Hatiku terus terasa sakit jika mengingatnya, sumpah serapah
dari ibuku sendiri. Wanita yang telah mengandungku dan melahirkanku. Perih
rasanya mendapati kenyataan ini. Air mataku tak henti meleleh saat mengingat
perlakuan ibuku sendiri kepadaku, rasanya seperti hatiku ditusuki oleh ribuan
jarum kecil, ngilu di ulu hari, terasa desir menyakitkan yang menyerbu hatiku,
menyesak di dada.
Kubuang pandang ke luar jendela agar penumpang yang duduk di
sebelahku ini tidak melihatku. Bus tetap melaju membawaku menuju tempatku dalam mencari ilmu selama hampir dua
tahun ini, yaitu Kota Semarang. Yang hari jumatnya aku dilanda rasa bingung di
kost ku sendiri, ingin pulang ke Sragen, tempat kelahiranku, karena aku begitu
rindu pada bapakku, sekaligus karena beras juga sudah habis. Tapi rasa takut
juga mengantuiku, teringat kepulanganku yang terakhir dulu merupakan kepulangan
yang begitu menyakitkan, lagi-lagi dengan genangan air mata mendengar caci maki
dari mulut ibuku. Aku begitu bingung, tidak pulang tapi kangen sama bapakku,
kalo pulang tapi takut pada ibuku. Akhirnya yang terjadi di dalam pergulatan
rasa bingung tersebut hanya ledakan tangis dari mataku. Hingga lelah aku
menangis sampai aku tertidur dan terbangun karena mendengar suara HP ku
berbunyi.
Ternyata telpon dari bapakku, yang menanyakan kepulanganku
karena memang sehari sebelumya aku SMS mengabari kalo hari jumat aku pulang.
Kuputuskan untuk pulang besok pagi, mengingat ternyata hari sudah petang dan
mataku yang juga sudah sembab, aku takut mendengar kata jijik saat ibuku
melihatku dengan mata habis menangis seperti ini.
Sabtunya aku memang pulang, masih dengan rasa takut jika
kepulanganku dengan hasil yang sama dengan kepulanganku yang dulu. Namun karena
ditelpon oleh bapakku membuat sedikit rasa percaya diri jika ‘orang rumah’
memang mengharapkanku pulang. Kupacu motor metik ku menuju Kota Sragen.
Sampai di rumah sudah hampir tengah hari, padahal aku
menggembok kamar kost sekitar jam tujuh pagi. Disambut senyum oleh bapakku
sambil menanyakan aku dari Semarang jam berapa, aku jawab jam tujuh tapi bapak
tidak percaya, karena biasanya Semarang-Sragen bisa ditempuh dengan motor
sekitaran 4 jam saja. Tapi aku bilang karena jalanan macet tadi ada kampanye
partai di Salatiga bapak percaya, yah memang tadi itulah yang terjadi.
Hari minggunya aku bilang jam satu aku akan balik ke
Semarang pada ibuku yang menanyaiku setelah sarapan bersama. Seperti biasa hari
minggu adalah kegiatan mencuci pakaian dan dibantu dengan bapak yang juga
membantu untuk menjemur pakaian-pakaian itu. Lalu dilanjut dengan ke pasar
membeli dagangan untuk dimasak dan di jual di pagi harinya. Ibuku adalah
seorang pedagang nasi dan bapakku seorang pegawai negeri sipil rendahan saja.
Namun aku rasa semua itu cukup untuk kebutuhan kami juga untuk menyekolahkan
adikku dan menguliahkan aku. Meskipun cukup tersebut juga harus ditambah dengan
datangnya ‘mas-mas bank titil’ setiap hari ke rumahku.
Namun jam sepuluh saja aku sudah diusir ibu dari rumah,
cukup bingung rasanya ketika masalah kecil sudah bisa membuat ibuku
mengeluarkan caci maki sekasar itu. Cuma karena aku tetap seperti biasa ke
Semarang ingin naik motor tapi tidak dibolehkan karena adikku juga ingin ke
sekolang naik motor, padahal adikku kelas tiga SMP, sedang dalam masa-masa
ujian. Konyol rasanya. Tapi begitulah kenyataannya.
Cukup membingungkan, aku bilang begitu karena sebelumnya
beras dan rambutan yang akan aku bawa ke Semarang sudah di tata dalam dua
kresek plastik besar dan ibu bilang tinggal ditaruh dijok depan motor. Tapi
kenapa tiba-tiba aku tidak boleh membawa motor. Jika tidak membawa bermacam
bawaan dalam jumlah banyak seperti itu mungkin aku akan manut saja sama ibuku,
namun ternyata penolakanku malah di balas dengan kemarahan besar dari ibuku.
Hingga hafal telingaku merekam perkataan menyakitkan ibuku tersebut.
Hanya karena masalah yang kubilang kecil tersebut sudah
mampu menyulut kemarahan ibuku, membuatnya seperti kesetanan hingga melupakan
bahwa anak perempuannya ini juga punya hati dan perasaan, yang kali itu begitu
terluka karena perkataannya. Sebenarnya bukan kali itu saja ibuku bicara kasar,
sudah sejak aku kecil aku sudah paham tempramen ibuku. Jadi kupingku memang
sudah terbiasa dengan caci maki ibuku, tapi kali ini aku rasa sudah
keterlaluan. Hal tersebut sudah cukup membuatku untuk merasa bahwa aku memang
sudah tidak diharapkan lagi.
Sambil memberikan aku uang ibu menyuruhku pergi dari rumah.
Terkadang sampai aku berpikir apakah aku memang seburuk itu, tidak pantas untuk
disebut seorang anak? Sudah sesalahkah itu aku? Sejelekkah itu aku? Aku benci
dengan diriku sendiri!
Tapi memang kuputuskan untuk menurut saja, meskipun ibu
sudah marah besar. Diantar oleh adiku ke terminal, aku kembali ke Semarang,
untuk terlebih dahulu naik bus ke Solo, dilanjut naik bus lagi ke Semarang. Di
terminal yang sepi, karena boleh dibilang hari sudah sore sekitar jam 3 aku
duduk dikursi tunggu terminal sendirian. Rasa sesak di dada menyerbu membuat
mataku panas, aku lihat ke atas demi menahan air mata agar tidak jatuh.
Cukup lama aku menunggu bus jurusan Solo, namun setelah
mendapatkan bus tersebut, keadaan di dalam bus sudah penuh sesak. Hasilnya aku
dari Sragen ke Solo berdiri sambil menggendong tas yang cukup berat karena
berisi leptop, ditambah dengan gendongan tas yang sudah hampir putus membuatku
cukup was-was jika nanti benar-benar putus. Untungnya rambutan dan juga beras jatah untuk aku masak
dikost aku tinggal di rumah, tidak jadi aku bawa. Padahal bapak sengaja
‘menekke’ rambutan di depan rumah buatku biar buat oleh-oleh teman-temam kost,
bapak juga sudah mengambil jatah beras satu sak dari simbahku agar dapat aku
bawa ke Semarang. Cukup buat makan aku satu bulan kedepan. Tapi terpaksa aku
tinggal semua.
Sampai Terminal Tirtonadi Solo sudah hujan lebat, sedikit
basah karena harus menunggu bus jurusan Semarang. Setelah naik bus dan sampai
Ungaran barulah hujan berhenti, namun hujan di hatiku tetap belum
berhenti. Aku sadar aku bukan penyimpan
dendam namun rasa sakit jika mengingat begitu rupa caci maki dan sumpah serapah
yang meluncur dengan mudahnya dari mulut ibuku tetap saja terasa sakit dan
memberikan rasa takut luar biasa. Rasa penolakan akan diri sendiri yang begitu
tertancap dipikirku begitu mencekikku sendiri. Sampai sekarang selalu membuatku
takut pulang. Takut membuat kecewa dan marah ibuku meskipun aku sudah berbuat
sebaik mungkin namun tetap saja selalu salah di mata ibuku. Takut kembali
mendapatkan umpatan dan kata-kata kotor. Aku takut pulang ke rumah.
Aku tau rasanya :)
ReplyDeletepadahal aq brharap itu memang hnya fiktif belaka :)
ReplyDelete