Beberapa waktu lalu aku sempat menyapamu lagi dan perlahan kau
garis bawahi kata sepi. Aku termangu sejenak, menatapmu dalam. Kucoba susuri
jawaban dari balik manik matamu. Kau yang tetap sama, dengan mata nanar itu. Yang
menyimpan sejuta sakit namun juga sebuah ambisi untuk bangkit.
Tak lama juga kulihat sebuah lambaian tangan yang tergesa. Kenapa?
Sudahkah kau lelah? Mengemasi ribuan luka sendirian dalam diam? Tak kau jawab
pertanyaanku. Hanya kristal bening yang jatuh dari matamu yang berkaca-kaca.
Aku pun tak tahu harus bagaimana, melihatmu dalam keadaan seperti itu membuatku
sadar, bahwa selama ini aku terlalu mengabaikanmu. Terasingkan oleh luka. Namun juga disadarkan olehnya ketika ternyata sudah begitu menganga.
Kau tetap diam, aku juga diam, kita sama-sama hanya saling
pandang, saling menelusuri sakit yang sama-sama kita miliki. Tak henti air mata
itu menetes, sekarang kau menjadi cengeng? Atau aku yang terlambat mengeja air
matamu? Sungguh selama ini aku mengabaikanmu. Jika mampu sekarang juga aku
peluk dirimu, tanpa ragu. Namun rupanya justru air matamu yang bagitu membuatku
semakin termangu. Aku hanya mampu diam, bisu, beku, gagu, termangu. Katakanlah
apa yang harus aku lakukan untukmu? Sedang kau hanya menangis seperti itu. Aku
sungguh paham seberapa berat masalahmu, seberapa dalam goresan luka yang
menyayat hatimu. Luka itu menganga! Aku tak kan melarangmu menangis, jika
menangis membuatmu lega aku tak akan mengolokmu cengeng. Maka menangislah, tapi
setelah itu jangan lupa untuk tersenyum. Kau lebih cocok jika tersenyum,
sungguh!
Habiskan dulu air matamu, lalu setelah itu kembali melaju. Tangan
ini jangan sampai lelah menghapus air mata itu, menghapus air matamu yang juga
air mataku. Dengan senyum, kata ceria itu lebih cocok. Cermin! Kau yang ada di
dalam cermin, tersenyumlah!