Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, July 15, 2015

Perempuan Di Moncong Senapan

Tubuhnya diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.

Disebuah ruang seperti gudang dengan tikar sulam di sudutnya dia dilemparkan. Di dalam telah menunggu beberapa laki-laki berseragam serupa dengan dua laki-laki yang menyeretnya tadi. Sudah hafal betul dia dengan apa yang akan dialami selanjutnya. Dia hanya memejamkan matanya sambil mematikan seluruh indranya, tak ada lagi isak apalagi tangis atau teriakan kesakitan dari mulutnya. Lelah dia pasrah.

Semalaman dia akan digilir oleh banyak laki-laki, bahkan untuk menghitung berapa jumlah laki-laki yang menindih tubuhnya saja dia sudah tidak sanggup. Karena biasanya dia akan pingsan setelah menahan kesakitan luar biasa disekujur tubuhnya, sampai dia terbangun lalu pingsan lagi. Berkali-kali. Namun seluruh laki-laki itu seakan tidak surut memuntahkan nafsu pada lubang di tubuhnya. Tak ada belas kasihan. Hingga seluruh laki-laki yang telah mendapat giliran jahanam itu selesai. Jadi dia hanya pasrah.

Pasrah juga saat tubuhnya kembali dilemparkan dalam sel tempatnya harus menghabiskan hari-harinya dengan rasa sakit. Di situ telah menunggu beberapa perempuan lain dengan nasib yang serupa. Tak berani dia menghitung berapa jumlah perempuan yang satu sel dengannya. Karena tiap hari wajah-wajah putus asa itu selalu hilang satu per satu. Berkurang. Dan seolah dia paham kemana mereka pergi. Mereka mati. Tak kuat menahan penyiksaan diluar batas kemanusiaan.


Nyeri disekujur tubuhnya membuatnya pingsan lagi. Darah segar yang mengalir menguar amis dari sela-sela kedua kakinya. Perempuan lain yang lebih tua darinya mendekati tubuhnya. Lalu dengan jarit dia mengelap darah tersebut. Sambil memijit-mijit kakinya membuat dia bangun dari pingsan yang sesaat. Membuat air matanya meleleh tanpa dia sadari.

Perempuan itu mengatakan banyak kalimat, mungkin maksudnya untuk membuatnya kembali bersemangat. Namun tak sedikit pun berpengaruh untuknya. Telinganya terlanjur tuli karena terlalu sering mendengar bentakan, cacian dan makian yang keluar tiap kali dia digilir. Membuatnya tak lagi bisa membedakan mana kalimat hinaan dan mana kalimat nasehat penyemangat. Yang dia tahu di sini dia hanya menunggu mati.

Hari berikutnya, perempuan lain yang jauh lebih muda darinya yang diambil. Tubuh perempuan itu diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuat perempuan itu juga serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Perempuan itu pasrah.

Sesaat kemudian perempuan lain juga diseret keluar sel. Juga dengan perempuan lain berikutnya. Dan kemudian perempuan yang selanjutnya. Sedangkan dia hanya tidur meringkuk menunggu giliran. Dia pejamkan kedua matanya, meredam rasa sakit yang tidak juga hilang dari sekujur tubuhnya. Kedaan sekitar membuatnya mati rasa. Dia tidak ingin memikirkan apapun, dia tidak ingin merasakan apapun. Lalu kedua tangannya dicengkeram dua orang laki-laki yang memaksanya bangun.

Tubuhnya diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki tersebut, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia kembali pasrah.

Dia dimasukan di sebuah ruangan yang lain dari biasanya, di dalam ada seorang laki-laki yang langsung menyergapnya. Didudukan dia disebuah kursi dengan tangan dan kaki yang diikat pada kursi tersebut. Laki-laki itu mulai menanyainya dengan berbagai pertanyaan yang sama sekali tidak dia mengerti. Dan karena memang benar dia sama sekali tidak mengerti maka dia hanya diam. Lalu setelah selesai dengan satu pertanyaan tanpa jawaban laki-laki berseragam petugas tersebut akan mendaratkan moncong senapan pada wajahnya. Hingga dia babak belur dengan darah yang menitik di sudut bibir dan sebelah kupingnya.

Dia hanya diam juga saat petugas itu melepas kebaya lusuh yang menggantung di tubuhnya tanpa sempat diganti selama dia di masukkan dalam tahanan. Lalu ternyata jaritnya juga dilepas paksa oleh petugas tersebut. Hingga dia kini terduduk dengan telanjang bulat. Dia hanya diam. Karena tenaga memang sudah terkuras habis tak tersisa dari tubuhnya meski hanya sekedar ronta. Ingin sekali dia pingsan sampai proses penyiksaan selesai, atau mati sekalian. Tapi tubuhnya tetap sadar meski dia pejam matanya rapat-rapat.

Sebuah lilitan dari kawat digantungkan pada kedua puting di dadanya. Lalu lilitan lawat lainnya juga dimasukkan pada lubang perempuannya. Ingin dia meronta, tapi tenaga terlanjur raib dari tubuhnya. Menyangga kepalanya saja dia tidak mampu, tergolek dia di kursi penyiksaan. Petugas tersebut mulai menyalakan alat yang menjadi ujung dari lilitan kawat tersebut. Lalu listrik mulai menyengat dada dan lubang perempuannya. Membuat seluruh tubuhnya merasakan kesakitan luar biasa. Dia pingsan.

Tak sadarkan diri hingga bagian yang disengat lilitan kawat listrik tersebut memeleh. Laki-laki berseragam petugas tersebut baru mematikan alat penyiksa yang berada di samping kiri meja. Dia masih belum sadarkan diri juga saat petugas menyabet wajahnya dengan jaritnya lalu melepaskan tali-tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya pada kursi.

Saat dia sadar tubuhnya sudah tergeletak di dalam selnya lagi. Tubuhnya seakan tak lagi mampu mengeja rasa selain sakit dan sakit. Terlalu pedih untuknya bahkan untuk makhluk bernyawa manapun yang harus merasakan penyiksaan sekeji itu. Sakit tak terperi. Sakit hingga hanya satu pilihannya yaitu mati. Dia begitu kecewa kenapa dia tidak mati sekalian karena satu-satunya yang dia harapkan setelah mengalami berbagai penyiksaan tersebut adalah mati. Namun dia tetap hidup meski tak utuh seperti sebelumnya. Dia sadar dada dan lubang perempuannya yang meleleh tersebut akan cacat.

Dan benar berhari kemudian bagian tubuhnya tersebut bernanah mengeluarkan bau yang menguar tidak sedap. Bertambah ribuan kali nyerinya tiap kali dalam selnya perempuan-perempuan lain juga mendapat penyiksaan yang sama. Karena itu banyak perempuan yang tidak pernah kembali. Sedangkan yang lain, memilih bunuh diri karena tidak kunjung mati. Tak pernah ada yang benar-benar bertahan. Semua hanya menunggu mati.

Hingga tubuhnya kembali dipaksa berdiri. Tubuhnya kembali diseret tanpa ampun oleh dua orang laki-laki, tenaga seakan telah diserap habis oleh hari-hari penyiksaan yang membuatnya serasa mati. Untuk melawan pun tak tersisa meski hanya sekedar ronta. Dia pasrah.

Meskipun untuk kali ini, tiba-tiba tersungging senyum di sudut bibirnya. Sesuai dugaannya tak ada satupun petugas laki-laki yang menggilirnya. Tidak setelah mencium bau nanah yang ada di lubang perempuannya. Semua laki-laki yang biasa menindihnya itu merasa dijijik, dia merasa menang. Malam itu hanya cibiran yang dia dapatkan. Setelah malam-malam dengan nafsu binatang yang tidak pernah dapat dia hindari, akhirnya dia dapat mengamankan tubuhnya sebagai perempuan.

Tertatih dia kembali ke selnya dengan pergelangan lengan yang dicengkeram oleh seorang petugas. Untuk pertama kali dalam hidupnya setelah dia begitu menangisi nasibnya sebagai perempuan yang harus hidup di jaman komunis wajib dimusnahkan, akhirnya dia merasa merdeka dengan tubuhnya sendiri. Meskipun harus bernanah dan cacat seumur hidup namun dia tidak akan menjadi alat pemuas nafsu laki-laki lagi. Dia tidak akan mengalami penyiksaan terendah sebagai perempuan yang harus digilir tiap malam yang mereka sebut dengan di-bon malam. Karena sebagai Gerwani seakan dia wajib menerima perlakuan tidak manusiawi tersebut. Tapi akhirnya dia bebas dari bon malam.

Sabagai tapol atau tahanan politik akibat Peristiwa 1965 dia merasa sudah tidak memiliki arti apapun sebagai seorang manusia setelah diperlakukan sebegitu keji, diperkosa bergantian, disiksa dan disetrum. Karena itu setelah tubuhnya tidak lagi berfungsi untuk para petugas itu hanya satu hukuman teringan yang akan dia terima selanjutnya, yaitu eksekusi mati. Dia begitu bahagia dalam hati.


No comments:

Post a Comment