Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Monday, June 1, 2015

Rok Polos

Ternyata dia duluan yang mengingatku, teman sesama suporter bola yang ternyata juga teman mengajiku saat masih kecil. Yang teringat dalam ingatan masa kecilku adalah saat seorang anak laki-laki yang usianya lebih muda setahun dari aku memberiku surat merah jambu dengan malu-malu. Aku sendiri malu menerimanya, dari situ teman-teman yang lain mengejekku pacaran dengan anak laki-laki tersebut. Setelahnya aku sudah tidak mau mengaji lagi. Malu. Padahal Pak Ustad sampai ke rumahku untuk membujukku ikut mengaji, tapi aku tidak pernah datang ke masjid. Malu.


Mengingat itu aku jadi tersenyum lalu tertawa. Aku lupa berapa usiaku, saat itu aku masih kelas tiga SD. Setelah selesai giliran mengaji iqro satu persatu, tanpa dikomando kami anak perempuan berkumpul untuk mengobrol. Di depan Pak Ustad kulihat seorang anak laki-laki sudah memegang Al-Qur’an, aku cukup kagum padanya. Diusia yang lebih muda dari aku satu tahun tapi dia sudah sampai membaca Al-Qur’an. Arif namanya, solatnya juga khusuk, tidak seperti anak laki-laki seumuran Arif yang lainnya. Mereka kalau sholat sering pecicilan, usil, suka mlotrokne sarung teman disebelahnya.

“Kamu melihat siapa Mi?” Tanya seorang teman disebelahku.

“Wah pasti sedang melihat Arif ya?” Goda seorang teman yang sepertinya memang mulutnya didesain untuk bergosip.

“Tidak.” Jawabku singkat.

“Halah mengaku saja, iya juga tidak apa-apa.” Sambung temanku yang lainnya lagi.

“Kalo memperhatikan cowok itu tidak apa-apa, wajar kog” kata Mbak Warsiti yang umurnya memang sudah lumayan jauh di atasku, dia sudah SMP.

“Tami lagi jatuh cinta ya?”

“Jatuh cinta?” aku bingung tidak mengerti yang dimaksudkan temanku, belum terjangkau oleh otakku yang berumur masih muda.

“Iya, jatuh cinta Tami, masak kamu tidak pernah menonton sinetron.”

“Aku tidak mengerti Mbak?”

“Biasanya kalau sudah jatuh cinta nanti tubuhmu akan mengeluarkan darah. Kamu akan pipis darah.”

“Hah!” yang benar saja kog mengerikan begitu, aku begidik memikirkan darah yang keluar dari tubuhku, apa aku akan mati?

“Apa itu sakit Mbak?” tanya temanku yang lain, yang juga penasaran sepertinya.

“Kata simbokku itu biasa.”

“Biasa bagaimana, mengeluarkan darah kog biasa? Mengerikan!”

“Apa kita akan mati?”

“Semua perempuan akan mengalaminya.”

“Aku tidak mau!” kataku sedikit keras sampai Arif menengok kearahku. Dia yang sudah selesai mengaji duduk kembali di tempat duduknya yang berada dibelakangku, sambil menyandar di tembok masjid yang berpapan kayu, aku lihat dia mulai mengatupkan matanya. Tidur?

“Jangan keras-keras ini di masjid.”

“Aku juga tidak mau berdarah.” Kata temanku yang satu SD denganku.

“Kalau tidak mau berdarah berarti kamu bukan anak perempuan.”

“Masa harus seperti itu?”

“Kamu juga berdarah Mbak?”

“Iya.”

“Kapan mbak? Mbak tidak takut?”

“Tentu saja takut, aku bingung, waktu itu pas pertama aku lulus SD. Simbokku yang bilang kalau tidak apa-apa aku sudah dewasa. Semua anak perempuan pasti mengeluarkan darah. Pertama rasanya sakit dan risih. Aku harus memakai busa putih di celanaku agar darahnya tidak jatuh keman-mana. Namanya softex, tapi kata simbok kalau ke warung belinya roti, begitu. Aku juga dibelikan sprite oleh simbokku katanya biar tidak nyeri. Simbok juga bilang kalau aku akan mengalaminya setiap bulan.” Kata mbak Warsiti panjang lebar.

“Aku masih belum mengerti Mbak?”

“Apa itu tidak bahaya Mbak, kok ya aneh perempuan harus mengeluarkan darah?”

“Kalau darahnya habis gimana Mbak? Ibuku kog tidak pernah cerita yang seperti itu. Mengerikan sekali.”

“Aku juga bingung, simbokku awalnya juga tidak pernah cerita. Tapi setelah itu simbokku mengatakan bahwa aku sudah besar sekarang, aku harus bisa jaga diri dari laki-laki.”

“Memang kenapa Mbak? Sudah sering kamu berdarah mbak?”

“Kata simbok agar aku tidak diperkosa laki-laki. Jadi aku harus jaga diri, baru dua kali ini aku berdarah, terakhir minggu lalu sampai 7 hari.”

“Jangan menakut-nakuti Mbak.”

“Sakit sekali Mbak?”

“Kadang.”

“Kadang gimana Mbak?”

“Pokoknya tidak enak. Darah itu bisa muncul berhari-hari. Pokoknya tidak enak. Kalau kita jalan dia mengalir dan terus keluar.”

“Apa kita tidak akan kehabisan darah Mbak, kog sampai berhari-hari gitu?”

“Rasanya bagaimana? Apa seperti pipis?”

“Tidak juga, dia keluar sendiri.”

“Apa tidak bisa kita tahan agar tidak keluar pas sedang sibuk Mbak?”

“Ya tidak.”

“Waduh kog ya merepotkan sekali tho.”

“Aku tidak mau mengalami itu.” Kata temanku yang mulai pucat membayangkan dia juga akan berdarah seperti Mbak Warsiti.

“Kamu tidak bisa menolaknya.”

“Apa tidak ada obat yang bisa diminum biar tidak berdarah Mbak?” Tanyaku sambil membetulkan letak dudukku yang begitu tidak nyaman karena saat mengaji harus memakai rok panjang polos berwarna biru muda.

“Tidak ada obat yang seperti itu, sudah jatahnya perempuan harus mengeluarkan darah.”

“Apa anak laki-laki juga mengeluarkan darah?”

“Tidak.”

“Kenapa kog tidak Mbak?”

“Aku juga tidak tahu, mungkin karena kelaminnya beda. Kamu pernah melihat kelamin anak laki-laki kan?”

“Pernah Mbak, adikku kan laki-laki.” Jawabku polos.

Belum sempat Mbak Warsiti berbicara lagi, kerumunan kami dibubarkan oleh Pak Ustad. Ternyata semua yang bergiliran mengaji sudah selesai. Kami kembali duduk rapi sambil berdoa mengakhiri pertemuan. Masjid berlantai kayu sederhana ini seolah terasa basah olehku. Basah oleh keringat atau aku ngompol atau malah aku sudah berdarah. Mengerikan sekali, tapi ternyata hanya tumpahan air minum dari teman disebelahku yang membasahi sebagian kakiku.

Dalam pikiranku masih belum sepenuhnya mencerna apa yang dimaksudkan oleh Mbak Warsiti. Yang ada hanya takut kalau nanti aku berdarah. Apalagi tidak ada obatnya. Tapi tadi kata Mbak Warsiti kalau aku jatuh cinta, aku akan berdarah. Kuputuskan aku tidak akan jatuh cinta. Berarti aku tidak boleh memperhatikan anak laki-laki, aku tidak boleh memperhatikan Arif agar aku tidak jatuh cinta. Aku tidak boleh jatuh cinta agar aku tidak berdarah. Tapi aku masih bingung, jatuh cinta itu seperti apa? Aku harus nonton sinetron biar mengerti.




6 comments:

  1. Di sarankan berbahasa indonesia, ada pun bahasa jawanya km harus mengasih artinya, agar orang papua sampai orang aceh paham :))

    ReplyDelete
  2. G reti kudu komen pie 😂😂😂
    Intine semua wanita itu tangguh 😊😊😊 wes ngono tok 😅

    ReplyDelete