Tubuhnya
diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis
oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak
tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.
Disebuah
ruang seperti gudang dengan tikar sulam di sudutnya dia dilemparkan. Di dalam
telah menunggu beberapa laki-laki berseragam serupa dengan dua laki-laki yang
menyeretnya tadi. Sudah hafal betul dia dengan apa yang akan dialami selanjutnya. Dia hanya memejamkan matanya sambil mematikan seluruh indranya, tak ada lagi isak
apalagi tangis atau teriakan kesakitan dari mulutnya. Lelah dia pasrah.
Semalaman
dia akan digilir oleh banyak laki-laki, bahkan untuk menghitung berapa jumlah
laki-laki yang menindih tubuhnya saja dia sudah tidak sanggup. Karena biasanya
dia akan pingsan setelah menahan kesakitan luar biasa disekujur tubuhnya,
sampai dia terbangun lalu pingsan lagi. Berkali-kali. Namun seluruh laki-laki
itu seakan tidak surut memuntahkan nafsu pada lubang di tubuhnya. Tak ada belas
kasihan. Hingga seluruh laki-laki yang telah mendapat giliran jahanam itu
selesai. Jadi dia hanya pasrah.
Pasrah
juga saat tubuhnya kembali dilemparkan dalam sel tempatnya harus menghabiskan
hari-harinya dengan rasa sakit. Di situ telah menunggu beberapa perempuan lain
dengan nasib yang serupa. Tak berani dia menghitung berapa jumlah perempuan yang
satu sel dengannya. Karena tiap hari wajah-wajah putus asa itu selalu hilang
satu per satu. Berkurang. Dan seolah dia paham kemana mereka pergi. Mereka mati.
Tak kuat menahan penyiksaan diluar batas kemanusiaan.
Nyeri
disekujur tubuhnya membuatnya pingsan lagi. Darah segar yang mengalir menguar amis dari sela-sela
kedua kakinya. Perempuan lain yang lebih tua darinya mendekati tubuhnya. Lalu
dengan jarit dia mengelap darah tersebut. Sambil memijit-mijit kakinya membuat
dia bangun dari pingsan yang sesaat. Membuat air matanya meleleh tanpa dia
sadari.
Perempuan
itu mengatakan banyak kalimat, mungkin maksudnya untuk membuatnya kembali bersemangat.
Namun tak sedikit pun berpengaruh untuknya. Telinganya terlanjur tuli karena terlalu
sering mendengar bentakan, cacian dan makian yang keluar tiap kali dia digilir.
Membuatnya tak lagi bisa membedakan mana kalimat hinaan dan mana kalimat nasehat
penyemangat. Yang dia tahu di sini dia hanya menunggu mati.
Hari
berikutnya, perempuan lain yang jauh lebih muda darinya yang diambil. Tubuh
perempuan itu diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah
diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuat perempuan itu juga serasa
mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Perempuan itu
pasrah.
Sesaat
kemudian perempuan lain juga diseret keluar sel. Juga dengan perempuan lain
berikutnya. Dan kemudian perempuan yang selanjutnya. Sedangkan dia hanya tidur
meringkuk menunggu giliran. Dia pejamkan kedua matanya, meredam rasa sakit yang
tidak juga hilang dari sekujur tubuhnya. Kedaan sekitar membuatnya mati rasa. Dia
tidak ingin memikirkan apapun, dia tidak ingin merasakan apapun. Lalu kedua
tangannya dicengkeram dua orang laki-laki yang memaksanya bangun.
Tubuhnya
diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki tersebut, tenaga seakan telah
diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk
melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia kembali pasrah.
Dia
dimasukan di sebuah ruangan yang lain dari biasanya, di dalam ada seorang
laki-laki yang langsung menyergapnya. Didudukan dia disebuah kursi dengan
tangan dan kaki yang diikat pada kursi tersebut. Laki-laki itu mulai
menanyainya dengan berbagai pertanyaan yang sama sekali tidak dia mengerti. Dan
karena memang benar dia sama sekali tidak mengerti maka dia hanya diam. Lalu
setelah selesai dengan satu pertanyaan tanpa jawaban laki-laki berseragam petugas tersebut akan
mendaratkan moncong senapan pada wajahnya. Hingga dia babak belur dengan darah yang
menitik di sudut bibir dan sebelah kupingnya.
Dia
hanya diam juga saat petugas itu melepas kebaya lusuh yang menggantung di tubuhnya
tanpa sempat diganti selama dia di masukkan dalam tahanan. Lalu ternyata
jaritnya juga dilepas paksa oleh petugas tersebut. Hingga dia kini terduduk dengan telanjang bulat. Dia
hanya diam. Karena tenaga memang sudah terkuras habis tak tersisa dari tubuhnya
meski hanya sekedar ronta. Ingin sekali dia pingsan sampai proses penyiksaan
selesai, atau mati sekalian. Tapi tubuhnya tetap sadar meski dia pejam matanya
rapat-rapat.
Sebuah
lilitan dari kawat digantungkan pada kedua puting di dadanya. Lalu lilitan
lawat lainnya juga dimasukkan pada lubang perempuannya. Ingin dia meronta, tapi
tenaga terlanjur raib dari tubuhnya. Menyangga kepalanya saja dia tidak mampu,
tergolek dia di kursi penyiksaan. Petugas tersebut mulai menyalakan alat yang
menjadi ujung dari lilitan kawat tersebut. Lalu listrik mulai menyengat dada
dan lubang perempuannya. Membuat seluruh tubuhnya merasakan kesakitan luar
biasa. Dia pingsan.
Tak
sadarkan diri hingga bagian yang disengat lilitan kawat listrik tersebut
memeleh. Laki-laki berseragam petugas tersebut baru mematikan alat penyiksa
yang berada di samping kiri meja. Dia masih belum sadarkan diri juga saat
petugas menyabet wajahnya dengan jaritnya lalu melepaskan tali-tali yang
mengikat kedua kaki dan tangannya pada kursi.
Saat
dia sadar tubuhnya sudah tergeletak di dalam selnya lagi. Tubuhnya seakan tak
lagi mampu mengeja rasa selain sakit dan sakit. Terlalu pedih untuknya bahkan untuk makhluk bernyawa manapun yang harus merasakan penyiksaan sekeji itu. Sakit tak terperi. Sakit hingga hanya satu pilihannya yaitu mati. Dia begitu kecewa kenapa dia tidak mati
sekalian karena satu-satunya yang dia harapkan setelah mengalami berbagai
penyiksaan tersebut adalah mati. Namun dia tetap hidup meski tak utuh seperti
sebelumnya. Dia sadar dada dan lubang perempuannya yang meleleh tersebut akan
cacat.
Dan
benar berhari kemudian bagian tubuhnya tersebut bernanah mengeluarkan bau yang
menguar tidak sedap. Bertambah ribuan kali nyerinya tiap kali dalam selnya
perempuan-perempuan lain juga mendapat penyiksaan yang sama. Karena itu banyak
perempuan yang tidak pernah kembali. Sedangkan yang lain, memilih bunuh diri
karena tidak kunjung mati. Tak pernah ada yang benar-benar bertahan. Semua
hanya menunggu mati.
Hingga
tubuhnya kembali dipaksa berdiri. Tubuhnya kembali diseret tanpa ampun oleh dua orang
laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang
membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta.
Dia pasrah.
Meskipun
untuk kali ini, tiba-tiba tersungging senyum di sudut bibirnya. Sesuai
dugaannya tak ada satupun petugas laki-laki yang menggilirnya. Tidak setelah
mencium bau nanah yang ada di lubang perempuannya. Semua laki-laki yang biasa
menindihnya itu merasa dijijik, dia merasa menang. Malam itu hanya cibiran yang
dia dapatkan. Setelah malam-malam dengan nafsu binatang yang tidak pernah dapat
dia hindari, akhirnya dia dapat mengamankan tubuhnya sebagai perempuan.
Tertatih
dia kembali ke selnya dengan pergelangan lengan yang dicengkeram oleh seorang
petugas. Untuk pertama kali dalam hidupnya setelah dia begitu menangisi
nasibnya sebagai perempuan yang harus hidup di jaman komunis wajib dimusnahkan,
akhirnya dia merasa merdeka dengan tubuhnya sendiri. Meskipun harus bernanah
dan cacat seumur hidup namun dia tidak akan menjadi alat pemuas nafsu laki-laki
lagi. Dia tidak akan mengalami penyiksaan terendah sebagai perempuan yang harus
digilir tiap malam yang mereka sebut dengan di-bon malam. Karena sebagai Gerwani seakan dia wajib menerima
perlakuan tidak manusiawi tersebut. Tapi akhirnya dia bebas dari bon malam.
Sabagai
tapol atau tahanan politik akibat Peristiwa 1965 dia merasa sudah tidak
memiliki arti apapun sebagai seorang manusia setelah diperlakukan sebegitu keji,
diperkosa bergantian, disiksa dan disetrum. Karena itu setelah tubuhnya tidak
lagi berfungsi untuk para petugas itu hanya satu hukuman teringan yang akan dia terima
selanjutnya, yaitu eksekusi mati. Dia begitu bahagia dalam hati.
No comments:
Post a Comment