Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, July 10, 2015

Pelukan Demam

Tidur hanya satu jam dalam dua hari berturut-turut membuatku semopoyongan saat harus ke kamar mandi. Setelah mematikan dering telepon dari orang yang telah kuamanati untuk membangunkanku tepat sebelum Pukul Tujuh dilewati jarum pendek, kurelakan tubuhku berjalan hanya dengan hafalan langkah, karena mata belum sepenuhnya mengeja cahaya. Gelap!

Tidur lepas subuh dan terpaksa bangun sejam kemudian membuat tubuhku serasa remuk redam. Air kran yang mengguyur tubuh seolah berubah menjadi ribuan jarum yang menusuk tiap menyentuh tubuh. Terlebih demam yang sukses membuatku semalaman tidak dapat memejamkan mata ternyata masih belum juga selesai menyiksa tubuhku. Kening yang harus akrab ditiduri sleyer Captain Jack-ku sebagai pengganti kain kompres ternyata setelah kusentuh masih panas bahkan lebih panas dari semalam. Tapi kupaksa juga tubuhku menerima air pegununggan Gunungpati yang telah kutinggali selama 3 tahun ini. Dingin!

Kuselesaikan ritual mandiku tidak lebih dari 5 menit dan kupasang seluruh penutup tubuhku juga tidak lebih dari 5 menit. Entahlah sebenarnya aku tidak benar-benar menghitung berapa menit aku merampungkan kewajibanku sebagai manusia tersebut, yang jelas semua kulakukan dalam waktu singkat. Agar aku tidak telat dalam ujian.

Kulihat jam di layar HP-ku, bahkan sudah Pukul Tujuh lebih, tapi ujian susulan yang akan kulakukan ini memang tidak memiliki waktu tertulis, hanya disuruh datang pagi oleh Pak Dekan. Ujian ini seharusnya dilakukan berdua dengan temanku. Tapi pada akhirnya harus kulakukan sendiri hanya karena temanku masih di kampung halamannya. Dengan alasan tidak punya duit untuk ke Semarang lagi dia merelakan nilainya harus ditahan dulu. Terserah, itu pilihan dia. Meskipun jujur aku bagitu kecewa, ujian ini seharusnya dilakukan kemarin tapi demi sebuah kepercayaan bahwa dia adalah temanku maka aku memilih menemani dia ujian hari ini. Tapi kenyataan bahwa dia tidak bisa ikut ujian yang dia kirim lewat bbm begitu membuatku ciut. Takut!


Kampus  sepi nihil mahasiswa, yang terlihat hanya pekerja kebersihan lengkap dengan alat pel ditangannya. Sepi bukan karena masih pagi, tapi kerena memang sudah tidak ada perkuliahan. Dan kupastikan mahasiswa yang biasanya berseliweran di kampus ini telah sebagian besar pulang ke kampung  halamannya. Berkumpul dengan keluarga, sahur, puasa dan buka bersama lalu merayakan lebaran yang sudah tinggal menghitung hari. Karena itu kampus hanya diramaikan oleh daun-daun kering, bertumpuk, terabai dan terbang terbawa angin. Sedang mahasiswanya sudah pergi. Mudik!

Melangkah ke gedung fakultas tiga lantai membuat keringat dingin menitik, padahal pagi masih relatif dingin. Pertanda demamku masih setia ditempatnya, tak minggat sedikitpun dari tubuhku. Aku hanya berharap aku tidak ambuk saat di kampus, pasti akan sangat merepotkan orang lain. Selain itu juga cukup memalukan.

Kembali harus ada prosesi tanya jawab dengan Satpam Fakultas, meskipun aku sedikit kehilangan hormat pada mereka yang memakai seragam putih hitam yang berdiri di depanku ini. Tapi memang ketentuaannya harus seperti itu, terlebih yang akan kutemui adalah orang terperting se-Fakultas Ilmu Sosial jadi memang harus ada keperluan yang jelas. Jadilah acara introgasi singkat dengan Pak Satpam harus dilakukan meskipun aku begitu antipati. Karena kalau tidak gara-gara Pak Satpam yang tidak amanah ini aku pasti tidak akan sepagi ini harus ke Fakultas untuk ujian. Kalau saja tugas yang kutitipkan pada Pak Satpam tidak hilang jelas aku tidak harus melakukan ujian. Sedih!

Tapi aku juga tidak ingin menyalahkan siapapun. Bahkan memang prosedurnya bagitu. Jika dosen sibuk atau tidak ada di tempat. Saat menyerahkan tugas pada petinggi kampus harus melewati Satpam sebagai perantara. Agar tugas tersebut dapat mendarat di meja dosen yang bersangkutan. Meskipun untuk kasus tugasku itu harus raib entah kemana. Sungguh aku tidak menyalahkan siapapun, mungkin sudah takdirku harus kerja dua kali. Dan ini menjadi pelajaran yang penting untukku dan siapapun kalian yang membaca tulisanku. Pastikan semua berada ditempatnya sebelum kalian bernafas lega.

Berada di ruangan dengan AC yang menggigit, menghadapi dua lembar kertas yang harus kuisi ditemani oleh Dekan sekaligus Dosen dan tanpa bisa membuka catatan apapun membuatku semakin ciut. Kepala seakan kosong seperti rongsokan kaleng yang dikocok isinya tapi tak mengeluarkan suara sedikitpun. Kupanggili seluruh ingatan yang pernah ada selama perkuliahan tapi hasilnya tetap tidak ada. Nihil!


Lima soal yang  harus kujawab seolah menjadi komedi putar anak-anak yang kunaiki dengan muka malu tapi mau tidak mau harus tetap kunaiki. Dan rasanya semakin lama putarannya semakin cepat lepas kendali. Apa aku akan terlempar berdebam di tanah lalu mati. Yang jelas satu nomor aku kosongi. Dan yang lain kukarang  sendiri. Semua seakan mengintimidasiku bahkan kedua HP yang kukantongi di kanan dan kiri celana jeansku benar-benar mengganggu dengan getarnya. Deretan nomer berkedip-kedip tertera di layarnya. Kutekan tombol tolak. Rejet!


Selesai mencoret-coret kertas dengan jawaban yang sama sekali tidak memuaskan, aku kembali melewati jejeran gedung-gedung kampus yang sepi. Gontai dengan perasaan carut marut. Perasaan gagal dan malu yang menyergapku. Sepanjang jalan menuju kost berat rasanya kaki untuk dilangkahkan. Air mata yang kutahan-tahan jatuh juga akhirnya. Padahal aku sedang puasa. Entah!

Setelah sampai kost, aku mencoba berdamai dengan pikiranku sendiri. Namun ternyata juga gagal. Air mata tanpa isak tetap mengalir. Inikah puncaknya? Aku hanya mampu memeluk kedua kakiku dan menenggelamkan wajahku. Berharap semua sakit yang dua hari ini menghimpitku segera pergi. Berharap semua kecewa dan takut yang akut dalam dadaku luruh bersama air mata yang jatuh. Berharap semua yang menyiksaku terbang hilang. Berharap.... ah doakan sajalah!


Seharusnya aku memang bisa melawannya sendiri. Kesedihan semacam ini sudah biasa aku rasakan. Aku cukup yakin aku akan bisa menetralkan perasaanku sendiri. Dalam waktu singkat! Karena memang ini adalah puncaknya! Setelah semalaman aku hanya mengeluh kesakitan sendiri. Merintih pada sepi karena panas di kepala yang tak juga mau pergi.

Padahal dua macam obat sudah kutelan, bahkan cara tradisional dengan mengompres kening juga sudah aku lakukan. Semalaman! Tapi ternyata panas di kepala namun dingin di sekujur tubuh tidak juga hilang. Tangan beku. Telapak kaki mati rasa. Hembusan nafas begitu panas mungkin juga sebenarnya aku bisa mengeluarkan api seperti naga dari hidungku. Kelopak mata pun ikut panas, kalau aku berkaca mungkinkah bola mataku berwarna merah? Kalut! Kacau! Yang terlihat adalah kasur seolah berubah warna menjadi permadani putih yang dinginnya menggigil tiada ampun. Terpikir olehku bahwa mungkin malam tadi adalah akhirku. Apa aku akan mati? Jika aku mati mungkin aku akan reinkarnasi duluan sebelum tubuhku ditemukan. Karena memang tidak ada satupun manusia yang peduli. Padahal aku sendiri tidak percaya pada konsep atau teori reinkarnasi. Namun pikiran sudah terlanjur berhalusinasi. Hilang akal.


Saking takutnya kalau aku tidak akan dapat bangun lagi, mata kujaga untuk tetap terjaga dalam sadar. Tapi sepertinya pikiranku yang sudah tidak sadar. Banyak hal menyakitkan yang bergantian terpikirkan. Semua hal yang negatif menyerbu pikiran. Banyak yang mengaku peduli, banyak yang mengaku sayang bahkan bilang cinta, tapi tak berbanding lurus dengan kenyataan. Karena memang kenyataannya aku harus menghadapi semua sendirian. Tak ada yang benar-benar ada untukku.

Di bbm, di fesbuk, dalam sms, kuteriakan kata sakit namun tak satupun yang mendengar. Atau tiba-tiba semua jadi tuli, atau sengaja menutup telingannya. Berkali-kali aku mengemis perhatian bahkan untuk secuil doa yang dapat aku amini saja tidak ada. Semua menjelma menjadi makhluk asing yang memalingkan mukanya dariku. Berjalan bergegas menjauhiku. Sedang aku hanya meringkuk memeluk lutut dan merasakan perih dalam ulu hati yang mulai mengakrapiku. Menyesakkan!


Aku menyerah menjadi pengemis, percuma! Mereka diam. Aku bisa apa? Ini tubuhku, kupertahankan semua sendiri. Kuperjuangkan kesembuhannya sendiri. Aku yang merasakan sendiri. Mungkin aku memang tak ada arti sama sekali. Namun ini tubuhku, aku yang merasakan sakitnya. Aku yang membutuhkan kesembuhannya. Aku harus berusaha sembuh.


Malam berganti dan pagi masih juga terasa mati. Mengingat semuanya yang menyergap diri dengan sakit yang tak terperi. Semua kekecewaan bercampur hati yang hancur dua hari ini harus bisa aku lalui. Aku tidak ingin kalah, tidak pada rasa sakit, tidak juga pada rasa kecewa. Semua akan berlalu, setelah puncak tangis ini. Aku masih percaya pada apa yang aku yakini. Aku masih genggam apa yang harusnya selalu aku pegang. Dan sehancur apapun aku, aku tetap memiliki inti yang kuat. Karena jatuh dan kecewa adalah saat terkuatku.





6 comments:

  1. Mungkin itu sebuah proses hidup mu untuk bisa memeluk suksesmu dan melepaskan harapan mu dik, semangat terus.
    Km cew mandiri yg pernah q kenal, km cew yg tegar yg pernah q temukan. Jgn takut sendiri, karna kamu bisa melakukan sendiri. Karna dari krmandirian mu kamu akan memetik sebuah hasil yang sangat cantik :-)

    ReplyDelete
  2. Makasih mas udah mw baca tulisanku 😄 menurutmu trlalu hiperbola gk sih ini? Setelah aq bca ulang kog kayanya bnyk yg penyerupaannya mnyedihkan bgt yah 😂 huhu alay bener aq. Banyak jg yg protes kalo tulisanku kbnykan sedihnya. Sisi lainku banget. Kpn2 bikin cerita konyol ah atw yg komedi. Biar gk muram mulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yaa memang, dari awal kenal, lalu jadian, lalu putus, lalu jd teman lg kan kamu selallu sedih heeee {}

      Delete
  3. Hidup tak melulu tentang kebahagiyaan 😂

    ReplyDelete
  4. Tapi tidak juga tentang kesedihan bukan 😊

    ReplyDelete