Memang
ada yang ikut sakit padahal aku yang tertusuk? Berkali-kali aku tanyakan itu
pada malam yang mengaku-aku kelam. Padahal lampu Ibu Kota tak pernah mati seolah
menjadi pengganti shift bagi matahari. Saat malam mendepak terang dari
tempatnya semula, semesta seolah meredup perlahan. Baiklah aku percaya saja,
malam memang kelam.
Dari
kejauhan ku lihat hujan bintang tak surut-surutnya di langit malam. Bintang warna-warni
yang membuatku takjub untuk sesaat tapi setelahnya menjadi biasa karena
menggemakan suara yang membuat aku iba. Iba pada jumlah rupiah yang telah di
hamburkan pada bintang-bintang sesaat tersebut.
Aku
diam memunguti kerikil yang sedari tadi menusuki kakiku yang tak bersepatu. Apa
seharusnya aku sumpahi saja? Tapi percuma kerikil ini pasti hanya diam tanpa
berontak saat sumpah serapah aku tunjukan padanya. Aku tertawa sendiri, sakit
di kaki seolah telah menumpulkan pikiran. Padahal itu tak seberapa dibandingkan
apa yang telah aku alami selama ini. Dan aku masih terus berjalan menelusuri
aspal berkerangka bintang. Entah kemana tujuan. Lalu kembali pertanyaan itu
menuntut jawaban. Memang ada yang ikut sakit padahal aku yang tertusuk? Aku menantinya
sesaat, tapi tetap tak ada jawaban. Hanya koma yang berderet sepanjang
jalan.
No comments:
Post a Comment