Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Tuesday, October 15, 2013

[Bukan] Kamtis Dadakan

Masih teringat olehku “Nami Monolog Tak Terdengar, kowe kuwi apdet status opo ngunu? Hahhaa” reaksi teman-temanku setelah baca status facebookku yang bertuliskan lyric lagu Endank Soekamti yang Asu Tenanan, yah mungkin bagi mereka itu status yang cukup aneh dan layak untuk ditertawai. Mereka tidak tahu kalo itu sebenarnya lyric lagu. Kejadian itu sudah satu tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih kelas satu es-em-a dan sekarang setelah aku kelas dua es-em-a bukan secara tiba-tiba aku teringat akan kata-kata itu. Tapi dikarenakan suatu sebab, teman-temanku tersebut sekarang menjadi Kamtis!!! (apa ini sejenis mukjizat?)


Ini aku jaman masih es-em-a

Ku buka pendaftaran, ayo siapa ikutan
Bila tak kebagian, coba lain kesempatan
Ku buka pendaftaran, Audisi Percintaan
Bila kau jadi pilihan, langsung saja pelaminan

Lagu Audisi itu menggelorakan semangat dalam atmosphere kelasku saat jam istirahat pertama ini. Speaker dari Music Angel milik temanku itu ternyata berisi penuh lagu-lagu dari album Soekamti.Com yaitu album terbaru dari Endank Soekamti. Aku yang sedari bel istirahat tadi tidak beranjak dari tempat dudukku cukup menikmati setiap suntikan semangat dari lagu-lagu itu. Memang begitulah aku, menjadi penghuni kelas saat istirahat pertama semua demi penghematan uang saku, ditemani dengan segelintir teman yang sedang malas keluar. Biasanya ritual mendekam dikelas saat istirahat ku isi dengan ngerumpi atau sekedar ikut ngerampok teman yang membawa makanan dari rumah atau membaca novel atau menulis puisi atau apa saja yang bisa membunuh rasa bosanku, tapi kali ini hanya sekedar duduk sambil sesekali mengikuti bernyanyi J

Rasanya semakin semangat saja karena banyak temanku yang sekarang menjadi Kamtis. Aku sendiri suka lagu-lagu Endank Soekamti sudah sejak berbaju putih biru, teringat dulu pertama kali kudengarkan lagunya disalah satu station radio amatir. Jujur bukan dari lagunya yang menarik perhatianku waktu itu, tapi dari gaya penyiarnya yang begitu menarik dalam mempromosikan lagu tersebut. “Aku juga suka lagu yang slow melow tapi yang penting gak cengeng, dan lagu-lagu melodic punk itu selalu membuatku semangat” begitu kata mas penyiar radio itu kurang lebihnya, memang kalimat itu ditunjukan buatku saat ku sms dia, dan semakin dekat aku dengan penyiar itu semakin aku tahu banyak tentang Endank Soekamti, juga band-band yang ber-genre sejenis. Boleh dibilang penyiar tersebut yang mengenalkan aku pada Endank Soekamti dan apa yang disebut musik menghidupkan. Nah kan, cinta itu gak selalu harus dari mata turun ke hati, dalam kasusku ini, cinta itu dari telinga turun ke hati. (ciyeee)


Hasil karyaku sendiri

Tapi meskipun begitu aku sampai sekarang masih belum berani menyebut diriku Kamtis. Hal tersebut karena aku jarang nonton konser mereka, Kaos Kamtis juga tidak punya waktu itu, paling banter cuma punya lagu-lagu mereka dalam mp3 hape. Hanya sebatas itu, sedangkan teman-temanku yang dulunya kutahu sama sekali tidak tahu apa itu Endank Soekamti dan sekarang menjadi kamtis, dalam sebulan saja lemari baju telah dipenuhi Kaos Kamtis, bikin grub Kamtis dan merapat sampai keluar kota mereka sambangi. Meskipun mereka mendadak Kamtis tapi aku pikir mereka lebih fanatik daripada aku. Banyak hal yang mendukung mereka salah satu hal yang paling mendasar dan hal tersebut tidak ku punya, yaitu mereka laki-laki!!! (hikz terus apa fungsinya perjuangan Ibu Kita Kartini). Mereka punya kebebasan itu, untuk bisa pergi kemana saja dimana Konser Endank Soekamti digelar.

Jadi teringat konser pertama Endank Soekamti yang kulihat, saat itu di kotaku sendiri Sragen. Susah sekali mendapat ijin keluar malam, tapi beruntungnya aku punya bapak yang pengertian. Sore itu kupijiti kaki bapakku lalu aku bilang “Pak, ayo tak ajak nonton Endank Soekamti” sambil pasang tampang semanis mungkin. (ehh jangan pada muntah loh). Memang begitu triknya dan setelah rapat PBA alias Perundingan Bapak-Anak yang begitu menguras tenaga dan pikiran akhirnya diputuskan bahwa permintaanku dikabulkan. (hehe saatnya bilang Alhamdulillah).

Pergi nonton konser ditemani bapak? Tak jadi masalah yang penting bisa nonton Grub Band Pujaan yang dari dulu begitu di impikan bisa nonton secara langsung. Setelah tiba di TKP, aku memisahkan diri dari bapakku, bukan bermaksud durhaka tapi sekedar menyelamatkan mukaku dari teman-temanku yang sebelumnya sudah janjian untuk bertemu disana. (M.A.A.F ya pak, hehe). Saat itu suasana alam begitu mendukung, langit cerah bulan bulat bersinar tepat diatas kepala dan bintang-bintang begitu ramai bertaburan. (Subanallah banget dech). Sambil melihat langit dalam hati aku berkata ‘Kita sedang melihat langit yang sama sekarang dan ku yakin ditempat yang sama juga, sayang kita tak mampu saling sapa’ kalimat tersebut aku tunjukan pada mas penyiar yang dari dia lah aku mengenal Endank Soekamti. (aku berhutang terima kasih pada kamu mas penyiar)

Bisa berpogo, bernyanyi, gembira bersama Kamtis Family itu sangat istimebret buatku, sungguh tidak bisa terlupakan. Disana pun aku tak sengaja bertemu teman-teman sekolahku yang sebelumnya aku ceritakan tak tahu menahu Endank Soekamti itu sejenis makanan apa, tapi setelah itu menjadi kamtis yang fanatik. Mereka hanya berdiri melihat sambil melipat tangan didada gak bergerak sedikitpun. (sebut saja mematung) -____- Bagiku mereka yang aneh, bukan status facebookku (see!). Disuguhi tontonan sebegitu menariknya tapi tak juga bergeming dari kepatungan mereka. Bahkan ikut menyanyi pun tidak, aku sebagai orang yang selalu dibuat semangat oleh lagu-lagu Endank Soekamti cukup shock dibuatnya. Terus apa gunanya mereka lintas provinsi demi nonton konser Endank Soekamti? Oke baiklah itu hak kalian bagaimana menikmati konser. (see!)

Hingga aku ditemukan lagi oleh bapakku dalam kerumunan teman-temanku dan bapak pun mengajak pulang. Dengan mengeryitkan dahi karena mungkin juga shock melihat anak gadisnya ikut berpogo “Wis bengi iki ayo mulih” aku pun pasrah saja digandeng bapak pulang. Meninggalkan konser yang belum usai, tapi tak apalah harus sadar waktu karena memang besok aku harus sekolah. Dengan memboncengkan aku, bapak pun tancap gas pulang kerumah. Tiba dirumah bapak hanya bilang “Tiwas gelem mbok ajak, tak pikir Endank Soekamti kuwi penyanyi dangdut.” (oh jadi itu alasannya) -_____-

Masa sekolah memang begitu menyenangkan, saat kelas dua jumlah kamtis dalam kelasku mengalami peningkatan. Pertama memang dari temanku yang aku ceritakan diatas, karena dia anaknya memang lumayan berpengaruh jadi banyak yang mengikuti jejaknya menjadi Kamtis. Aku pun setelah sekian tahun suka lagu-lagu Endank Soekamti kini mulai berani menyebut diriku Kamtis. Ikut gethering, merapat nonton konser, bikin kaos kamtis bareng. Segala hal seolah selalu berkiblat pada Endank Soekamti, buku pelajaran yang digambari tulisan Endank Soekamti, bahkan tulisan desain kaos olahraga untuk kelas saja juga menggunakan font Endank Soekamti. Sampai-sampai saat itu dalam kelas musik-pun kami accoustik-kan membawakan lagu Endank Soekamti di depan kelas. Nyanyi bareng teman-teman dan dinilai oleh guru, menjadi bagian dari kenangan indah masa putih abu-abu. (hikz jadi kangen)

Kaos Olahraga kelas

Kini setelah menanggalkan seragam putih abu-abu dan memulai dengan almamater kuning disebuah Perguruan Tinggi Negeri di Semarang, kekamtisanku-pun semakin tidak diragukan lagi. Tak lagi memahami patokan jauh dekat dalam merapat, saat waktu mempersilahkan maka kesitulah aku akan pergi. Bahkan setelah perjalan berhari-hari keluar kota yang menguras tenaga tanpa pikir panjang pun aku tetap sempatkan untuk tancap gas merapat, karena semboyanku sendiri ‘mending kesel ketimbang nyesel’. (gak ada kata finish untuk ngamtis)


Ini pas Ngamtis di Kota Kudus

Ini pas Ngamtis di Purwokerto

Ini pas Ngamtis di Semarang

Ini di kotaku sendiri Sragen

Yang ini Ngamtis dengan wajah dekil abis dari Kebumen langsung Ngamtis di UNDIP

Ini pas di Maguwoharjo, Jogja

Merapat ditemani sahabat-sahabatku kuliah yang sebenarnya bukan Kamtis tapi begitu senangnya menemani aku nonton konser, mungkin itulah yang disebut Angka 8. Bahkan mereka diam-diam juga hafal seluruh lagu di Album Angka 8, benar-benar membuatku terbengong-bengong. Kadang juga merapat bersama kakak tingkat yang Kamtis. Pernah juga kuajak pacarku merapat meskipun dia seorang Rezpector, dan dari situlah kupahami lagu Mix Couple. Tiap kali merapat pasti selalu mendapat kenalan Kamtis Family dari berbagai kota, Kamtis memang selalu ramah dan terbuka. (aku tidak bangga menjadi kamtis, tapi aku bersyukur menjadi kamtis)

Terlepas dari kamu Kamtis dadakan yang malamnya nonton konser tapi hanya diam saja dan paginya memakai Kaos Kamtis ataupun seorang Kamtis yang sudah bertahun-tahun menjadi Kamtis tanpa atribut. Kamtis adalah diaklektika jiwa. Bagiku sendiri menjadi kamtis adalah serangkaian proses perjalanan hidup yang sangat kunikmati tiap anak tangganya. Only God Can Stop Kamtis J


Semarang, 4 September 2013

No comments:

Post a Comment