Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Wednesday, March 26, 2014

Beranda Sepi

Fato kusam, menghadirkan gambar aku yang berdiri mematung tanpa ekspresi dengan adikku yang berada di sampingku. Foto kusam yang membawaku pada kenangan masa itu. Setelah berfoto aku lalu dibelikan jajan wafer oleh bapakku, wafernya banyak sampai berbungkus-bungkus. Aku makan dan berbagi dengan adikku. Aku yang berumur 7 tahun  dan adikku kira-kira berumur 5 tahun, begitu bahagiya memakan wafer kami sambil tertawa-tawa.

Rasanya kami sudah makan banyak wafer tapi tetap masih banyak juga sisanya, tidak habis-habis. Sampai kami tidak ingin makan lagi. Aku beresi sisa wafer tersebut lalu kumasukan dalam kaleng yang membukanya sungguh harus dengan tenaga ekstra. Kulihat ibu keluar dari arah dapur ingin memandikan adikku sambil membawa handuk yang setengah kering. Ibu melihat ruang tamu yang begitu berantakan dengan remah-remah wafer disana sini. Lalu ibu perintahkan aku untuk membersihkannya. Aku yang tetap mencoba membuka kaleng tersebut menolak perintah ibu. Karena aku rasa itu bukan tanggung jawabku, adikku yang selain makan berceceran juga sekaligus mengotori lantai dengan menginjak wafer yang tidak ia makan lagi. Jadi itu bukan salahku, bukan aku yang seharusnya membersihkan remah-remah wafer tersebut.

Tapi ternyata karena jawaban tidak mau dari aku tersebut membuat ibuku sangat marah. Dia keluarkan seluruh kata-kata umpatan dan segala nama-nama binatang yang tidak pantas didengarkan oleh kuping kecilku yang masih berumur 7 tahun ini. Lalu karena aku begitu kaget melihat ibu ternyata sangat marah seperti itu, aku hanya diam tetap keukeuh tidak mau membersihkan kekotoran yang dibuat oleh adikku. Ibu menghampiriku siap melayangkan handuk basah tersebut kearahku, terkena handuk yang begitu berat membuat kepalaku terhuyung sakit rasanya. Seperti terkena sabetan berkilo-kilo buku yang dijatuhkan dari atas menimpa kepalaku, mungkin tidak meniggalkan goresan luka tapi cukup membuat aku pusing dan mata yang berkunang-kunang.

Dari situlah aku begitu membenci wafer dan aku bersumpah tidak akan memakan wafer lagi seumur hidupku. Dan memang benar kenyataannya sampai sekarang aku tidak pernah lagi menyentuh yang namanya wafer. Aku benci wafer! Selain itu ternyata juga menghadirkan ketakutan pada handuk, sampai tiap kali habis mandi aku tidak pernah lagi menggunakan handuk. Banyak alasan aku keluarkan, lupa membawa, ribet, atau tidak tahu handuknya dimana atau apalah yang jelas hal tersebut dapat menjauhkan aku dari handuk. Sampai saat kuliah dan teman-teman yang sehabis mandi di kostku menanyai handukku untuk dipinjampun aku juga menjawabnya dengan fariasi jawaban terkadang kujawab sedang kotor, sedang dilaundry atau sudah hilang. Yang jelas aku tidak pernah lagi memakai handuk. Ya aku takut pada handuk!

Konyol memang, hal sepele tersebut sudah mampu mebuatku benci dan takut. Bukannya tidak pernah aku mencoba melawan ketakutanku, pernah suatu kali saat pertama pindah ke kost aku dibelikan handuk baru oleh ibuku. Aku keluarkan dari dalam tas, cukup membuatku deg-degan setengah mati. Tapi aku mencoba berpikir rasional, handuk tidak akan membunuhku, begitulah hingga sorenya setelah aku mandi aku sampirkan handuk tersebut dipundakku lalu selesai mandi kucoba menggunakan handuk untuk mengeringkan tubuhku. Namun tiba-tiba yang terpikir adalah handuk ini tidak hanya menyerap air yang membasahi tubuhku tapi juga menyerapku masuk ke dalam setiap pori-pori handuk. Aku ketakutan luar biasa, terasa ngilu di sekujur tubuhku. Kakiku mulai gemetar tidak karuan, kejadian masa kecilku kembali membayang di pelupuk mata. Tersabet oleh handuk besar yang lumayan basah dan membuat  kepalaku pusing sekaligus melahirkan banyak kunang-kunang dimataku. Tidak dapat lagi aku menguasai diriku sendiri. Aku gagal melawan ketakutanku pada handuk!

Masih mematung aku menatap foto yang sudah hampir tidak jelas tersebut, foto yang ada dalam dompet bapakku, yaitu foto dengan aku dan adikku di dalamnya. Saat kami masih kecil, dengan kisah yang kualami dan masih kuingat jelas sampai sekarang. Setelah disabet berkali-kali dengan handuk basah tersebut, tentu aku menangis. Bukan hanya karena rasa sakit karena sabetan yang membuat kupingku hampir budek berdengung-dengung tapi juga kerena umpatan dan makian yang keluar dari mulut ibuku sudah sampai batas nama-nama jahanam yang entah terenggut dari lorong-lorong gelap nan kotor yang antar brantah.

Karena mungkin ibu sudah capek menyabeti aku dengan handuk basah yang jelas berat tersebut, ibu lalu gantian menendangku dan mencubitiku atau isitilahnya dalam bahasa Jawa yaitu ‘nyiweli’ sampai pahaku terasa begitu perih sakit. Aku tahu setelah ini pasti akan meninggalkan bekas biru-biru kehitaman di pahaku, karena hal tersebut sudah sangat sering aku alami. Ibu menyuruh aku berhenti menangis, namun bukannya berhenti menangis aku malah menjadi-jadi. Air mata berleleran keluar membasahi pipi dan sesenggukan aku lalu diseret ibu keluar dari rumah. Tangan besar ibu mencengkeram pergelangan tangan kecilku, terasa kasar dan sakit. “Minggato wae neng omah malah mung gawe perkoro kowe, anak setan!” Ya itu berarti aku telah diusir ibuku, “kono rasah neng kene, aku wegah mbok eloni meneh, minggato!” sambil berkata seperti itu ibu membanting pintu rumah. Lalu terdengar suara klik dari dalam rumah, suara pintu dikunci!

Aku tetap menangis di beranda rumah, namun hanya air mata yang berleleran dengan hidung yang juga basah oleh ingusku, tanpa suara. Hari sudah menjelang magrib, tapi tidak kujumpai bapakku juga. Aku hanya menunggu bapak pulang, aku tahu cuma bapak yang sayang kepadaku. Aku anggap begitu karena ibu begitu jahatnya tega telah mengusirku.

Jalanan dipetang hari begitu sepi, ibu tidak juga membukakan pintu untukku dan bapak juga belum kelihatan tidak tahu dimana. Yang terlihat didepanku hanyalah pekarangan rumah yang berdiri dua pohon yaitu pohon rambutan dan pohon mangga, diantanya berdiri tiang listrik besar yang tiangnya dari beton, jadi saat aku lingkarkan tangan kecilku tidak juga cukup merangkul penuh tiang listrik yang menyambungkan listrik satu desa tersebut. Lalu terdapat sungai yang arusnya kadang deras saat hujan turun, diatasnya ada jembatan bambu atau kami sering menyebutnya dengan ‘sesek’ yang menyambungkan pekarangan rumahku dengan jalan raya kecil. Rumahku menghadap ketimur dengan bertetangga rumah megah milik seorang pengusaha kayu. Rumah megah dengan tembok pembatas yang tinggi dan diatasnya terdapat kawat duri, rumah yang berada di samping kiri rumahku. Karena di depan rumah hanya ada kebun luas dengan ditumbuhi berbagai macam pepohonan rimbun, yang kami menyebutnya dengan ‘alas cilik’ alias hutan kecil. Agak jauh di utara ada gereja dan di selatannya ada tembok menjulang tinggi bangunan penjara peninggalan jaman Belanda yang di atasnya juga terdapat tempat mengintai berikut lonceng besar. Lonceng yang jarang sekali terdengar, aku pernah mendengarnya sekali itu saat ada narapidana yang kabur melarikan diri lewat lubang pembuangan yang tembus ke sungai.

Di sudut belakang tembok yang mengitari penjara tersebut kalau dari cerita nenekku adalah tempat penjagalan manusia pada peristiwa 65 dulu. Aku cukup ngeri membayangkannya, ketika kepala manusia dalam hitungan detik sudah terlepas dari tubuhnya ditebas oleh parang dengan darah yang menyelimutinya. Aku tidak tahu cerita tersebut benar atau tidak, tapi yang jelas kalau dari cerita tetangga sekitar memang sering melihat banaspati, yaitu kepala yang terbakar terbang di antara pepohonan kelapa. Aku juga tidak tahu hal tersebut benar atau tidak, aku belum pernah melihanya.

Dilangit timur mulai muncul bintang kecil, sandyakala sudah hampir menghilang. Sandyakala yaitu senjakala atau dalam kebudayaan Jawa mengandung muatan keramat dan gaib, karena menandai masa antara siang dan malam, terang dan gelap. Di bawah suasana warna langit kemerahan dan sebagian petang, mulai berkeliaranlah makhluk-makhluk kegelapan, termasuk roh-jahat yang diperhebat lagi oleh kata ‘ala’ yang berarti jahat atau buruk. Bahkan saat sandyakala seperti ini biasanya anak-anak yang bermain harus pulang kerumah masing-masing, tidak ada yang boleh keluar rumah. Begitu pantangan dan kepercayaan dari orang Jawa.

Namun aku sekarang, tetap diluar sambil menangis sesenggukan. Air mata belum juga berhenti mengalir. Awet sekali tangisku hingga terdengar suara pintu terbuka, ternyata nenekku. Nenek berusaha mendiamkan aku agar tidak menangis lagi dan mengajakku masuk, tapi aku takut kalau di dalam akan dihajar oleh ibuku lagi. Jadi aku tetap tidak mau masuk rumah, berharap bapak yang akan datang menolongku dan melindungi aku dari amukan ibu. Nenek dengan kebaya dan jarit yang ia pakai menghapus air mataku yang membasahi pipi.

Nenek tetap membujukku masuk karena hari sudah hampir malam, sayup-sayup adzan magrib saja sudah berganti dengan adzan isya. Aku tetap tidak ingin masuk rumah, karena aku rasa wajah marah ibuku jauh lebih menakutkan daripada makhluk dunia lain yang paling seram sekalipun. Lalu nenek duduk di belakangku, dia bercerita bahwa dulu sewaktu ia kecil juga pernah diusir ibunya keluar dari rumah, menangis sendiri dalam gelap malam di beranda rumah, dan tiba-tiba ada tangan dengan jari-jari sebesar pisang yang menyentuh pundak nenek. Kata nenek lagi, tangan tersebut sangat dingin seperti es batu, dengan bulu-bulu yang lebat, namun saat nenek menengok kebelakang tidak ada siapapun. Setelah bercerita tersebut nenek lalu masuk rumah meninggalkanku sendiri. Pintu tertutup rapat, tapi aku tahu pintu tidak lagi dikunci. Setelah menghapus sekenanya air mata di pipi, aku masuk rumah. Aku melihat ibu berdiri menyandar di tembok samping kamarku dengan menatapku dingin “wis kesel nangise?” hanya itu yang keluar dari mulut ibuku.


Ingatan masa kecilku, aku tidak menangis menatap foto kusam masa laluku ini. Hatiku sudah cukup mengeras, dingin terasa walau kadang masih sakit. Ku taruh lagi dompet bapak di meja rias ibu. Setelah mengambil uang seratus ribuan untuk membeli bunga tabur. Aku lalu keluar, diluar orang-orang sudah sibuk menata kursi di pekarangan rumah dan tetangga juga sanak saudara dekat sudah berdatangan. Bapak duduk di tikar sambil menangis, tidak kulihat adikku entah dia menangis dimana. Di depan bapak, dalam tutupan jarit ibuku terbujur kaku tidak bergerak. Terbungkam diam membungkam serta seluruh keangkuhannya semasa hidup.


No comments:

Post a Comment