Tidur hanya
satu jam dalam dua hari berturut-turut membuatku semopoyongan saat harus ke
kamar mandi. Setelah mematikan dering telepon dari orang yang telah kuamanati
untuk membangunkanku tepat sebelum Pukul Tujuh dilewati jarum pendek, kurelakan
tubuhku berjalan hanya dengan hafalan langkah, karena mata belum sepenuhnya
mengeja cahaya. Gelap!
Tidur lepas
subuh dan terpaksa bangun sejam kemudian membuat tubuhku serasa remuk redam.
Air kran yang mengguyur tubuh seolah berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk
tiap menyentuh tubuh. Terlebih demam yang sukses membuatku semalaman tidak
dapat memejamkan mata ternyata masih belum juga selesai menyiksa tubuhku.
Kening yang harus akrab ditiduri sleyer Captain Jack-ku sebagai pengganti kain
kompres ternyata setelah kusentuh masih panas bahkan lebih panas dari semalam.
Tapi kupaksa juga tubuhku menerima air pegununggan Gunungpati yang telah kutinggali
selama 3 tahun ini. Dingin!
Kuselesaikan
ritual mandiku tidak lebih dari 5 menit dan kupasang seluruh penutup tubuhku
juga tidak lebih dari 5 menit. Entahlah sebenarnya aku tidak benar-benar
menghitung berapa menit aku merampungkan kewajibanku sebagai manusia tersebut,
yang jelas semua kulakukan dalam waktu singkat. Agar aku tidak telat dalam
ujian.
Kulihat jam
di layar HP-ku, bahkan sudah Pukul Tujuh lebih, tapi ujian susulan yang akan
kulakukan ini memang tidak memiliki waktu tertulis, hanya disuruh datang pagi
oleh Pak Dekan. Ujian ini seharusnya dilakukan berdua dengan temanku. Tapi pada
akhirnya harus kulakukan sendiri hanya karena temanku masih di kampung
halamannya. Dengan alasan tidak punya duit untuk ke Semarang lagi dia merelakan
nilainya harus ditahan dulu. Terserah, itu pilihan dia. Meskipun jujur aku
bagitu kecewa, ujian ini seharusnya dilakukan kemarin tapi demi sebuah
kepercayaan bahwa dia adalah temanku maka aku memilih menemani dia ujian hari
ini. Tapi kenyataan bahwa dia tidak bisa ikut ujian yang dia kirim lewat bbm
begitu membuatku ciut. Takut!
Kampus sepi nihil mahasiswa, yang terlihat hanya
pekerja kebersihan lengkap dengan alat pel ditangannya. Sepi bukan karena masih
pagi, tapi kerena memang sudah tidak ada perkuliahan. Dan kupastikan mahasiswa
yang biasanya berseliweran di kampus ini telah sebagian besar pulang ke kampung
halamannya. Berkumpul dengan keluarga,
sahur, puasa dan buka bersama lalu merayakan lebaran yang sudah tinggal
menghitung hari. Karena itu kampus hanya diramaikan oleh daun-daun kering,
bertumpuk, terabai dan terbang terbawa angin. Sedang mahasiswanya sudah pergi. Mudik!
Melangkah ke
gedung fakultas tiga lantai membuat keringat dingin menitik, padahal pagi masih
relatif dingin. Pertanda demamku masih setia ditempatnya, tak minggat
sedikitpun dari tubuhku. Aku hanya berharap aku tidak ambuk saat di kampus,
pasti akan sangat merepotkan orang lain. Selain itu juga cukup memalukan.
Kembali harus
ada prosesi tanya jawab dengan Satpam Fakultas, meskipun aku sedikit kehilangan
hormat pada mereka yang memakai seragam putih hitam yang berdiri di depanku
ini. Tapi memang ketentuaannya harus seperti itu, terlebih yang akan kutemui
adalah orang terperting se-Fakultas Ilmu Sosial jadi memang harus ada keperluan
yang jelas. Jadilah acara introgasi singkat dengan Pak Satpam harus dilakukan
meskipun aku begitu antipati. Karena kalau tidak gara-gara Pak Satpam yang
tidak amanah ini aku pasti tidak akan sepagi ini harus ke Fakultas untuk ujian.
Kalau saja tugas yang kutitipkan pada Pak Satpam tidak hilang jelas aku tidak
harus melakukan ujian. Sedih!
Tapi aku juga
tidak ingin menyalahkan siapapun. Bahkan memang prosedurnya bagitu. Jika dosen
sibuk atau tidak ada di tempat. Saat menyerahkan tugas pada petinggi kampus harus
melewati Satpam sebagai perantara. Agar tugas tersebut dapat mendarat di meja
dosen yang bersangkutan. Meskipun untuk kasus tugasku itu harus raib entah
kemana. Sungguh aku tidak menyalahkan siapapun, mungkin sudah takdirku harus kerja
dua kali. Dan ini menjadi pelajaran yang penting untukku dan siapapun kalian
yang membaca tulisanku. Pastikan semua berada ditempatnya sebelum kalian
bernafas lega.
Berada di
ruangan dengan AC yang menggigit, menghadapi dua lembar kertas yang harus kuisi
ditemani oleh Dekan sekaligus Dosen dan tanpa bisa membuka catatan apapun
membuatku semakin ciut. Kepala seakan kosong seperti rongsokan kaleng yang
dikocok isinya tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Kupanggili seluruh
ingatan yang pernah ada selama perkuliahan tapi hasilnya tetap tidak ada.
Nihil!
Lima soal
yang harus kujawab seolah menjadi komedi
putar anak-anak yang kunaiki dengan muka malu tapi mau tidak mau harus tetap
kunaiki. Dan rasanya semakin lama putarannya semakin cepat lepas kendali. Apa
aku akan terlempar berdebam di tanah lalu mati. Yang jelas satu nomor aku kosongi.
Dan yang lain kukarang sendiri. Semua
seakan mengintimidasiku bahkan kedua HP yang kukantongi di kanan dan kiri
celana jeansku benar-benar mengganggu dengan getarnya. Deretan nomer
berkedip-kedip tertera di layarnya. Kutekan tombol tolak. Rejet!
Selesai
mencoret-coret kertas dengan jawaban yang sama sekali tidak memuaskan, aku
kembali melewati jejeran gedung-gedung kampus yang sepi. Gontai dengan perasaan
carut marut. Perasaan gagal dan malu yang menyergapku. Sepanjang jalan menuju
kost berat rasanya kaki untuk dilangkahkan. Air mata yang kutahan-tahan jatuh
juga akhirnya. Padahal aku sedang puasa. Entah!
Setelah
sampai kost, aku mencoba berdamai dengan pikiranku sendiri. Namun ternyata juga
gagal. Air mata tanpa isak tetap mengalir. Inikah puncaknya? Aku hanya mampu
memeluk kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku. Berharap semua sakit yang dua
hari ini menghimpitku segera pergi. Berharap semua kecewa dan takut yang akut
dalam dadaku luruh bersama air mata yang jatuh. Berharap semua yang menyiksaku
terbang hilang. Berharap.... ah doakan sajalah!
Seharusnya
aku memang bisa melawannya sendiri. Kesedihan semacam ini sudah biasa aku
rasakan. Aku cukup yakin aku akan bisa menetralkan perasaanku sendiri. Dalam
waktu singkat! Karena memang ini adalah puncaknya! Setelah semalaman aku hanya
mengeluh kesakitan sendiri. Merintih pada sepi karena panas di kepala yang tak
juga mau pergi.
Padahal dua
macam obat sudah kutelan, bahkan cara tradisional dengan mengompres kening juga
sudah aku lakukan. Semalaman! Tapi ternyata panas di kepala namun dingin di
sekujur tubuh tidak juga hilang. Tangan beku. Telapak kaki mati rasa. Hembusan
nafas begitu panas mungkin juga sebenarnya aku bisa mengeluarkan api seperti
naga dari hidungku. Kelopak mata pun ikut panas, kalau aku berkaca mungkinkah
bola mataku berwarna merah? Kalut! Kacau! Yang terlihat adalah kasur seolah berubah
warna menjadi permadani putih yang dinginnya menggigil tiada ampun. Terpikir
olehku bahwa mungkin malam tadi adalah akhirku. Apa aku akan mati? Jika aku
mati mungkin aku akan reinkarnasi duluan sebelum tubuhku ditemukan. Karena
memang tidak ada satupun manusia yang peduli. Padahal aku sendiri tidak percaya
pada konsep atau teori reinkarnasi. Namun pikiran sudah terlanjur
berhalusinasi. Hilang akal.
Saking
takutnya kalau aku tidak akan dapat bangun lagi, mata kujaga untuk tetap terjaga dalam sadar.
Tapi sepertinya pikiranku yang sudah tidak sadar. Banyak hal menyakitkan yang
bergantian terpikirkan. Semua hal yang negatif menyerbu pikiran. Banyak yang
mengaku peduli, banyak yang mengaku sayang bahkan bilang cinta, tapi tak
berbanding lurus dengan kenyataan. Karena memang kenyataannya aku harus
menghadapi semua sendirian. Tak ada yang benar-benar ada untukku.
Di bbm, di
fesbuk, dalam sms, kuteriakan kata sakit namun tak satupun yang mendengar. Atau
tiba-tiba semua jadi tuli, atau sengaja menutup telingannya. Berkali-kali aku
mengemis perhatian bahkan untuk secuil doa yang dapat aku amini saja tidak ada.
Semua menjelma menjadi makhluk asing yang memalingkan mukanya dariku. Berjalan
bergegas menjauhiku. Sedang aku hanya meringkuk memeluk lutut dan merasakan
perih dalam ulu hati yang mulai mengakrapiku. Menyesakkan!
Aku menyerah
menjadi pengemis, percuma! Mereka diam. Aku bisa apa? Ini tubuhku,
kupertahankan semua sendiri. Kuperjuangkan kesembuhannya sendiri. Aku yang
merasakan sendiri. Mungkin aku memang tak ada arti sama sekali. Namun ini
tubuhku, aku yang merasakan sakitnya. Aku yang membutuhkan kesembuhannya. Aku
harus berusaha sembuh.
Malam
berganti dan pagi masih juga terasa mati. Mengingat semuanya yang menyergap
diri dengan sakit yang tak terperi. Semua kekecewaan bercampur hati yang hancur
dua hari ini harus bisa aku lalui. Aku tidak ingin kalah, tidak pada rasa
sakit, tidak juga pada rasa kecewa. Semua akan berlalu, setelah puncak tangis
ini. Aku masih percaya pada apa yang aku yakini. Aku masih genggam apa yang
harusnya selalu aku pegang. Dan sehancur apapun aku, aku tetap memiliki inti
yang kuat. Karena jatuh dan kecewa adalah saat terkuatku.
Mungkin itu sebuah proses hidup mu untuk bisa memeluk suksesmu dan melepaskan harapan mu dik, semangat terus.
ReplyDeleteKm cew mandiri yg pernah q kenal, km cew yg tegar yg pernah q temukan. Jgn takut sendiri, karna kamu bisa melakukan sendiri. Karna dari krmandirian mu kamu akan memetik sebuah hasil yang sangat cantik :-)
Makasih mas udah mw baca tulisanku 😄 menurutmu trlalu hiperbola gk sih ini? Setelah aq bca ulang kog kayanya bnyk yg penyerupaannya mnyedihkan bgt yah 😂 huhu alay bener aq. Banyak jg yg protes kalo tulisanku kbnykan sedihnya. Sisi lainku banget. Kpn2 bikin cerita konyol ah atw yg komedi. Biar gk muram mulu
ReplyDeleteYaa memang, dari awal kenal, lalu jadian, lalu putus, lalu jd teman lg kan kamu selallu sedih heeee {}
DeleteHidup tak melulu tentang kebahagiyaan 😂
ReplyDeleteTapi tidak juga tentang kesedihan bukan 😊
ReplyDeleteIya qm bnr mas. Makasih ya
ReplyDelete