Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Monday, November 23, 2015

Hidup Diantara Langit


Hidup diantara langit, dengan segala kemewahan. Sedangkan aku dengan pakaian oblong dan lumpur tanah yang menempel di sendal jepitku hanya bisa tersenyum. Mereka juga tersenyum menyapaku tulus sekali, aku bersyukur. Sungguh aku bersyukur atas senyum seramah itu walaupun mereka terlihat memakai jubah-jubah emas dan sepatu tinggi yang jika aku harus melihat wajah rupawan mereka aku harus mendongak.

Mereka putih, dan benar saja tebakanku, mereka bermandikan berliter-liter botol susu. Aku tersenyum lagi memandangnya. Lalu air hujan mengguyur, mereka berteduh dalam rumah beratap bintang-bintang keemasan yang tersusun membentuk lembayung indah sekali. Aku tetap berdiri di tempatku, kubiarkan air hujan membasahi tubuhku. Mereka heran memandangku sambil lekuk sabit manis tersusun di bibir mereka, mereka mengajakku ikut berteduh. Karena ini rumah kami bersama, aku juga tahu itu. Tapi mereka tidak tahu, bahwa dengan air hujan inilah caraku mandi. Lalu senyum manis itu berubah masam, mereka bukan lagi heran tapi mulai menganggapku aneh. Aku hanya tersenyum kecut, malu bercampur tidak enak hati. Tapi memang beginilah caraku mandi.

Setelah hujan, angin mengantarkan dingin yang gigil. Dalam rumah bintang-bintang itu, mereka menyalakan perapian. Lalu satu per satu menyumbangkan kayu bakar agar perapian itu tetap menyela. Aku juga harus menyumbang kayu bakar, mereka bilang ini demi kehangatan bersama. Aku mulai bingung, aku tidak memiliki kayu bakar. Mereka tersenyum memaklumi, tapi hati kecilku tersenyum mencibir itu tidak adil. Nuraniku mulai menceramahi, aku tidak ingin kalau sebentar lagi gantian pikiranku yang mencibir diriku sendiri. Jadi kuputuskan untuk mencabut salah satu tulang ditubuhku untuk perapian itu. Mereka hanya tersenyum kasihan dan bilang demi kehangatan bersama. Tapi aku bilang, ini demi kebersamaan yang hangat. Kami tersenyum bersama-sama.

Awan-awan putih membentuk jalan diantara toko-toko yang bercahaya. Sambil bercanda-tawa mereka memasuki tiap toko itu, lalu keluar dengan membawa kantung-kantung yang berisi berbagai jenis belanjaan. Aku yang tetap berjalan di belakang mereka pasti hanya akan berhenti di depan toko menunggui mereka keluar dari toko, berjalan sebentar lalu memasuki toko lain, begitu seterusnya dan aku tetap setia pada batasku yang hanya pada depan toko saja. Menunggui mereka. Bisa berjalan diatas jalan awan-awan putih saja sudah menjadi senyum tersendiri untukku meskipun kulalui hanya dengan sendal jepitku yang disudut-sudutnya berwarna coklat.

Setelah sampai kembali di rumah bintang-bintang, kami mengitari sebuah meja makan nan besar. Diatasnya berisi berbagai macam hidangan yang begitu kumplit. Sebelum makan mereka mengisi sebuah nampan dengan koin-koin emas. Tiba pada giliranku, nampan yang setengah penuh tersebut hanya mampu aku pandangi, lalu dengan tersenyum kucabut lagi tulangku untuk mengisinya. Kemudian kami menikmati berbagai macam hidangan tersebut bersama-sama.

Begitu setiap harinya, hingga kupandangi tulang di tubuhku hilang satu per satu. Aku mulai bingung, kuhitungi hari kapan aku akan dipulangkan kembali ke tempatku. Pada jalanan yang terik terpanggang matahari hingga hitam legam, pada nasi yang tergelar di selembar kertas namun dapat kumakan dengan nikmat tanpa harus mencabuti tulangku. Juga pada rangkulan tangan-tangan yang berwarna-warni mengajakku melonjak tanpa takut apapun. Tak perlu harus memikirkan berbagai ketinggian yang tak mampu kugapai. Disini. Aku sadar ada batasan yang tidak mungkin aku mampu lewati sekalipun aku hidup bersama mereka. Aku tetap saja tanah.




2 comments: