Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Sunday, January 12, 2014

Karena Sebuah Ruang


Wanita itu berjalan dengan menundukan kepalanya, melewati setiap bangsal-bangsal penuh raungan kesakitan yang terdengar begitu menyayat hati. Lalu saat dia telah berada di ujung lorong, ditatapnya pintu keluar yang berwarna putih dengan catnya yang masih baru. Sejenak dia betulkan genggaman tas yang ia pegang dan memastikan kunci mobilnya sudah ia masukan dalam tas. Menuju mobil putih yang terparkir diantara deretan mobilnya yang lain. Mengendarai dalam keadaan yang luar biasa carut-marut pikirannya tanpa ia sadari telah ada tangan jahat yang memotong rem mobilnya. Hingga saat mobilnya melaju dengan kencang di jalan tol dan rem yang jelas tidak berfungsi itu membuatnya menghantam pembatas jalan. Darah mengalir melewati pelipisnya dan malam naas itulah menjadi akhir cerita hidupnya.

Di sudut lain seorang wanita sedang berlari sekencangnya, hingga tersengal-sengal ia kehabisan nafas. Dibelakangnya beberapa laki-laki dengan postur dan perawakan besar mengejarnya dengan dipersenjatai pistol. Lalu beberapa detik kemudian terdengar bunyi ‘doorrr’ yang memecah hening malam. Sekejap saja wanita tadi sudah tergeletak dengan dada yang berlumuran darah. Melemahkan pandanganannya dan seluruh kesadarannya hingga dengan mudahnya jasad wanita tersebut dilemparkan ke sungai oleh pengejarnya.

Sudah hampir tengah malam saat Nindia menyelesaikan kedua cerpennya, dengan ending yang sama, yaitu kematian tokoh wanita. Dia klik tombol shut down lalu beranjak ketempat tidur dengan pikiran yang sudah diperas habis karena kegiatan seharian penuh yang begitu menyita tenaganya. Dan kasur empuk nyamannya dengan boneka beruang pink yang sudah sedari tadi merayunya. Namun dari ruang tengah terdengar suara benda keras dibanting lalu isakan tangis seorang wanita. Gadis yang sekarang masih duduk dibangku sma itu tak juga bergeming dengan keributan yang ada, karena memang ia sudah sangat terbiasa dengan suara-suara itu. Di atas meja belajarnya terdengar ada suara sms yang masuk, dengan sangat enggan dia bangun dan mengambil ponselnya. “Nin orang tua lu kurang kerjaan banget sih, jam segini berantem. Berisik tauk!!” begitu sms dari Agnes teman sekolahnya sekaligus rivalnya yang rumah mereka hanya dipisahkan dengan tembok setinggi pundak.

Begitu geram Nindia hingga ia banting ponselnya sendiri, malu jengkel dan begitu benci ia pada orang tuanya. Dibukanya pintu kamar dan dibantingnya. Didapatinya ruangan yang sudah sangat berantakan, perabot yang tak seberapa jumlahnya pecah berantakan dilantai, televisi juga sudah berpindah tempat. Ibunya meringkuk dipojokan sambil menangis memegangi perutnya. Bapaknya yang bau alkohol membentak-bentak sambil memukul ibunya. Nindia yang sudah mengenggam pisau mengacungkannya pada bapaknya, menyuruh diam dan berhenti. Namun bapaknya malah semakin marah dan kesetanan tidak bergeming pada ancaman anaknya sendiri.

Hingga dengan mudah pisau itu direbutnya lalu menikamnya keperut anaknya sendiri. Si ibu berteriak histeris sejadinya dan sang bapak terkaget karena darah keluar begitu banyaknya dari perut putri semata wayangnya. Seketika sang ibu memeluk anaknya lalu menangis memohon anaknya untuk berbicara namun percuma saja karena anaknya sudah tidak bernafas lagi.

Terbangun karena mimpi buruk, cukup membuat dia bercucuran air mata. Dia kembali mengalami mimpi-mimpi yang aneh, melihat begitu banyak kematian didalamnya. Dan dia seolah selalu menjadi tokoh pada setiap kematian itu dengan berbagai adegan. Tetapi dia jelas betul merasakan setiap ketakutan dan rasa sakitnya seperti nyata. Dia bangkit dari tempat tidur lalu ke dapur, menuangkan air putih memenuhi gelas dan meneguknya hingga tandas. Dilihatnya jam dinding yang menunjukan pukul dua dini hari, lalu dia lanjutkan tidurnya. Disampingnya suaminya masih dengan nyenyaknya tidur tak sedikitpun terganggu oleh dirinya yang terbangun karena mimpi buruk.

Paginya setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan sebagai ibu rumah tangga dan dipamiti oleh suaminya untuk pergi ke kantor. Dia pun berdandan lalu pergi ke sebuah apartemen kamar nomor B76 seperti biasanya saat telah ditinggal suaminya. Disanalah dia bertemu dengan kekasihnya tanpa sepengetahuan suaminya. Setelah mengeluhkan berbagai hal pada kekasihnya dia pun menghempaskan diri di kasur. Laki-kali teman sekantornya dulu itu membuatkan segelas air sirup dan menyodorkannya untuk diminum. “Makasih sayang, emang cuma kamu yang ngerti aku” sambil diminumnya isi dalam gelas tersebut hingga habis. Tak lama setelah itupun dia terjatuh tak sadarkan diri. Laki-laki selingkuhannya itu ternyata belum puas dengan hanya membuatnya mati meminum racun tetapi juga berulang kali menikamnya dan memutilasinya. Mamotong-motong tubuh wanita selingkuhannya dengan dingin tanpa perasaan seperti ia sedang memotong wortel.


Disebuah ruangan berukuran kotak, seorang gadis menangis. Dia berlari kearah pintu dan mengoyak-oyak pintu yang berbentuk seperti jeruji besi kurungan penjara. “Tolong saya, saya baru saja mendapat mukjizat. Saya bisa melihat seorang dokter aborsi yang mati karena kecelakaan tapi sebenarnya dia dibunuh. Lalu saya juga melihat wanita mafia itu dibunuh dan mayatnya dibuang di kali. Juga gadis yang dibunuh oleh bapaknya sendiri. Dan juga seorang wanita yang diracun lalu dimutilasi selingkuhannya di sebuah kamar apartemen. Tolong keluarkan saya dokter, suster kalian harus percaya.” Sambil berteriak-teriak gadis yang berpakaian putih itu mulai membentur-benturkan kepalanya ke pintu besi.

Dokter yang melihat itu langsung membuka kunci pintu dan setelah masuk dengan beberapa suster, dia pun menyuntikan semacam obat penenang. Tak pelak membuat gadis yang sudah 6 tahun menderita penyakit mental yang dinamakan skizofrenia itu pun tertidur.


“Kemarin ia berpikir bahwa dia ikut tenggelam dalam Kapal Titanic, sekarang dia berpikir bahwa dia bisa melihat banyak pembunuhan. Tolong Suster Ani jangan ajak dia menonton berita kriminal di TV lagi.” Kata dokter Rumah Sakit Jiwa Tangerang Pusat pada salah satu bawahannya.
“Iya Dok, maafkan saya.” Jawab suster berwajah keibuan itu.


No comments:

Post a Comment