Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Saturday, May 30, 2015

Jangan Tilang Aku Pak! (Part 2)

Lama juga ya rentang penulisan part 2, lanjutan dari cerita Jangan Tilang Aku Pak! (Part 1) dan inilah kisahku selanjutnya bersama Pak Polisi.

Ceritanya begini. Pagi itu sudah cukup terik di Semarang, sekitar Pukul 09.00 WIB aku dan pacarku (yang sekarang sudah kuedit menjadi mantan) kita berdua melakukan perjalan ke Jogja untuk menonton bola, pertandingan antara PSS Sleman vs Arema. Karena kami berdua sama-sama Suporter Aremania, jadi yah kompak saja dari Sragen dia menghampiri aku ke Semarang terus lanjut ke Stadion Maguwoharjo Jogja.


Perjalanan sampai Ungaran lancar saja, lalu berbelok jalur Ambarawa. Di Terminal Bawen aku sempatkan bertanya apa gak sebaiknya gantian aja, biar aku yang di depan boncengin dia. Karena memang sudah terbiasa kita gantian boncengan. Tapi dia jawab tidak katanya belum lelah. Ya sudah, padahal aku mengajukan diri buat bergantian bonceng bukan masalah karena dia sudah lelah perjalanan Sragen-Semarang terus harus lanjut Semarang-Jogja, tapi memang karena dia belum hafal jalan dan medannya Ambarawa-Temanggung sampai Magelang yang berkelok-kelok naik turun bersebelahan dengan truk-truk besar yang harus disalipi satu-persatu. Tapi berhubung dia menolaknya ya sudah aku nurut saja, toh aku juga tidak begitu terampil mengendarai motor gigi (sebut saja aku spesialis racing motor metic, heheheh).


Sampai di jalan alternatif yang cukup lenggang karena di kanan kiri hanya sawah dan Rawa Pening, maka terlihatlah dari kejauhan ada segerombolan Pak Polisi dan motor-motor yang berhentikan. Panik lalu menepi, pacarku terlihat bingung harus bagaimana karena dia tidak punya SIM. Aku yang memang memiliki kelengkapan surat-surat seperti SIM dan STNK jelas tidak terlalu bingung harus bagaimana, jadi kugantikan dia di depan. Tapi dia tetap saja ngotot mengajak balik arah. Resiko jika nanti dikejar Pak Polisi, jadi kuputuskan tetap jalan saja, dia aku suruh jalan kaki di kanan jalan. Aku sendiri tidak berani memboncengkan dia karena jelas helm yang dia pakai tidak SNI. Kalo kengkapan surat ada tapi helm yang dipakai tidak yang seharusnya kan sama juga bo’ong, pasti surat tilang juga ketemunya. Jadi aku suruh dia jalan kaki dan aku melaju menghampiri operasi tersebut.

Sampai di TKP (Tempat Kejadian Penilangan) aku cukup heran Pak Polisi tidak bilang apa-apa seperti skenario biasanya (hormat kepada pengendara lalu menanyakan kelengkapan surat-surat) mungkin Pak Polisinya sedang betmut atau sedang sariawan. Tapi ya sudah toh aku juga mengerti apa yang seharusnya aku lakukan (menunjukan SIM beserta STNK-ku) beres dilihat-lihat oleh Pak Polisi jadi aku rasa sudah lolos, tanpa dipersilahkan melanjutkan perjalanan karena kulihat Pak Polisinya balik badan ngeluyur pergi meninggalkan ku sendiri, kan sedih huhuhu L

Motor yang ku jalankan tidak juga mau nyala, sudah ku pancal-pancal berulang-ulang tidak juga menyala. Ckckck pingsan mungkin ini motor karena takut berhadapan dengan Pak Polisi atau malah jangan-jangan terkena serangan jantung mendadak. Menyebalkan menghadapi motor yang cemen seperti pemiliknya, upsss sengaja J

Tanpa pikir panjang aku minta tolong saja pada Pak Polisi untuk membantu menyalakan motor pacarku ini, kan memang tugas polisi adalah melayani dan menafkahi masyarakat, ehhh salah maksudku menanyai masyarakat, duh salah lagi yah, sampai lupa apa ya tugas Volisi? Melayani dan mengayomi masyarakat, bener gak? 


Yupss, Pak Polisi baru berjalan menghampiriku, malah disalip duluan oleh pacarku yang juga berjalan kaki mendekatiku. Dalam hati aku sudah nyumpah-nyumpah gobl*k kenapa malah dia menghampiriku? Apa karena gak rela aku dibantuin polisi? Atau kangen berlama-lama aku tinggal? Atau bagaimana? Pak Polisinya jadi curuga dah, sebelum ketahuan jadi aku ngacir duluan.

Dipertengahan jalan yang cukup jauh, aku berhenti untuk menunggu pacarku. Tapi tidak datang juga si pejalan yang membawa helm batok. Yang akhirnya datang adalah suara dering telpon dari pacarku, yang katanya aku disuruh balik lagi ke pos. Aku merasa sebal, kenapa harus balik, kan tinggal dia yang menghampiriku, karena aku sudah lolos pemeriksaan dan sudah dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Tapi dari seberang telepon, pacarku ngotot katanya malah dicurigai kalo motornya colongan -___- kan konyol, terus yang memeriksa STNK tadi serius atau tidak?


Ya sudah kuputuskan kembali ke TKP tadi, sampai disana ditanyai macam-macam, aku jelaskan semuanya tanpa aku kurangi dan aku tambahi. Pak Polisinya sudah menyiapkan slip merahnya. Aku yang merasa tidak salah jadi kutanyakan, atas dasar apa ditilang? Pak Polisi menjawab katanya karena aku tidak mematuhi petugas, disuruh berhenti malah nyelonong pergi. Aku jelaskan saja meski sedikit emosi, bahwa tadi sudah melewati pemeriksaan dari polisi yang aku masih hafal wajahnya bahkan aku tunjuk orangnya. Pak Polisinya tetap ngotot dengan alasan karena gantian boncengan itu tidak boleh. Dan pacarku juga tetap ngotot untuk sudah berdamai saja. Ini kenapa semua pada ngotot ke aku? Mentang-mentang pada punya otot?

Debat dengan petugas pun berlangsung cukup pelik, adu argumentasi antara aku dan Pak Polisi yang mulai memasang muka galak tidak juga menemui titik terang. Hingga bertambah dengan polisi lain juga mulai ikut-ikutan, jadi aku dikeroyok nih? Mungkin kehabisan stok kesabaran Pak Polisinya akhirnya mengeluarkan juga kata-kata yang menghina kerudungku. Dalam hati aku terbahak, lucu rasanya jika aku memang salah ya silahkan monggo untuk menyalahkanku bukan malah menyalahkan kerudungku. Dari situ aku mulai paham, aku menang argumen satu kosong dengan Pak Polisi di depanku, terlihat dari Pak Polisinya sudah keluar jalur debat dan tidak logis lagi pembicaraannya K

Aku masih ingin maju membela diri, pacarku tetap keukeuh untuk mengakhiri “sudah sudah” hanya itu yang dia katakan padaku. Pak Polisi tetap ngotot menyalahkanku karena bergantian boncengan. Aku tetap pada pendirianku bahwa aku tidak salah, karena memang tidak bergantian boncengan tapi malah meninggalkan pacarku untuk berjalan kaki dan aku yang mengendarai motor dengan surat yang lengkap. Hingga tahap ini Pak Polisi sampai mengajakku buat berjabat tangan (bukan untuk berkenalan tapi untuk bersumpah kalo aku tidak salah) sambil bilang kalo aku salah nanti di jalan aku tidak akan selamat, dengan kata lain Pak Polisi menyumpahi aku akan mengalami kecelakaan. Dalam hati aku semakin bingung, bukankah yang seperti itu semua adalah kehendak Allah, terus kenapa polisi ini yang berhak menentukan aku akan mengalami kecelakaan?

Sudah kuulurkan tanganku hendak menyalami Pak Polisi. Tapi dicegah oleh pacarku yang langsung mengajakku untuk berdiskusi sendiri, katanya “sudah sudah” dalam hati aku begitu kecewa kenapa dia mempunyai sikap sepayah itu? Dan hanya bisa berkata sudah, yang memang dia pasrah menyerah dari awal. Baiklah aku ikut mengalah saja (mengalah bukan berarti mengakui kesalahan tapi dalam arti kata ini mengalah artinya ng-Allah atau ke Allah maksudnya adalah kukembalian semua kepada Allah yang Maha Mengatur). Toh yang mengurusi segala urusan pertilangan/peruangan adalah pacarku bukan aku. Ya silahkan saja, aku hanya bertanya pada Pak Polisi “ditilang karena apa Pak?” Pak Polisi tanpa melihatku karena sibuk menulisi slip merah menjawab “tidak punya SIM”.

The Power of Kepepet-ku kembali keluar, aku nyeletuk saja ke Pak Polisi “percuma Pak saya punya SIM mahal-mahal akhirnya ditilang juga”, Pak Polisinya menyahut “Mas-nya ini yang ditilang”.

Aku kembali terbahak dalam hati, ”baru pertama ini saya melihat pejalan kaki ditilang karena tidak punya SIM. Kalau bisa slip biru saja Pak”. Pak Polisi menjawab “Oke kalo slip biru denda maksimal ya!” sambil memberi lingkaran pada nominal satu juta. Aku menghampiri motor dan menyalakan motor, karena aku rasa aku sudah tidak ada urusan, yang kubela habis-habisan saja sudah nyerah untuk apa aku tetap mengurusi urusannya. Dari depan pos (yang sebenarnya adalah pos tiket masuk tempat wisata Kampung Rawa tapi dijadikan tempat operasi dadakan) pacarku kembali menanyaiku slip merah atau slip biru, aku jawab acuh terserah saja toh dia yang berurusan.


Kulirik slip merah yang ditulisi entah apa tulisannya karena memang yang terlihat hanya oret-oretan tidak jelas, lalu aku bertanya dalam hati 'ini surat tilang atau resep obat?' muncul juga pertanyaan 'jangan-jangan itu bukan Volisi tapi Dokter yang menyamar sebagai Volisi?' ahh membuat vusing saja, kuputuskan aku tidak harus menafsirkan tulisannya karena aku kuliah di keguruan bukan apoteker.

Setelah mengantongi slip merah dan STNK yang ditahan, aku boncengkan pacarku sampai di Jogja. Sepanjang perjalanan aku tidak berhenti misuh-misuh ke pacarku (ingat, sekarang sudah jadi mantan). Kalo seperti itu kasusnya, yang bodoh sebenarnya siapa?


Berurusan dengan slip biru dan slip merah sebenarnya tidak hanya kali ini saja. Dulu saat aku akan pulang kampung juga pernah menemui operasi di tengah-tengah jalan hutan yang sepi. Belum juga masuk di jalan raya dan baru juga keluar dari kawasan UNNES sudah dicegat oleh begal siang hari. Dan celakanya saat itu aku masih belum punya SIM, dari situ aku tetap ngotot meminta slip biru karena memang aku tidak punya duit sepeserpun, hanya dua puluh ribu rupiah dalam dompet. Karena memang rencananya aku pulang kampung untuk mengambil uang. Dan yang teringat di otakku adalah saldo ATM bapakku yang mencapai tiga jeti, so pasti dari sini aku berani meminta slip biru saja meski dendanya adalah satu juta. Entah kenapa aku lebih ikhlas memberikan uang pada kas negara bukannya pada petugas, padahal kalo petugas tak perlu sampai jutaan beres di tempat.

Pak Polisi yang tetap ngotot bahkan sampai membentak-bentakku katanya aku pasti akan datang mencari rumahnya untuk minta maaf dan berdamai. Aku tetap pada keinginanku meminta slip biru, karena mau bagaimana lagi aku benar-benar tidak ada duit. Akhirnya polisi yang lain menghampiriku dan mengajakku bisik-bisik tetangga berdua, dia memintaku untuk tidak membantah polisi dan aku dipersilahkan untuk melakukan perjalanan. Aku benar-benar terima kasih lahir batin pada Pak Polisi yang satu ini, yang sudah memahami kantong anak kost ngenesnya seperti apa. Berbeda dari kisah pertama yang berakhir bencana, kisah yang ini berakhir manis dengan aku berteriak-teriak kegirangan sudah bisa lolos dari tilangan J

Kisahku bersama Pak Polisi masih belum habis sebenarnya jadi aku sambung di tulisanku selanjutnya yah.

To Be Continued


11 comments:

  1. Hahahahaha muke gile mau2 nya si P di tilang gara - gara jalan kaki tdk punya SIM
    haaaaaahhaaaaa

    ReplyDelete
  2. Hahahahaha muke gile mau2 nya si P di tilang gara - gara jalan kaki tdk punya SIM
    haaaaaahhaaaaa

    ReplyDelete
  3. Mas qm kamu kan mantanku, mantan yg baik hehee qm jangan dendam ke david yah

    ReplyDelete
  4. lhah sapa tau qm smpe sekarang masih gak suka sama david mas? kan dulu prnah pisu2an sama dia

    ReplyDelete
  5. owalah seharuse kolom komen kenw to,maap maap mau salah

    ReplyDelete
  6. Yokpo sam, sesama blogger hlo, mohon bimbingannya

    ReplyDelete
  7. Ya dak tau juga sih yaa, hmm
    Knp saya jd mls yah klo bahas nesu ato tidak nyaa wkkk -_-

    ReplyDelete