Monolog Tak Terdengar

Monolog Tak Terdengar
Biarkan skizofrenia menjamah mewarnai mozaik-mozaik hidupku

Tuesday, February 7, 2017

Bertukar tempat

Dulu ketika aku masih SD aku begitu ingin bertukar tempat dengan temanku, sebut saja namanya Lisa. Pasalnya Lisa ini adalah anak seorang Polisi, tapi bukan karena sebab itu aku ingin bertukar tempat dengannya, karena bapakku sendiri pekerjaannya tidak kalah hebat dengan bapak Lisa, yaitu seorang PNS. Dan aku sebenarnya juga sangat bangga dengan pekerjaan bapakku sendiri. Jadi bukan karena itu aku ingin menjadi Lisa. Meskipun bisa dibilang bapak Lisa memang sangat gemati, dalam hal ini bapakku sendiri juga cukup gemati. Tapi gematinya bapak Lisa memang bisa membuat anak lain cukup iri dengannya. Tiap pagi, setiap akan berangkat sekolah, aku pasti menghampiri Lisa dulu. Di rumah Lisa, dia masih mandi kadang baru dibangunkan dari tidur. Mungkin karena aku memang takut jika ditinggal berangkat sendiri, atau memang aku yang terlalu kesregepen. Disitu bapak Lisa sedang menggosok sepasang sepatu Lisa dengan semir hingga terlihat begitu hitam dan mengkilat. Lalu aku melihat sepatuku, tidak semengkilat sepatu Lisa tapi masih bisa disebut hitam. Karena dua hari yang lalu sudah ku gosok. Sedang sepatu Lisa selalu tiap pagi digosok oleh bapaknya, tentu kecuali hari minggu. Lalu berturut-turut sepatu mbaknya Lisa dan kemudian sepatu teprok milik bapak Lisa sendiri. Dulu aku menyebut sepatu polisi bapaknya Lisa dengan sebutan sepatu teprok. Karena memang tiap dipakai pasti begitu bunyinya. Sungguh gagah sekali. Walaupun bapakku sendiri tiap pergi ke kantor juga memakai sepatu tapi tidak seteprok sepatu bapaknya Lisa. Selesai dengan sepatu-sepatu tersebut bapak Lisa beralih ke sepeda Lisa. Dengan sehelai kain yang dicelup air terlebih dahulu, bapak Lisa mulai mengelap sepeda Lisa. Hingga kinclong, tanpa debu dan noda becek cipratan. Lalu aku melihat sepedaku sendiri, sudah tidak sebagus sepeda Lisa, sudah banyak baret-baret dan jelas penuh debu penuh nanah. Jika bapak Lisa melihat sepedaku, rasanya malu, jangan-jangan bapak Lisa mengiranya ini bukan sepeda tapi kemoceng yang berbentuk sepeda karena saking banyaknya debu dan gelantungan-gelantungan rumah laba-laba. Sempat terpikir untuk memarkir sepedaku agak jauh dari rumah Lisa, tapi takut jika ada tukang rosok yang mengambilnya karena dikira barang rosokan. Jadi ya sudah terima nasip saja, sambil menunggu Lisa dan teman-teman lain menghampiri. Karena memang bisa disebut rumah Lisa ini sebagai jurusan pertama yang dituju sebelum berangkat sekolah. Titik berkumpul. Mungkin karena itu juga Lisa menjadi ketua dari kami semua. Anak seorang polisi, punya kakak (sebagai tameng), paling pintar, paling kaya, paling bisa menguasai semuanya dan entah apa lagi faktor yang membuatnya menjadi pemimpin tanpa ditunjuk dan tanpa pemilihan suara terlebih dahulu, karena waktu itu kami memang belum paham dengan istilah musyawarah. Tapi yang jelas sejak TK sampai kelas enam SD memang Lisa adalah bosnya.


Selanjutnya yang membuat aku begitu ingin bertukar tempat dengan Lisa adalah karena ibunya tidak bekerja, hanya ibu rumah tangga biasa. Ibunya sabar dan bicaranya selalu halus. Tiap pagi meski Lisa selalu telat bangun tapi dia bisa begitu santai, karena semua hal sudah disiapkan oleh bapak dan ibunya. Seragamnya sudah rapi, sarapannya juga sudah disiapkan. Lisa tidak perlu bekerja membatu ibunya, karena ibunya hanya ibu rumah tangga, sedangkan ibuku adalah penjual makanan yang tiap pagi sekali sudah membuka warungnya. Jadi bangun pagi sudah menjadi kebiasaan, jika tidak bangun dan membantu bukan hanya tidak dapat uang saku (masalah kecil kalau tidak dapat uang saku, karena celengan ayamku ada tiga penuh semua) tapi lebih karena aku bisa dihajar habis-habisan oleh ibuku, jambakan dan tendangan, juga macam-macam bentuk hukuman lainnya sudah biasa kalau aku malas bangun dan tidak membantu. Jadi bisa dibayangkan bumi dan langitnya kehidupanku dengan Lisa.

Rumah Lisa yang selalu bersih, karena ibunya memang terfokus sebagai ibu rumah tangga saja tanpa harus bekerja mencari uang. Bahkan ada seorang tetangga yang khusus dibayar untuk mencuci baju keluarga tersebut. Waktu itu memang belum ada jasa Laundry. Mesin cuci pun juga masih menjadi barang mewah, jadi untuk hidup enak bisa dengan membayar buruh cuci, aku sering melihat cuciannya berember-ember banyaknya, aku bisa membayangkan buruh cuci tersebut jarinya akan lecet-lecet. Aku sendiri yang cuma mencuci baju-bajuku saja jari bisa berubah, ruas jari tangan yang aku fokuskan untuk menguecek kerah seragam putihku yang tidak putih bisa sangat perih cekit-cekit seperti ditusuk-tusuk jarum apalagi jika dengan sabun cuci Daia, perih juga panas. Apalagi jika sudah bagian mencuci celana dalamku sendiri, terkadang sedikit jijik. Padahal milikku sendiri. Pikiran anak SD-ku waktu itu, tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan buruh cuci di rumahnya Lisa, harus mencuci celana dalam seluruh anggota keluarga itu. Tapi tentu tidak masalah karena dibayar, uang dua puluh ribu untuk sekali cuci, waktu itu pasti cukup banyak artinya.

Lisa yang selalu rengking satu di kelas, jelas karena bapak Lisa yang seorang polisi yang memang juga pintar. Karena memang jika dilihat, mbaknya Lisa dan adiknya Lisa juga pintar-pintar. Sedangkan aku sendiri bapak ibuku saja jika aku lihat buku rapotnya nilainya doremi semua, banyak yang merah. Tapi syukurlah aku masih sering dapat rengking juga, meski cuma masuk lima besar terus. Dan mentok sampai rengking 3 tidak pernah lebih dari itu malah kadang turun, tapi bisa dibilang aku cukup membangkan kan jika dilihat dari bibit keluargaku. Selain itu, seperti yang telah aku ceritakan diawal, bahwa Lisa adalah bos dari kami semua (aku dan tiga temanku yang lain). Sebagai bos, semua hal harus menurut pada kehendak Lisa, seperti pemilihan pilihan permainan dan akan bermain dimana. Jika tidak menurut pada keinginan Lisa, maka hukuman untuk anak tersebut adalah dengan tidak diajak bicara, dikucilkan dan tidak diajak main. Pernah suatu kali aku memakai sepatu baru, Lisa yang tahu akan hal tersebut tidak menyukainya. Dengan dalih kalau aku pamer sepatu baru, Lisa dengan mengajak teman-teman yang lain menjauhiku, aku tidak diajak bermain, diberi wajah masam dan bahkan ketika aku bertanya sesuatu pun tidak dijawab. Sungguh mengucilan yang sangat menakutkan.

Lisa sungguh menguasai permainan, semua teman-teman harus mengalah padanya. Meskipun begitu aku merasa kehidupan Lisan sempurna sekali.

Banyak hal yang membuatku ingin bertukar tempat dengan Lisa, selain hal-hal tersebut diatas, juga yang paling utama adalah keadaan keluarga Lisa. Aku selalu melihat bapak dan ibu Lisa tidak pernah bertengkar, selalu akur dan harmonis. Ibu Lisa yang penyabar selalu berbicara halus dengan bapak Lisa. Dan bapak Lisa juga orang yang baik hati dan tidak pernah bicara kasar ataupun keras pada ibu Lisa. Aku sendiri juga tidak pernah melihat ada barang di rumah Lisa yang terbanting karena bapak ibu Lisa bertengkar. Tidak seperti bapak dan ibuku, yang bahkan tidak bisa dihitung berapa kali dalam seminggu mereka bertengkar saling bertukar caci maki teriakan sumpah-serapah lalu membanting barang-barang dan diakhiri dengan bapakku minggat dari rumah. Keadaan di rumah Lisa selalu damai tanpa keributan, aku bayangkan jikapun ada pertengkaran pasti Lisa tidak akan sendiri karena dia punya mbak dan adik yang bisa saling menghibur. Sedangkan aku waktu itu, memang punya adik, tapi masih bayi, masih belum mengerti apa-apa. Praktis tiap ada pertengkaran di rumah, aku hanya sendiri, takut dan bingung harus bagaimana.


Selain itu dulu aku juga begitu mengimpikan rumah dengan satu kamar khusus untuk solat berjamaah sekeluarga. Tiap selesai Solat Magrib sendirian, aku berdoa lalu menangis tersedu, berulang-ulang doaku tersebut, ingin memiliki mushola kecil di dalam rumah. Sehingga aku bisa solat berjamaah dengan bapak dan ibuku, lalu kemudian dengan adikku ketika dia sudah mengerti solat. Begitu inginnya aku bisa solat bersama keluarga kumplit. Selama ini jikapun solat, paling-paling cuma dengan bapakku. Karena kamarnya cuma muat untuk sholat dua orang saja. Tapi meskipun begitu, bertahun-tahun kemudian memang doaku terjawab tapi tetap saja, aku hanya solat berdua dengan bapak saja, karena sibuknya ibuku bekerja.

Keluarga Lisa, rumah Lisa, dan semua yang Lisa miliki rasanya benar-benar tiada cacat. Aku berpikir pasti begitu bahagia jika bisa menjadi Lisa, bertukar tempat dengan Lisa. Aku menjadi Lisa dan Lisa menjadi aku. Khayalan dari otak anak SD yang mungkin bisa disebut belum mengerti bagaimana caranya mensyukuri hidup. Entah apakah ada anak lain yang juga punya pikiran seperti aku hingga ingin bertukar tempat dengan orang lain. Tapi mengingat kehidupan masa kecil yang begitu keras dan menyakitkan, dosakah bila aku begitu menginginkan menjadi orang lain yang kupandang lebih bahagia? Berdosakah jika aku menginkan kehidupan yang lebih indah? Berdosakah?


No comments:

Post a Comment