Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Monday, February 22, 2016

Hujan Untuk Febri

Gadis kecil itu bernama Febri, dan dia mencintai hujan lebih dari siapapun. Senyumnya akan mengembang ketika hujan mulai merintik satu-satu. Tapi di musim kemarau seperti ini, kemarau juga senyum Febri.

Gadis kecil itu masih kelas dua SD, dengan seragam lusuhnya dia akan berlari sepulang sekolah untuk segera mengambil payungnya yang warna-warni. Iya, dia adalah gadis kecil penyedia jasa ojek payung. Dari lembar demi lembar yang dia dapat tersebut, dia gunakan untuk membantu keuangan keluarganya. Tapi di musim kemarau seperti ini, jelaslah bahwa ia kehilangan rupiah yang dapat membantu asap dapur keluarganya untuk tetap mengepul. Karena itu gadis kecil tersebut mencintai hujan lebih dari siapapun.

Namun gadis kecil itu sudah sebulan ini berkabut, seperti ruam udara di Kota Jambi yang juga berkabut. Bukan kabut embun dengan titik-titik air yang menyejukan, tapi kabut asap yang memekat hingga membuat indra penglihatan dan penciuman terganggu. Karena masalah kabut asap tersebut pulalah sekolah Febri diliburkan selama dua minggu ini. Itu juga yang membuat senyum seolah dirampas dari wajah mungil Febri.

Padahal untuk gadis kecil itu, sekolah merupakan tempat belajar sekaligus bermain. Diantara waktu yang dia habiskan untuk mencari uang membantu Ibunya, sekolah seakan menjadi satu-satunya tempat dimana dia bisa tersenyum dan bermain dengan teman-temannya. Hidup miskin yang dia jalani membuatnya harus ikut bekerja. Karena itu dia begitu merindukan hujan lebih dari siapapun, agar dia dapat mencari uang dari mengojek payung, agar kabut asap yang menyelimuti kotanya dan membuat dia tidak dapat bersekolah segera hilang.

Gadis kecil itu memang hanya tinggal dengan Ibunya, Ibu semata wayang itulah satu-satunya keluarga yang dia miliki. Tanpa Bapak dia hidup, bapak yang meninggalkan dia saat usianya masih kecil, bahkan tak ada secuilpun kenangan bersama bapaknya yang dia ingat. Bapak yang kata Ibunya sudah meninggalkan dia dan ibunya demi perempuan lain yang lebih muda dan cantik. Bapak yang tidak bertanggung jawab terhadapnya dan ibunya. Bapak yang tiap kali dimaki-maki ibunya saat ibunya itu marah, padahal bapaknya tidak akan pernah mendengar makian ibunya tersebut. Karena itu dia juga tidak peduli lagi ada bapak atau tidak dalam hidupnya, itu tidaklah penting.

Gadis kecil itu benar-benar merindukan hujan, merindukan lambaian tangan dari orang-orang yang ingin dinaungi payungnya. Sambil mengulurkan tangan menerima upah dari jasa ojek payungnya, bibir mungil Febri akan mengucapkan terima kasih. Lalu sesungging senyum dari bibirnya yang setelah itu terjadi meskipun belum tentu dibalas senyum juga dari pelanggan ojek payungnya, tapi dia senang. Dari situ dia mulai menyukai hujan.


Pernah di suatu siang terik yang tidak memberikan pertanda sedikitpun untuk hujan akan turun, Febri mencoba mencari pekerjaan lain. Dia menjual koran di lampu merah yang cukup ramai di Kota Asap tersebut. Tapi belum sampai sepuluh menit dia berada di situ, datanglah seorang laki-laki dengan segepok koran ditangannya yang dengan kasar mengusir Febri. Laki-laki itu berdalih bahwa tempat tersebut adalah lahan dagangnya. Gadis kecil yang baru kelas dua SD bisa apa melawan seorang laki-laki. Akhirnya dia berhenti berjualan koran.

Esoknya dia mencari pekerjaan lain, maka mulailah Febri bekerja di tempat cuci pakaian atau istilah kerennya itu Laundry. Dia ditempatkan di bagian menjemur pakaian yang telah selesai di cuci. Maka dari situlah kulitnya yang dulu putih hingga banyak yang mengira bahwa dia warga keturuan berubah perlahan menjadi hitam disengat matahari. Meskipun dia betah berlama-lama di bawah terik tapi dia juga tidak terlalu menyukai pekerjaannya.

Selain itu dia juga pernah bekerja di tempat pengupasan bawang, yang sukses membuat jari-jari tangan kecilnya merah perih. Terkadang dia meringis menerima upah yang tak seberapa dari pekerjaannya menguapas bawang tersebut bukan karena upahnya yang sedikit tapi lebih karena kulit jari tangannya yang benar-benar perih tak terperi. Akibat mengupas kiloan kulit bawang tersebut jugalah matanya bening menjadi mengabur berembun tersengat pedasnya bawang kupasannya tersebut.

Berbagai pekerjaan tak kenal ampun dia coba satu per satu, namun tetap dia hanya menyukai pekerjaannya sebagai penyedia jasa ojek payung. Karena itu dia begitu merindukan hujan. Hujan yang turun menurunkan rezeki untuknya. Hujan yang membasahi tubuh kecilnya tapi tak sedikitpun pernah membuatnya sakit. Bahkan saat tubuhnya habis dihajar ibunya dia tetap berlari menembus hujan dengan memeluk payung warna-warninya.

Hujan seakan menjadi obat yang paling mujarap untuknya saat lebam biru-biru menghiasi lengan, kaki dan punggungnya. Air hujan yang menyentuh kulit-kulit lebamnya tersebut memberikan efek sejuk baginya. Juga saat dia begitu kesakitan menerima setiap pukulan tanpa ampun dari ibunya, hujan seakan memeluknya dalam basah yang indah. Saat makian dan cacian dari ibunya yang membabi buta dilesatkan untuknya, hujan yang jatuh dimanapun tempat jatuhnya tersebut seperti bernyanyi menghiburnya.

Febri gadis kecil yang baru kelas dua SD itu tentulah akan menangis saat kemarahan ibunya yang terkadang tidak dia tahu karena apa dan hanya bisa dia terima karena hanya kepadanyalah ibunya dapat melampiaskan kemarahannya. Segala caci maki yang keluar dari lorong-lorong jahanam tergelap yang tak pernah dia paham keberadaannya, tak perlah luput dia terima. Lalu segala macam bentuk pukulan juga tak luput mendarat di tubuh kecilnya. Dan saat itu dia hanya mampu menangis.

Lalu saat ibunya sudah merasa puas melampiaskan semua kemarahannya, Febri dapat tertatih keluar rumah. Menyambut dan disambut oleh hujan, dia akan menangis sesenggukan tanpa disadari oleh siapapun. Karena air hujan menyembunyikan air mata Febri yang menetes, lalu hujan pulalah yang menghapus air matanya tanpa ia sadari air yang menganak sungai di pipinya hanya air hujan saja. Sedang air matanya sudah terhenti. Dia merasa sangat diselamatkan oleh hujan.

Gadis kecil itu percaya setelah hujan pasti akan ada pelangi yang indah, seperti hidupnya yang penuh lelah, lebam dan tangis pasti akan ada senyum yang indah. Karena itu dia sangat merindukan hujan. Hujan yang dapat menghadirkan senyum untuknya. Hujan yang menghapus semua lukanya. Hujan yang akan memeluk tubuh kecilnya.

Gadis kecil itu benar-benar mencintai hujan lebih dari siapapun, dan sepertinya hujan pun juga mencintainya. Seperti saat ini, hujan turun dengan derasnya saat tubuh kecil Febri diusung menuju peristirahatan terakhirnya. Tubuhnya tak lagi bernyawa saat api melalap dia dan ibunya sekaligus. Himpitan ekonomi membuat ibunya menyalakan api untuk terlebih dahulu mengguyur tubuhnya sendiri lalu anaknya dengan bensin. Hingga membuat keduanya tak bernyawa lagi.


Kini gadis kecil yang mencintai hujan itu telah pergi. Dan berhari-hari hujan yang dia cintai itu turun tak berhenti. Karena hujan juga mencintainya.



No comments:

Post a Comment