Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Friday, June 12, 2015

Teras, Rumah dan Pekarangan Belakang

Di sebuah salon kecantikan.

Kupandangi wajah pelangganku ini, mungkin seumuran dengan ibuku yang ada di kampung. Ah aku sudah lama tidak pulang menengok ibu dan bapak di kampung. Tapi kalau pulang juga pasti sangat menyebalkan, mendengarkan mereka berdua mengomelkan banyak hal tentang dandananku. Yang katanya aku menor, aku terlihat tua dari umurku, aku berdandan seperti perempuan tidak benar, rambutku yang ku cat merah sepertinya sangat mencemarkan nama baik mereka di kampung. Ditambah lagi dengan komentar mereka tentang pakaianku. Ah aku tidak mau mengingat mereka, membuat sakit hati saja.

Padahal tiap kali aku pulang, aku pasti tidak pernah absen membawakan duit yang bisa memenuhi kebutuhan mereka sampai berbulan-bulan. Rumah di kampung juga bisa diperbaiki semua berkat duit dari kerja kerasku. Tapi mereka tidak pernah peduli, yang mereka pedulikan adalah omongan dari tetangga yang berkomentar macam-macam tentang pekerjaanku dan pakaianku.

Mereka harusnya tahu, aku bekerja di salon. Kalau aku tidak berdandan cantik dan mengenakan pakaian yang tidak modis tentu pelangganku tidak akan percaya pada keterampilanku merias wajah dan menata rambut. Ah mereka tahu apa, hanya bisa bergosip tiap hari. Padahal di kampung mereka sangat miskin, seharusnya mereka bekerja bukannya hanya bergosip di warung-warung makan dan di pekarangan rumah. Muak aku, tapi aku juga tidak peduli. Sejak aku pergi ke kota, aku tahu di sini aku harus merubah nasipku. Aku tidak ingin miskin terus, aku harus bekerja keras. Disini tuntutannya sangat tinggi, jika ingin dihormati dan tidak dipandang rendah, aku harus mengikuti zaman.

Pertama adalah merubah gaya berpakaianku, lalu membeli SmartPhone dengan layar yang lebar seperti milik teman-temanku. Aku juga ingin makan di restoran-restoran mewah atau sekedar minum di kafe sambil berfoto selfi dengan minuman yang dari harganya tidak mungkin untuk tetangga-tetanggaku di kampung membelinya. Masuk di kafe-nya saja mereka pasti sudah minder. Tapi aku berbeda, aku cantik dan aku pantas!

Semua bisa terwujud karena laki-laki itu. Awalnya memang tidak begitu kupedulikan. Terlebih ketika ku ingat kata-kata ibuku “Secinta apapun kamu, secantik apapun kamu dan sepintar apapun juga kalau kamu merebut lelaki milik perempuan lain, kamu dinamakan: binatang!” Kata ibu keras sambil melempar senyum getir, aku menggigil. “Hanya perempuan yang tidak punya hati yang dapat melakukan itu. Semua ada karmanya. Jangan sampai mengganggu rumah tangga orang lain. Balasannya lebih berat!” Tambah ibu lagi, matanya menerawang entah apa yang dia pikirkan, seolah dia tidak sedang berada ditempatnya saat ini. Aku hanya diam tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi itu dulu sekali, kata-kata ibu seolah seperti tertelan segala bentuk kemewahan yang aku miliki. Juga segala limpahan kasih sayang yang laki-laki itu berikan untukku, dia begitu perhatian lebih dari bapakku atau laki-laki manapun. Aku tidak pernah merasa sebegitu tersanjung ketika dia berikan bunga mawar dan cincin. Meskipun aku dengar dari teman-teman yang lain bahwa selain punya istri dan empat anak, laki-laki tersebut juga tidak begitu kaya. Tapi aku tidak peduli, teman-temanku hanya iri. Yang terpenting adalah aku bisa hidup enak sekarang, tidak hanya mengandalkan duit gaji kerja di salon yang tidak seberapa. Aku sadar duit itu hanya akan habis untuk mengirimi bapak ibuku di kampung saja. Sedangkan jika dari laki-laki ini aku bisa berdandan dengan kosmetik bermerk, baju-baju bermerk dan tentu aku bisa memamerkan foto-foto kelas atas ke sosial media yang akan membuat teman-temanku iri.


Aku rasa semua ini juga bukan murni karena kesalahnku saja, kenyataannya istri laki-laki itu tidak secantik aku, tentu lah suaminya mencari perempuan lain. Istrinya itu gembrot, tubuhnya dipenuhi lemak disana-sini dan laki-laki mana yang mau tidur dengan perempuan yang baunya selalu seperti bumbu dapur. Tidak seperti aku yang selalu menjaga penampilan dan juga wangi. Pantaslah kalau suaminya lebih memilih tidur denganku. Jadi jangan salahkan aku, aku memang cantik dan langsing. Dan jika suaminya menyukai aku dengan segala kasih sayang yang dia berikan, masak aku tolak?

Di sebuah kamar tidur.

Kupandangi cermin di depanku, yang nampak adalah seorang perempuan dengan tubuh telanjang. Tanpa secuil pun kain yang melekat. Kulitnya tak lagi semulus dulu, sekarang berbagai guratan yang menandakan bekas dapur dan sumur begitu melekat. Ditambah dengan gumpalan-gumpalan lemak disekitar paha dan perut, padahal dulu aku begitu sintal, tidak terlalu gemuk tapi tidak terlalu kurus, pas saja dan segar. Sekarang banyak bagian yang tidak begitu sedap dipandang. Beralih ke bagian wajah, dulu bibir yang merah itu begitu indah, sekarang legam padahal aku tidak merokok. Pipiku yang dulu juga bersih, tiba-tiba menjelma menjadi rawa, banyak bercak-bercak hitam yang berkerumun menghuninya.


Ini semua gara-gara KB! Namanya perempuan, kalau tidak pakai KB, ratusan anak bisa lahir. Yang repot siapa? Perempuan juga. Katanya kalau pakai IUD, lebih aman. Tapi aku takut, masak ada benda yang terbuat dari plastik dan tembaga berbentuk T dimasukan ke dalam rahim, pemakaiannya bisa 4-5 tahun. Ketika alat itu dipasang kita harus menaikan kaki tinggi-tinggi. Mengangkang! Yang buat aku ngeri, kita harus memeriksa diri sendiri apakah alat kontrasepsi itu masih berada dalam rahim dengan cara meraba benang IUD tersebut ke dalam vagina. Ngeri kalau harus memasukan jari sendiri ke dalam vagina. (Novel Tempurung - Oka Rusmini, dengan sedikit edit).

Selain itu, segala macam pekerjaan rumah juga aku sendiri yang mengurus tanpa pembantu. Jangankan menyewa pembantu, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja aku juga harus bekerja berjualan nasi dan lauk-pauk tiap pagi. Mengurus 4 orang anak yang semuanya butuh makan. Mengurus rumah yang tiap hari selalu saja kotor. Mencuci, memasak, menyetrika, mengepel, menyapu, bagai babu di rumah sendiri. Kamu ingin aku tetap cantik seperti dulu? Semua tergerus perlahan terlebih dengan pekerjaan yang mengharuskanku bekerja keras siang malam di dapur demi menambah pemasukan tiap hari. Kamu begitu ingin aku selalu wangi? Bau asap dapur yang akan kau cium!

Berbeda sekali dengan kamu yang bekerja kantoran, mungkin hanya pegawai negeri rendahan, tapi kenyataannya duit gajimu malah kamu tukar dengan mobil. Yang harus kamu cicil dengan duit gajimu tiap bulan, hingga minus. Dan harus aku yang memenuhi segala kebutuhan rumah perharinya, pintar sekali kamu. Jelas kamu bisa kelihatan rapi bersih dan wangi tiap hari sehingga dapat digoda perempuan muda di luar sana. Apalagi dengan setelan seragam pegawai negerimu, lengkaplah untuk perempuan lain mengangapmu laki-laki sukses. Sedangkan aku hanya di belakangmu sambil merapikan segala kegagalanmu sebagai suami.

Memang sudah kodratnya sebagai perempuan, aku tidak ingin menyalahkan takdir. Tapi kenapa aku yang selalu disalahkan saat suamiku ketahuan memiliki perempuan lain di luar? Mereka menyalahkanku karena aku gembrot, tidak bisa menjaga tubuh, bau ku seperti bumbu dapur dan selalu cerewet. Mereka juga bilang aku perempuan goblok, yang mau saja dibohongi suaminya terus. Andai saja mereka tahu, aku juga sakit hati tiap kali membayangkan suamiku tidur dengan perempuan lain. Pertengkaran demi pertengkaran tiap hari, barang-barang yang dibanting ke lantai dan juga anak-anak yang ketakutan. Aku mulai lelah dan sadar bahwa semua itu tidak ada gunanya. Sekarang bagiku aku sudah tidak dapat egois lagi, tubuh ini sudah bukan lagi milikku sendiri tapi juga milik anak-anakku. Banyak yang harus aku pertimbangkan. Aku tidak ingin memberikan keluarga yang tidak utuh bagi mereka, setidaknya saat mereka pulang sekolah mereka akan menjumpai bapak ibunya ada di rumah.

Menjadi seorang perempuan terlebih seorang ibu, sudah bukan waktunya lagi memikirkan diri sendiri. Buatku melihat anak-anakku tumbuh adalah kebahagiaan yang luar biasa, yang terpenting sekarang adalah anak-anakku. Dan suamiku? Yang penting dia tidak membawa perempuan lacur itu ke dalam rumah tangga ini bagiku perempuan tersebut hanya pekarangan belakang yang tidak perlu aku tahu, aku ingin tutup mata saja soal itu. Selain itu juga suamiku tetap memikirkan kebutuhan anak-anak, itu sudah cukup.

Di sebrang sebuah jalan

Di pandangi teman-temanku, rasanya risih sekali. Mereka mengamati mataku yang bengap hasil dari menangis semalaman. Aku hanya diam saat teman-teman menanyaiku macam-macam. Beruntun!

Aku bercerita pun mereka belum tentu akan mengerti keadaanku. Jadi aku hanya diam saja, aku juga tidak ingin berbagi duka untuk mereka, buatku teman-teman hanya cukup tau suka ku saja. Kenyataannya aku masih lengkap dengan tawaku dan ceria sepanjang bersama mereka meskipun mata sepertinya tidak dapat membohongi. Tak apalah biar semua sesak kumiliki sendiri.

Segala hal yang begitu menyakitkan, ketika melihat kedua orang tuaku saling membantingi barang-barang rumah, saling memaki satu sama lain. Aku yang hanya mampu menangis terisak diam-diam, hal yang sepertinya bukan terjadi sekali dua kali di rumah, tapi begitu sering bahkan aku lupa sejak kapan dimulainya. Sepertinya sudah sejak aku masih kecil, aku juga lupa kapan. Entah!

Aku hanya kadang bingung harus bagaimana saat kedua orang tuaku sudah saling memaki satu sama lain. Berbagai perasaan tiba-tiba saja menyerbuku, membuatku seolah menjadi patung, diam beku ditempatnya. Hanya melihat sambil air mata meleleh dan beku sendiri.

Pernah suatu ketika aku berharap kenapa mereka tidak bercerai saja sekalian, daripada hanya tiap hari bertengkar terus, barang-barang di rumah pecah rusak. Apalagi saat itu yang dibanting adalah radio kesayanganku, hanya itu hiburanku di rumah. Tapi sampai sekarang mereka tidak bercerai juga, entah aku harus bersyukur atau tidak bagiku semua sama saja. Mereka masih rajin perang dingin kalau sekarang. Membuatku bingung dan ikut dingin hingga membeku di rumah.


Jadi kuputuskan untuk pergi saja, pulang hanya sekedar untuk menengok adikku yang terkecil yang masih sering berlarian mengikutiku kalau aku keluar rumah. Tidak ada lagi yang peduli padaku, ibu juga hanya akan marah-marah membuat kupingku panas, sebaliknya bapak malah hanya diam seolah aku adalah makhluk transparan yang tidak pernah ada keberadaannya. Saat pulang aku hanya kasihan pada adik-adikku yang masih kecil. Melihat mereka seperti melihat diriku sendiri saat itu. Hanya menangis sesenggukan.

Kuputuskan untuk tidak lagi peduli, entah ibu yang salah karena jelek, gendut, dan cerewet atau kerena bapak yang punya perempuan lain di luar, atau malah si perempuan jahat yang sudah menggoda bapak. Aku benar-benar tidak peduli, kenyataannya hanya aku dan adik-adikku yang menjadi korbannya. Rumahku surgaku sudah tidak lagi kami mengerti maknanya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat berlindung bagi kami sudah tidak lagi berfungsi. Dan aku lebih memilih panas terik matahari sebagai tempatku berlindungku.

Kurapikan kembali tumpukan koran yang ada disebelahku, lalu kupeluk mereka dalam dadaku seolah mereka seperti seorang bayi yang akan terjatuh lepas satu satu kalau tidak aman dalam pelukanku. Dari sinilah aku bisa makan tiap hari, bersama teman-teman yang juga mencari sesuap nasi di bawah lampu merah. Diseberang jalan kulihat bapak berlalu dengan perempuan cantik yang seumuran denganku, begitu bahagia menaiki Avansanya.



No comments:

Post a Comment