Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Monday, December 30, 2013

Wortel dan Sore


Bangun tiap jam 3 pagi sesegera mungkin atau terbangun dengan omelan dari ibuku, bahkan bisa lebih parah lagi, jika emosi ibuku sedang memuncak, sambal tumpang bisa menjadi cuci muka buatku. Kata-kata kasar seakan menjadi sarapan pagiku. Cukup sakit bila dirasa, seorang ibu yang seharusnya halus tutur katanya namun bisa begitu mudahnya mengeluarkan kalimat-kalimat yang menusuk hati, hinaan dan cacian yang terkadang diluar batas kesopanan. Hingga tangan yang melayang kemanapun emosi ingin dilampiaskan.

Dengan terhuyung dan setengah sadar satu tempat yang aku tuju yaitu dapur. Terkadang dengan duduk dibangku kecil yang dinamai dingklik, tapi jika tidak kebagian dingklik ya jongkok pun jadi, tangan kanan memegang pisau dan tangan kiri memegang tempe. Urut-urutannya adalah, membuka bungkus tempe lalu menyisiri tempe agar bumbunya mampu merasuk. Setelah itu beralih ke pekerjaan yang perintahkan ibuku, ya menguleg sambal, mencuci sayuran atau sekedar menunggui masakakan dan mengaduknya. Lalu wara-wiri dapur ke garasi, dapur ke garasi, sampai siap segala masakan di warung yang sebenarnya garasi tapi telah disulap menjadi tempat jual beli sarapan.

Hingga saatnya aku mandi lalu berangkat sekolah, rutinitas pagi aku seperti itu semenjak aku mulai mengenal dapur dan cukup bisa membedakan antara yang mana pisau dan yang mana sendok. Cukup melelahkan tapi itu buatku adalah sebuah kewajiban. Pada masa putih merah dulu aku hanya melaksanakan meski kadang enggan dan pada masa putih biru aku cukup berani melawan. Pikiranku adalah "kenapa ibuku harus mau repot-repot bekerja seperti ini, bangun pagi lalu kerja berat yang begitu menyiksa, padahal ibu teman-temanku yang juga istri PNS tidak sengoyo ibuku." Maka pada masa putih abu-abu pikiranku sudah cukup berubah drastis yaitu "Kasihan ibuku, jika ibu teman-temanku sepagi itu masih dengan nyenyaknya tidur dan bangun hanya untuk mengantri sarapan diwarung ibuku, tetapi ibuku sudah bersusah payah bekerja mencari uang."


Teringat memori saat bulan Ramadhan, ibu juga berjualan untuk sahur. Tengah malam sudah bangun, menyiapkan semua yang akan dijual. Lalu jam dua sudah buka. Pernah saat itu buka hari pertama, bapak dan ibu duduk di pinggir jalan berdua dipagi yang sepi, menunggui pembeli yang tak kunjung datang. Melihat keadaan seperti itu dadaku sangat sesak, nyeri sakit sekali. Dalam dingin pagi sudah berjuang bekerja demi anak-anaknya agar tidak ketinggalan dengan yang lain. Mataku panas melihat itu, dan air mata menetes menganak sungai dipipiku.

Ibuku meskipun dengan segala amarahnya yang tiap saat meledak karena memang tempramennya seperti itu tetapi beliau adalah pribadi yang ulet dan pekerja keras. Kami anak-anaknya pun juga diajari seperti itu, bukan hanya bangun sepagi mungkin untuk membantu tapi pekerjaan juga sudah dimulai sejak aku pulang sekolah. Memilah-milah sayuran, meracik bumbu dan yang seolah telah menjadi temanku tiap sore adalah wortel.

Bahan baku membuat bakwan dan bakmi, mengupas wortel lalu memarutnya dan mengirisnya. Dengan berat berkilo-kilo menjadi pekerjaan yang harus kuselesaikan. Setiap sore itulah pekerjaanku, pekerjaan yang seharusnya bisa selesai dengan cepat pun bisa sampai berjam-jam karena aku melakukannya dengan menonton TV atau terkadang jika ada bentakan untuk tidak menonton TV aku pasti memasang hetset dan mendengarkan mp3. Didekat pintu masuk, itulah tempatku menyelesaikan perkerjaanku dengan wortel-wortel. Karena aku memang tidak suka terus-terusan berada di dapur yang gerah dan hanya akan mendengarkan ocehan ibuku tentang keluhannya atas banyak hal. Dari balik pintu yang kubiarkan terbuka, selalu terlihat olehku, teman-teman sebayaku baik cewek maupun cowok sedang motoran sore-sore. Terkadang ada rasa iri juga melihat hal iku, rasa keinginan seperti mereka.


Ternyata rasa iriku memang mengendap bertahun-tahun, jika saat masih kanak-kanak dulu aku begitu iri pada teman-teman yang bisa bebas bermain, baik kasti, petak umpet atau lomtat tali. Maka saat aku beranjak remaja keinginan lain yaitu bisa motoran sore-sore atau sekedar berkumpul bersama teman-teman. Ketika yang lain bisa begitu bebasnya bercanda dan bermain diluar bersama teman-teman. Aku hanya berteman wortel dan sore hingga menggulung Magrib lalu Isya. Hingga tuntas pekerjaan bantu-bantu ibu diwaktu sore sampai petang dan malam menjemput lelah yang luar biasa.


Begitulah keadaan yang aku terima. Dalam dadaku begitu banyak hal yang aku salahkan, banyak hal yang aku keluhkan, banyak hal yang ingin aku ledakkan, namun untuk sekedar melakukan itu pun aku tak mampu karena memang bukan sifatku. Bagiku semakin mengeluh maka rasa capeknya juga akan semakin terasa berlipat-lipat kali.

Menerima keadaan yang ada, seperti memakan makanan yang telah disediakan meskipun kita tidak suka dengan makanan itu tetapi karena kita begitu lapar maka memang harus kita lahap juga makanan tersebut. Aku rasa begitulah keadaanku pada waktu itu. Mau tidak mau suka atau tidak suka, tetap harus kujalani, dan sama-sama menjalani kehidupan seperti itu, alangkah akan lebih sedikit ringan jika kujalani dengan ikhlas dan selalu tersenyum. Tidak akan terasa capeknya jika memang tidak kita resapi berlebihan, dan aku juga tidak ingin menambah rasa capek dengan mengeluh. Banyak hal yang mampu aku kerjakan untuk menghapus rasa capek dan yang jelas itu bukan dengan mengeluh apalagi menyalahkan banyak hal namun tidak bisa merubah apapun malah hanya akan menambah runyam. Maka itulah caraku, selalu dengan keceriaan yang ada, walau bagaimanapun keadaan yang harus kujalani.



No comments:

Post a Comment