-tangan kecil dari tiap bangku yang juga kecil. Aku mencoba ingin memiliki setidaknya satu saja balasan dari gandengan tangan kecil tersebut. Iya memang ada, tapi kenapa sampai hati gandengan tersebut menyeretku pada rasa ketakutan yang lain, pada rasa rendah diri yang lain. Tak ada secuilpun cacatku tersebut yang terhapus, malah terasa semakin tergenapkan, bertambah-tambah. Tapi apa pernah aku lepas gandengan tersebut? Tidak pernah! Susah payah aku memilikinya, maka akan berusaha bagaimanapun aku pertahankan.

Kepada teman,
memasuki masa sekolah dasar, aku tetap anak yang sama. Anak yang ingin memiliki teman, banyak teman! Namun dari gandengan sepertinya perlahan berubah menjadi seretan. Entah aku sadari entah tidak tapi aku perlahan hanya menjadi pengikut. Apakah disitu aku masih dipanggil dengan sebutan teman oleh temanku? Entahlah, tapi yang jelas aku tetap menganggapnya teman. Segala hal aku lalukan agar dapat bersama dalam linggakaran pertemanan tersebut. Segala hal! Tapi sepertinya itu saja tidak cukup. Aku semakin tertinggal jauh oleh teman-temanku. Aku terlalu dibelakang untuk bisa mengejar. Karena aku memang tak pernah sejajar. Dari awal sekalipun, hanya aku sendiri yang mati-matian menjajari mereka, tapi kenyataan memang yang akhirnya menyadarkanku. Berdiri aku sendiri, memandangi yang tak pernah terlihat lagi. Memaku langkah, sempatkah diantara temanku yang akan menengokku?

Kepada teman,
aku sudah benar-benar lelah pada masa ini, masa putih biru. Biarlah masa yang kali ini aku habisan untuk sendiri, tanpa harus mati-matian mencari teman. Aku tidak lagi percaya bahwa teman bisa menghapus kesakitan dari rasa sepi. Aku menyerah saja, lebih baik diam. Namun, ternyata satu gapaian tangan yang malah meraih tanganku. Tangan itu, merentangkan setangkap pertemanan. Dia bilang akan manis jika dimakan berdua. Hari-hari, aku merasa seperti memiliki penyangga saat aku lelah dalam senja, aku seperti memiliki pendorong tiap pagi, aku seperti memiliki pengungkit kala siang terik menyusutkanku, dan aku seperti memiliki penggandeng dalam hari-hari itu. Apalagi yang aku kurangkan. Aku pun lakukan hal yang sama. Aku begitu bersyukur aku memiliki teman. Atau sudah seharusnya aku sebut sabahat, iya aku memiliki sahabat. Segala milikku adalah miliknya, tak ada tanda titik sekecil apapun aku sembunyikan darinya. Semua pintu serba terbuka untuknya. Bahkan pintu terlemahku pun terbuka hanya untuknya. Dia sahabatku, satu-satunya sahabatku sampai pada detik itu. Sampai pada satu titik dimana dia menggempurku habis dalam satu pukulan telak. Tanpa sempat dia lepaskan tanganku, rupanya seperti itu cara seorang yang telah kuanggap sebagai sahabat menghancurkan satu persahabatan. Aku kalah! Kalah oleh rasa perih yang yang tak terperi. Aku hanya mampu diam dalam jatuhku. Aku masih berusaha mencerna semuanya, memahami satu persatu yang ditimpakan padaku, sendiri. Hingga aku sadar seharusnya memang sejak awal aku pilih sendiri, tidak perlu teman, apalagi sahabat. Bukankah dari sekian banyak waktu memang sendiri. Lalu mengapa butuh teman. Maka begitulah, kuhabiskan masa putih biruku hanya dengan buku dan dunia khayalku sendiri. Teman? Silahkan kalian bisa anggap aku teman, tapi aku tidak.

Kepada teman,
entah haruskah aku memiliki pengharapan tentang teman diakhir masa sekolahku ini? Awal masa putih abu-abu rasanya cacatku kembali bertambah memenuhi mukaku. Adakah yang seperti ini aku akan memiliki teman? Tidak! Aku tidak akan lagi berharap-harap yang hanya akan semakin mencederai hatiku sendiri. Biarlah semua seperti biasanya, diam, sepi, sendiri. Namun memang perlahan kembali aku harus berpikir, begitu perlahan, sangat perlahan. Lambat! Hingga benar-benar tiba di masa terakhir sekolah. Semua teman bisa aku raih, semua! Entah aku sadari atau tidak, tapi ternyata begitu menyenangkan bisa memiliki teman sebanyak ini. Dan begitu bodohnya aku terlambat menyadari itu. Tapi tidak apa, akan aku pertahankan. Bukankah itu bagian dari yang sulit? Mempertahankan suatu hubungan! Apalagi hubungan pertemanan.

Kepada teman,
kita menempuh perjalanan masing-masing, kita memilih jalan kita sendiri-sendiri, dan melaluinya juga sendiri-sendiri. Hingga sapaankku dari jalan ini, satu persatu tak lagi kalian balas. Satu persatu, setiap pagi, tak pernah terlewat barang satupun sapaanku untuk kalian. Hingga aku malu, malu mengganggu kalian yang telah sebuk dengan rutinitas kalian sendiri. Mungkin masa ini, teman memang harus yang serutinitas dengan diri kita. Bukankah aku sudah pernah bisa memiliki teman yang banyak, lalu kenapa tidak aku coba kembali. Dan memang iya, teman tak terhitung aku miliki. Yang malam bisa satu kopi dalam gelas yeng sama, yang paginya bisa dalam satu kelas, yang siangnya bisa dalam satu perjalanan, yang setiap saat memenuhi segala jungkir balikku. Hingga kesepian terkadang bisa berubah menjadi benda asing yang tak kukenal sama sekali. Begitu beraneka segala pertemanan yang disuguhkan untukku. Dari berbagai sudut. Hingga terkadang aku begitu kuwalahan. Senang, sedih, susah, lelah, tertawa terbagi rata bersama. Pertemanan yang berupa-rupa. Tak lupa  aku bersyukur atas semua itu. Tiap harinya adalah hari yang selalu hidup. Selalu dengan berbagai lembar yang penuh rasa. Begitu menyenangkan.

Teman,
hal-hal yang menyenangkanpun juga mampu surut ternyata. Satu demi satu, meniti jalannya masing-masing. Hingga hari-hari kesepian kembali memunculkan dirinya, menjadi tak lagi asing untukku. Tinggal satu dua teman yang aku miliki. Dan tanpa aku sadari bodohnya aku dimasa anak-anak kembali pada aku saat ini. Saking takutnya kehilangan yang satu dua tersebut, aku selalu mengalah habis-habisan. Sakitnya rasa kesepian membuatku kapok untuk merasakannya lagi. Kusodorkan punggungku saat ada temanku yang perlu gendongan, kurelakan pundakku saat ada temanku yang ingin bersandar. Ku ulur tanganku bagitu melihat temanku terjatuh dan kurentangkan tangganku saat temanku rapuh perlu sebuah pelukan. Mataku siap tetap terjaga saat temanku membutuhkan untuk terlelap, mulutku siap memberikan senyum meski dalam keadaan terpahit sekalipun dan kupingku siap mendengar olok-olok buruk bahkan untuk diriku sendiri.

Teman,
aku pikir memang seharusnya seperti itu kan agar aku dapat tetap berteman. Mengorbankan banyak hal, mengalah banyak hal, merelakan banyak hal. Untuk dapat memiliki teman. Agar kesepian bisa menjauh sejauh-jauhnya. Karena memang seperti yang selalu aku ingat, kesepian jauh lebih sakit daripada rasa sakit itu sendiri. Aku hanya tidak ingin kesepian, jadi biarlah aku korbankan sedikit demi sedikit meski terkadang sakit. Aku hanya tidak ingin kesepian, jadi biarlah aku yang terus mengalah. Entah sampai kapan.

Teman,
aku hanya tidak ingin kesepian. Itu saja.



Semarang, 3 Desember 2016
kamar kost-ku yang sepi
Gunungpati yang menggigil dalam pagi