Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Tuesday, March 25, 2014

Aku Takut Pulang

Hatiku terus terasa sakit jika mengingatnya, sumpah serapah dari ibuku sendiri. Wanita yang telah mengandungku dan melahirkanku. Perih rasanya mendapati kenyataan ini. Air mataku tak henti meleleh saat mengingat perlakuan ibuku sendiri kepadaku, rasanya seperti hatiku ditusuki oleh ribuan jarum kecil, ngilu di ulu hari, terasa desir menyakitkan yang menyerbu hatiku, menyesak di dada.

Kubuang pandang ke luar jendela agar penumpang yang duduk di sebelahku ini tidak melihatku. Bus tetap melaju membawaku menuju  tempatku dalam mencari ilmu selama hampir dua tahun ini, yaitu Kota Semarang. Yang hari jumatnya aku dilanda rasa bingung di kost ku sendiri, ingin pulang ke Sragen, tempat kelahiranku, karena aku begitu rindu pada bapakku, sekaligus karena beras juga sudah habis. Tapi rasa takut juga mengantuiku, teringat kepulanganku yang terakhir dulu merupakan kepulangan yang begitu menyakitkan, lagi-lagi dengan genangan air mata mendengar caci maki dari mulut ibuku. Aku begitu bingung, tidak pulang tapi kangen sama bapakku, kalo pulang tapi takut pada ibuku. Akhirnya yang terjadi di dalam pergulatan rasa bingung tersebut hanya ledakan tangis dari mataku. Hingga lelah aku menangis sampai aku tertidur dan terbangun karena mendengar suara HP ku berbunyi.

Ternyata telpon dari bapakku, yang menanyakan kepulanganku karena memang sehari sebelumya aku SMS mengabari kalo hari jumat aku pulang. Kuputuskan untuk pulang besok pagi, mengingat ternyata hari sudah petang dan mataku yang juga sudah sembab, aku takut mendengar kata jijik saat ibuku melihatku dengan mata habis menangis seperti ini.

Sabtunya aku memang pulang, masih dengan rasa takut jika kepulanganku dengan hasil yang sama dengan kepulanganku yang dulu. Namun karena ditelpon oleh bapakku membuat sedikit rasa percaya diri jika ‘orang rumah’ memang mengharapkanku pulang. Kupacu motor metik ku menuju Kota Sragen.

Sampai di rumah sudah hampir tengah hari, padahal aku menggembok kamar kost sekitar jam tujuh pagi. Disambut senyum oleh bapakku sambil menanyakan aku dari Semarang jam berapa, aku jawab jam tujuh tapi bapak tidak percaya, karena biasanya Semarang-Sragen bisa ditempuh dengan motor sekitaran 4 jam saja. Tapi aku bilang karena jalanan macet tadi ada kampanye partai di Salatiga bapak percaya, yah memang tadi itulah yang terjadi.

Hari minggunya aku bilang jam satu aku akan balik ke Semarang pada ibuku yang menanyaiku setelah sarapan bersama. Seperti biasa hari minggu adalah kegiatan mencuci pakaian dan dibantu dengan bapak yang juga membantu untuk menjemur pakaian-pakaian itu. Lalu dilanjut dengan ke pasar membeli dagangan untuk dimasak dan di jual di pagi harinya. Ibuku adalah seorang pedagang nasi dan bapakku seorang pegawai negeri sipil rendahan saja. Namun aku rasa semua itu cukup untuk kebutuhan kami juga untuk menyekolahkan adikku dan menguliahkan aku. Meskipun cukup tersebut juga harus ditambah dengan datangnya ‘mas-mas bank titil’ setiap hari ke rumahku.

Namun jam sepuluh saja aku sudah diusir ibu dari rumah, cukup bingung rasanya ketika masalah kecil sudah bisa membuat ibuku mengeluarkan caci maki sekasar itu. Cuma karena aku tetap seperti biasa ke Semarang ingin naik motor tapi tidak dibolehkan karena adikku juga ingin ke sekolang naik motor, padahal adikku kelas tiga SMP, sedang dalam masa-masa ujian. Konyol rasanya. Tapi begitulah kenyataannya.

Cukup membingungkan, aku bilang begitu karena sebelumnya beras dan rambutan yang akan aku bawa ke Semarang sudah di tata dalam dua kresek plastik besar dan ibu bilang tinggal ditaruh dijok depan motor. Tapi kenapa tiba-tiba aku tidak boleh membawa motor. Jika tidak membawa bermacam bawaan dalam jumlah banyak seperti itu mungkin aku akan manut saja sama ibuku, namun ternyata penolakanku malah di balas dengan kemarahan besar dari ibuku. Hingga hafal telingaku merekam perkataan menyakitkan ibuku tersebut.

Hanya karena masalah yang kubilang kecil tersebut sudah mampu menyulut kemarahan ibuku, membuatnya seperti kesetanan hingga melupakan bahwa anak perempuannya ini juga punya hati dan perasaan, yang kali itu begitu terluka karena perkataannya. Sebenarnya bukan kali itu saja ibuku bicara kasar, sudah sejak aku kecil aku sudah paham tempramen ibuku. Jadi kupingku memang sudah terbiasa dengan caci maki ibuku, tapi kali ini aku rasa sudah keterlaluan. Hal tersebut sudah cukup membuatku untuk merasa bahwa aku memang sudah tidak diharapkan lagi.

Sambil memberikan aku uang ibu menyuruhku pergi dari rumah. Terkadang sampai aku berpikir apakah aku memang seburuk itu, tidak pantas untuk disebut seorang anak? Sudah sesalahkah itu aku? Sejelekkah itu aku? Aku benci dengan diriku sendiri!

Tapi memang kuputuskan untuk menurut saja, meskipun ibu sudah marah besar. Diantar oleh adiku ke terminal, aku kembali ke Semarang, untuk terlebih dahulu naik bus ke Solo, dilanjut naik bus lagi ke Semarang. Di terminal yang sepi, karena boleh dibilang hari sudah sore sekitar jam 3 aku duduk dikursi tunggu terminal sendirian. Rasa sesak di dada menyerbu membuat mataku panas, aku lihat ke atas demi menahan air mata agar tidak jatuh.

Cukup lama aku menunggu bus jurusan Solo, namun setelah mendapatkan bus tersebut, keadaan di dalam bus sudah penuh sesak. Hasilnya aku dari Sragen ke Solo berdiri sambil menggendong tas yang cukup berat karena berisi leptop, ditambah dengan gendongan tas yang sudah hampir putus membuatku cukup was-was jika nanti benar-benar putus. Untungnya  rambutan dan juga beras jatah untuk aku masak dikost aku tinggal di rumah, tidak jadi aku bawa. Padahal bapak sengaja ‘menekke’ rambutan di depan rumah buatku biar buat oleh-oleh teman-temam kost, bapak juga sudah mengambil jatah beras satu sak dari simbahku agar dapat aku bawa ke Semarang. Cukup buat makan aku satu bulan kedepan. Tapi terpaksa aku tinggal semua.

Sampai Terminal Tirtonadi Solo sudah hujan lebat, sedikit basah karena harus menunggu bus jurusan Semarang. Setelah naik bus dan sampai Ungaran barulah hujan berhenti, namun hujan di hatiku tetap belum berhenti.  Aku sadar aku bukan penyimpan dendam namun rasa sakit jika mengingat begitu rupa caci maki dan sumpah serapah yang meluncur dengan mudahnya dari mulut ibuku tetap saja terasa sakit dan memberikan rasa takut luar biasa. Rasa penolakan akan diri sendiri yang begitu tertancap dipikirku begitu mencekikku sendiri. Sampai sekarang selalu membuatku takut pulang. Takut membuat kecewa dan marah ibuku meskipun aku sudah berbuat sebaik mungkin namun tetap saja selalu salah di mata ibuku. Takut kembali mendapatkan umpatan dan kata-kata kotor. Aku takut pulang ke rumah.


2 comments: