Dengan terhuyung dan setengah sadar satu tempat yang aku tuju
yaitu dapur. Terkadang dengan duduk dibangku kecil yang dinamai dingklik, tapi
jika tidak kebagian dingklik ya jongkok pun jadi, tangan kanan memegang pisau
dan tangan kiri memegang tempe. Urut-urutannya adalah, membuka bungkus tempe
lalu menyisiri tempe agar bumbunya mampu merasuk. Setelah itu beralih ke
pekerjaan yang perintahkan ibuku, ya menguleg sambal, mencuci sayuran atau
sekedar menunggui masakakan dan mengaduknya. Lalu wara-wiri dapur ke garasi,
dapur ke garasi, sampai siap segala masakan di warung yang sebenarnya garasi
tapi telah disulap menjadi tempat jual beli sarapan.
Hingga saatnya aku mandi lalu berangkat sekolah, rutinitas pagi
aku seperti itu semenjak aku mulai mengenal dapur dan cukup bisa membedakan
antara yang mana pisau dan yang mana sendok. Cukup melelahkan tapi itu buatku
adalah sebuah kewajiban. Pada masa putih merah dulu aku hanya melaksanakan
meski kadang enggan dan pada masa putih biru aku cukup berani melawan. Pikiranku
adalah "kenapa ibuku harus mau repot-repot bekerja seperti ini, bangun
pagi lalu kerja berat yang begitu menyiksa, padahal ibu teman-temanku yang juga
istri PNS tidak sengoyo ibuku." Maka pada masa putih abu-abu pikiranku
sudah cukup berubah drastis yaitu "Kasihan ibuku, jika ibu teman-temanku
sepagi itu masih dengan nyenyaknya tidur dan bangun hanya untuk mengantri
sarapan diwarung ibuku, tetapi ibuku sudah bersusah payah bekerja mencari
uang."
Teringat memori saat bulan Ramadhan, ibu juga berjualan untuk
sahur. Tengah malam sudah bangun, menyiapkan semua yang akan dijual. Lalu jam
dua sudah buka. Pernah saat itu buka hari pertama, bapak dan ibu duduk di
pinggir jalan berdua dipagi yang sepi, menunggui pembeli yang tak kunjung
datang. Melihat keadaan seperti itu dadaku sangat sesak, nyeri sakit sekali.
Dalam dingin pagi sudah berjuang bekerja demi anak-anaknya agar tidak
ketinggalan dengan yang lain. Mataku panas melihat itu, dan air mata menetes
menganak sungai dipipiku.
Ibuku meskipun dengan segala amarahnya yang tiap saat meledak
karena memang tempramennya seperti itu tetapi beliau adalah pribadi yang ulet
dan pekerja keras. Kami anak-anaknya pun juga diajari seperti itu, bukan hanya
bangun sepagi mungkin untuk membantu tapi pekerjaan juga sudah dimulai sejak
aku pulang sekolah. Memilah-milah sayuran, meracik bumbu dan yang seolah telah
menjadi temanku tiap sore adalah wortel.
Bahan baku membuat bakwan dan bakmi, mengupas wortel lalu
memarutnya dan mengirisnya. Dengan berat berkilo-kilo menjadi pekerjaan yang
harus kuselesaikan. Setiap sore itulah pekerjaanku, pekerjaan yang seharusnya
bisa selesai dengan cepat pun bisa sampai berjam-jam karena aku melakukannya
dengan menonton TV atau terkadang jika ada bentakan untuk tidak menonton TV aku
pasti memasang hetset dan mendengarkan mp3. Didekat pintu masuk, itulah
tempatku menyelesaikan perkerjaanku dengan wortel-wortel. Karena aku memang
tidak suka terus-terusan berada di dapur yang gerah dan hanya akan mendengarkan
ocehan ibuku tentang keluhannya atas banyak hal. Dari balik pintu yang
kubiarkan terbuka, selalu terlihat olehku, teman-teman sebayaku baik cewek
maupun cowok sedang motoran sore-sore. Terkadang ada rasa iri juga melihat hal
iku, rasa keinginan seperti mereka.
Ternyata rasa iriku memang mengendap bertahun-tahun, jika saat
masih kanak-kanak dulu aku begitu iri pada teman-teman yang bisa bebas bermain,
baik kasti, petak umpet atau lomtat tali. Maka saat aku beranjak remaja
keinginan lain yaitu bisa motoran sore-sore atau sekedar berkumpul bersama
teman-teman. Ketika yang lain bisa begitu bebasnya bercanda dan bermain diluar
bersama teman-teman. Aku hanya berteman wortel dan sore hingga menggulung Magrib lalu Isya. Hingga tuntas pekerjaan bantu-bantu ibu diwaktu sore sampai
petang dan malam menjemput lelah yang luar biasa.
Begitulah keadaan yang aku terima. Dalam dadaku begitu banyak hal
yang aku salahkan, banyak hal yang aku keluhkan, banyak hal yang ingin aku ledakkan, namun untuk sekedar melakukan
itu pun aku tak mampu karena memang bukan sifatku. Bagiku semakin mengeluh maka
rasa capeknya juga akan semakin terasa berlipat-lipat kali.
Menerima keadaan
yang ada, seperti memakan makanan yang telah disediakan meskipun kita tidak suka
dengan makanan itu tetapi karena kita begitu lapar maka memang harus kita lahap
juga makanan tersebut. Aku rasa begitulah keadaanku pada waktu itu. Mau tidak mau suka atau tidak suka, tetap harus kujalani, dan sama-sama menjalani kehidupan seperti itu, alangkah akan lebih sedikit ringan jika kujalani dengan ikhlas dan selalu tersenyum. Tidak akan terasa capeknya jika memang tidak kita resapi berlebihan, dan aku juga tidak ingin menambah rasa capek dengan mengeluh. Banyak hal yang mampu aku kerjakan untuk menghapus rasa capek dan yang jelas itu bukan dengan mengeluh apalagi menyalahkan banyak hal namun tidak bisa merubah apapun malah hanya akan menambah runyam. Maka itulah caraku, selalu dengan keceriaan yang ada, walau bagaimanapun keadaan yang harus kujalani.
No comments:
Post a Comment