Pesing
tempat ini, ku duduki namun acuh saja. Dua jam menunggu tersapu bersama
dedaunan kering yang bergulung di aspal sekitarku. Lalu lalang orang yang
berlari dengan sepeda motornya tanpa hirau. Juga orang entah dari dusun mana
yang berjalan berbondong, membawa berbagai buntalan entah apa. Mungkin beras
mungkin juga pakan ternak. Si ibu-ibu yang lusuh dengan baju entah dari jaman
kapan menggendong anaknya. Melewatiku dengan menyisakan bau semerbak deterjen,
mengingatkanku padamu.
Tiga
jam menunggu, ku lihat anak-anak punk yang ada di seberang jalan belum juga
mendapat tumpangan. Dengan tampang cengengesan berjongkok sambil disela jarinya
terselip lintingan yang sesekali dihisap bergantian. Aku masih menunggu hingga
diasapi sampah daun kering yang dibakar oleh si pemilik warung. Apakah bajuku
akan berbau asap aku mulai khawatir tidak wangi lagi.
Empat
jam menungggu, mataku sudah mulai cengeng. Tas yang sedari tadi ku gendong
semakin membuat pegal punggung dan si pemilik warung samping mulai menanyaiku
“belum datang jemputannya?” aku hanya tersenyum tipis kerena serak membanjiri
kerongkonganku. Begitu tercekat dalam kata iya.
Bundaran Kartosuro, 17 Mei
2015
No comments:
Post a Comment