Hidup diantara langit, dengan
segala kemewahan. Sedangkan aku dengan pakaian oblong dan lumpur tanah yang
menempel di sendal jepitku hanya bisa tersenyum. Mereka juga tersenyum
menyapaku tulus sekali, aku bersyukur. Sungguh aku bersyukur atas senyum
seramah itu walaupun mereka terlihat memakai jubah-jubah emas dan sepatu tinggi
yang jika aku harus melihat wajah rupawan mereka aku harus mendongak.
Mereka putih, dan benar saja
tebakanku, mereka bermandikan berliter-liter botol susu. Aku tersenyum lagi
memandangnya. Lalu air hujan mengguyur, mereka berteduh dalam rumah beratap
bintang-bintang keemasan yang tersusun membentuk lembayung indah sekali. Aku tetap
berdiri di tempatku, kubiarkan air hujan membasahi tubuhku. Mereka heran
memandangku sambil lekuk sabit manis tersusun di bibir mereka, mereka
mengajakku ikut berteduh. Karena ini rumah kami bersama, aku juga tahu itu. Tapi
mereka tidak tahu, bahwa dengan air hujan inilah caraku mandi. Lalu senyum
manis itu berubah masam, mereka bukan lagi heran tapi mulai menganggapku aneh.
Aku hanya tersenyum kecut, malu bercampur tidak enak hati. Tapi memang
beginilah caraku mandi.
Setelah hujan, angin mengantarkan
dingin yang gigil. Dalam rumah bintang-bintang itu, mereka menyalakan perapian.
Lalu satu per satu menyumbangkan kayu bakar agar perapian itu tetap menyela. Aku
juga harus menyumbang kayu bakar, mereka bilang ini demi kehangatan bersama. Aku
mulai bingung, aku tidak memiliki kayu bakar. Mereka tersenyum memaklumi, tapi
hati kecilku tersenyum mencibir itu tidak adil. Nuraniku mulai menceramahi, aku
tidak ingin kalau sebentar lagi gantian pikiranku yang mencibir diriku sendiri.
Jadi kuputuskan untuk mencabut salah satu tulang ditubuhku untuk perapian itu. Mereka
hanya tersenyum kasihan dan bilang demi kehangatan bersama. Tapi aku bilang,
ini demi kebersamaan yang hangat. Kami tersenyum bersama-sama.
Awan-awan putih membentuk jalan
diantara toko-toko yang bercahaya. Sambil bercanda-tawa mereka memasuki tiap
toko itu, lalu keluar dengan membawa kantung-kantung yang berisi berbagai jenis
belanjaan. Aku yang tetap berjalan di belakang mereka pasti hanya akan berhenti
di depan toko menunggui mereka keluar dari toko, berjalan sebentar lalu
memasuki toko lain, begitu seterusnya dan aku tetap setia pada batasku yang
hanya pada depan toko saja. Menunggui mereka. Bisa berjalan diatas jalan
awan-awan putih saja sudah menjadi senyum tersendiri untukku meskipun kulalui
hanya dengan sendal jepitku yang disudut-sudutnya berwarna coklat.
Setelah sampai kembali di rumah
bintang-bintang, kami mengitari sebuah meja makan nan besar. Diatasnya berisi
berbagai macam hidangan yang begitu kumplit. Sebelum makan mereka mengisi sebuah
nampan dengan koin-koin emas. Tiba pada giliranku, nampan yang setengah penuh tersebut
hanya mampu aku pandangi, lalu dengan tersenyum kucabut lagi tulangku untuk
mengisinya. Kemudian kami menikmati berbagai macam hidangan tersebut
bersama-sama.
Begitu setiap harinya, hingga
kupandangi tulang di tubuhku hilang satu per satu. Aku mulai bingung, kuhitungi
hari kapan aku akan dipulangkan kembali ke tempatku. Pada jalanan yang terik
terpanggang matahari hingga hitam legam, pada nasi yang tergelar di selembar
kertas namun dapat kumakan dengan nikmat tanpa harus mencabuti tulangku. Juga pada
rangkulan tangan-tangan yang berwarna-warni mengajakku melonjak tanpa takut
apapun. Tak perlu harus memikirkan berbagai ketinggian yang tak mampu kugapai. Disini.
Aku sadar ada batasan yang tidak mungkin aku mampu lewati sekalipun aku hidup
bersama mereka. Aku tetap saja tanah.
yang sabar semua pasti ada jalan, lalui dengan perlahan, toh itu cuma sementara
ReplyDeleteIya makasih
ReplyDelete