Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Sunday, December 14, 2014

Terasingkan Luka


Beberapa waktu lalu aku sempat menyapamu lagi dan perlahan kau garis bawahi kata sepi. Aku termangu sejenak, menatapmu dalam. Kucoba susuri jawaban dari balik manik matamu. Kau yang tetap sama, dengan mata nanar itu. Yang menyimpan sejuta sakit namun juga sebuah ambisi untuk bangkit.

Tak lama juga kulihat sebuah lambaian tangan yang tergesa. Kenapa? Sudahkah kau lelah? Mengemasi ribuan luka sendirian dalam diam? Tak kau jawab pertanyaanku. Hanya kristal bening yang jatuh dari matamu yang berkaca-kaca. Aku pun tak tahu harus bagaimana, melihatmu dalam keadaan seperti itu membuatku sadar, bahwa selama ini aku terlalu mengabaikanmu. Terasingkan oleh luka. Namun juga disadarkan olehnya ketika ternyata sudah begitu menganga.

Kau tetap diam, aku juga diam, kita sama-sama hanya saling pandang, saling menelusuri sakit yang sama-sama kita miliki. Tak henti air mata itu menetes, sekarang kau menjadi cengeng? Atau aku yang terlambat mengeja air matamu? Sungguh selama ini aku mengabaikanmu. Jika mampu sekarang juga aku peluk dirimu, tanpa ragu. Namun rupanya justru air matamu yang bagitu membuatku semakin termangu. Aku hanya mampu diam, bisu, beku, gagu, termangu. Katakanlah apa yang harus aku lakukan untukmu? Sedang kau hanya menangis seperti itu. Aku sungguh paham seberapa berat masalahmu, seberapa dalam goresan luka yang menyayat hatimu. Luka itu menganga! Aku tak kan melarangmu menangis, jika menangis membuatmu lega aku tak akan mengolokmu cengeng. Maka menangislah, tapi setelah itu jangan lupa untuk tersenyum. Kau lebih cocok jika tersenyum, sungguh!


Habiskan dulu air matamu, lalu setelah itu kembali melaju. Tangan ini jangan sampai lelah menghapus air mata itu, menghapus air matamu yang juga air mataku. Dengan senyum, kata ceria itu lebih cocok. Cermin! Kau yang ada di dalam cermin, tersenyumlah!



Wednesday, December 10, 2014

Genangan Terdalam

Butuh waktu untuk berdiri, setelah ribuan paku yang tersebar terinjak kakiku sendiri. Bahkan setelah berdiripun untuk berjalan masih begitu berat, karena genangan darah membanjiri hingga menenggelamkam wajahku. Aku gelagapan bernafas. Namun entah mengapa, bisa menyembunyikan wajahku dalam merah darah ini seakan malah membuatku terlindungi. Membuat mataku terpejam, walau dengan seperti ini tetap saja aku bisa merasakan air mataku yang menetes bercampur dengan merah darah.


Dalam pejam mataku, ternyata jauh lebih banyak hal yang dapat kulihat dari pada saat mataku terbuka. Wajah-wajah yang tersenyum bersahaja yang memelukku dengan kasih sayang berselang-seling dengan wajah-wajah yang tersenyum menyeringai mengejek mencemoohku. Aku menangis karena semua itu, segala hal yang menguatkan sekaligus melemahkan berjibaku dalam kepalaku. Menghadirkan perang. Yang sampai sekarang aku masih belum mampu menemukan pemenangnya. Aku merasa hanya waktu yang akan mampu menentukan siapa yang akan menang.




Semarang, 08 Desember 2014